"Harusnya kalian berpikir dulu sebelum mengatakan sesuatu. Kalian bukan anak muda lagi, harusnya lebih bijak." Danish masih tampak kesal."Maafkan kami, Nish. Kamu tahu jika yang kami lakukan salah.""Aku tidak berhak memberikan kalian maaf. Yang berhak memberikan maaf hanyalah Isha." Danish tampak semakin dingin."Isha, maaf sudah membuatmu seperti ini. Aku tidak menyangka ucapanku membuatmu kepikiran."Isha sebenarnya sedih ketika mengingat bagaimana mereka membicarakannya. Namun, apa artinya jika marah bukankah itu akan membuang waktu dan tenaganya."Terkadang kita tidak tahu apa yang terjadi pada orang lain. Jangan membiasakan mengasumsikan sendiri. Jika pun aku adalah wanita biasa yang mendapatkan Danish, artinya ada perjuangan yang sudah aku lakukan untuk mendapatkannya." Isha meluapkan sedikit rasa kesalnya. "Aku memaafkan kalian, semoga kalian lebih bijak lagi menilai orang.""Terima kasih." Miska langsung menyalami Isha.Teman-teman yang lain pun menyalami Isha juga. Berterim
"Halo." Suara bass terdengar dari sambungan telepon.Luel yang mendengar hal itu pun langsung menjauhkan ponselnya untuk tahu siapa yang menghubunginya. Alangkah terkejutnya Luel ketika ternyata Levon yang menghubunginya. Luel merutuki kesalahannya yang sedikit membentak ketika menyapa."Hai, Levon." Kali ini suara Luel lebih lembut dibanding tadi."Apa aku mengganggumu?" Levon merasa suara keras tadi adalah tanda jika Luel sedang tidak mau diganggu.Luel langsung bangun. Rasa kantuknya seketika hilang. "Kamu tidak menganggu aku.""Benarkah?""Tentu saja benar.""Syukurlah. Aku pikir aku mengganggumu." Levon tertawa."Ada apa kamu menghubungi aku?" Luel ingin tahu apa yang ingin dikatakan Levon."Aku hanya ingin memberitahu jika minggu depan mungkin aku akan ke sana."Mendengar hal itu Luel langsung girang sekali. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang di sambungan telepon."Apa kamu sudah bilang Uncle Danish?""Belum, rencananya mungkin aku akan bilang sehari sebelumnya. Jika sudah b
Isha menjalani hari-harinya dengan tenang paska ditetapkannya Abra sebegitu tersangka kasus pembakaran ruko. Isha tidak lagi memikirkan hal itu. Kini dia hanya ingin menjalani kehamilannya dengan baik. Apalagi usai kandungannya sudah enam bulan. "Lihatlah, perutku semakin besar. Aku gemas sekali." Isha benar-benar senang melihat perutnya semakin besar. "Iya, sudah mulai besar." Danish memeluk sang istri dari belakang. "Lihatlah, saat aku memelukmu saja, tanganku mulai tidak muat." Danish merasa memang perut sang istri mulai besar. "Aku tidak sabar untuk menunggu sembilan bulan." Isha merasa jika pasti akan semakin besar perutnya ketika sembilan bulan. "Sabar. Nikmati prosesnya." Danish mendaratkan kecupan di pipi sang istri. Isha mengangguk. Dia akan menikmati setiap proses yang kehamilannya. "Ayo, kita sarapan." Danish segera mengajak sang istri untuk keluar kamar. Sebelum berangkat dia harus sarapan dulu. "Ayo." Isha segera memutar tubuhnya kemudian melingkarkan tangann
"Karena sudah tidak ada Endrew, apalagi?" Luel merasa jika sudah tidak perlu memeluk Levon karena mantan pacarnya sudah tidak ada.Levon menarik tangan Luel dan membawanya untuk memeluknya lagi. Luel tampak terkejut ketika melihat Levon menarik tangannya."Aku tidak mau dimanfaatkan sebentar saja." Levon mengulas senyumnya.Entah kenapa Luel tidak bisa menolak apa yang dilakukan oleh Levon. Dia seolah menikmati apa yang dilakukannya.Saat Luel tidak menolak apa yang dilakukan, Levon tampak senang. Dia selalu menikmati apa yang dilakukan bersama Luel."Sebenarnya kenapa kamu putus dengan pria tadi?" Levon menatap Luel dari pantulan cermin."Ada alasan khusus yang aku tidak bisa katakan." Luel tidak mau jujur pada Levon. Lebih tepatnya dia malu membahas hal itu.Levon tidak memaksa jika memang Luel tidak mau menjawab."Kamu kenapa tiba-tiba sekali ada di kampusku?" Luel masih bingung dengan keberadaan Leo yang tiba-tiba tadi."Aku memang ingin menemuimu. Tidak menyangka jika bertemu den
Luel keluar dari kamar bersamaan dengan Levon yang juga keluar dari kamarnya. Entah kenapa Luel merasa canggung sekali. Sedikit malu pada Levon."Mau turun?" Levon mengulas senyumnya."Iya." Luel mengangguk."Ayo." Levon mengajak Luel untuk bersama.Mereka berdua turun ke lantai bawah bersama. Tentu saja itu menarik perhatian Danish yang juga baru saja keluar kamar."Lihatlah, mereka serasi 'kan. Sudahlah jangan banyak yang dipikirkan." Isha yang melihat Luel dan Levon pun menenangkan sang suami yang tampak khawatir.Danish tidak menjawab ucapan istrinya. Memilih untuk diam saja."Kalian sudah turun, ayo kita makan bersama." Melihat Luel dan Levon, Isha segera mengajak mereka untuk bergabung.Mereka semua ke ruang makan. Menikmati makan malam. Danish masih terus memerhatikan Luel dan Levon. Memerhatikan gerak-gerik dua orang itu.Isha menyadari apa yang dilakukan oleh suaminya. Tentu saja dia yakin jika itu membuat Luel dan Levon tidak nyaman."Sayang, kamu bilang mau ajak Levon kemah
"Memang kamu mau dengan siapa? Dengan Levon?" Danish langsung melayangkan sindiran keras."Bukan begitu juga, Uncle. Kenapa aku tidak dengan Aunty Isha saja?""Aunty Isha tidak bisa tidur sendiri. Harus ada aku." Danish memberikan alasannya."Aku juga tidak bisa tidur sendiri, Uncle. Aku takut. Apalagi ini di tempat asing." Luel tidak mau sampai benar-benar tidur sendiri. Tidur di alam terbuka sepert ini jelas membuatnya takut.Danish bingung saat ini. Dia tidak mungkin membiarkan keponakannya itu tidur bersama. Bisa bahaya jika seperti itu."Sayang, kamu tidur dengan Luel saja bagaimana?" Danish berusaha untuk membujuk Isha.Isha langsung menatap Danish. Dia merasa jika tidak ada pilihan lagi. "Baiklah kalau begitu."Danish bernapas lega karena akhirnya sang istri mau tidur dengan keponakannya. Jika begini, tidak ada masalah."Baiklah, ayo kita rapikan semua. Aku akan ambil barang-barang di mobil." Danish segera beralih pada Levon. "Ayo, kita ambil barang-barang," ajaknya."Baiklah."
Danish seolah tidak bisa bertindak apa-apa saat sang istri melarangnya. Dia tahu jika ini adalah hal berat. Namun, terkadang hati tidak bisa dikendalikan. Selalu dekat, tentu saja akan membuat Luel dan Levon semakin dekat. Levon yang melihat tangan Luel terluka, langsung mengambil kotak obat. Tadi dia lihat Danish merapikan kotak obat. Jadi dia harus mengobati luka tersebut."Ayo, kita gantikan mereka membakar." Isha memberikan ide."Ayo." Danish langsung setuju. Danish dan Isha yang melihat Levon sedang mengobati Luel, langsung mengambil alih untuk membakar daging. Mereka menghampiri Luel dan Levon bersama-sama. "Kalian obati saja dulu, biar kami yang urus ini." Isha menatap Levon dan juga Luel."Baik, Aunty." Levon segera mengajak Luel untuk duduk di kursi. Kemudian membuka kotak obat. Dia mencari obat untuk luka bakar. Saat menemukan, dia langsung mengolesi obat ke luka Luel."Ach ...." Luel merasa lukanya sakit sekali."Kamu ceroboh sekali. Lihatlah, jadi luka seperti ini." Le
Luel jelas malu sekali ketika mendengar hal itu. Pipinya langsung menghangat. Padahal dia jauh dari api unggun.Levon melihat jelas wajah merona Luel. Tampak lucu sekali baginya. Dia suka itu. Apalagi wajah putih Luel, kontras dengan rona merah itu."Aku mau kopi." Levon kali ini menjawab dengan benar. Tak mau membuat Luel salah tingkah dan malu."Aku akan ambilkan kopinya." Luel buru-buru mengambil kopi sachet yang ada di box kecil. Isha sudah menyiapkan beberapa minuman instan di sana. Luel memilih mengambil teh saja.Luel membuat dua teh hangat dan juga dua kopi. Kali ini Levon tidak menggoda Luel. Takut Luel salah tingkah dan terkena air panas.Setelah minuman jadi, Luel dan Levon membawa minuman ke tempat api unggun. Memberikan pada Isha dan Danish."Terima kasih." Isha mengulas senyumnya ketika menerima teh dari Luel."Sama-sama, Aunty." Luel segera duduk di samping Levon.Mereka semua menikmati makanan hangat mereka. Rasa hangat pun langsung terasa ketika meminum minuman hangat