Terima kasih atas dukungan yang diberikan semoga suka. See soo.
Lu Zhan menyadari bahwa Amira memperhatikannya. Pria itu tidak tahu bahwa wanita yang diperebutkan dua lelaki terkenal sangat mengidolakan dirinya.“Tuan, saya rasa Nona Amira ini fans Anda,” ucap sang asisten pelan.“Hm. Berasa usia wanita itu?” tanya Lu Zhan.“Dia baru dua puluh empat tahun. Masih sangat muda,” jawab asisten Lu Zhan.“Hm. Pantas saja. Jauh lebih muda dari Luna.” Lu Zhan tersenyum tipis dan melihat pada Amira. “Ya Tuhan. Dia benar-benar tampan.” Amira segera menunduk untuk menghindari tatapan Lu Zhan. Dia bukanlah wanita yang berani mengungkapkan perasaannya.“Dia benar-benar menyukai actor Cina itu.” Wijaya melirik Amira yang tersipu. “Apa pria seperti itu seleranya?” tanya Giorgio di dalma hati. Pria itu pun memperhatikan Amira.“Aku benar-benar menjadi patung diantara mereka,” gumam Debora tersenyum.“Amira. Sepertinya dia fans Lu Zhan. Aku akan memikirkan cara menghancurkan nama kamu dengan memanfaatkan actor itu.” Luna tersenyum. Mata wanita itu terus memperhat
Amira tiba di villa. Dia langsung masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Membuka kotak obat dan mengambil es batu. “Aaahh!” Amira merasakan sakit pada pipi dan bibirnya.“Ada apa, Non.” Bibi menyusul Amira ke kamar karena wanita itu tidak juga pergi ke kamar Keano.“Tidak apa, Bi.” Amira tersenyum. Dia masih menempelkan es batu pada pipinya.Non Amira dipukul orang. Pak Wijaya kemana?” tanya bibi khawatir melihat wajah Amira yang bengkak.“Tidak apa. Nanti juga sembuh. Wijaya masih menemani Tuan Giorgio. Aku pulang duluan karena harus memberi asi untuk Keano. Bibi tolong bawa Keano kemari ya. Dadaku sudah membengkak.” Amira masih bisa tersenyum.“Iya, Non.” Bibi benar-benar kasian pada Amira. Wanita itu tahu mereka berada di lokasi syuting Luna.“Oh ya, Bi. Jangan kasih tahu Pak Wijaya ya. Semoga ketika dia pulang. Wajahku tidak bengkak lagi. Ini aku mau olehkan obat dulu,” ucap Amira.“Iya, Non.” Bibi keluar dari kamar Amira. Dia mengambil Keano yang ada di ruan
Wijaya menghentikan mobil di dalam garasi. Dia mematikan mesin dan membuka pintu. Pria itu mengitari mobil.“Istirahat saja di kamar.” Wijaya menggendong Amira yang hanya diam saja.“Minum dulu sebelum tidur.” Wijaya menurunkan Amira di tepi kasur. Pria itu mengeluarkan obat dan mengambil air mineral untuk Amira.“Aku….” Amira tidak berani mengatakan apa pun. “Aku tidak mau wajah cantik ini menjadi jelek.” Wijaya memegang pipi Amira dengan lembut.“Minum obat.” Wijaya memberikan obat kepada Amira.“Ya.” Amira mengambil obat dari tangan Wijaya dan air mineral. Dia menelan obat dan minum.“Berapa orang yang menampar pipi kamu?” tanya Wijaya.“Dua orang menampar dan dua orang lagi memegangiku,” jawb Amira.“Leher ini terluka karena apa?” Wijaya menyentuh leher Amira.“Seorang menarik kalung yang diberikan oleh Tuan Giorgio,” ucap Amira.“Baiklah.” Wijaya mengangguk.“Tidurlah!” Wijaya membantu Amira merebahkan tubuh di kasur. “Anda mau kemana?” Amira memegang tangan Wijaya.“Bekerja. Ad
Wijaya berada di atas tubuh Luna. Pria itu sudah melepaskan kemeja dan ikat pinggang. Dia hanya mengenakan celana panjang berbahan lembut.“Wijaya.” Luna menarik leher Wijaya. Dia ingin mencium bibir tipis suaminya. Wajah wanita itu menjadi merah melihat tubuh seksi suaminya.“Mm.” Belum bertemu bibir keduanya. Wijaya mencekik leher Luna. “Ah!” Luna terkejut karena jari-jari kekar Wijaya sangat kuat menekan leher sehingga wanita itu tidak bisa berbicara dan kesulitan bernapas.“Aarggg!” Luna memukul langan Wijaya yang kekar. Mata wanita itu melotot menahan sakit pada lehernya. Dia merasa berada pada ambang kematian. Oksigen di dalam paru-paru sudah habis.“Telpon empat orang yang sudah menyakiti Amira!” Wijaya menatap tajam pada Luna.“Plak.” Sebuah tamparan keras dari tangan kasar Wijaya mendarat di wajah cantik Luna.“Ah!” Luna yang mengenakan pakaian terbuka benar-benar terkejut dengan tindakan Wijaya.“Plak! Plak! Plak!” Wijaya memukul pipi Luna kiri dan kanan berkali-kali hingga
Wijaya terus memperhatikan Amira. Pria itu seakan ragu untuk mengajak istrinya bertemu dengan Giorgio.“Kenapa?” Amira sudah siap berangkat. Dia membawa dua tas berisi hadiah untuk Giorgio dan Debora.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Wijaya.“Aku baik,” jawab Amira.“Aku akan melindungi kamu. Mereka yang telah menyakiti kamu tidak akan hidup dengan tenang.” Wijaya memeluk Amira. Pria itu mencium dahi wanita itu dengan lembut.“Mm.” Amira hanya diam tanpa komentar. Wanita itu tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Dia hanya bisa pasrah.Amira tampil cantik dengan gaun berwarna hitam dengan hiasan Mutiara putih berkilau. Wanita dengan kulit putih dan bersih itu benar-benar cocok dengan gaun terbuka pada bagian pundak dengan belahan hingga paha. Sepatu tinggi di kakinya yang jenjang.“Kenapa kamu selalu tampil cantik ketika akan bertemu dengan tamu?” Wijaya meneliti Amira dari atas hingga bawah.“Apa aku harus berdandan ketika akan tidur?” tanya Amira.“Tidak. Kamu hanya perlu meng
Bella kembali ke kamar. Dia melihat tempat tidur yang masih kosong dan ponsel Luna yang belum bisa dihubungi.“Luna, kamu kemana?” Bella menatap layar ponselnya. Dia memiliki nomor Amira dan Wijaya, tetapi wanita itu tidak berani melakukan panggilan.Malam semakin larut. Dunia pun menjadi sepi. Apalagi di puncak yang tidak didatangi banyak tamu karena sudah disewa oleh pihak produksi film.“Wijaya membuka mata dan memeriksa pipi serta bibir Amira. Pria itu benar-benar khawatir dengan kecantikan dan kesehatan istirnya.“Mm.” Amira membuka mata karena sentuhan dan ciuman basah Wijaya.“Apa sakit?” tanya Wijaya menatap bola mata cokelat Amira. “Tidak.” Amira membalas tatapan Wijaya.“Tidurlah!” Wijaya mengecup dahi Amira.“Ya.” Amira memejamkan matanya. “Suhu tubuhnya panas. Dia benar-benar demam.” Wijaya mengusap keringat pada leher Amira.“Apa dingin?” tanya Wijaya. “Ya,” jawab Amira pelan. Wanita itu kembali terlelap. Dia memeluk selimut dengan erat.“Tidulah dan bangun ketika matah
Tim produksi dan kru tidak melanjutkan syuting karena mereka kehilangan Luna. Semua orang mencari keberadaan sang Bintang. Seorang lain dalam tim pun ikut hilang.“Bella, di mana Luna?” tanya sutradara.“Saya sudah bertanya pihak penginapan, tetapi mereka tidak mau memberikan informasi tentang kamar Pak Wijaya,” jelas Bella.“Saya juga sudah menghubungi nomor Luna, tetapi tidak aktif,” lanjut Bella. Wanita terlihat khawatir karena Luan tidak pernah mematikan ponsel.“Saya sendiri yang akan bertanya kepada pihak puncak.” Sutradara pergi ke bagian informasi.“Permisi.” Pria itu memperkenalkan diri kepada karyawan.“Maaf. Kami benar-benar ingin tahu dimana Pak Wijaya Kusuma menginap,” ucap sutradara.“Pak Wijaya sudah Cek out sejak pukul Sembilan tadi. Mereka langsung pergi ke bandara,” jelas karyawan.“Apa? Apa Luna ikut dengan dia?” tanya pria itu lagi.“Kami tidak melihat Non Luna bersama Pak Wijaya hanya sekretarisnya saja,” jawab pegawai.“Apa?” Bella dan Dira pun terkejut.“Kemarin
Wijaya berada di dalam pesawat pribadinya. Dia memeluk anak dan istri dengan mata terpejam. Pria itu benar-benar tenang. Hidupnya yang monoton kini menjadi lebih berwarna. Ada seseorang yang harus dilindungi dengan penuh cinta.“Kenapa dia terus tidur?” Amira melihat Wijaya yang merebahkan kepala di pundaknya. Wanita itu harus menjaga suami dan anaknya. “Non, biar bibi yang jada Den Keano.” Bibi mengambil Keano yang ada dalam pelukan Amira.“Ah, iya Bi.” Amira tersenyum. Dia memberikan Keano kepada bibi.“Apa dia tidak tidur semalam?” Amira menoleh pada Wijaya. Dia mencium wangi rambut pria itu. Lelaki yany hanya tidur tiga jam saja karena sibuk membalas dendam kepada orangn-orang yang menyakiti istrinya.“Kenapa kamu terus bergerak?” Wijaya membuka mata dan mengangkat kepalanya.“Maaf,” ucap Amira pelan.“Mmm.” Wijaya melumat bibir Amira. Dia memegang leher wanita itu dengan kuat.“Harusnya kita bercinta di villa, tetapi luka kamu membuat semuanya kacau.” Wijaya menatap Amira. “Hm.”
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la