Tawa Ivander menyembur keras, puas sekali ia menertawakan kekesalan adik sepupunya.
Jengkel, Masayu mendelik tajam sembari melemparinya bantal sofa, merasa percuma menceritakan kedongkolannya pada Ivander.Pria itu sedang berbahagia, sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dicintainya. Dunianya di sekitarnya terasa berwarna, mana mungkin dapat melihat keruh wajah Masayu.“Dia bajingan bukan? Pokoknya kamu harus membantuku menyingkirkan dia. Bayangan, Van, bayangkan! Dia bilang ke Papa aku mabuk dan menggodanya, Ya Tuhan! Bedebah itu bilang, tidak tertarik padaku meski aku sangat cantik dan menggoda, dia tidak mau meladeni sebab memegang teguh ajaran ibunya untuk menghormati perempuan. Cih, sok alim! Aku harus cari kebobrokannya, aku yakin dia tidak sealim itu!”“Max memang tidak suci, tapi bukan pria bajingan seperti yang kamu tuduhkan.” Tawa Ivander memelan, ia sampai batuk-batuk menertawakan adik sepupunya. “Mungkin memang kamu yang tidak menarik di matanya.”“Sialan kamu, Van! Aku tahu kamu teman baiknya, tapi tidak usah menutup-nutupi keburukannya. Dia kuliah di LN, kan? Aku yakin banget, pasti pergaulannya pun ancur. Free sex, mabuk, atau jangan-jangan dia juga ngobat. Dih, Papa harus tahu, pria seperti apa yang dipercaya sepenuhnya untuk menjaga putri terkasihnya!”“Sudahlah, Yu, kamu terlalu berlebihan. Aku berani menjamin, dia nggak seneng mabuk, apa lagi ngobat. Gila, otakmu bener-bener kelewatan mikir sejauh itu! Kalau free sex, aku tidak tahu, itu urusan pribadinya, bukan hakku mengorek-oreknya. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, dia beneran menghormati perempuan, Yu. Kepada ibu dan adik perempuannya, Max sangat menyayangi, tidak menutup kemungkinan pada perempuan lain pun demikian.”Masayu mendesah sebal, bicara dengan Ivander sama sekali tidak berhasil mengorek rahasia Max. Alih-alih kebrobrokan yang dicarinya, Masayu justru mendapatkan infomasi prositif tentangnya yang sama sekali tidak ingin diketahuinya.“Terus, gimana, dong? Bantuin mikirin cara buat menyingkirkan dia, dong!” keluhnya kesal. “Aku tidak mau ke mana-mana diawasi olehnya.”“Buat apa disingkirkan, harusnya kamu bersyukur mendapatkan pengawalan dari pria seperti Max. Dia sudah pasti akan menjagamu dengan baik, Yu.”“Baik bagaimana, Van? Kamu belum pernah merasakan rasanya pengen mencekik seseorang karena sikapnya yang menyebalkan! Max jauh dari kata baik seperti yang kamu katakan. Kalau dia baik, aku tidak akan sepusing ini memikirkan cara untuk menyingkirkannya. Sumpah, aku beneran sangat membencinya!”Ivander tertawa, sama sekali tidak merasa bersimpati dengan penderitaan Masayu. Ia justru menganggapnya keluhan tidak serius, padahal Masayu benar-benar ekstra keras ingin agar Max segera enyah dari kehidupannya.“Jangan terlalu membenci, Yu. Ingat, batas antara benci dan cinta itu sangat tipis. Bisa-bisa kamu berubah mencintainya, syukur kalau Max juga balas mencintaimu, kalau hanya sepihak?” Ivander meletakkan miring jarinya ke kening. “Bisa-bisa kamu patah hati, stres, lalu lama-lama bunuh diri.”“Amit-amit!” rutuknya.“Makanya, terima saja. Anggap saja Max adalah berkah, dia bisa kamu suruh-suruh membawa belanjaanmu ke sana-kemari.” Ivander tegelak keras. “Kalau perlu, kamu pergi ke pasar belanja sayuran setruk dan minta Max membawakannya.”Mendadak, Masayu mendapat ide untuk membuat pria itu kesal. Menjadikan Max sebagai kacung untuk membawakan belanjaannya, mengapa tidak?Masayu tersenyum senang, ia akan sering-sering membuat Max kesusahan. Salah sendiri, diberi pilihan mudah untuk meninggalkannya, justru memilih tetap bertahan.***“Max mana? Tumben jam segini belum datang?” tanyanya. Kedua orang tuanya mengernyitkan kening, heran dengan sikapnya yang tidak biasa.“Tumben sekali kamu mencari Max,” heran ayahnya. “Biasanya selalu pasang muka asem setiap melihat kedatangannya.”“Kurasa aku harus memperbaiki sikapku padanya, Pa,” katanya manis, memulai rencananya. “Hari ini aku akan ke butik seperti biasa, agak siangan akan mengajak Max belanja sekaligus makan siang. Aku ingin membelikan beberapa barang untuknya sebagai permintaan maaf atas sikapku kemarin.”“Baguslah. Baik-baik sama Max, dia yang akan menjagamu. Dan satu hal lagi, kamu harus selalu menurut pada perintahnya, dia melakukannya untuk kebaikanmu.”“Oke, Pa.”“Dia sebentar lagi datang, Papa harap kamu menjaga sikap. Jangan pernah menyentuh minuman keras lagi, Papa tidak ingin kamu mempermalukan diri di depan Max. Untung Max pria baik-baik, kalau saja bukan, bisa jadi dia sudah mengambil keuntungan darimu.”Dasar bedebah! maki Masayu dalam hati. Ayahnya benar-benar percaya, bajingan itu pria baik-baik yang menghormati perempuan. Pasti aktingnya sangat jago sehingga mampu meyakinkan ayahnya dan meraih kepercayaan besar pria itu.Lihat saja, Masayu akan membuat pria itu kehilangan kepercayaan ayahnya. Ia harus menunjukkan pada ayahnya, bahwa Max sama sekali tidak pantas mendapat kepercayaan untuk mengendalikan Masayu. Enak saja!***Mengenakan heels merah menyala dan rok mini warna senada, ia berjalan melenggak-lenggok, sengaja dibuat-buat.Riasannya sangat menor, lipstick merah menyala memoles bibirnya yang menyunggingkan senyuman menggoda, jauh dari penampilan sehari-harinya. Sikapnya terkesan seperti perempuan nakal.Max yang sedang duduk bersama adik dan ayah Masayu, menunggu perempuan itu untuk pergi ke butik seperti biasa, hanya mengangkat sebelah alis, sama sekali tidak terkejut dengan penampilan jalangnya. Justru Milka dan Hemawan yang dibuat ternganga. “Apa-apaan kamu ini, Masayu Anastasia! Ganti bajumu!” Milka mendelik dan berteriak memarahinya, lantas perempuan itu menoleh pada Max, memintanya agar tidak menatap putrinya.“Kak Ayu seperti jalang yang sedang mencari pelanggan di pinggir jalan,” komentar Gio, adiknya yang masih remaja. Bocah itu mengangkat kepala dari layar ponsel dalam genggamannya dan berdecak tidak habis pikir.“Aku sedang ingin menggoda seseorang, Gio Sayang,” balasnya santai. “Ingin tahu sealim apa orang itu sampai-sampai kebal terhadap pesona seorang perempuan.”“Memang ada yang tidak tertarik pada perempuan secantik Kak Ayu? Ah, pasti dia tidak normal, atau bego, matanya udah buta.”“Adikku sungguh pintar!” Masayu mengacak rambut Gio kasar sembari tertawa keras, remaja itu segera memprotes. “Sayangnya aku lebih berpikir dia hanya pura-pura alim.”“Ayu!” jerit ibunya. “Ganti! Pakaian macam apa ini, hah! Seperti kekurangan bahan saja, Mama tidak pernah mengajarimu berpakaian tidak sopan seperti ini!”Bangkit, Milka menyeret lengan putrinya dan membawanya masuk ke dalam kamarnya.“Hapus juga riasanmu itu, kamu sudah mirip seperti perempuan nakal! Jangan berpikir akan menggoda Max lagi, Mama tidak akan membiarkan putri Mama bersikap seperti perempuan murahan!”“Kak Ayu lagi berusaha menggoda Bang Max, Pa?” tanya Gio, menatap bergantian pada Max dan ayahnya. “Wah, tidak bener ini. Bang Max harus hati-hati, dia paling jago soal menggoda pria. Rumah tangga orang aja bisa dikacaukan sama kedipan matanya.”Himawan menggeleng-gelengkan kepala. Omelan panjang istrinya terdengar dari dalam kamar putrinya disertai gerutuan Masayu."Om percaya, kamu bisa menjaganya dengan baik, Max, tidak akan terpengaruh dengan sikapnya yang kadang suka seenaknya sendiri.”Bersambung …Butik selalu sepi ketika pagi hari, untuk itu, Masayu sengaja datang terlambat, toh tidak ada sesuatu yang mendesak.Sebenarnya Masayu tidak perlu datang ke butik setiap hari, kecuali untuk bertemu dengan klien secara khusus, sudah ada asisten dan karyawan butik yang dapat menghandel segalanya.Namun, terbiasa berjuang dan bekerja keras sejak awal, ia tidak bisa membiarkan semua urusan ditangani orang lain.Masayu lebih senang mengerjakan banyak hal sendiri, termasuk menemui para tamu yang datang ke butik. Ia sering turun tangan langsung untuk melayani para tamu, ketika karyawannya sedang istirahat.Pukul 10 pagi, ia baru tiba di butik setelah mengerjai Max habis-habisan. Wajahnya berseri-seri, sarat akan kepuasan. Mungkin ibunya akan mengomelinya setelah menyadari perbuatannya, tetapi Masayu tidak peduli, yang terpenting ia berhasil membuat Max kesal setengah mati.Bunyi gemericik air shower terdengar dari kamar mandi. Masayu cekikikan puas. Max sedang mandi di kamar mandi butiknya s
Kehidupan di kalangan orang-orang beruang, tidak selamanya seindah dalam novel-novel yang dibaca Masayu semaja remaja.Suami tampan dan setia, uang yang mengalir bak air bah, hidup bahagia dan penuh kasih sayang. Sangat sempurna untuk sebuah dongeng, tetapi tidak dalam kehidupan realita.Nyatanya, selain para selebriti yang memang membutuhkan sebagai penunjang penampilan, orang-orang yang datang ke butik Masayu banyak juga dari kalangan para sosialita yang kesepian, salah satunya Tante MirnaSudah dua tahun Tante Mirna menjadi pelanggan tetap, boleh dibilang ia merupakan pelanggan sejak Masayu masih berjuang, belum mendirikan butik seperti sekarang. Tante Mirna cukup dekat dengannya dan sering mengeluhkan hidupnya yang dirasa sangat tidak adil.Suaminya kaya raya, tetapi tidak setia. Setahun terakhir, Tante Mirna terlibat perang dingin dengan suaminya, mereka hidup seatap tetapi bak orang asing yang tidak saling mengenal.Tante Mirna sangat kecewa dengan suaminya setelah perselingkuha
“Max minta ijin, besok tidak akan mengawalmu, katanya akan menemani ibunya mengunjungi adiknya di pesantren,” kata Himawan.Bak madu, Masayu mengula senyuman. Ia mengangkat kepala dari sketsa gambar yang sedang dikerjakannya. “Baguslah, ijin selamanya juga tidak apa-apa.”“Kakmu kedengarannya sangat senang, Yu,” balas Himawan masam. “Katanya mau memperbaiki sikapmu padanya?”“Aku tidak suka Max, Pa, dia sangat menyabalkan.”“Yang kamu sebut menyebalkan itu adalah calon suamimu, Yu.”“Papa sedang mengajakku bercanda? Tumben sekali, biasanya Papa selalu serius. Mama aja dibikin cepat tua punya suami gak pernah bisa diajak guyon.”Himawan bergerak, menjitak kepala putrinya gemas. “Siapa yang bercanda? Papa sama Om Lucas sudah sepakat akan menjodohkan kalian.”Mengaduh, Masayu meletakkan pensil di tangannya, lantas menatap sang ayah dengan sorot ngeri. “Itu gak bener, kan?”“Tanya saja sama Max, kalau kamu tidak percaya.”Ayahnya sudah pasti mengira Masayu akan menjerit histeris,
Pesantren adalah dunia yang sangat asing baginya, Masayu lebih memilih kabur dibanding harus menuruti kemauan ayahnya untuk tinggal di sana.Terjadi drama terlebih dahulu antara Masayu dan ibunya. Masayu mengira akan disuruh tinggal di pesantren, ia marah-marah, merayu ibunya, bahkan meratap, menolak pergi.Melihat pakaian-pakaian muslimah baru yang dibeli ibunya, sudah tertata rapi di dalam koper, Masayu benar-benar cemas luar biasa. Tidak dapat membayangkan hidupnya di tempat asing dan suasana yang asing pula.Merengek, Masayu merayu ibunya untuk mengurungkan niatnya. Adiknya yang sangat menyebalkan pun ikut-ikutan menakut-nakuti. Menurut Gio, pesantren adalah tempat yang mirip dengan penjara, di mana kebebasan Masayu benar-benar direnggut.Selain tidak boleh melihat dunia luar, Masayu jugs tidak diperbolehkan membawa ponsel dan alat elektronik lainnya. Membayangkan harus hidup tanpa ponselnya saja, Masayu sudah ketakutan setengah mati.“Ma, butikku bagaimana? Pelangganku bagaimana?
Malu, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya meski keluarga Tante Lysa tidak mengatakan apa-apa.Mengenakan celana jeans yang menjadi pakaian sehari-harinya, dipadukan dengan kaos longgar, sementara rambutnya yang sebahu diekor kuda, penampilan paling sopan yang pernah diperlihatkannya. Namun, tetap saja, di tempat itu Masayu merasa penampulannya sangat terbuka.Lingkungan di sekitarnya jauh berbeda dengan di Jakarta. Di sini, jangankan perempuan dewasa, anak-anak SD pun semuanya mengenakan pakaian tertutup, dari ujung kepala hingga ujung kaki.Eyang Hasna tidak mengatakan apa-apa, demikian pula dengan Tante Lysa, mereka mengobrol banyak di rumah, ramah menanyainya banyak hal. Eyang Hasna sangat baik, lembut seperti Tante Lysa, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal penampilannya yang tidak wajar di sana.Menjelang sore, Tante Lysa mengajak Masayu berkunjung ke rumah Abah Ulil. Tidak lebih dari 100 meter dari rumah Eyang Hasna, Masayu bersama perempuan itu berjalan kaki. Namun, r
Senyuman Umik Salma dan Tante Lysa mengembang lebar, melihat kemunculan Masayu bersama Nahla.Malu-malu, Masayu ikut bergabung bersama mereka, penampilan barunya membuatnya semakin memancarkan aura kecantikannya.Dibalut gamis panjang yang dibelinya bersama Nahla dan Max, Masayu memadukan penampilannya dengan jilbab warna senada. Nahla mengajarinya cara menggunakan jilbab, simpel, hanya jilbab segitiga yang dijepit menggunakan peniti.Masih belum sempurna, tetapi sudah cukup baik untuk seseorang yang sepanjang 27 tahun hidupnya belum pernah mengenakan jilbab.Dengan penampilannya, Masayu merasa menyatu dengan lingkungan sekitar, tidak lagi merasa menjadi alien yang baru turun ke bumi.“Ayu cantik sekali, Nduk,” kata Umik Salma. Perempuan tua yang lemah lembut itu tersenyum, mengaguminya, Masayu tersipu malu.Seluruh keluarga Tante Lysa memiliki cara yang unik menegur seseorang. Mereka tidak menegurny
Tidak seburuk yang dibayangkannya, meski jauh berbeda denga kehidupannya di Jakarta, tinggal di pesantren cukup menyenangkan.Hari ketiga tinggal di Batang, Masayu sudah cukup memahami kondisi sekitarnya. Kampung relijius, demikian ia menyebut tempat itu.Sepanjang penglihatannya, Masayu mendapati semua perempuan berjilbab, tentunya kecuali anak-anak. Penduduknya juga sangat ramah saling menyapa, termasuk kepada Masayu meski tidak mengenal.Dalam tiga hari, ia banyak diajak mengunjungi saudara-saudara Tante Lysa. Batang benar-benar indah, suasana pedesaan yang kental sangat disukainya, sejuk dengan pemandangan yang eksotis.Masayu suka bangun pagi-pagi sekedar untuk melihat kabut yang menutupi hamparan perkebunan teh yang menjadi pemandangan ketika ia membuka jendela kamarnya, terlebih kala senja, ia dapat menyaksikan matahari terbenam yang sangat indah. Seketika, Masayu dibuat jatuh cinta.Tante Lysa sengaja mem
“Ahmad masih suka pacaran, masih hobi mabuk-mabukan juga?” tuntut Eyang Hasna. Perempuan itu menatap Max dan Masayu bergantian.“Mabuknya sudah sembuh, tapi pacarnya ada di mana-mana,” jawab ibunya, mewakili.“Tidak, Eyang,” ralatnya kalem. “Aku tidak pernah pacaran.”“Lha, itu, yang bolak-balik ganti itu namanya apa?”“Teman kencan, Ma, beda sama pacaran.”“Intinya sama saja, sama-sama jalan dengan perempuan yang bukan mahramu,” gerutu ibunya.Eyang Hasna mengibaskan tangan, lantas memijat keningnya yang berdenyut. Max memang menjadi masalah serius dalam keluarga mereka, tidak mudah mengubahnya menjadi pria alim seperti ayahnya. “Bilang sama Abah Ulil, Lys, untuk segera menikahkan mereka.”“Eyang, tadi itu beneran tidak ada apa-apa, kok, bukan sebuah kesengajaan. Max hanya berusaha menolongku,” ulang Masayu, entah yang ke berapa, tetapi mereka tidak mau mendengar penjelasannya. Berpel
Ada yang berbeda dalam hidup Max, dalam lima hari ini terasa seperti ada yang hilang.Sementara yang dimaksud Milka ternyata hingga batas waktu yang tidak dapat dipastikan. Masayu masih belum kembali, ayahnya beberapa kali menghubungi Max, menanyakan keberadaannya. Namun, Max sama tidak tahunya.“Tante bilang, Ayu hanya butuh waktu menyendiri, Om. Memang Tante tidak bilang sama Om kalau sudah bertemu Ayu?”Semakin ia merasa ada yang disembunyikan perempuan itu, mana kala mendapat jawaban Himawan. Milka tidak mengatakan apa-apa pada suaminya.“Om akan menanyakannya nanti. Milka benar, kita tidak perlu berlebihan mencemaskan Ayu, dia hanya sedang merajuk, nanti juga akan kembali.”“Tapi ini sudah lima hari, Om.”“Tidak apa-apa, Max, anak itu sudah dewasa, ibunya juga sudah mengatakan dia baik-baik saja.”Mungkin memang hanya perasaan Max saja yang berlebihan, ayah dan ibunya Ma
Masayu hanya perlu waktu sebentar untuk menyendiri. Namun, tak urung ia tetap resah memikirkannya.Semalam suntuk Max tidak dapat tidur, mencari Masayu ke sana-kemari.Max baru akan datang ke kantor keesokan paginya, meminta bantuan kedua temannya untuk ikut melacak keberadaan Masayu, tetapi Milka sudah meneleponnya terlebih dahulu, memintanya berhenti mencari.“Tante sudah bicara dengannya, dia baik-baik saja,” katanya. “Tidak apa-apa, Max, tidak usah mencarinya lagi.”Ya, Max tidak perlu mencarinya, harusnya ia lega mendengar perempuan itu baik-baik saja. Namun, entah mengapa hatinya justru sebaliknya.Insting Max yang tajam mencium sesuatu yang tidak beres, hanya dengan mendengar nada suara Milka. Alih-alih kelegaan, suara perempuan itu justru seperti seorang yang sedang dilanda ketakutan.Max kian resah, ia belum bisa percaya sebelum melihatnya secara langsung.“Apakah dia sud
Rumah yang sudah 27 tahun ditempatinya, tak lagi memberikan kenyamanan. Segala kehangatan di dalamnya seolah lenyap begitu saja tanpa bekas.Hari-harinya penuh dengan perdebatan panas yang ikut memanaskan kepalanya sebab tersulut oleh amarah, membuatnya tidak betah berlama-lama di rumah.Taka da lagi tempat yang dirasanya nyaman. Di butik, ada Max yang keberadaannya sangat tidak ia harapkan. Sementara di rumah pun tak lagi menawarkan kenyamanan.Sebagaimana hari-hari sebelumnya, malam itu perdebatan sengit antara ia dan ayahnya, kembali pecah.Jika sebelum-sebelumnya duduk permasalahannya adalah keberatan Masayu yang merasa terkekang, kehadiran Max membuatnya merasa tidak diberi ruang kebebasan sama sekali, maka kali ini masalahnya lebih serius.Ayahnya baru saja kedatangan tamu yang tak lain adalah Lucas, ayahnya Max. Mereka mengobrol lama, rupanya sedang membicarakan perjodohan antara Masayu dan Max.
Sudah waktunya mereka saling bicara untuk memperbaiki hubungan, terlebih Larissa telah menjadi kakak sepupunya.Selain belum berani, selama ini Masayu sengaja memberi waktu Larissa agar siap. Perempuan itu menjadi orang yang paling terluka, hubungannya dengan Masayu pun merenggang, tentunya tidak mudah membuatnya serta-merta dapat menerima permintaan maaf Masayu. Malam itu, usai ijab qobul pernikahan Larissa dengan Ivander, ia memberanikan diri meminta waktu pada Ivander untuk mengajak Larissa bicara.Jantungnya berdetak kencang, tangannya terasa dingin, sejujurnya ia gugup dan takut, khawatir Larissa akan menamparnya, lantas mentah-mentah menolak permintaan maafnya.Sepenuhnya sadar, kesalahan Masayu terlalu besar, ia membuat perempuan itu kehilangan suami, Malik dan Larissa bercerai sebab Masayu, wajar seandainya Larissa menolak permintaan maafnya.Menarik napas, lantas menghembuskannya, demikian hingga berkali
Nama Malik kembali mencuat ke permukaan, membangkitkan kesedihannya.Pertunangan mereka telah kandas, kedua orang tuanya tidak merestui hubungannya dengan Malik. Hubungan mereka memang salah, tapi biar bagaimanapun, pria itu masih mendiami hatinya.Meski telah bertekad mengakhiri dan melupakan, tetapi tidak mudah mengenyahkan sosoknya begitu saja, terlebih Malik merupakan cinta pertamanya, satu-satunya pria yang berhasil membuat Masayu merasakan jatuh cinta.Mendengar namanya, mampu membangkitkan kesedihannya. Bertemu dengan orang yang memiliki hubungan erat dengan pria itu, membuat Masayu kembali mengingatnya.Malik pernah bercerita, ibunya sudah tua dan tinggal sendirian di desa yang sangat jauh dari ibukota.Pria itu pernah mengutarakan keinginannya untuk membawa istrinya dan mengajaknya hidup sederhana, kala itu Masayu belum tahu Malik telah memiliki seorang istri.Ia beranggapan, istri yan
“Ahmad masih suka pacaran, masih hobi mabuk-mabukan juga?” tuntut Eyang Hasna. Perempuan itu menatap Max dan Masayu bergantian.“Mabuknya sudah sembuh, tapi pacarnya ada di mana-mana,” jawab ibunya, mewakili.“Tidak, Eyang,” ralatnya kalem. “Aku tidak pernah pacaran.”“Lha, itu, yang bolak-balik ganti itu namanya apa?”“Teman kencan, Ma, beda sama pacaran.”“Intinya sama saja, sama-sama jalan dengan perempuan yang bukan mahramu,” gerutu ibunya.Eyang Hasna mengibaskan tangan, lantas memijat keningnya yang berdenyut. Max memang menjadi masalah serius dalam keluarga mereka, tidak mudah mengubahnya menjadi pria alim seperti ayahnya. “Bilang sama Abah Ulil, Lys, untuk segera menikahkan mereka.”“Eyang, tadi itu beneran tidak ada apa-apa, kok, bukan sebuah kesengajaan. Max hanya berusaha menolongku,” ulang Masayu, entah yang ke berapa, tetapi mereka tidak mau mendengar penjelasannya. Berpel
Tidak seburuk yang dibayangkannya, meski jauh berbeda denga kehidupannya di Jakarta, tinggal di pesantren cukup menyenangkan.Hari ketiga tinggal di Batang, Masayu sudah cukup memahami kondisi sekitarnya. Kampung relijius, demikian ia menyebut tempat itu.Sepanjang penglihatannya, Masayu mendapati semua perempuan berjilbab, tentunya kecuali anak-anak. Penduduknya juga sangat ramah saling menyapa, termasuk kepada Masayu meski tidak mengenal.Dalam tiga hari, ia banyak diajak mengunjungi saudara-saudara Tante Lysa. Batang benar-benar indah, suasana pedesaan yang kental sangat disukainya, sejuk dengan pemandangan yang eksotis.Masayu suka bangun pagi-pagi sekedar untuk melihat kabut yang menutupi hamparan perkebunan teh yang menjadi pemandangan ketika ia membuka jendela kamarnya, terlebih kala senja, ia dapat menyaksikan matahari terbenam yang sangat indah. Seketika, Masayu dibuat jatuh cinta.Tante Lysa sengaja mem
Senyuman Umik Salma dan Tante Lysa mengembang lebar, melihat kemunculan Masayu bersama Nahla.Malu-malu, Masayu ikut bergabung bersama mereka, penampilan barunya membuatnya semakin memancarkan aura kecantikannya.Dibalut gamis panjang yang dibelinya bersama Nahla dan Max, Masayu memadukan penampilannya dengan jilbab warna senada. Nahla mengajarinya cara menggunakan jilbab, simpel, hanya jilbab segitiga yang dijepit menggunakan peniti.Masih belum sempurna, tetapi sudah cukup baik untuk seseorang yang sepanjang 27 tahun hidupnya belum pernah mengenakan jilbab.Dengan penampilannya, Masayu merasa menyatu dengan lingkungan sekitar, tidak lagi merasa menjadi alien yang baru turun ke bumi.“Ayu cantik sekali, Nduk,” kata Umik Salma. Perempuan tua yang lemah lembut itu tersenyum, mengaguminya, Masayu tersipu malu.Seluruh keluarga Tante Lysa memiliki cara yang unik menegur seseorang. Mereka tidak menegurny
Malu, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya meski keluarga Tante Lysa tidak mengatakan apa-apa.Mengenakan celana jeans yang menjadi pakaian sehari-harinya, dipadukan dengan kaos longgar, sementara rambutnya yang sebahu diekor kuda, penampilan paling sopan yang pernah diperlihatkannya. Namun, tetap saja, di tempat itu Masayu merasa penampulannya sangat terbuka.Lingkungan di sekitarnya jauh berbeda dengan di Jakarta. Di sini, jangankan perempuan dewasa, anak-anak SD pun semuanya mengenakan pakaian tertutup, dari ujung kepala hingga ujung kaki.Eyang Hasna tidak mengatakan apa-apa, demikian pula dengan Tante Lysa, mereka mengobrol banyak di rumah, ramah menanyainya banyak hal. Eyang Hasna sangat baik, lembut seperti Tante Lysa, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal penampilannya yang tidak wajar di sana.Menjelang sore, Tante Lysa mengajak Masayu berkunjung ke rumah Abah Ulil. Tidak lebih dari 100 meter dari rumah Eyang Hasna, Masayu bersama perempuan itu berjalan kaki. Namun, r