Brak!
Suara gebrakan meja menggema di ruang tamu, menciptakan atmosfer tegang yang terasa hingga ke sudut-sudut ruangan. Suara Andre, papa Alana, menggelegar bersamaan dengan ledakan emosi yang menyertainya.
"Apa-apaan ini, Alana?! Berita apa ini!" teriak Andre, wajahnya merah padam ketika melihat layar televisi yang menayangkan skandal pertunangan putrinya.
Alana menjawab dengan penuh ketegasan, "Aku ingin pertunanganku dan Morgan batal, Pa!"
Pandangan tajam Andre menusuk Alana, seolah mempertanyakan keberanian anak perempuannya untuk membuat keputusan besar ini. Ruang tamu yang sebelumnya terasa begitu nyaman, kini dipenuhi dengan ketegangan.
"Tapi kau juga tidak bisa memperlakukan Morgan seperti ini, Alana. Kamu bisa membuat kerja sama keluarga Dirgantara dan Lusamo batal” suara Yulina, ibu tirinya, terdengar lembut namun penuh dengan ketidaksetujuan. Yulina duduk di samping Andre, sementara Linda, putri kesayangan mereka yang berusia 16 tahun memperhatikan situasi dengan ekspresi heran.
“Memangnya kak Ana ngapain pa sampai papa bentak kak Ana.?” Tanya Linda dengan gampangnya
“Gak papa sayang. Kakakmu ini memang perlu diberi nasihat sedikit” Jawab Andre dengan nada lembut, berbeda sekali saat dia berbicara dengan Alana.
Alana menggigit bibirnya, mencoba menahan amarahnya "Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak setia, Pa. Aku hanya mencari kebahagiaanku sendiri!"
Yulina menatap Alana dengan tatapan penuh kekecewaan namun dibalik itu dia tersenyum puas "Ini bukan hanya soal dirimu, Alana. Ini melibatkan masa depan keluarga dan perusahaan."
“Alana hentikan ini semua. Papa tau jika berita ini perbuatan teman priamu itu” ucap Andre
Alana merasa tertekan. Dia menghela napas dalam dan berkata, "Aku memahami itu, Pa. Tapi apakah hidupku harus dikorbankan demi kesepakatan bisnis? Aku ingin hidup dengan pilihan yang aku buat sendiri."
“Alana!” Suara Andre kembali terdengar membuat Linda tersentak. Andre yang sadar akan hal itu menghela napas lalu menatap Linda “Linda sayang ke kamar dulu ya, papa harus ngomong sama Alana dulu”
“tapi Pa-”
“Linda, ikuti kata Papa”
“Oke ma” Jawab Linda. Gadis itu menatap Alana sekilas lalu melangkah menapaki tangga menuju kamarnya.
‘CK.. manis sekali keluarga cemara didepanku ini’ Monolog Alana dengan berdecih.
“Alana” Andre memanggil dengan tegas “Jangan kekanakan. Datangi Morgan dan minta maaf padanya!” Suara Andre kembali terdengar memenuhi ruang tamu, keras dan memerintah. Perintah ayahnya membuat tangan Alana terkepal, mencerminkan kekesalan yang memuncak dalam dirinya.
"Kenapa aku yang harus minta maaf, Pa? Yang salah adalah Morgan. Dia yang menyelingkuhiku!" ucap Alana dengan lirih, mata yang penuh dengan air mata menatap sang ayah yang berekspresi keras.
"Kau melakukan ini lagi, Alana. Bisakah kau bersikap dewasa. Kalian bisa bicarakannya baik-baik. Itu hanyalah ciuman" ucap Yulina, ibu tirinya, mencoba meredakan ketegangan di ruangan.
"Hanya ciuman, ibu bilang?" tanya Alana tak percaya.
"Alana, Morgan juga masih muda. Hubungan kalian belum terikat sekuat itu" Yulina melanjutkan argumennya. "Wajah jika anak muda sepertinya masih suka bermain"
Alana berdecih "Oh, sepertinya Ibu tidak keberatan ya jika tunangan Ibu mencium wanita lain. Sungguh lapang sekali hati ibu tiriku ini" ucap Alana dengan senyum tipis. "Atau mungkin karena Ibu juga suka mencium pria yang menjadi pasangan orang lain-"
PLAK! Deg… rasanya jantung Alana berhenti berdetak beberapa saat.
Rasa panas dipipinya menyebar begitu cepat, terasa seperti api menyala-nyala. Suara tamparan itu, keras dan tajam, menggegerkan seluruh ruangan.
“Al..ana” panggil Andre dengan terbata. Dia bahkan tidak sadar jika tangan kasarnya sudah menampar putri kandungnya sendiri.
“Papa menamparku?” tanya Alana nyaris seperti bisikan, matanya membelalak dalam keheranan. “Papa tega menamparku? Putri kandung papa sendiri?”
“Kau menghina ibu mu, Alana,” ucap Andre sambil menghela napas pelan. Wajahnya terlihat tegang, mencerminkan kekecewaan dan amarah yang bergelombang di dalam dirinya.
“Papa menamparku hanya karena itu? lalu kenapa dulu papa tidak pernah menampar dia yang memfitnah Mama?” Alana menujuk Yulina dengan tegas
“Alana!”
“Mas… sudah aku tidak apa-apa” suara Yulina menyadarkan mereka.
Medusa itu benar-benar memerankan korban yang terluka, meski dia yang memulai perang kata-kata.
Alana menahan rasa sakit di pipinya, menyadari bahwa kata-katanya telah menyulut ledakan emosi di dalam keluarganya. Meskipun keinginannya untuk membela diri masih kuat, tapi dia tahu bahwa situasi ini tak lagi bisa dia kendalikan. Sebuah jeda tegang menggantikan suasananya yang sebelumnya riuh.
“Kamu berubah Alana” ucap Andre “Putri papa bukan anak pembangkang seperti ini” Ucap Andre
“Memangnya sejak awal papa memperhatikan putri papa yang satu ini? Bukannya yang papa urus selalu Linda?” Lirih Alana.
Ditengah-tengah kekacauan itu, Alana bisa melihat Yulina yang menatapnya dengan senyum mengejek. “Mas, kau sudah keterlaluan. Alana memang salah tapi menamparnya juga tidak baik. Mungkin memang kita yang kurang memperhatikan Alana” suara Yulina yang dibuat selembut mungkin membuat Alana merasa mual.
“Dia memang perlu diberi pelajaran, sayang. Semakin lama sifatnya semakin liar” ucap Andre, membuat Alana tidak bisa berkata-kata.
Andre menatap Alana dengan tegas "Bicarakanlah dengan Morgan, Alana. Temui dia dan selesaikan masalah ini dengan dewasa."
“Aku benci Papa” ucap Alana dengan air mata yang mengalir deras. Gadis itu bergerak meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya.
Andre melihat kepergian Alana dengan perasaan bercampur, menyadari bahwa langkah-langkah yang diambilnya membuat putrinya semakin jauh darinya.
Di dalam kamar, Alana mencuci wajahnya. Matanya agak membengkak karena banyak menangis hari ini “Hah…” helaan napas kasar terdengar dari bibir mungil Alana. “Medusa itu benar-benar mempengaruhi papa” gumam Alana.
Alana duduk di tepi ranjang, merenung tentang keputusasaan yang tengah melandanya. Dia tahu bahwa perubahan suasana hati Andre disebabkan oleh peran Yulina, ibu tirinya yang seringkali menjadi sumber konflik dalam keluarga mereka.
“Papa, mengapa kau begitu mudah dipengaruhi olehnya?” Alana berbisik, merenungkan dinamika keluarganya yang semakin rumit. Matanya menatap figura foto yang menampilkan potret keluarga saat mama-nya masih hidup. Gambar itu membawa kenangan manis yang kini semakin terasa jauh.
Ponsel di meja riasnya berdering, menarik perhatian Alana. Dia mengambilnya dan melihat pesan dari Mic "Alana, kita butuh klarifikasi atas skandal ini."
Seolah ada harapan baru dalam pemutusan pertunangan itu, senyum Alana terbit dengan cerahnya.
“Aku akan segera siap. Berikan waktu dan lokasi konferensi itu. Aku mengandalkanmu Mic” balas Alana pada pesan Mic. Dia merasa diberi kesempatan untuk menyelesaikan skandal tersebut dengan cara yang benar. Wajahnya yang tadinya penuh keraguan kini dipenuhi dengan tekad untuk menghadapi situasi sulit yang menantangnya.
Dentuman suara musik di sebuah klub malam begitu memekakkan telinga bagi siapa saja yang mendengar, namun pengecualian bagi para pengunjung yang sedang berada di lantai dansa. Mereka menari dengan senangnya, menikmati tiap hentakan yang dimainkan oleh Disc Jockey.Alana duduk sambil memainkan gelas sloki di tangannya, memutar minuman beralkohol yang ada di dalam gelas tersebut. Ini adalah pertama kalinya selama 21 tahun hidup, Alana masuk ke dalam sebuah klub malam, lebih tepatnya club malam yang seolah didesain khusus bagi para pembisnis. Cahaya sorot lampu yang berkilauan menggambarkan suasana yang energetik di sekitarnya.Bartender yang cukup tampan menatap gadis berwajah cantik dengan rambut hitam panjang yang tergerai indah."Anda ingin minuman lain, nona?" tanya sang bartender dengan sedikit menggoda. Dia jelas tau siapa gadis didepannya saat ini. Alana Claira Dirgantara, gadis yang menghebohkan media beberapa jam lalu.“Minuman untuk mengalih
Alesio menatap gadis di depannya dari atas sampai bawah. Satu kata yang terucap, ‘imut’, namun entah kenapa tatapan matanya sangat berbeda. Bukan tatapan memuja seperti semua gadis yang selalu melihatnya, tetapi tatapan tajam dan intens, sangat jernih tanpa ternoda, membuatnya terlihat menawan.Gadis didepannya terlihat seperti kelinci kecil yang tersesat namun penuh tekad untuk mencari jalan keluar.Alesio mengalihkan pandangannya ke arah jam tangan Rolex yang melingkar indah di pergelangan tangannya yang kekar. Sudah hampir 30 menit sejak kejadian ciuman itu selesai, dan Alesio membawanya menuju salah satu hotel.“Aku pikir ada sesuatu yang ingin kamu katakan, nona” akhirnya Alesio membuka suara, matanya menerawang nakal menatap Alana yang gelagapan.“Maafkan aku” ucap Alana pelan.“Jika kamu hanya ingin minta maaf, aku akan pergi” ucap Alesio dengan nada dingin, dia tidak memiliki waktu untuk basa basi dan Alana justru membuatnya melakukan itu.Alana mencoba mengumpulkan keberanian
Alana berdiri di podium, melihat ke sekitar conference room yang dipenuhi para wartawan dengan kamera dan pena siap untuk merekam setiap kata yang keluar dari bibirnya“Hallo, Aku Alana Claira Dirgantara. Terima kasih untuk para wartawan yang sudah hadir.” Ucap Alana mengudara di conference room salah satu hotel ternama di IndonesiaDia melanjutkan "Sebelum itu, aku ingin klarifikasi bahwa aku bukan seorang artis atau model. Aku berada di sini karena banyak dari kalian yang ingin tahu lebih banyak tentang berita yang melibatkanku dengan Morgan Lusamo, dan tentu saja, hubungan ku dengan Alesio Kingston yang kalian lihat di bar dua hari lalu."“Nona Dirgantara sejak kapan anda menjalin hubungan dengan Tuan muda Kingston?”“Nona Alana apa anda menjadikan tuan Kingston pelampiasan setelah diselingkuhi tunangan anda?”Alana memandang wartawan dengan tenang, menangkap setiap pertanyaan yang dilemparkan padanya. Diantara kilatan cahaya kamera, Alana merasakan tatapan Mic yang tertuju padanya
PLAK “Apa-apaan tingkahmu ini, Alana?! Kamu ingin membuat keluarga Dirgantara hancur?” desis Andre, sambil menampar pipi putrinya dengan keras. Suara kekerasan itu memecah keheningan, menciptakan gelombang ketegangan yang melanda ruangan itu. Alana memandang ayahnya dengan mata terbelalak, tidak percaya bahwa dirinya harus kembali merasakan sentuhan kasar dari sang ayah. Yulina menutup mulutnya dengan ekspresi syok, namun dibalik bibirnya yang tertutup tangan, tersembunyi senyum tipis. Ia memperhatikan dengan cermat bagaimana tamparan keras dari Andre jatuh begitu tajam pada pipi kiri Alana. Bagi Yulina, tamparan itu adalah bentuk kepuasan tersendiri, seperti sebuah kesenangan terpenuhi di antara mereka. ‘Lagipula, bisa dimengerti kenapa dia begitu marah’ gumam Alana dalam hati, walaupun di wajahnya tergambar kesedihan yang mendalam. “Papa, aku hanya mencoba menyampaikan kebenaran, Papa tega membiarkanku dengan pria yang jelas-jelas sudah selingkuh?” ujar Alana dengan suara terbata
Alana menatap pria tampan yang sedang duduk di depannya, mengingat bagaimana ekspresi Yulina saat mengetahui Alesio datang ke rumah dan mencari dirinya. Hal itu membuat gadis itu merasa puas, ternyata pilihannya tidak salah untuk memanfaatkan kekuasaan Alesio.“Berhenti tersenyum seperti itu, tatapanmu membuatku merasa dilecehkan” kata Alesio sambil mendudukkan dirinya di ranjang Alana.“Hei! Siapa yang menyuruhmu duduk di situ, bangun!” Alana menatap Alesio kesal. Alesio hanya terkekeh kecil, kemudian ia bangkit dan duduk di kursi depan Alana.“Kamu yang membawaku ke sini, señorita” ucap Alesio dengan senyum miringnya, matanya menyorot Alana dengan nakal.Alana mendesah ringan. “Jangan membuatku menyesal membawamu kemari.”“Oh haruskah aku kembali dan berbicara dengan ibu tirimu itu” Ucap Alesio yang membuat Alana mendengus “Kau tidak penasaran kenapa aku dirumahmu?” Ta
Alana mengantar Alesio sampai pintu depan rumah. Dia menatap mobil Mercedes Benz milik Alesio yang menghilang dibalik gerbang yang tertutup. Suara mesin mobil yang merayap menjauh semakin meredup, meninggalkan Alana dalam keheningan malam.Alana kembali ke kamarnya, namun saat hendak menutup pintu, sebuah tangan kekar menahan pintu itu agar tetap terbuka.“Hentikan semuanya, Alana!” ucap sebuah suara yang sudah terlalu dikenal oleh Alana. Dia menoleh dan menemukan Henry, sang kakak tiri, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius.Alana tersenyum sinis, menatap sang kakak tiri dengan ejekan. “Menghentikan apa, Kak?”Henry menghela nafas panjang sebelum memasuki kamar Alana tanpa izin. “Rencana anehmu itu, Alana. Hentikan sekarang! Kau tahu betapa pentingnya pertunanganmu dengan Morgan untuk menjaga citra dan bisnis keluarga.”Alana menyipitkan mata, tidak suka dengan pembicaraan ini. “Apa kau datang han
“Tidak!” Engahan napas itu beradu di antara gelapnya malam. Dada itu tersegal-segal seakan habis berlari ribuan kilometer jauhnya. Alana merasakan detak jantungnya yang memburu, seolah-olah sedang mengejar sesuatu yang terus bergerak menjauh. Alana menghidupkan lampu tidur yang terletak di atas nakas kecil di samping tempat tidurnya. Cahaya lembut menerangi ruangan, membawa sedikit kehangatan di tengah ketidakpastian yang melingkupi pikirannya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam wajahnya dalam kedua tangan. Rambut panjangnya menjuntai dengan liar, menyelimuti wajah yang penuh kekhawatiran. Dengan gemetar, Alana mencoba meredakan napasnya yang masih terengah-engah. Dia menatap sekeliling kamarnya, mencari kepastian dalam setiap sudut yang pernah menjadi saksi bisu kehidupannya. Foto kelurganya terpajang diatas nakas membuatnya mengulas senyum tipis. Alana meminum segelas air yang telah dia siapkan setiap malam. Air itu dingin dan menyegarkan tenggorokannya yang terasa kerin
“Siapa yang bertamu pagi-pagi seperti ini Vera?” Runtukan dari Yulina begitu mendengar sang asisten rumah tangga mengatakan jika ada yang datang mengunjungi mereka “Pria yang kemarin Nyonya. Dia ingin bertemu Nyonya sekaligus Tuan” Vera menunduk diam saat menjawab pertanyaan Yulina. “Pria semalam? Alesio Kingston?” Mata Yulina akhirnya terbuka lebar. Dia bergerak cepat menuruni tangga dan melihat Alesio yang duduk dengan angkuhnya di sofa. Dengan setelan jas yang terlihat berkelas, rambut coklat gelapnya yang disisir rapi dan posisi duduknya yang elegan di sofa ruang tamu. Yulina tersenyum sambil berjalan menuju Alesio. "Selamat pagi, Mr Kingston. Apa yang membawamu ke sini pada pagi yang cerah ini?" Alesio menatap Yulina lalu berdiri dan mencium punggung tangan Yulina, sekedar sopan santun namun hal itu mampu membuat Yulina tersipu "Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Nyonya Dirgantara." Ucapnya sambil tersenyum tipis. “Apa itu?” Tanya Yulina menyembunyikan raut