“Adiknya Ahmad nyantri di Batang, di tempat mbahnya. Mbak Milka tidak berkenan membawa Ayu ke sana saja? Banyak anak-anak bermasalah yang dibawa ke sana, mereka dididik dengan tegas untuk menjadi pribadi yang lebih baik."
Max mendengar percakapan ibunya bersama keluarga Himawan di ruang tamu. Sejujurnya ia malas harus menemui mereka, apa lagi kalau membahas urusan perjodohan, tetapi tidak punya pilihan lain.Usai mandi dan berganti pakaian santai, Max mendatangi mereka dan ikut bergabung di ruang tamu, mendengarkan keluhan keluarga Himawan mengenai tingkah putrinya yang sudah keterlaluan. Mereka hanya datang berdua, Masayu yang sedang menjadi bahan pembahasan tidak ikut serta.“Ayu bukan perempuan relijius seperti Nahla, Lys. Dia pemberontak dan suka kebebasan, terlebih dia bukan anak-anak lagi, aku tidak yakin dia bisa dipaksa untuk tinggal di pesantren,” keluh Milka.“Aku juga belum berpikir ke sana,” timpal suaminya.“Saat ini, aku hanya perlu mengawasinya setiap tingkahnya. Aku benar-benar berharap Max bersedia menerima perjodohan dengannya, pria seperti Max yang bisa mengendalikannya agar tidak semakin menjadi-jadi.”“Aku tentu senang kita jadi besanan, tapi tetap saja aku akan mengembalikannya kepada Max. Dia yang akan menjalani, jadi dia juga yang membuat keputusan,” jawab Lucas. “Bagaimana, Max?”“Yang penting tidak ada pacar-pacaran, Mama setuju kalau mereka langsung menikah.”“Ma,” protes Max. “Mama selalu membicarakan pernikahan.”“Jadi, kamu maunya pacaran, begitu? Ahmad, kamu sudah dewasa, Nak, bahkan sudah sangat matang, sudah waktunya menikah. Mama paling sebel kalau dengar kamu pacaran! Sudah ratusan kali Mama menasehatimu untuk tidak pacaran!”“Aku tidak akan pacaran, lagi pula aku sama sekali belum pernah melihatnya,” keluhnya masam.Budi Himawan buru-buru mengeluarkan ponselnya, membuka galeri foto, lantas menyerahkannya pada Max.“Dulu sewaktu kecil dia sangat lengket padamu, Max. Dia sekarang sudah dewasa dan tidak ompong lagi.”Dan tentunya sangat cantik, Max mengakuinya dalam hati, menatap layar ponsel yang menampakkan foto seorang perempuan. Masayu kecil yang diingatnya tidak secantik ini.Masayu dewasa jauh berbeda. Ia begitu memikat dengan posenya yang diambil secara diam-diam. Tawanya tampak sangat alami, menampakkan gigi-giginya yang putih dan rapi, tidak ompong sebab terlalu banyak makan permen dan coklat. Rambutnya terurai sebahu, tidak ada kepang dua khasnya semasa kecil. Ia benar-benar telah berubah seratus persen.Namun, cantik saja tidak cukup untuk Max, yang lebih cantik darinya sangat banyak, dan Max bisa mendapatkannya dengan mudah. Seperti kata Rayhan, sebajingan-bajingannya seorang pria, ia pasti menginginkan perempuan baik-baik sebagai istrinya.Masayu tidak termasuk perempuan baik-baik menurut versi Max, sikapnya yang dikeluhkan kedua orang tuanya sudah menjadi nilai negatif untuknya.Jikalaupun Max akan menikah, maka ia akan menikahi perempuan baik-baik seperti ibunya.Perempuan relijus yang sangat menghargai seorang pria, lemah lembut, dan menyayangi keluarga. Dan sepertinya, Masayu jauh dari semua itu, ia seorang pemberontak yang menyukai kebebasan, jauh dari tipe perempuan yang diinginkan Max.“Begini saja,” kata Lucas bijak. “Alangkah baiknya kamu temui dulu Ayu, kamu bisa mengenalnya pelan-pelan, kalau memang menurutmu tidak cocok, kami tidak akan memaksa.”“Aku setuju, Lucas. Kita memang sangat berharap kalian menikah, tetapi kami tidak akan memaksa. Meski kami paksakan seperti apa pun, kalau bukan jodohnya, tetap tidak akan bisa bersatu. Hanya saja, mencoba mengenal adalah salah satu usaha.”“Untuk sementara Max akan menjadi pengawal Ayu,” anggul Lucas setuju. “Kamu akan segera menemuinya, Max.”“Yang penting ingat terus pesan Mama, ya, Nak. Jangan pernah melanggar ajaran yang Mama ajarkan padamu. Kamu sudah tahu bagaimana harus memperlakukan lawan jenismu,” imbuh sang ibu mewanti-wanti.Tidak kontak fisik dengan lawan jenis, menjaga pandangan, dan tidak boleh pacaran, hal yang berhasil diterapkan kepada Nahla, saudara seayah beda ibu.Namun, tidak dengan Max. Sejak remaja ia sudah bergaul dengan bebas, tidak ada yang memberinya ajaran-ajaran seperti yang dilakukan ibu tirinya. Ia dan ayahnya nyaris tidak ada bedanya, sebelum kedatangan ibunya yang mampu mengubah seluruh hidup ayahnya.Meski berhasil mengubah ayahnya dari seorang bajingan menjadi pria alim, tetapi tidak mudah mengubah Max menjadi relijius seperti Nahla yang sejak kecil dididik dengan ketat dan dikirim ke pesantren. Max dan adiknya bagaikan langit dan bumi, dan hal itu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi ibunya.Ibunya akan mengomel, menasehatinya panjang lebar setiap kali Max berhubungan dengan perempuan, melarangnya pacaran dan terus memintanya untuk segera menikah. Katanya, untuk menghindari dosa besar bernama zina, kalimat yang sudah ratusan kali didengarnya.Keesokan harinya, max benar-benar menemuinya. Ia melihat Masayu dari jarak yang begitu dekat, perempuan itu jauh lebih cantik dari yang dilihatnya dalam foto. Namun, lagi-lagi kecantikan tidak cukup untuknya.Hanya pada pertemuan pertama, Max sudah lamgsung dapat menyimpulkan dan yakin sekali, seterusnya mereka tidak akan cocok.Masayu benar-benar pemberontak seperti yang dikatakan kedua orang tuanya. Sikapnya menyebalkan dan sangat tidak bersahabat. Namun, satu hal yang menarik darinya, ia gemar menentang Max.Bersambung …part 4 “Mencintai suami orang? Busyet! Macam sudah tak ada pria lajang yang menarik saja,” decak Rayhan sembari tertawa ngakak. “Jangan-jangan karena dia ompong, jadi gak laku sampai-sampai suami orang pun diembatnya?”“Dia sudah tidak ompong,” balas Max, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lantas menyulutnya. “Dan cantik sekali.”Rayhan urung menyesap kopinya, ia menoleh, saling berpandangan dengan Dimas. “Kamu dengar itu, Dim?”“Dia sangat cantik,” gumam Dimas, keningnya berkerut dalam. “Baru kali ini aku mendengar Max memuji kecantikan seorang perempuan, tentunya selain ibunya.”“Aku tidak memuji,” bantah Max, “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”“Bianca juga cantik, tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Satu-satunya perempuan yang kamu sebut cantik hanyalah ibumu, dan sepertinya sekarang bertambah satu lagi.”Terdiam, Max menyesap rokoknya nikmat, lantas menghembuskan asapnya ke udara, membentuk pola abstrak sebelum kemudian memudar secara perlahan dan hilang. Sadar telah salah berucap, buru-buru ia meralatnya, “Sikapnya menyebalkan. Tidak ramah, dingin, dan jutek.”“Kurasa memang itulah yang menjadi daya tariknya, tentunya selain kecantikan parasnya.” Rayhan mengangkat cangkir kopinya. “Mari bersulang, Dim, kita harus mengucapkan selamat pada sahabat bejat kita.”“Kamu yang bejat!” maki Dimas. Rayhan terkekeh. "Max pria baik-baik."“Selamat untuk apa?” dengus Max. “Aku tidak sedang memenangkan lotre berhadiah besar.”“Selamat, kurasa perjodohan antara kamu dan Ayu akan berhasil. Entahlah, instingku sangat kuat, dan sejauh ini belum pernah meleset.”“Pria bebas seperti Max memang cocok dengan perempuan berkarakter seperti Ayu. Mari bertaruh, Ray, Max benar-benar akan dibuat jatuh cinta padanya.” Dimas ikut mengangkat cangkir kopinya, ia dan Rayhan bersulang sembari terkekeh.Benar yang dikatakan oleh Rayhan, menyebalkan justru menjadi daya tarik Masayu. Perempuan itu sangat tidak bersahabat, ia gemar menentang Max, melawan semua perintahnya, memprovokasi Max untuk menyulut kemarahannya.Dalam 35 tahun hidupnya, baru kali ini ada seorang perempuan yang begitu berani pada Max, menentang perintah-perintahnya, dan bersikap kurang ajar padanya.Hanya dari pertemuan pertama, Max sudah dapat menduga, perempuan itu tidak menyukai keberadaannya. Namun, justru itulah yang membuat Max memutuskan untuk menerima tawaran keluarga Himawan. Ia akan menjadi pengawal perempuan itu, mengendalikan kekeraskepalaannya akan menjadi sangat menyenangkan untuknya.***“Pe—pesantren? Yang benar saja, Ma!” teriak Masayu, nanar matanya menatap kedua orang tuanya dengan sorot sakit hati.Semarah-marahnya mereka, tidak disangkanya tega bermaksud membuangnya ke tempat antah-berantah yang jauh dari kehidupannya selama ini.Apakah orang tuanya berpikir, Masayu adalah anak kecil yang masih bisa dikendalikan sesukanya?Seorang pria tiba-tiba datang, mengaku sebagai pengawalnya. Sialnya, pria itu sangat menyebalkan, bukan jenis pengawal yang akan tunduk pada perintah Masayu, melainkan sebaliknya.Pria yang mengaku bernama Max itu justru memperlakukannya dengan keterlaluan. Alih-alih patuh kepada Masayu, ia justru bersikap penuh kuasa, seolah-olah memiliki hak untuk mengatur dan mengendalikan segala hidup Masayu.Kesal dan marah, tentunya ia tidak menerimanya begitu saja. Namun, protesnya justru ditanggapi dengan hal yang tak kalah mengejutkannya. Orang tuanya memberi dua pilihan tidak masuk akal.“Ya, pesantren. Pilihanmu hanya ada dua, terima Max jadi pengawalmu atau kami akan mengirimu ke pesantren,” jawab sang ayah tegas.“Aku tidak suka Max, Pa,” rengeknya, jusrus terakhir yang dimiliknya.Biasanya, ibunya akan luluh kalau ia sudah menampakkan wajah memelas dan merengek, meski usianya sudah tidak pantas lagi untuk melakukan trik tersebut, lantas ibunya yang akan meluluhkan ayahnya agar Masayu lolos dari hukuman apa pun.Namun, kali ini mereka benar-benar tidak bisa dibantah. Wajah ibunya yang selalu dinaungi kelembutan, kali ini tampak keruh dan tidak bersahabat. Sang ayah yang keras, semakin menampakkan ketegasannya.“Papa tidak memintamu menyukainya, Max hanya akan mengawalmu, mengawasi semua gerak-gerikmu agar tidak bertingkah memalukan lagi,” dengus sang ayah.“Pa—““Sudah, tidak usah banyak protes, atau sekarang juga kemasi barang-barangmu, Mama akan meminta Mang Dirman untuk membawamu ke pesantren! Tinggal di pelosok, renungi kesalahan-kesalahanmu di sana dan tobat!”Kekesalannya memuncak, tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Masayu hanya menatap masam mana kala Max kembali datang untuk mengawasinya. Pagi harinya seketika suram melihat wajah dingin pria itu telah tiba di meja makan, ikut sarapan bersama keluarganya.Masayu tahu, kedua orang tuanya sangat kecewa kepadanya, mereka mengabaikannya di meja makan. Dibanding mengajak Masayu bicara, mereka lebih suka ngobrol dengan Max, melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang dijawab singkat oleh Max.Hanya dalam dua hari kedatangan pria itu dalam hidupnya, Masayu merasa kehilangan banyak hal, termasuk perhatian orang tuanya, semakin menambah kebenciannya pada Max.“Titip Ayu, Max, dia perlu pengawasan ketat. Om tidak ingin terjadi sesuatu lagi padanya,” kata Budi Himawan. Masayu hanya memutar bola mata sembari menekuri sarapannya.“Jangan khawatir, Tuan, saya akan melakukan tugas saya sebaik mungkin.”“Jangan terlalu formal, Max, panggil saja om seperti sebelum-sebelumnya.”Muak, Masayu segera bangkit begitu menyelesaikan sarapannya. Namun, ayahnya berteriak, memintanya untuk menunggu Max.“Satu lagi, Yu, tinggalkan butikmu dan mulai belajar menggantikan Papa di perusahaan!” titahnya.“Papa tidak bisa memintaku meninggalkan semua yang kusukai!” bantahnya sengit. Menghentakkan kaki, Masayu mengabaikan mereka dan melangkah lebar-lebar.Ia telah kehilangan pria yang dicintai, satu-satunya yang disukainya kini hanyalah butik yang dibangunnya susah-payah, tidak akan dibiarkannya sang ayah mengambilnya juga.Namun, selebar apa pun langkahnya, ternyata masih juga bisa tersusul dengan mudah oleh langkah-langkah Max. Pria itu telah berjalan beberapa langkah mendahului Masayu, membukakan pinutu mobil untuknya.“Memang aku mengatakan padamu, kalau aku bersedia semobil denganmu?” ujarnya sembari mendengus dingin. “Minggir, aku akan pergi sendiri!”“Aku tidak menerima perintah dari seorang tawanan,” balasnya datar, tanpa ekspresi apa pun.“Tawanan, katamu?” Masayu memincingkan mata sengit. “Kamu hanyalah seorang pengawal yang digaji ayahku, sama saja kamu adalah pembantuku! Pembantu sudah selayaknya mematuhi perintah majikan!”“Sayang sekali, aku dibayar untuk tidak mematuhi perintahmu.”“Kurang aj—aw!” Masayu memekik keras, Max mendorongnya kasar masuk ke dalam mobil.Belum sempat Masayu memarahinya, dengan cepat pria itu menutup pintu mobil tepat di depan hidung Masayu, lantas berlari kecil dan menyusul masuk.Duduk tenang di balik kemudi, mengabaikan tatapan membunuh yang dilayangkan Masayu.Mimpi buruk, Max benar-benar mimpi buruknya. Hari-hari tenangnya akan segera berakhir oleh kedatangan pria kasar ini.Bersambung …Bukan sebab ayahnya yang kaya raya, bukan pula nama ibunya yang dikenal di kalangan sosialita, Masayu mengawali bisnisnya di bidang fashion murni atas kerja kerasnya sendiri.Bukan lulusan sekolah tata busana, kemampuannya dalam hal merancang busana tentunya diragukan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Mereka tidak setuju Masayu menjadi seorang desainer, terutama ayahnya.Masayu dipersiapkan sejak dini untuk menjadi penerus perusahaan sementara hingga adiknya dewasa, tetapi ia lebih memilih mengejar impiannya sendiri, mengawalinya dari nol di mana ia tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun.Ia sering menawarkan jasanya kepada teman-teman ibunya di kalangan sosialita, memperlihatkan desain rancangannya, tetapi sering pula penolakan yang didapatnya. Mereka meragukan rancangan Masayu.Tidak menyerah, ia terus berkarya, menciptakan desain-desain yang kreatif.Nasib baiknya datang ketika ia memberikan ha
Berbalik 180 derajat sikapnya mana kala menyambut Max keluar dari ruang kerja Budi Himawan.Tangisnya yang sesenggukan musnah tak tersisa, air matanya palsunya entah pergi ke mana. Ia melipat kedua tangan ke dada sembari memasang sikap angkuh yang sangat menjengkelkan, bibirnya mengulas senyuman ejekan, merasa telah berhasil membuat Max dalam masalah besar.“Bagaimana? Apakah Papa sudah berkenan memecatmu setelah menyakiti putri kesayangannya?” ujarnya dengan mimik penuh kemenangan.Max mendengus keras, sudah menduga, ratu drama ini sedang berusaha menyingkirkannya dengan cara yang sangat kekanakan.“Kamu sungguh kekanakan,” dengus Max, tajam matanya menatap Masayu, seolah siap menghunus jantung perempuan itu dan membuatnya sekarat.Masayu tampak sangat menyebalkan, Max menahan diri untuk tidak mencekiknya hingga kehabisan napas.“Persetan, aku tidak peduli, yang terpenting aku bisa menyngkirkanmu.” Masay
“Mencintai suami orang? Busyet! Macam sudah tak ada pria lajang yang menarik saja,” decak Rayhan sembari tertawa ngakak. “Jangan-jangan karena dia ompong, jadi gak laku sampai-sampai suami orang pun diembatnya?”“Dia sudah tidak ompong,” balas Max, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lantas menyulutnya. “Dan cantik sekali.”Rayhan urung menyesap kopinya, ia menoleh, saling berpandangan dengan Dimas. “Kamu dengar itu, Dim?”“Dia sangat cantik,” gumam Dimas, keningnya berkerut dalam. “Baru kali ini aku mendengar Max memuji kecantikan seorang perempuan, tentunya selain ibunya.”“Aku tidak memuji,” bantah Max, “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”“Bianca juga cantik, tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Satu-satunya perempuan yang kamu sebut cantik hanyalah ibumu, dan sepertinya sekarang bertambah satu lagi.”Terdiam, Max menyesap rokoknya nikmat, lantas menghembuskan asapnya ke udara, membe
Tawa Ivander menyembur keras, puas sekali ia menertawakan kekesalan adik sepupunya.Jengkel, Masayu mendelik tajam sembari melemparinya bantal sofa, merasa percuma menceritakan kedongkolannya pada Ivander.Pria itu sedang berbahagia, sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dicintainya. Dunianya di sekitarnya terasa berwarna, mana mungkin dapat melihat keruh wajah Masayu.“Dia bajingan bukan? Pokoknya kamu harus membantuku menyingkirkan dia. Bayangan, Van, bayangkan! Dia bilang ke Papa aku mabuk dan menggodanya, Ya Tuhan! Bedebah itu bilang, tidak tertarik padaku meski aku sangat cantik dan menggoda, dia tidak mau meladeni sebab memegang teguh ajaran ibunya untuk menghormati perempuan. Cih, sok alim! Aku harus cari kebobrokannya, aku yakin dia tidak sealim itu!”“Max memang tidak suci, tapi bukan pria bajingan seperti yang kamu tuduhkan.” Tawa Ivander memelan, ia sampai batuk-batuk menertawakan adik sepupunya. “Mungkin memang kamu yang tidak menarik di matanya.”“Sialan kamu,
Butik selalu sepi ketika pagi hari, untuk itu, Masayu sengaja datang terlambat, toh tidak ada sesuatu yang mendesak.Sebenarnya Masayu tidak perlu datang ke butik setiap hari, kecuali untuk bertemu dengan klien secara khusus, sudah ada asisten dan karyawan butik yang dapat menghandel segalanya.Namun, terbiasa berjuang dan bekerja keras sejak awal, ia tidak bisa membiarkan semua urusan ditangani orang lain.Masayu lebih senang mengerjakan banyak hal sendiri, termasuk menemui para tamu yang datang ke butik. Ia sering turun tangan langsung untuk melayani para tamu, ketika karyawannya sedang istirahat.Pukul 10 pagi, ia baru tiba di butik setelah mengerjai Max habis-habisan. Wajahnya berseri-seri, sarat akan kepuasan. Mungkin ibunya akan mengomelinya setelah menyadari perbuatannya, tetapi Masayu tidak peduli, yang terpenting ia berhasil membuat Max kesal setengah mati.Bunyi gemericik air shower terdengar dari kamar mandi. Masayu cekikikan puas. Max sedang mandi di kamar mandi butiknya s
Kehidupan di kalangan orang-orang beruang, tidak selamanya seindah dalam novel-novel yang dibaca Masayu semaja remaja.Suami tampan dan setia, uang yang mengalir bak air bah, hidup bahagia dan penuh kasih sayang. Sangat sempurna untuk sebuah dongeng, tetapi tidak dalam kehidupan realita.Nyatanya, selain para selebriti yang memang membutuhkan sebagai penunjang penampilan, orang-orang yang datang ke butik Masayu banyak juga dari kalangan para sosialita yang kesepian, salah satunya Tante MirnaSudah dua tahun Tante Mirna menjadi pelanggan tetap, boleh dibilang ia merupakan pelanggan sejak Masayu masih berjuang, belum mendirikan butik seperti sekarang. Tante Mirna cukup dekat dengannya dan sering mengeluhkan hidupnya yang dirasa sangat tidak adil.Suaminya kaya raya, tetapi tidak setia. Setahun terakhir, Tante Mirna terlibat perang dingin dengan suaminya, mereka hidup seatap tetapi bak orang asing yang tidak saling mengenal.Tante Mirna sangat kecewa dengan suaminya setelah perselingkuha
“Max minta ijin, besok tidak akan mengawalmu, katanya akan menemani ibunya mengunjungi adiknya di pesantren,” kata Himawan.Bak madu, Masayu mengula senyuman. Ia mengangkat kepala dari sketsa gambar yang sedang dikerjakannya. “Baguslah, ijin selamanya juga tidak apa-apa.”“Kakmu kedengarannya sangat senang, Yu,” balas Himawan masam. “Katanya mau memperbaiki sikapmu padanya?”“Aku tidak suka Max, Pa, dia sangat menyabalkan.”“Yang kamu sebut menyebalkan itu adalah calon suamimu, Yu.”“Papa sedang mengajakku bercanda? Tumben sekali, biasanya Papa selalu serius. Mama aja dibikin cepat tua punya suami gak pernah bisa diajak guyon.”Himawan bergerak, menjitak kepala putrinya gemas. “Siapa yang bercanda? Papa sama Om Lucas sudah sepakat akan menjodohkan kalian.”Mengaduh, Masayu meletakkan pensil di tangannya, lantas menatap sang ayah dengan sorot ngeri. “Itu gak bener, kan?”“Tanya saja sama Max, kalau kamu tidak percaya.”Ayahnya sudah pasti mengira Masayu akan menjerit histeris,
Pesantren adalah dunia yang sangat asing baginya, Masayu lebih memilih kabur dibanding harus menuruti kemauan ayahnya untuk tinggal di sana.Terjadi drama terlebih dahulu antara Masayu dan ibunya. Masayu mengira akan disuruh tinggal di pesantren, ia marah-marah, merayu ibunya, bahkan meratap, menolak pergi.Melihat pakaian-pakaian muslimah baru yang dibeli ibunya, sudah tertata rapi di dalam koper, Masayu benar-benar cemas luar biasa. Tidak dapat membayangkan hidupnya di tempat asing dan suasana yang asing pula.Merengek, Masayu merayu ibunya untuk mengurungkan niatnya. Adiknya yang sangat menyebalkan pun ikut-ikutan menakut-nakuti. Menurut Gio, pesantren adalah tempat yang mirip dengan penjara, di mana kebebasan Masayu benar-benar direnggut.Selain tidak boleh melihat dunia luar, Masayu jugs tidak diperbolehkan membawa ponsel dan alat elektronik lainnya. Membayangkan harus hidup tanpa ponselnya saja, Masayu sudah ketakutan setengah mati.“Ma, butikku bagaimana? Pelangganku bagaimana?
Ada yang berbeda dalam hidup Max, dalam lima hari ini terasa seperti ada yang hilang.Sementara yang dimaksud Milka ternyata hingga batas waktu yang tidak dapat dipastikan. Masayu masih belum kembali, ayahnya beberapa kali menghubungi Max, menanyakan keberadaannya. Namun, Max sama tidak tahunya.“Tante bilang, Ayu hanya butuh waktu menyendiri, Om. Memang Tante tidak bilang sama Om kalau sudah bertemu Ayu?”Semakin ia merasa ada yang disembunyikan perempuan itu, mana kala mendapat jawaban Himawan. Milka tidak mengatakan apa-apa pada suaminya.“Om akan menanyakannya nanti. Milka benar, kita tidak perlu berlebihan mencemaskan Ayu, dia hanya sedang merajuk, nanti juga akan kembali.”“Tapi ini sudah lima hari, Om.”“Tidak apa-apa, Max, anak itu sudah dewasa, ibunya juga sudah mengatakan dia baik-baik saja.”Mungkin memang hanya perasaan Max saja yang berlebihan, ayah dan ibunya Ma
Masayu hanya perlu waktu sebentar untuk menyendiri. Namun, tak urung ia tetap resah memikirkannya.Semalam suntuk Max tidak dapat tidur, mencari Masayu ke sana-kemari.Max baru akan datang ke kantor keesokan paginya, meminta bantuan kedua temannya untuk ikut melacak keberadaan Masayu, tetapi Milka sudah meneleponnya terlebih dahulu, memintanya berhenti mencari.“Tante sudah bicara dengannya, dia baik-baik saja,” katanya. “Tidak apa-apa, Max, tidak usah mencarinya lagi.”Ya, Max tidak perlu mencarinya, harusnya ia lega mendengar perempuan itu baik-baik saja. Namun, entah mengapa hatinya justru sebaliknya.Insting Max yang tajam mencium sesuatu yang tidak beres, hanya dengan mendengar nada suara Milka. Alih-alih kelegaan, suara perempuan itu justru seperti seorang yang sedang dilanda ketakutan.Max kian resah, ia belum bisa percaya sebelum melihatnya secara langsung.“Apakah dia sud
Rumah yang sudah 27 tahun ditempatinya, tak lagi memberikan kenyamanan. Segala kehangatan di dalamnya seolah lenyap begitu saja tanpa bekas.Hari-harinya penuh dengan perdebatan panas yang ikut memanaskan kepalanya sebab tersulut oleh amarah, membuatnya tidak betah berlama-lama di rumah.Taka da lagi tempat yang dirasanya nyaman. Di butik, ada Max yang keberadaannya sangat tidak ia harapkan. Sementara di rumah pun tak lagi menawarkan kenyamanan.Sebagaimana hari-hari sebelumnya, malam itu perdebatan sengit antara ia dan ayahnya, kembali pecah.Jika sebelum-sebelumnya duduk permasalahannya adalah keberatan Masayu yang merasa terkekang, kehadiran Max membuatnya merasa tidak diberi ruang kebebasan sama sekali, maka kali ini masalahnya lebih serius.Ayahnya baru saja kedatangan tamu yang tak lain adalah Lucas, ayahnya Max. Mereka mengobrol lama, rupanya sedang membicarakan perjodohan antara Masayu dan Max.
Sudah waktunya mereka saling bicara untuk memperbaiki hubungan, terlebih Larissa telah menjadi kakak sepupunya.Selain belum berani, selama ini Masayu sengaja memberi waktu Larissa agar siap. Perempuan itu menjadi orang yang paling terluka, hubungannya dengan Masayu pun merenggang, tentunya tidak mudah membuatnya serta-merta dapat menerima permintaan maaf Masayu. Malam itu, usai ijab qobul pernikahan Larissa dengan Ivander, ia memberanikan diri meminta waktu pada Ivander untuk mengajak Larissa bicara.Jantungnya berdetak kencang, tangannya terasa dingin, sejujurnya ia gugup dan takut, khawatir Larissa akan menamparnya, lantas mentah-mentah menolak permintaan maafnya.Sepenuhnya sadar, kesalahan Masayu terlalu besar, ia membuat perempuan itu kehilangan suami, Malik dan Larissa bercerai sebab Masayu, wajar seandainya Larissa menolak permintaan maafnya.Menarik napas, lantas menghembuskannya, demikian hingga berkali
Nama Malik kembali mencuat ke permukaan, membangkitkan kesedihannya.Pertunangan mereka telah kandas, kedua orang tuanya tidak merestui hubungannya dengan Malik. Hubungan mereka memang salah, tapi biar bagaimanapun, pria itu masih mendiami hatinya.Meski telah bertekad mengakhiri dan melupakan, tetapi tidak mudah mengenyahkan sosoknya begitu saja, terlebih Malik merupakan cinta pertamanya, satu-satunya pria yang berhasil membuat Masayu merasakan jatuh cinta.Mendengar namanya, mampu membangkitkan kesedihannya. Bertemu dengan orang yang memiliki hubungan erat dengan pria itu, membuat Masayu kembali mengingatnya.Malik pernah bercerita, ibunya sudah tua dan tinggal sendirian di desa yang sangat jauh dari ibukota.Pria itu pernah mengutarakan keinginannya untuk membawa istrinya dan mengajaknya hidup sederhana, kala itu Masayu belum tahu Malik telah memiliki seorang istri.Ia beranggapan, istri yan
“Ahmad masih suka pacaran, masih hobi mabuk-mabukan juga?” tuntut Eyang Hasna. Perempuan itu menatap Max dan Masayu bergantian.“Mabuknya sudah sembuh, tapi pacarnya ada di mana-mana,” jawab ibunya, mewakili.“Tidak, Eyang,” ralatnya kalem. “Aku tidak pernah pacaran.”“Lha, itu, yang bolak-balik ganti itu namanya apa?”“Teman kencan, Ma, beda sama pacaran.”“Intinya sama saja, sama-sama jalan dengan perempuan yang bukan mahramu,” gerutu ibunya.Eyang Hasna mengibaskan tangan, lantas memijat keningnya yang berdenyut. Max memang menjadi masalah serius dalam keluarga mereka, tidak mudah mengubahnya menjadi pria alim seperti ayahnya. “Bilang sama Abah Ulil, Lys, untuk segera menikahkan mereka.”“Eyang, tadi itu beneran tidak ada apa-apa, kok, bukan sebuah kesengajaan. Max hanya berusaha menolongku,” ulang Masayu, entah yang ke berapa, tetapi mereka tidak mau mendengar penjelasannya. Berpel
Tidak seburuk yang dibayangkannya, meski jauh berbeda denga kehidupannya di Jakarta, tinggal di pesantren cukup menyenangkan.Hari ketiga tinggal di Batang, Masayu sudah cukup memahami kondisi sekitarnya. Kampung relijius, demikian ia menyebut tempat itu.Sepanjang penglihatannya, Masayu mendapati semua perempuan berjilbab, tentunya kecuali anak-anak. Penduduknya juga sangat ramah saling menyapa, termasuk kepada Masayu meski tidak mengenal.Dalam tiga hari, ia banyak diajak mengunjungi saudara-saudara Tante Lysa. Batang benar-benar indah, suasana pedesaan yang kental sangat disukainya, sejuk dengan pemandangan yang eksotis.Masayu suka bangun pagi-pagi sekedar untuk melihat kabut yang menutupi hamparan perkebunan teh yang menjadi pemandangan ketika ia membuka jendela kamarnya, terlebih kala senja, ia dapat menyaksikan matahari terbenam yang sangat indah. Seketika, Masayu dibuat jatuh cinta.Tante Lysa sengaja mem
Senyuman Umik Salma dan Tante Lysa mengembang lebar, melihat kemunculan Masayu bersama Nahla.Malu-malu, Masayu ikut bergabung bersama mereka, penampilan barunya membuatnya semakin memancarkan aura kecantikannya.Dibalut gamis panjang yang dibelinya bersama Nahla dan Max, Masayu memadukan penampilannya dengan jilbab warna senada. Nahla mengajarinya cara menggunakan jilbab, simpel, hanya jilbab segitiga yang dijepit menggunakan peniti.Masih belum sempurna, tetapi sudah cukup baik untuk seseorang yang sepanjang 27 tahun hidupnya belum pernah mengenakan jilbab.Dengan penampilannya, Masayu merasa menyatu dengan lingkungan sekitar, tidak lagi merasa menjadi alien yang baru turun ke bumi.“Ayu cantik sekali, Nduk,” kata Umik Salma. Perempuan tua yang lemah lembut itu tersenyum, mengaguminya, Masayu tersipu malu.Seluruh keluarga Tante Lysa memiliki cara yang unik menegur seseorang. Mereka tidak menegurny
Malu, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya meski keluarga Tante Lysa tidak mengatakan apa-apa.Mengenakan celana jeans yang menjadi pakaian sehari-harinya, dipadukan dengan kaos longgar, sementara rambutnya yang sebahu diekor kuda, penampilan paling sopan yang pernah diperlihatkannya. Namun, tetap saja, di tempat itu Masayu merasa penampulannya sangat terbuka.Lingkungan di sekitarnya jauh berbeda dengan di Jakarta. Di sini, jangankan perempuan dewasa, anak-anak SD pun semuanya mengenakan pakaian tertutup, dari ujung kepala hingga ujung kaki.Eyang Hasna tidak mengatakan apa-apa, demikian pula dengan Tante Lysa, mereka mengobrol banyak di rumah, ramah menanyainya banyak hal. Eyang Hasna sangat baik, lembut seperti Tante Lysa, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal penampilannya yang tidak wajar di sana.Menjelang sore, Tante Lysa mengajak Masayu berkunjung ke rumah Abah Ulil. Tidak lebih dari 100 meter dari rumah Eyang Hasna, Masayu bersama perempuan itu berjalan kaki. Namun, r