Terima kasih atas dukungan kalian semua. Love You So Much.
Amira hanya diam saja dan menunduk. Wanita itu tidak ingin membela diri dan berdebat. Dia merasa memang telah melakukan kesalahan karena kebutuhan yang terdesak sehingga menerima tawaran Wijaya menjadi sekretaris dan ibu susu Keano dengan berakhir pada pernikahan rahasia.“Ayo, Amira.” Giorgio tidak terlalu suka dengan Luna yang datang untuk menyudutkan Amira.“Jaya.” Luna menahan tangan Wijaya yang akan menyusul Amira dan Giorgio.“Jangan mengganggu mereka. Aku tahu malam itu, kamu hanya mau membuatku cemburu,” ucap Lunan tersenyum.“Aku tidak perlu membuat kamu cemburu, Luna. Dari awal sudah dijelaskan bahwa pernikahan kita tidak lebih dari satu tahun. Aku akan menikah dengan wanita yang benar-benar aku cintai.” Wijaya menatap tajam pada Luna. Dia menarik tangan dan melepaskan diri dari kekangan wanita itu.“Kamu tahu kan apa yang telah kamu lakukan terakhir kalinya? Aku tidak akan membiarkan itu semua. Hanya saja sekarang bukan waktunya. Jadi, jangan pernah berpikir untuk mencari ke
Lu Zhan menyadari bahwa Amira memperhatikannya. Pria itu tidak tahu bahwa wanita yang diperebutkan dua lelaki terkenal sangat mengidolakan dirinya.“Tuan, saya rasa Nona Amira ini fans Anda,” ucap sang asisten pelan.“Hm. Berasa usia wanita itu?” tanya Lu Zhan.“Dia baru dua puluh empat tahun. Masih sangat muda,” jawab asisten Lu Zhan.“Hm. Pantas saja. Jauh lebih muda dari Luna.” Lu Zhan tersenyum tipis dan melihat pada Amira. “Ya Tuhan. Dia benar-benar tampan.” Amira segera menunduk untuk menghindari tatapan Lu Zhan. Dia bukanlah wanita yang berani mengungkapkan perasaannya.“Dia benar-benar menyukai actor Cina itu.” Wijaya melirik Amira yang tersipu. “Apa pria seperti itu seleranya?” tanya Giorgio di dalma hati. Pria itu pun memperhatikan Amira.“Aku benar-benar menjadi patung diantara mereka,” gumam Debora tersenyum.“Amira. Sepertinya dia fans Lu Zhan. Aku akan memikirkan cara menghancurkan nama kamu dengan memanfaatkan actor itu.” Luna tersenyum. Mata wanita itu terus memperhat
Amira tiba di villa. Dia langsung masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Membuka kotak obat dan mengambil es batu. “Aaahh!” Amira merasakan sakit pada pipi dan bibirnya.“Ada apa, Non.” Bibi menyusul Amira ke kamar karena wanita itu tidak juga pergi ke kamar Keano.“Tidak apa, Bi.” Amira tersenyum. Dia masih menempelkan es batu pada pipinya.Non Amira dipukul orang. Pak Wijaya kemana?” tanya bibi khawatir melihat wajah Amira yang bengkak.“Tidak apa. Nanti juga sembuh. Wijaya masih menemani Tuan Giorgio. Aku pulang duluan karena harus memberi asi untuk Keano. Bibi tolong bawa Keano kemari ya. Dadaku sudah membengkak.” Amira masih bisa tersenyum.“Iya, Non.” Bibi benar-benar kasian pada Amira. Wanita itu tahu mereka berada di lokasi syuting Luna.“Oh ya, Bi. Jangan kasih tahu Pak Wijaya ya. Semoga ketika dia pulang. Wajahku tidak bengkak lagi. Ini aku mau olehkan obat dulu,” ucap Amira.“Iya, Non.” Bibi keluar dari kamar Amira. Dia mengambil Keano yang ada di ruan
Wijaya menghentikan mobil di dalam garasi. Dia mematikan mesin dan membuka pintu. Pria itu mengitari mobil.“Istirahat saja di kamar.” Wijaya menggendong Amira yang hanya diam saja.“Minum dulu sebelum tidur.” Wijaya menurunkan Amira di tepi kasur. Pria itu mengeluarkan obat dan mengambil air mineral untuk Amira.“Aku….” Amira tidak berani mengatakan apa pun. “Aku tidak mau wajah cantik ini menjadi jelek.” Wijaya memegang pipi Amira dengan lembut.“Minum obat.” Wijaya memberikan obat kepada Amira.“Ya.” Amira mengambil obat dari tangan Wijaya dan air mineral. Dia menelan obat dan minum.“Berapa orang yang menampar pipi kamu?” tanya Wijaya.“Dua orang menampar dan dua orang lagi memegangiku,” jawb Amira.“Leher ini terluka karena apa?” Wijaya menyentuh leher Amira.“Seorang menarik kalung yang diberikan oleh Tuan Giorgio,” ucap Amira.“Baiklah.” Wijaya mengangguk.“Tidurlah!” Wijaya membantu Amira merebahkan tubuh di kasur. “Anda mau kemana?” Amira memegang tangan Wijaya.“Bekerja. Ad
Wijaya berada di atas tubuh Luna. Pria itu sudah melepaskan kemeja dan ikat pinggang. Dia hanya mengenakan celana panjang berbahan lembut.“Wijaya.” Luna menarik leher Wijaya. Dia ingin mencium bibir tipis suaminya. Wajah wanita itu menjadi merah melihat tubuh seksi suaminya.“Mm.” Belum bertemu bibir keduanya. Wijaya mencekik leher Luna. “Ah!” Luna terkejut karena jari-jari kekar Wijaya sangat kuat menekan leher sehingga wanita itu tidak bisa berbicara dan kesulitan bernapas.“Aarggg!” Luna memukul langan Wijaya yang kekar. Mata wanita itu melotot menahan sakit pada lehernya. Dia merasa berada pada ambang kematian. Oksigen di dalam paru-paru sudah habis.“Telpon empat orang yang sudah menyakiti Amira!” Wijaya menatap tajam pada Luna.“Plak.” Sebuah tamparan keras dari tangan kasar Wijaya mendarat di wajah cantik Luna.“Ah!” Luna yang mengenakan pakaian terbuka benar-benar terkejut dengan tindakan Wijaya.“Plak! Plak! Plak!” Wijaya memukul pipi Luna kiri dan kanan berkali-kali hingga
Wijaya terus memperhatikan Amira. Pria itu seakan ragu untuk mengajak istrinya bertemu dengan Giorgio.“Kenapa?” Amira sudah siap berangkat. Dia membawa dua tas berisi hadiah untuk Giorgio dan Debora.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Wijaya.“Aku baik,” jawab Amira.“Aku akan melindungi kamu. Mereka yang telah menyakiti kamu tidak akan hidup dengan tenang.” Wijaya memeluk Amira. Pria itu mencium dahi wanita itu dengan lembut.“Mm.” Amira hanya diam tanpa komentar. Wanita itu tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Dia hanya bisa pasrah.Amira tampil cantik dengan gaun berwarna hitam dengan hiasan Mutiara putih berkilau. Wanita dengan kulit putih dan bersih itu benar-benar cocok dengan gaun terbuka pada bagian pundak dengan belahan hingga paha. Sepatu tinggi di kakinya yang jenjang.“Kenapa kamu selalu tampil cantik ketika akan bertemu dengan tamu?” Wijaya meneliti Amira dari atas hingga bawah.“Apa aku harus berdandan ketika akan tidur?” tanya Amira.“Tidak. Kamu hanya perlu meng
Bella kembali ke kamar. Dia melihat tempat tidur yang masih kosong dan ponsel Luna yang belum bisa dihubungi.“Luna, kamu kemana?” Bella menatap layar ponselnya. Dia memiliki nomor Amira dan Wijaya, tetapi wanita itu tidak berani melakukan panggilan.Malam semakin larut. Dunia pun menjadi sepi. Apalagi di puncak yang tidak didatangi banyak tamu karena sudah disewa oleh pihak produksi film.“Wijaya membuka mata dan memeriksa pipi serta bibir Amira. Pria itu benar-benar khawatir dengan kecantikan dan kesehatan istirnya.“Mm.” Amira membuka mata karena sentuhan dan ciuman basah Wijaya.“Apa sakit?” tanya Wijaya menatap bola mata cokelat Amira. “Tidak.” Amira membalas tatapan Wijaya.“Tidurlah!” Wijaya mengecup dahi Amira.“Ya.” Amira memejamkan matanya. “Suhu tubuhnya panas. Dia benar-benar demam.” Wijaya mengusap keringat pada leher Amira.“Apa dingin?” tanya Wijaya. “Ya,” jawab Amira pelan. Wanita itu kembali terlelap. Dia memeluk selimut dengan erat.“Tidulah dan bangun ketika matah
Tim produksi dan kru tidak melanjutkan syuting karena mereka kehilangan Luna. Semua orang mencari keberadaan sang Bintang. Seorang lain dalam tim pun ikut hilang.“Bella, di mana Luna?” tanya sutradara.“Saya sudah bertanya pihak penginapan, tetapi mereka tidak mau memberikan informasi tentang kamar Pak Wijaya,” jelas Bella.“Saya juga sudah menghubungi nomor Luna, tetapi tidak aktif,” lanjut Bella. Wanita terlihat khawatir karena Luan tidak pernah mematikan ponsel.“Saya sendiri yang akan bertanya kepada pihak puncak.” Sutradara pergi ke bagian informasi.“Permisi.” Pria itu memperkenalkan diri kepada karyawan.“Maaf. Kami benar-benar ingin tahu dimana Pak Wijaya Kusuma menginap,” ucap sutradara.“Pak Wijaya sudah Cek out sejak pukul Sembilan tadi. Mereka langsung pergi ke bandara,” jelas karyawan.“Apa? Apa Luna ikut dengan dia?” tanya pria itu lagi.“Kami tidak melihat Non Luna bersama Pak Wijaya hanya sekretarisnya saja,” jawab pegawai.“Apa?” Bella dan Dira pun terkejut.“Kemarin
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wij
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe