“Sudah cepat bersiaplah dan jangan banyak bertanya!” Kembali Isha mendapati perintah dari Danish. Hal itu membuatnya sedikit kesal. Sikap dominan Danish kembali. Padahal juga mereka belum berbaikan. Danish juga belum meminta maaf dengan apa yang dilakukannya kala itu. Danish menatap Isha lekat. Tatapan itu seolah menyiratkan untuk Isha segera mengambil tasnya dan segera pergi dengannya. Isha segera mengambil tas miliknya. Kemudian berpamitan pada Ina. Meminta Ina untuk menutup toko saat sore. Tak berlama-lama, Isha masuk ke mobil. Sudah ada supir di dalam yang siap mengantarkan mereka. Ke mana? Isha sendiri tidak tahu. Pasrah saja mengikuti yang dilakukan Danish. Mobil terus melaju. Isha pun tak bertanya sama sekali ke mana mereka pergi. Sampai akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah sakit. Isha langsung terperangah. Bertanya-tanya, kenapa Danish membawanya ke sini? Saat mobil berhenti di depan lobi, Isha masih terdiam. Tak beranjak sama sekali. Masih termangu di kursi penu
Isha menatap Danish yang berhenti di belakangnya. Merasa bingung karena Danish mengikutinya yang hendak masuk ke kamar. “Ke kamar, memang ke mana lagi?” Danish balik bertanya. Isha masih menatap aneh. “Masalah kita sudah selesai. Sudah tidak ada kesalahpahaman. Jadi aku akan kembali tidur di kamarmu.” Isha masih terdiam. Belum menanggapi sang suami. “Apa kamu tega membiarkan aku mimpi buruk terus?” Danish menatap Isha dengan tatapan memelas. Berharap Isha mau menerimanya kembali di kamar. Hanya alasan itu yang membuatnya bersama Isha. Jelas Isha tidak tega melihat Danish mimpi buruk. Apalagi semalam Danish tampak ketakutan. “Baiklah.” Akhirnya Isha setuju. Jawaban Isha itu jelas membuat Danish senang. Dia langsung menerobos masuk ke kamar Isha. Sepertinya, malam ini dia akan tidur nyenyak. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Isha yang melihat Danish pergi, hanya bisa menggeleng saja. Sang suami begitu bersemangat sekali. ****Usai makan malam, Danish dan Isha se
Danish tahu pasti jika Isha memikirkan Abra. Karena nasib Abra tergantung dengan kapan Isha hamil. “Jika lama, artinya mantan suamimu itu juga akan lama di penjara.” Danish mengulas senyum manisnya. Isha membulatkan matanya. Dia teramat terkejut ketika Danish mengatakan hal itu padanya. Danish sama sekali tidak mengubah kontrak walaupun ada masalah padanya suatu saat nanti. Tidak ada kebijakan untuk hal yang membuat kehamilan lama terjadi.Reaksi Isha yang diam membuat Danish menyadari jika ada kekecewaan pada Isha. “Hasilnya belum keluar, tetapi kamu sudah memikirkan hal buruk. Ibarat mau perang, kamu sudah memikirkan kematian. Harusnya kamu berpikir bagaimana berjuang.” Danish pun gemas untuk mengomentari Isha. “Tunggulah dulu hasilnya. Berpikirlah positif dulu.”Isha terdiam. Yang dikatakan Danish memang ada benarnya. Harusnya, dirinya tidak memikirkan hal buruk itu. Justru harusnya dia memikirkan semoga semua baik-baik saja. Langkah mereka terhenti ketika sampai di lobi.
Kali ini Danish terdiam. Tak berani menjawab pertanyaan Dino. Tidak seperti biasanya juga, Danish tidak mengelak. Padahal biasanya pria itu mengatakan jika pernikahannya hanyalah kerja sama. Jadi kedekatan yang terjalin adalah kerja sama saja. Namun, kali ini dia tidak bisa mengatakan hal itu. Karena perasaannya sudah berbeda. “Apa benar aku jatuh cinta?” Danish menoleh pada Dino yang duduk di kursi kemudi. Mendengar pertanyaan Danish seketika membuat Dino tertawa. Bisa-bisanya temannya itu mempertanyakan hal itu. “Yang tahu itu cinta adalah hatimu. Bagaimana bisa kamu bertanya padaku?” “Aku sudah lama tidak jatuh cinta. Jadi aku tidak bisa memahami hatiku.” Jika ditanya soal jatuh cinta, jelas dia sudah lupa. Pertama kali jatuh cinta adalah dengan Dara. Itu dirasakanya waktu kuliah. Itu saat umurnya sekitar dua puluh tahunan. Bisa bayangkan sudah dua puluh tahun Danish tidak merasakan jatuh cinta. Ingin rasanya Dino tertawa. Namun, memang pada kenyataannya Danish sudah lama tidak
“Benahi seperti apa?” tanya Danish. “Jangan jadikan anak sebagai alat untuk membayar hutang.” Isha memberikan ide pada Danish. Danish menatap Isha penuhi curiga. “Kamu berniat aku membebaskan mantan suamimu, tanpa aku meminta imbal balik?” “Aku—” “Pak Danish Morgan Fabrizio.” Baru saja Isha hendak menjawab, tetapi nama Danish dipanggil untuk mengambil vitamin. Danish segera berdiri. Terpaksa dia meninggalkan Isha untuk mengambil vitamin. Isha yang duduk di ruang tunggu, harus menunda penjelasannya itu. Sebenarnya, dia sudah gemas sekali menjelaskan hal itu, tetapi dia harus bersabar. Akhirnya setelah vitamin selesai didapatkan, Danish mengajak Isha untuk pulang bersama. Mereka diantar oleh supir ke rumah. Karena mereka memang tidak berencana untuk kembali ke toko mau pun ke kantor. Sepanjang jalan, Isha dan Danish memilih diam. Tidak mau bicara di saat ada supir. Tak mau pembicaraan didengar. “Kita tadi belum selesai bicara.” Isha menatap Danish sesaat setelah mereka sampai dan
Mendengar jika ada pesanan lagi, tentu saja dia terkejut. Beruntungnya pramusaji membawa nampan kosong. Sedikit lega karena artinya yang dipesan bukan makanan.“Ini access card kamar yang Anda pesan.” Pramusaji memberikan access card pada Danish.Danish mengulas senyumnya tipis. Ternyata yang berikan oleh pramusaji hanyalah access card kamar hotel, bukan makanan lagi. Jika makanan lagi, jelas Danish tidak akan sanggup untuk memakannya.“Terima kasih.” Danish menerima access card kamar yang diberikan. Dia yakin jika temannya itu yang memesan kamar hotel tersebut.Isha yang melihat apa yang dipesan pun langsung terdiam. Tak bisa berkomentar lagi. Sejak awal makan malam di hotel, dia sudah curiga jika akan ke kamar hotel juga. Namun, tadi dia sempat berbaik sangka, jika memang hanya akan makan malam saja di hotel.Danish beralih pada Isha. Sayangnya, hal pertama yang dilihat dari wajah sang istri adalah wajah penuh kekecewaan.“Kamu kenapa? Tidak suka Dino memesan kamar hotel untuk kita?
“Wanita itu kamu kenal.” Dino menjelaskan pada Danish.Mendengar ucapan itu seketika Danish membulatkan matanya. “Siapa maksudmu? Isha?” Danish mencoba menebak. Walaupun sejujurnya, dia tidak berharap jika istrinya yang ke sana setiap minggu.“Bukan.”Danish lega mendengar hal itu. Dia pikir sang istri yang ke penjara setiap minggu. Dia benar-benar begitu berdebar-debar sekali. Tak terbayang jika sampai istrinya yang benar-benar berkunjung.“Lalu siapa?”“Lidia.”“Lidia bagian HRD?”“Iya.” Dino menganggukkan kepalanya.Dino cukup terkejut mendengar hal itu. Lidia seingatnya sudah memiliki suami. Tentu saja itu membuat pikirannya melayang.“Mereka selingkuh?” tanyanya memastikan pada Dino.“Entahlah, tetapi beberapa karyawan yang aku tanyai, mereka mengatakan jika hubungan Abra dan Lidia biasa saja. Tidak ada yang spesial. Saat di kantor, mereka profesional kerja. Ditambah tidak pernah terpergok bersama. Tapi, dia selalu berkunjung setiap minggu ke penjara. Bukankah itu aneh?” Dino be
Isha tampak terkejut dengan apa yang dikatakan Danish. Kalimat itu bak petir yang menyambar di siang bolong. Selama ini tidak terbayangkan di pikiran Isha jika Abra akan selingkuh darinya. “Dengan siapa dia selingkuh?” “Salah satu karyawan IZIO juga.” Selama ini Isha tidak tahu sama sekali jika selama di kantor, Abra menjalin hubungan dengan teman sekantornya. “Karyawan IZIO? Siapa?” “Namanya Lidia.” Nama itu jelas tak asing di telinga Isha. Dia jelas mengenal wanita tersebut. Karena Isha mengenal wanita tersebut. Jelas itu membuat hatinya terluka. “Apa kamu yakin jika Kak Lidia berselingkuh dengan Kak Abra?” Isha menatap lekat wajah Danish. Memastikan apa yang diucapkan Danish. Dia tahu betul siapa Lidia. Jadi dia ragu jika Lidia yang disebut Danish sebagai wanita yang menjadi selingkuhan Abra. “Dari informasi Dino, Lidia sering sekali datang ke penjara. Jika tidak ada hubungan khusus, pastinya tidak mungkin dia datang ke sana secara rutin.” Hati Isha hancur sekali. Mendenga