Terima kasih. Maaf tidak bisa 2x update. Akak sibuk di sekolah.
Wijaya berada di atas tubuh Luna. Pria itu sudah melepaskan kemeja dan ikat pinggang. Dia hanya mengenakan celana panjang berbahan lembut.“Wijaya.” Luna menarik leher Wijaya. Dia ingin mencium bibir tipis suaminya. Wajah wanita itu menjadi merah melihat tubuh seksi suaminya.“Mm.” Belum bertemu bibir keduanya. Wijaya mencekik leher Luna. “Ah!” Luna terkejut karena jari-jari kekar Wijaya sangat kuat menekan leher sehingga wanita itu tidak bisa berbicara dan kesulitan bernapas.“Aarggg!” Luna memukul langan Wijaya yang kekar. Mata wanita itu melotot menahan sakit pada lehernya. Dia merasa berada pada ambang kematian. Oksigen di dalam paru-paru sudah habis.“Telpon empat orang yang sudah menyakiti Amira!” Wijaya menatap tajam pada Luna.“Plak.” Sebuah tamparan keras dari tangan kasar Wijaya mendarat di wajah cantik Luna.“Ah!” Luna yang mengenakan pakaian terbuka benar-benar terkejut dengan tindakan Wijaya.“Plak! Plak! Plak!” Wijaya memukul pipi Luna kiri dan kanan berkali-kali hingga
Wijaya terus memperhatikan Amira. Pria itu seakan ragu untuk mengajak istrinya bertemu dengan Giorgio.“Kenapa?” Amira sudah siap berangkat. Dia membawa dua tas berisi hadiah untuk Giorgio dan Debora.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Wijaya.“Aku baik,” jawab Amira.“Aku akan melindungi kamu. Mereka yang telah menyakiti kamu tidak akan hidup dengan tenang.” Wijaya memeluk Amira. Pria itu mencium dahi wanita itu dengan lembut.“Mm.” Amira hanya diam tanpa komentar. Wanita itu tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Dia hanya bisa pasrah.Amira tampil cantik dengan gaun berwarna hitam dengan hiasan Mutiara putih berkilau. Wanita dengan kulit putih dan bersih itu benar-benar cocok dengan gaun terbuka pada bagian pundak dengan belahan hingga paha. Sepatu tinggi di kakinya yang jenjang.“Kenapa kamu selalu tampil cantik ketika akan bertemu dengan tamu?” Wijaya meneliti Amira dari atas hingga bawah.“Apa aku harus berdandan ketika akan tidur?” tanya Amira.“Tidak. Kamu hanya perlu meng
Bella kembali ke kamar. Dia melihat tempat tidur yang masih kosong dan ponsel Luna yang belum bisa dihubungi.“Luna, kamu kemana?” Bella menatap layar ponselnya. Dia memiliki nomor Amira dan Wijaya, tetapi wanita itu tidak berani melakukan panggilan.Malam semakin larut. Dunia pun menjadi sepi. Apalagi di puncak yang tidak didatangi banyak tamu karena sudah disewa oleh pihak produksi film.“Wijaya membuka mata dan memeriksa pipi serta bibir Amira. Pria itu benar-benar khawatir dengan kecantikan dan kesehatan istirnya.“Mm.” Amira membuka mata karena sentuhan dan ciuman basah Wijaya.“Apa sakit?” tanya Wijaya menatap bola mata cokelat Amira. “Tidak.” Amira membalas tatapan Wijaya.“Tidurlah!” Wijaya mengecup dahi Amira.“Ya.” Amira memejamkan matanya. “Suhu tubuhnya panas. Dia benar-benar demam.” Wijaya mengusap keringat pada leher Amira.“Apa dingin?” tanya Wijaya. “Ya,” jawab Amira pelan. Wanita itu kembali terlelap. Dia memeluk selimut dengan erat.“Tidulah dan bangun ketika matah
Tim produksi dan kru tidak melanjutkan syuting karena mereka kehilangan Luna. Semua orang mencari keberadaan sang Bintang. Seorang lain dalam tim pun ikut hilang.“Bella, di mana Luna?” tanya sutradara.“Saya sudah bertanya pihak penginapan, tetapi mereka tidak mau memberikan informasi tentang kamar Pak Wijaya,” jelas Bella.“Saya juga sudah menghubungi nomor Luna, tetapi tidak aktif,” lanjut Bella. Wanita terlihat khawatir karena Luan tidak pernah mematikan ponsel.“Saya sendiri yang akan bertanya kepada pihak puncak.” Sutradara pergi ke bagian informasi.“Permisi.” Pria itu memperkenalkan diri kepada karyawan.“Maaf. Kami benar-benar ingin tahu dimana Pak Wijaya Kusuma menginap,” ucap sutradara.“Pak Wijaya sudah Cek out sejak pukul Sembilan tadi. Mereka langsung pergi ke bandara,” jelas karyawan.“Apa? Apa Luna ikut dengan dia?” tanya pria itu lagi.“Kami tidak melihat Non Luna bersama Pak Wijaya hanya sekretarisnya saja,” jawab pegawai.“Apa?” Bella dan Dira pun terkejut.“Kemarin
Wijaya berada di dalam pesawat pribadinya. Dia memeluk anak dan istri dengan mata terpejam. Pria itu benar-benar tenang. Hidupnya yang monoton kini menjadi lebih berwarna. Ada seseorang yang harus dilindungi dengan penuh cinta.“Kenapa dia terus tidur?” Amira melihat Wijaya yang merebahkan kepala di pundaknya. Wanita itu harus menjaga suami dan anaknya. “Non, biar bibi yang jada Den Keano.” Bibi mengambil Keano yang ada dalam pelukan Amira.“Ah, iya Bi.” Amira tersenyum. Dia memberikan Keano kepada bibi.“Apa dia tidak tidur semalam?” Amira menoleh pada Wijaya. Dia mencium wangi rambut pria itu. Lelaki yany hanya tidur tiga jam saja karena sibuk membalas dendam kepada orangn-orang yang menyakiti istrinya.“Kenapa kamu terus bergerak?” Wijaya membuka mata dan mengangkat kepalanya.“Maaf,” ucap Amira pelan.“Mmm.” Wijaya melumat bibir Amira. Dia memegang leher wanita itu dengan kuat.“Harusnya kita bercinta di villa, tetapi luka kamu membuat semuanya kacau.” Wijaya menatap Amira. “Hm.”
Wijaya menunggu di depan ruang pemeriksaan. Pria itu duduk di kursi. Dia terlihat tenang, tetapi pikirannya kacau memikirkan keadaan Amira yang mengalami pendarah hingga pingsan.Ibra dan tim dokter serta perawat melakukan pemeriksaan hingga melakukan usg. Wanita itu masih belum sadarkan diri. Dia bahkan diberikan obat bius karena penangan lebih lanjut.“Bagaimana bisa?” tanya dokter Ibra di dalam hati. Pria itu sangat terkejut dengan hasil pemeriksaan. Dia tidak percaya dengan keadaan Amira.“Pindah ke ruangan operasi!” perintah dokter Ibra.“Baik, Dok.” Tim dokter dan perawat serta asisten menyiapkan pasien serta ruang operasi.Dokter Ibra keluar dari ruangan pemeriksaan. Dia melihat Wijaya yang tampak tenang dengan ponselnya. Pria itu segera berdiri.“Bagaimana?” tanya Wijaya. “Ayo ke ruanganku.” Dokter Ibra berlalu menuju ruangannya dan Wijaya mengikuti dari belakang. “Ada apa?” tanya Wijaya ketika mereka sudah berada di dalam ruangan. “Apa yang kamu lakukan pada Amira, Jaya?” D
Dokter Ibra menemui Wijaya yang masih setia menunggu di depan ruangan operasi. Pria itu berdiri dengan menyenderkan tubuhnya pada dinding.“Ibra.” Wijaya segera menghalangi langkah dokter Ibra. “Bagaimana Amira? Kenapa dia belum keluar?” tanya Wijaya menatap pada Ibra.“Amira sudah dipindahkan ke ruang ICU,” jawab Ibra membalas tatapan Wijaya.“Apa? Kenapa?” Wijaya memegang kedua lengan Ibra dengan memberikan tekanan.“Dia kristis, Jaya. Wanita yang baru saja melahirkan dan kehilangan bayi. Sekarang dia keguguran. Apa yang akan terjadi? Amira sudah kehilangan dua anaknya,” jelas dokter Ibra. “Di mana Amira?” tanya Wijaya menatap tajam pada dokter Ibra.“Ayo ikut aku.” Ibra tidak akan bisa menahan Wijaya.“Hm.” Wiaya mengikuti dokter Ibra menuju ruang ICU.“Amira di dalam sana. Kamu bisa temui dia.” Dokter Ibra membuka pintu kaca dan masuk bersama dengan Wijaya.“Lihatlah. Dia terlihat sangat pucat,” ucap dokter Ibra. “Amira, kenapa kamu tidak memberitahuku tentang kehamilan ini?” ta
Wijaya yang sedang berada di ruang kerja melihat ponsel Amira berdering. Nomor tidak dikenal terlihat di layar. Pria itu sangat penasaran. Dia segera menerima panggilan.“Halo.” Suara berat Wijaya mengejutkan Bella sehingga membuat wanita itu secara refleks memutuskan panggilan. “Wijaya.” Bella melihat pada Dira. Dia sangat ingin berbicara dengan Wijaya, tetapi ketika mendengarkan suara pria itu saja sudah membuatnya takut.“Itu bagus. Kita bisa bertanya tentang pembatalan pembuatan film. Apa karena Ibu Luna terluka?” tanya Dira.“Itu tidak mungkin. Aku tahu benar bahwa Wijaya tidak peduli pada Luna,” ucap Bella di dalam hati.“Apa yang membuat Wijaya menghentikan pembuatan film?” Ada banyak pertanyaan yang muncul di dalam benak semua orang karena Wijaya tidak pernah mengambil Keputusan yang membuat dirinya dan Perusahaan merugi.“Siapa ini?” Wijaya dengan cepat memeriksa pemilik nomor yang menghubungi Amira.“Bella. Kenapa dia menghubungi Amira?” Wijaya melihat layar computer yang me
Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan. Mereka bersiap untuk makan malam bersama. Waktu berkumpul yang tidak boleh diganggu.“Ma, apa malam ini bisa tidur di kamar kami?” tanya Keano mengejutkan Wijaya. Pria itu pun ingin istrinya tidur dengannya.“Kenapa mau tidur dengan Mama? Kalian sudah besar,” ucap Wijaya sebelum Amira sempat menjawab pertanyaan putranya.“Devano rindu dengan mama.” Devano tersenyum dan Keano tidak menjawab lagi. “Malam ini, Mama akan tidur di kamar kalian.” Amira tersenyum. “Hm.” Wijaya menghela napas dengan berat.“Terima kasih, Ma.” Keano tersenyum puas. Dia melirik Wijaya yang tampak kecewa.“Kenapa anak-anak memperebutkan Amira? Jika tidak dua kembar. Maka, Keano yang akan mengmbilnya.” Wijaya melihat pada Amira yang tampak tenang menikmati makan malam mereka.“Papa sudah tua. Tidak perlu ditemani mama lagi.” Devano menepuk pundak Wijaya dengan senyuman manisnya.“Benar-benar. Devano paling mengerti. Kalian berdua juga beranjak besar. Kenapa mas
Cantika yang baru kembali dari luar negeri untuk perawatan kecantikan mendengar kabara bahwa Amira dan Wijaya telah memiliki bayi kembar yang tampan dan cantik. Mereka sudah berusia satu tahun.“Tidak terasa sudah lama aku bekerja dan luar negeri dan kini baru bisa kembali lagi.” Cantika mengambil cuti setelah satu tahun berada di luar negeri.“Kenapa Amira sangat beruntung? Dia mendapatkan apa pun yang diinginkan semua wanita.” Cantika masuk ke dalam mobil yang membawanya pulang ke rumah.“Aku harus membeli hadiah untuk anak-anak Wijaya.” Cantika tersenyum. Wanita itu semakin cantik dan seksi dengan perawatan mahal di luar negeri. Dari atas hingga bawah tidak asli lagi. Dia benar-benar ketagihan dengan operasi untuk mendapatkan kesempurnaan.“Ini bisa dijadikan alasan untuk diriku bertemu dengan Wijaya. Dia pasti akan terpesona dengan kecantikan ku saat ini.” Cantika benar-benar berharap akan perhatian dari Wijaya hingga jatuh cinta padanya.“Kita mampir ke super market,” ucap Cantika
Wijaya melupakan semua musuhnya, tetapi tidak dengan Leon. Pria itu bekerja tanpa diperintah. Dia memastikan keluarga majikannya aman tanpa ada gangguan. “Leon, kenapa kamu masih sibuk dengan computer? Siapa yang kamu awasi?” tanya Jack. “Semua orang yang pernah menjadi muluh Bos. Aku tidak percaya mereka akan melupakan rasa sakit yang telah bos berikan. Banyak manusia yang ingin balas dendam ketika ada kesempatan,” jelas Leon.“Bos membebaskan Andika dan Luna. Aku yakin dua orang itu tidak akan menyerah. Apalagi mereka punya hubungan dengan putra-putra bos kita,” lanjut Leon.“Benar. Apa yang kamu dapatkan? Apa ada pergerakan?” tanya Jack.“Ya. Andika mengunjungi Luna. Pria itu berpergian dengan uang orang tua. Dia menjadi pengangguran,” jawab Leon.“Luwiq kembali ke Italia. Pria itu juga belum melakukan aktivitas apa pun,” lanjut Leon. “Aku harus memastikan mereka tidak akan kembali ke Indonesia,” tegas Leon.“Ya.” Jack menepuk pundak Leon. “Apa yang kalian bicarakan?” Wijaya mas
Wijaya benar-benar fokus pada keluarganya. Dia hidup begitu tenang dan bahagia hingga melupakan musuh-musuh yang sudah dilepaskannya. Pria itu berpikir terlalu banyak dosa sehingga membuat istrinya dalam bahaya karena karmanya di masa lalu.“Aku sudah memaafkan semua orang. Aku juga membebaskan musuh-musuh yang aku penjara.” Wijaya menatap Amira yang sedang terlelap di dalam tidurnya. Mereka sudah pulang ke rumah.Dua bayi kembar berada di dalam keranjang bayi. Keano dan Devano pun berada di atas kasur mereka yang telah disiapkan. Ruangan kamar yang luas itu cukup menampung banyak orang.“Apa yang aku inginkan sudah menjadi nyata. Dua putra yang cerdas dari kami berdua dan sepasang bayi kembar.” Wijaya melihat anak-anaknya.“Aku sudah memiliki segalanya. Tidak kekurangan apa pun. Aku benar-benar bahagia.” Wijaya mencium dahi anak-anaknya dan mematikan lampu. Dia naik ke tempat tidur dan memeluk Amira.“Sayang.” Amira merasakan tangan yang memeluk pinggangnya.“Ya. Tidurlah,” bisik Wija
Keano dan Devano berlari masuk ke dalam kamar Amira. Dua anak kecil itu berteriak menyapa ibu mereka. “Mama!” Keano naik ke tempat tidur dan mencium pipi Amira. “Mama, bangun!” Devano menangis. Dia memeluk tubuh Amira.Tangis bayi kembar pun semakin kuat. Dokter dan tim memberikan ruang untuk anak-anak Amira dan suaminya.“Amira! Bangun!” Wijaya mengusap tangan Amira. “Mama! Bangun! Aku akan membenci adik!” teriak Keano.“Mama. Aku sayang Mama. Bangunlah!” Devano menggoyang tubuh Amira.Amira melihat Keano dan Devano berlari kepadanya. Dua anak lelaki itu menarik tangan dengan kuat dan terus berteriak.“Keano. Devano.” Amira tersenyum melihat dua putra yang telah dia besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.“Mama kembali!” Keano dan Devano sekuat tenaga menarik tangan Amira menjauh dari gadis kecil yang berusaha membawa ibunya pergi bersamanya.“Kamu menjauh!” Keano mendorong gadis kecil hingga terjatuh dan menghilang.“Tidak!” Amira berteriak dan terbangun dari tidurnya.“Hah!
Andika benar-benar tidak bisa masuk rumah sakit. Apalagi mendekati ruangan Amira. Sasarannya adalah anak-anak yang sudah pergi ke sekolah. Pria itu memiliki kesempatan ke tempat belajar Devano dan Keano.“Aku tahu. Keano dan Devano sekolah di sini.” Andika telah mengirim orang untuk menyelidiki dan mencari tahu putranya. Dia benar-benar menjadi gembel di jalanan. Berpindah tempat untuk bersembunyi. Pria itu tidak punya apa-apa lagi selain harta orang tuanya. “Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya petugas keamanan kepada Andika yang menunnggu di depan gerbang sekolah. “Aku mau melihat anakku,” jawab Andika.“Siapa anak kamu? Semua yang sekolah di sini adalah orang kaya dari kalangan atas. Tidak mungkin kamu mampu,” ucap petugas.“Anakku ikut mantan istriku yang kaya sehingga bisa sekolah di sini,” tegas Andika.“Artinya kamu tidak ada hubungan lagi dengan anak yang ikut mantan istri. Sebaiknya pergi!” Petugas mendorong tubuh Andika hingga jatuh ke rumput.Mobil mewah yang membawa Kean
Keano berada di ruang kerja Wijaya. Anak kecil itu membongkar computer kerja papanya. Dia memeriksa semua untuk mendapatkan semua informasi tentang kehidupan mamanya.“Apa yang kamu cari?” tanya Devano. “Aku selesai.” Keano turun dari kursi milik Wijaya dan keluar dari ruang kerja dengan tidak lupa menutup serta mengunci pintu.“Kamu tidak akan membuat papa bangkrut kan?” tanya Devano mengikuti Keano ke kamar mereka.“Itu tidak mungkin.” Keano memidah data ke komputernya.“Aku hanya mau melihat catatan kesehatan mama,” ucap Keano.“Ini jadwal dari dokter. Program hamil yang sudah direncanakan, tetapi mama masih menolak,” jelas Keano.“Mama pernah keguguran,” ucap Keano. “Apa kamu mengerti?” Keano menoleh pada Devano yang hanya diam saja.“Tentu saja, tetapi untuk apa kamu mencari tahu tentang kesehatan mama?” tanya Devano.“Papa sudah lama ingin mama hamil lagi, tetapi ditolak mama dan menunggu kita lebih besar sehingga program pun ditunda. Aku tahu, mama takut untuk hamil dan melahi
Dua bayi kembar berada di dalam tabung kaca. Amira di ruang ICU. Wanita itu masih belum sadarkan diri. Dia mendapatkan tranfusi darah dari sang suami dan orang-orang pilihan. “Amira, kenapa kamu belum bangun?” Wijaya menggenggam tangan Amira. Wanita itu terlelap dalam tidur yang panjang. “Amira, kita punya putri kecil yang cantik dan putra tampa. Sekarang anak kita sudah empat. Kamu tidak usah hamil lagi. Ini yang terakhir.” Wijaya tampak kesal sehingga dia tidak juga menggendong sepasang bayi kembarnya. “Aku yang terus memaksa kamu untuk hamil dan melahirkan. Aku tidak tahu bahwa ini yang akan terjadi. Maafkan aku Amira. Aku salah. Tidak seharusnya aku meminta kamu hamil anak kita. Devano dan Keano sudah cukup.” Wijaya mencium tangan Amira. Pria itu sangat ingin anak dari mereka berdua karena Devano dan Keano berbeda. Mereka saudara beda ibu dan ayah. “Tuk tuk.” Pintu kaca diketuk jari-jari kecil sehingga Wijaya segera menoleh. Dia mendapatkan tatapan tajam dari Keano dan raut sed
Wijaya yang duduk di sudut ruangan mendengarkan tangis bayi yang cukup kuat. Pria yang tampak gugup itu tersenyum tipis. Dia melihat sepasang tangan dan kaki yang telanjang bergerak-gerak.“Kenapa situasi ini sangat menyakitkan? Aku harus bahagia, tetapi juga sedih. Rasanya dadaku sakit sekali. Ini tidak sama ketika Luna melahirkan Keano.” Wijaya meremas dadanya. Dia tidak berani mendekat. Tubuh pria itu terasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Dia ingin hanya bisa melihat Amira yang diam dan membeku. “Wijaya, selamat. Kamu punya sepasang bayi kembar yang sehat.” Dokter Ibra mendekati Wijaya. “Apa?” Wijaya tersenyum. Dia melihat bayi yang digendong Ibra dan perawat.“Ya.” Wijaya mengangguk.“Kami akan membersihkannya,” ucap perawat.“Bagaimana dengan Amira?” tanya Wijaya.“Dok, jantung pasien tidak stabil. Dia mengalami pendarahan hebat,” ucap dokter yang sedang menutup perut Amira.Tempat tidur dan sepray telah dibasahi oleh darah Amira yang terus keluar dengan derasnya. Tubuhnya be