Hisyam bukan tipe Om-Om yang memiliki tubuh pendek, gendut dan memiliki perut buncit. Di usianya yang sudah kepala empat Hisyam justru semakin memancarkan ketampanannya. Dia selalu menjaga tubuhnya agar sehat dan bugar.
Zahra terbangun dari tidurnya, dia tidak mendapati suaminya ada di sampingnya. Zahra menengok ke balik selimutnya dia pun lega karena pakaiannya masih komplit berarti tidak ada sesuatu yang terjadi semalam. Hari ini kebetulan hari Minggu, kuliah libur dan Hisyam juga libur kerja. Zahra bergegas bangun dari tempat tidurnya. Ia keluar mencari keberadaan Hisyam, tapi dia tidak menemukannya. Lelah mondar-mandir mencari Hisyam di rumahnya yang cukup luas, tiba-tiba perut Zahra keroncongan. Dia berjalan ke arah dapur, di sana sudah tertata rapi semua makanan menggugah seleranya. Ragu hendak makan, karena merasa tidak enak tanpa Tuan rumah mendampinginya. "Kata Tuan Hisyam, kalau Non mau makan makan saja. Karena Tuan Hisyam sedang ada keperluan penting keluar pagi-pagi," kata Mbok Siyem. "Oh, keluar kemana?" tanya Zahra penasaran. "Kurang tahu, Non," jawab Mbok Siyem. Zahra merasa bodoh mana mungkin Hisyam mengatakan keperluannya pada Mbok Siyem. Akhirnya Zahra pun memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Mumpung tidak ada Hisyam hari ini, dia bisa makan banyak tanpa rasa canggung. Biasanya kalau ada Hisyam, dia harus jaga imej biar terkesan tidak kampungan. Tapi pagi ini, Zahra seperti orang kelaparan dia makan sepuasnya. Ia merasa sayang untuk tidak mencicipi semuanya. Dulu waktu masih ngekos, dia harus irit agar uangnya bisa nyampe akhir bulan. Sekarang biaya kuliah di tanggung Hisyam dan tentu saja sebagai istri sementara Zahra mendapat makan gratis tiap hari. Usai makan, Zahra mendengar ada suara Hisyam di luar. Tapi bukan suara Hisyam saja melainkan ada suara wanita yang asing di telinganya. Ia pun menengok dari arah jendela. Hisyam tengah mengobrol dengan perempuan cantik. Perempuan itu melongok dari jendela mobil, sementara Hisyam berdiri sembari melambaikan tangannya sewaktu mobil perempuan itu meluncur pergi. Kalau di lihat sekilas, Hisyam tampak akrab sekali. Zahra sedikit asing setelah Hisyam masuk ke dalam rumah. Ia masih ingat bagaimana sikap Hisyam pada perempuan tadi. Zahra malah senang ada wanita lain yang mendekati suaminya sehingga kalau bercerai nanti Hisyam tidak kesepian. Eh, pede sekali pemikiran Zahra. Padahal banyak cewek yang antri loh! Menantikan dadanya Hisyam. "Om darimana sih, di cariin nggak ada?" Sapa Zahra. "Om, cuman muter-muter jogging di sekitar kompleks kok," jawab Hisyam. Wajahnya bersinar meski penuh peluh keringat. Sesaat Zahra terpesona melihat ketampanan Hisyam. Namun dia segera menepis kekagumannya itu di hatinya. "Oooh, terus ketemu perempuan cantik tadi?" sindir Zahra. "Kamu cemburu?" balas Hisyam asal sembari menyeka keringatnya. "Iih, ngapain pake acara cemburuan segala. Lagian, Om itu bukan seleraku. Kita kan beda generasi," jawab Zahra beralasan. "Tadi siapa sih Om?" tanya Zahra kepo. "Brenda, temannya Winda. Dia juga klien di perusahaan." "Ooh, bisa gantikan jadi istri Om dong," canda Zahra. "Sst, jangan ngawur. Memangnya pernikahan cuman mainan. Udah, Om mau mandi dulu," kata Hisyam. Dia tidak ingin terlalu menanggapi candaan konyol Zahra. Pernikahannya dengan Zahra saja sudah membuatnya cukup pusing. Zahra masuk ke dalam kamar untuk mengambil hapenya, namun ia kaget karena Hisyam main keluar saja dari kamar mandi tanpa pakai handuk. "Om, gimana sih. Om kan, bukan bayi lagi!" seru Zahra sembari menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. "Hehehe, maaf Om lupa bawa handuk tadi," kekeh Hisyam. Ia malahan tambah sengaja menggoda Zahra. Rasanya nenyenangkan melihat pipi Zahra merona akibat ulah yang tidak di sengaja olehnya. Ia pikir Zahra masih di ruang makan menikmati makanannya. "Udah belum sih, Om ambil handuknya?" tanya Zahra. "Belom, ni baru ambil di lemari," jawab Hisyam santai. Dia merasa lucu saja menikmati sikap Zahra yang kekanak-kanakan. "Memangnya kamu belum pernah lihat beginian?" tanya Hisyam. "Iiih, amit-amit Om ini. Sana-sana!" usia Zahra. Masih jelas dalam bayangannua dia bisa melihat bagaimana bentuknya tadi. Berurat dan panjang. Ia tidak mengerti mengapa ada belalai sepanjang itu. Pasti kalau masuk sakit sekali. Mendengar pintu kamar mandi di tutup Zahra lega. Ia pun segera membuka kedua tangannya. Ia sempat mau senam jantung tadi. "Sepertinya aku sekarang harus hati-hati. Dia bisa saja menerkamku suatu saat. Apa aku harus cerai sekarang ya," gumam Zahra berbicara pada dirinya sendiri. Ia tidak berpikir panjang mengatakan hal itu. Karena Zahra belum merasakan apapun pada pasangannya. Hisyam keluar dari kamar mandi sudah memakai pakaian rapi, membuat Zahra heran mau kemana suaminya itu. "Om, rapi banget mau kemana?" tanya Zahra. "Mengantarmu pergi beli pakaian. Apa kamu mau berpakaian itu-itu saja. Kamu tidak pernah membelanjakan kartu yang aku berikan," ucap Hisyam. "Darimana Om tahu kalau aku tidak pembahasan menggunakan kartu itu?" tanya Zahra. "Ada laporan, sudahlah kamu tidak perlu memikirkannya. Sekarang kamu bersiap-siap saja, ganti pakaian nanti aku ajak pergi jalan-jalan," ucap Hisyam. Sampai di Mall, Zahra yang jarang ke Mall merasa di manjakan dengan pemandangan di sekitarnya. Banyak sekali pilihan outfit seumuran dirinya yang modelnya kekinian. Ia pun memilih warna-warna baju yang ia suka. Hisyam juga tampak pintar memilihkan baju untuk Zahra. Bajunya cebderung sopan dan tidak terbuka. Setelah mendapatkan brberapa stel baju yang di inginkan, semua mata tertuju pada Hisyam. Terutama cewek-cewek cantik yang kebetulan lewat. Mereka saling melirik dan berbisik dengan temannya kemudian tersenyum satu sama lain. Wajah Zahra berubah jadi cemberut, dia yakin mereka pasti mengira dirinya simpanan Om-Om. Rasanya ia ingin segera pergi dari tempat itu. Tak sengaja Zahra mencuri dengar ada yang mereka ucapkan. "Sst, Om itu tampan sekali ya. Jadi selingkuhannya pun aku mau, asal kebutuhanku tercukupi. Lihatlah, dia kelihatan royal banget memberikan gadis itu apapun," kata salah satu di antara mereka. Zahra yakin kalau mereka pasti mengira dirinya simpanan Om Hisyam. Jengkel akhirnya, Zahra menarik tangan Hisyam membuat pria itu kaget karena selama ini mereka tidak pernah bersentuhan tangan. Sialnya, Hisyam harus menahan dirinya kala bagian bawahnya sudah on. "Om, kita pergi dari sini yuk,' rengek Zahra. "Tunggu bentar, biar Om bayar dulu ke kasir bajunya ini," kata Hisyam. Namun Zahra belum juga melepaskan pegangannya. Hisyam melirik ke arah lengannya lalu berganti menatap Zahra, namun sayang Zahra tidak merespon malahan melihat ke arah lain. Akhirnya Hisyam membiarkan Zahra tetap bergelayut di lengan kekarnya, lumayan gak sering-sering juga, pikir Hisyam. Mereka pun menuju ke kasir untuk membayar. Untung saja tidak ada yang antri sehingga mereka di layani cepat. Keluar dari Mall, Zahra masih saja cemberut hingga sampai di dalam mobil. Hisyam tidak habis pikir apa yang tengah di pikirkan istri kecilnya, mengapa tidak ada mendung tidak ada hujan wajah Zahra muram seperti itu. "Ada apa?" tanya Hisyam sembari menyetir. "Gak ada apa-apa," sewot Zahra. Ia bersedekap menatap ke samping jendela mobil. "Gak ada apa-apa, tapi kok wajah kamu di tekuk begitu," ucap Hisyam. "Iih, aku sebel tau," ungkap Zahra kemudian. "Sebel kenapa?" tanya Hisyam lagi..suaranya lembut dan tenang. "Sebel denger perkataan mereka tadi," jawab Zahra lagi. "Mereka siapa?" tanya Hisyam penasaran. "Ya, mbak-mbak yang sok tau tadi," ucap Zahra. "Perasaan mereka muji aku tampan. Apa salahnya, memang aku tampan kan," ucap Hisyam tidak merasa bersalah. "Iiih, lama-lama Om nyebelin deh," cubit Zahra. "Auw, sakit Zahra," rintih Hisyam. Ternyata cubitan istri kecilnya lumayan sakitnya."Aku yakin mereka pasti mengira aku ini simpanan Om-Om yang lagi di ajak belanja," sungut Zahra."Tidak usah kamu pikirkan soal itu, kenyataannya kamu istriku sah," jelas Hisyam. Mendengar pernyataan Hisyam entah mengapa hati Zahra menjadi tenang. Apa karena Hisyam mengakui dirinya sebagai istri? "Om, yang namanya istri sah itu kewajibannya banyak. Salah satunya menuhin kebutuhan biologis Om," jawab Zahra."Kamu tidak perlu melakukannya, karena pernikahan kita tidak seperti orang pada umumnya," kata Hisyam tak berani berharap. Ia tahu mana mungkin Zahra minat kepadanya yang usianya jauh lebih tua.Zahra pun mengangguk, sebenarnya dia tidak keberatan kalau Hisyam mau menyentuhnya. Karena dia merasa nyaman sekali malam itu waktu tidur di peluk Hisyam.Sampai di rumah, para ART langsung sibuk mengeluarkan barang belanjaan di bagasi. Sementara Hisyam dan Zahra masuk ke dalam kamarnya. Zahra langsung naik ke ranjang sementara Hisyam sandaran di sofa."Sebentar saja jalan-jalan udah capek,
Tak seperti biasanya Zahra berangkat pagi-pagi. Ya, hari ini dia sudah berjanji pada teman-temannya untuk kerja kelompok. Ia lupa mengatakan pada Hisyam kalau salah satu teman cowoknya datang menjemputnya. "Om, bangun," kata Zahra menggoyangkan pundak suaminya.Perlahan mata Hisyam terbuka, dia kaget Zahra sudah berdandan cantik pagi-pagi."Om, aku minta ijin pagi ini aku mau pergi ke rumah temanku. Ada kerja kelompok, boleh ya," pinta Zahra.Hisyam yang masih ngantuk hanya merem melek di sertai anggukan. Tajam lama Zahra sudah selesai dandan. Dia kemudian jongkok mencium punggung tangan Hisyam sebentar lalu pergi. Hisyam yang semula masih ngantuk sekali tersentak kaget merasakan sekilas ada benda lembab kenyal menyentuh punggung tangannya. Sayangnya, saat dia terbangun Zahra sudah hilang dari hadapannya.Hisyam hanya mendengar langkah kaki menuruni anak tangga. Ia pun bangkit dari ranjangnya dan menarik tirai untuk memantau kepergian Zahra dari jendela kamarnya. Kaget, seorang cowok
"Maafin Om Zahra, Om hanya merasa tidak di hargai sebagai suami," ucap Hisyam. Dia merengkuh tubuh Zahra dan menenangkan tangis istrinya. Baru kali ini dalam keadaan sadar Zahra merasakan kalau pelukan Hisyam sangat nyaman. Tubuhnya yang kekar dan dada bidangnya membuat Zahra merasa aman dalam pelukannya. Sementara Hisyam kembali merasakan gairah yang sudah lama mati kembali tumbuh. Namun sepertinya dia harus menahannya. Zahra melepaskan diri dari pelukan Hisyam, dia merasa malu habis berpelukan erat dengan suaminya sendiri. Ia sampai tak berani menatap ke arah Hisyam. Ia merasa Hisyam tidak kelihatan tua sedikitpun, bahkan seperti kakaknya. Apakah karena Hisyam rajin merawat diri atau karena suaminya itu memang awet muda."Ada yang aneh dari wajahku, mengapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Hisyam."Ah, enggak kok Om. Cuman masih aneh saja aku menikah dengan orang yang seharusnya jadi mertuaku," jawab Zahra."Kamu malu punya suami lebih tua darimu?" tanya Hisyam.Zahra mengangguk
"Untuk sementara ini kamu jangan keluar kamar dulu. Biasanya Abie cuma sebentar di rumah ini. Dia biasanya memilih tinggal di apartemennya," ucap Hisyam. "Tapi, bagaimana kalau dia mengetahui aku di sini. Aku belum siap menghadapinya," balas Zahra sembari menunduk."Sudahlah, tidak akan terjadi apa-apa. Aku di sini bersamamu," ucap Hisyam menenangkan hati Zahra. Zahra mengangguk mendengar perkataan Hisyam. Entah mengapa kali ini dia memilih percaya pada Hisyam daripada bingung memikirkan kedatangan Abie."Om, bener ya. Lindungin aku di sini," kembali Zahra memastikan.Hisyam mengangguk pasti, Zahra pun spontan memeluk Hisyam membuat pria itu cukup kaget. Namun, dia segera mengeratkan pelukannya sebentar. Hisyam tidak tahu mengapa perasaannya terdorong melindungi Zahra. Padahal awalnya niatnya menikahi Zahra atas dasar pertanggungjawaban bukan karena cinta. Lalu mengapa sekarang jantungnya selalu saja berdebar ketika berdekatan dengan Zahra?Hasratnya kembali mendekat manakala Zahra b
"Jangan malu, kita kan suami istri kamu berhak kok melihat seluruh tubuhku," jawab Hisyam sembari mengedipkan matanya."Dasar Om mesum, aku pindah kamar aja kalau gitu," ancam Zahra. Baru saja mau membuka pintu Zahra baru ingat kalau Abie masih ada di rumah. Ia langsung berbalik arah tapi justru menabrak tubuh Hisyam yang hanya berbalut handuk. Dan sialnya handuk itu jatuh ke lantai. Mata Zahra langsung melotot kaget, begitu juga Hisyam mau mengambil handuk ya malah ke injak kaki Zahra."Om, sengaja ya. Mancing-mancing gitu," lirih Zahra sembari menutup matanya. "Bukannya Om sengaja, kayaknya kamu sendiri yang penasaran pingin liatin," canda Hisyam. "Udah pake handuknya belum?" tanya Zahra. Jantung Zahra seakan mau copot kalau lihat yang begituan. Seumur-umur baru kali ini. "Gimana mau pakai handuknya, kalau kamu injek handukku," keluh Hisyam. Buru-buru Zahra segera mengangkat kakinya. Sehingga Hisyam bisa mengambil handuknya. "Sudah Om?" tanya Zahra lagi. Matanya masih terpejam m
"Terserah kamu Zahra, mengenai perceraian itu kamu yang putuskan saja. Kapanpun kamu ingin, aku bisa menceraikanmu," ucap Hisyam. Sungguh perkataannya berbeda dengan isi hatinya, ia sudah merasa nyaman dengan Zahra. Tapi Hisyam tidak mungkin memaksa Zahra tinggal di sisinya kalau gadis itu tak menghendaki."Baguslah, tapi aku tidak ingin sekarang. Orang tuaku bisa shock kalau pernikahanku berakhir terlalu cepat. Aku harus menemukan pengganti dulu. Sehingga setelah bercerai nanti aku sudah memiliki calon pasangan yang baru," ucap Zahra.Sungguh di luar nalar, Hisyam adalah suami sahnya. Bagaimana mungkin Zahra bisa berpikir untuk mencari penggantinya."Oke satu bulan lagi, aku akan menunggu keputusanmu," jawab Hisyam dengan nada kecewa. Di usianya yang sudah matang, dia tidak suka mempermainkan pernikahan. Tapi yang di hadapinya ini adalah seorang bocah yang usianya sama dengan anak tirinya."Aku setuju, tapi selama satu bulan itu kamu tidak boleh menjalin hubungan dengan pria manapun.
Pagi tidak seperti biasanya Zahra telat bangun, dia semalam kurang tidur karena memikirkan hubungannya dengan Hisyam. Zahra tidur di kamar tamu sementara Hisyam tidur di kamar utama. Mereka tidur terpisah untuk menghindari kemungkinan yang terjadi setelah kejadian ciuman semalam."Ternyata berat juga menahan sesuatu yang di inginkan," batin Zahra. Ia masih tidak percaya dirinya selalu tenggelam dalam pelukan Hisyam. Pria yang di sebutnya Om-Om itu selalu membuatnya terlena. Padahal dalam prinsip Zahra dia tidak suka pasangan yang usianya lebih tua darinya.Tok tok tokKetukan pintu membuat Zahra terkaget. Ia segera membuka pintu ternyata ART nya."Non, kata Tuan Non Zahra harus segera bersiap-siap karena hari ini Tuan Hisyam yang memgantar Non berangkat kuliah," ujar Mbok Jum."Eh. Iya Mbok, makasih ya. Aku ke kamar atas dulu," pamit Zahra. Semua pakaiannya ada di lantai atas tidak mungkin dia mandi di kamar tamu.Saat membuka pintu kamar utama Hisyam tidak ada di sana. Zahra cukup le
Zahra membuka ponselnya, ada pesan masuk dari Hisyam kalau mobil pria itu sudah menunggunya di parkiran. Segera Zahra mempercepat langkahnya menuju ke parkiran. Untung saja Nayla sudah pulang naik taksi sehingga tidak bersamanya. Mobil hitam mengkilap sudah memunggunya. Zahra masuk ke dalam mobil dan Hisyam sudah duduk di depan menyetir mobilnya. Keduanya diam tidak banyak suara hingga mobil itu meninggalkan area kampus. Di perjalanan sesekali Zahra melihat ke arah Hisyam. Ada yang ingin di katakannya tetapi Zahra memgurungkan niatnya. Ia mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Pandangannya beralih ke kaca mobil. Gantian Hisyam yang memperhatikan istri kecilnya. Ia merasa Zahra ingin mengatakan sesuatu. Tapi apa, dia tidak bisa menebak pikiran Zahra.Hingga mereka sampai pada rumah yang menjadi istana tempat tinggalnya. Zahra langsung buru-buru keluar dari mobil tanpa menunggu Hisyam membukanya. Hisyam juga heran dengan tingkah Zahra yang berbeda dari biasanya. Ia mencob
Perjalanan yang tidak cukup jauh berboncengan motor matic antara Abie dan Winda kini mengantarkan mereka sampai di rumah makan. Abie berhenti di parkiran membantu Winda melepaskan helmnya saat ia sudah turun dari motor."Win, kenapa kita tidak ke rumahmu saja ketemuannya. Agar aku juga tahu dimana rumahmu," ucap Abie sembari berjalan beriringan menggandeng tangan Winda masuk ke dalam rumah makan.Tak sedikitpun Abie melepaskan gandengan tangannya. Membuat Winda merasa dag dig dug. Ia mengambil nafas agar bisa mengontrol jantungnya berdetak lebih teratur.Dari kejauhan Hilman melihat putrinya di gandeng seorang pria tampan yang berjalan ke arahnya. Entah mengapa dia merasa familiar dengan wajah pria tersebut. Tapi dimana dia pernah bertemu. Ia kesulitan mengingatnya.Hingga kaki langkah mereka semakin mendekat ke arahnya. Winda sekilas seperti memberi isyarat pada Abie untuk menghentikan langkahnya."Mas, itu Papaku. Dia yang memakai kemeja hitam," bisik Winda. Winda memang sudah mengi
Abie tidak jadi belah duren. Ia akhirnya memilih mandi air dingin. Winda merasa tidak enak pada suaminya. Pertama kali malahan tidak bisa memberikan jatah pada Abie.Tak lama Abie keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh segar. Wajah Rosa menunduk. Ada rasa malu menggelayuti hatinya. Kejadian tadi terjadi begitu cepat. Ia masih ingat bagaimana tadi tubuh kekar itu sempat menindihnya. Dan ciuman Abie membuatnya melayang-layang. Kini tubuh kekar nan gagah dengan handuk melilit di perutnya berdiri di hadapannya. Winda juga sempat melihat betapa besar dan panjangnya milik suaminya yang tersembunyi di balik handuk itu."Mas, maafin aku ya," lirih Winda kemudian."Maaf soal apa, Win?" Abie mengambil posisi duduk di dekat Winda. Jantung Winda makin berdegup kencang. Ia takut manusia tampan di sampingnya itu menerkamnya lagi."Soal tadi Mas ... aku juga nggak tau kalo bakal halangan," ucap Winda. Wajahnya masih tertunduk saat mengatakannya.Abie menepuk pundak Winda. Membuat jan
"Win ..." Abie memanggil Winda dengan suara pelan sambil berbisik. Matanya menatap ke bibir Winda yang begitu dekat. Meski sebenarnya dia gugup takut kalau Winda menolaknya.Winda tertunduk malu hatinya berdegup kencang."Boleh ... Mas."Suaranya terdengar lirih meskipun begitu Abie bisa mendengarnya. Ia tersenyum tipis melihat wajah istrinya sedikit memerah seperti kepiting rebus. Hal itu justru semakin membuat Abie bersemangat melakukan keinginannya.Tanpa ragu, Abie mendekatkan bibirnya pada bibir Winda. Ciuman itu begitu lembut tidak terburu-buru berbeda dengan Abie dulu yang biasanya liar ketika mencium seorang wanita. Tiap sentuhan bibirnya mengandung kehati-hatian. Seolah Winda adalah benda porselen mahal yang harus di perlakukan istimewa.Keduanya merasakan kehangatan di antara mereka. Tanpa sadar Winda mengikuti irama. Dia membalas ciuman Abie. Baru kali ini dia merasakan ternyata begitu nikmatnya ciuman dengan suaminya. Sementara Abie merasa ciuman hari ini sangat manis. Berb
Citra pulang dengan perasaan dongkol. Apalagi di rumah Reno hanya ongkang-ongkang saja tidak mau bekerja."Mana makanan pesananku!" Tangan Reno tengadah meminta yang di pesannya.Wajah Citra memucat, gara-gara ketemu Abie di warung tadi. Seharian pikirannya di penuhi mantan suaminya. Ia lupa kalau sehabis pulang kerja harus membawakan sebungkus nasi padang untuk Reno.Reno selalu mengancam dirinya kalau sampai kabur darinya dia akan mengobrak-abrik warung bakso bosnya. Padahal cari pekerjaan sulit. Citra tidak ingin kehilangan pekerjaan. Maka dari untuk sementara ini Citra tidak berani kabur dari rumah. Ia masih butuh uang untuk bertahan hidup. Tabungannya sudah habis di curi Reno. Ia harus kerja keras lagi mengumpulkannya sehingga kalau kabur nanti dia masih punya pegangan uang bertahan hidup."Kok diam! Kamu lupa kalau aku pesan nasi padang!" sentak Reno."Kerjaan di warung banyak. Jadi aku lupa," jawab Citra lirih. Perasaannya masih kacau. Keinget Abie sama perempuan cantik tadi."
"Kenapa pipi Mas memerah sedari tadi? Mas sakit?" tanya Winda."Aku nggak apa-apa kok. Kamu pilih aja baju yang kamu sukai. Nanti Mas yang bayarin," kata Abie. Gimana pipinya tidak memerah sepanjang perjalanan Winda memeluk erat pinggangnya. Saking nurutnya Winda tidak melepaskan pegangannya hingga sampai ke tujuan. Gara-gara tindakan Winda itu, miliknya jadi makin sesak. Tubuhnya memanas karena menahan diri cukup lama.Winda sebenarnya ragu ingin membeli baju yang biasa di belinya. Takutnya kemahalan dan mencolok akhirnya dia memilih yang biasa saja."Mas, aku cobain yang ini ya," izin Winda."Bener kamu suka itu?" tanya Abie memastikan. Karena di liatnya ukurannya terlalu besar dan modelnya kurang menarik. Gini-gini Abie dulu juga sering mengantar Citra berbelanja. Ia tahu baju yang sesuai fashion sama tidak. Apalagi melihat pilihan baju yang pernah di pakai Winda saat kecelakaan sepertinya beda jauh. Setidaknya meski beda harga ukurannya juga nggak jauh beda kan?Winda jadi ragu. "
Hisyam menghela napas."Kamu main perempuan lagi? Makanya kamu terpaksa menikahinya," tebak Hisyam.Tuduhan itu sama sekali tidak membuat Abie marah. Ia paham betul bagaimana sikapnya dulu yang seenaknya. Suka main perempuan dan berfoya-foya. Sudah sepantasnya Hisyam berpasangka buruk terhadapnya."Bu ... bukan seperti itu, Pa. Aku tak sengaja menemukannya pingsan di jalanan depan rumahku. Karena aku tidak memiliki cukup uang akhirnya aku putuskan merawatnya hingga sembuh. Namun ... warga sekitar justru salah paham mengiraku berbuat macam-macam padanya selama tinggal di rumahku," terang Abie."Lalu ... mereka memaksaku menikahinya. Dan ... sekarang aku berusaha menerima pernikahan ini, Pa," lanjut Abie.Nafas Hisyam sempat tertahan mendengar pengakuan Abie. Tiap kalimat yang di ucapkan Abie begitu lancar seperti tidak ada yang di tutupi. Tatapannya juga sendu. Tidak terlihat berapi-api. Mungkinkah Abie memang sudah berubah?Di sisi lain dia terharu sekaligus kasihan. Gaji OB di perusah
Abie terdiam sesaat, membuat Winda yang tengah menunggu jawabannya menjadi gelisah. Ia yakin kalau Abie masih ada perasaan dengan mantan istrinya."Kalau aku bilang sudah tidak mencintainya apa kamu percaya?" Abie justru balik bertanya."Bener juga, siapa yang tahu hati seseorang. Mas juga belum mencintaiku sekarang. Akupun begitu. Kita ganti topik saja." Winda berusaha menenangkan dirinya. Kalau dia belum mencintai Abie lalu kenapa harus takut mendengar pengakuan suaminya. Mengenai perasaan Abie pada mantan istrinya?Tangan Abie menggenggam Winda erat. Tatapannya teduh seolah berusaha menenangkan hati Winda yang gundah.Reaksi Winda cukup kaget. Ia hendak menarik tangannya namun Abie menggenggamnya makin erat."Aku sudah tidak mencintainya. Sekarang aku hanya fokus pada keluarga kecil ini. Aku ingin mulai dari awal denganmu. Maukah kamu bersabar agar kita saling mencintai sepenuhnya."Ucapan Abie cukup menguatkan hati Winda. Ia pun mengangguk pelan sembari tersenyum manis."Terima ka
"Kembalikan uangku!" Citra memaksa merogoh saku celana Reno. Reno tidak terima perlakuan Citra, ia langsung mendorong Citra hingga jatuh terduduk di lantai.Citra tidak pantang menyerah dia juga membalas mendorong tubuh Reno hingga terjatuh. Reno yang masih setengah mabuk berusaha bangkit namun tubuhnya sempoyongan. Citra tidak mendapatkan apa-apa dari saku Reno."Kenapa Om habiskan semua uangku!""Aaargh!" Citra berteriak histeris. Dia sudah tidak tahan hidup seperti ini. Susah payah dia mendapatkan uang itu. Seenaknya saja Reno menghabiskannya.Citra langsung ke kamarnya. Ia sudah tidak tahan hidup satu atap dengan parasit seperti Reno. Harapannya untuk menjadi Nyonya besar yang di manja pupus sudah. Reno sudah jatuh miskin. Tak ada yang bisa di harapkan dari Reno.Ia memasukkan semua pakaiannya di koper. Entah mau pergi kemana. Citra juga tidak tahu. Yang terpenting pergi secepatnya dari tempat yang terkutuk ini. Ia tidak mau hidup satu atap dengan pemabuk yang kerjaannya hanya men
Abie spontan menggenggam jemari Winda. Tatapannya penuh kecemasan karena mendengar teriakan Winda akibat mati lampu.Namun tiba-tiba cahaya dari hape itu juga ikut padam. Winda ketakutan langsung memeluk Abie yang berada di dekatnya."Aku takut Mas!" Teriaknya.Abi yang sudah lama tidak pernah berpelukan dengan wanita. Kaget Winda menghamburkan diri dalam dekapannya. Susah payah berusaha menguasai perasaannya."Tenanglah, aku ada di sini. Tidak akan ada apa-apa," ucap Abie lembut. Winda merasakan kehangatan yang mulai tumbuh dalam hatinya setelah mendengar perkataan Abie."Mas, jangan ninggalin aku ya. Aku takut gelap," lirih Winda.Ganti Abie yang tidak bisa menguasai gemuruh degup jantungnya yang bertalun-talun sejak tadi. Gimana tidak gugup Winda tanpa sadar merapatkan tubuhnya memeluknya erat. Ia bisa merasakan aroma harum istrinya.Naluri kelaki-lakiannya pun bangkit. Abie berusaha keras menahan diri. Ia tidak ingin Winda makin ketakutan kalau dirinya berbuat macam-macam.Winda j