"Aku tidak memikirkan apa-apa." Isha mengelak. Danish tidak bisa memaksa sang istri jika tidak mau cerita. "Kalau begitu kamu istirahat saja." Danish mendaratkan kecupan di dahi sang istri. Isha memejamkan matanya. Entah kenapa dia lelah sekali. Hingga membuatnya ingin sekali memejamkan matanya. Danish menemani sang istri di sampingnya. Tak mau meninggalkannya sama sekali. ****Dino mencari keberadaan istrinya, tetapi tidak mendapatkannya. Dia juga mencari Danish, tapi juga tidak ada."Sial. Ponselku mati." Dino menggerutu ketika melihat ponselnya tidak nyala sama sekali. Dia merutuki kebodohannya yang tidak mengisi daya ponselnya tadi."Apa kalian tahu jika tadi istri Danish di toilet ketika kita sedang membicarakannya?""Tidak.""Apa dia di toilet?""Jadi dia dengar yang kita bicarakan?""Dia di toilet. Tadi aku lihat Danish mengendong istrinya keluar. Sepertinya istrinya pendarahan."Dino yang sedang melintas untuk mencari Danish, tanpa sengaja mendengar hal itu langsung mengha
"Harusnya kalian berpikir dulu sebelum mengatakan sesuatu. Kalian bukan anak muda lagi, harusnya lebih bijak." Danish masih tampak kesal."Maafkan kami, Nish. Kamu tahu jika yang kami lakukan salah.""Aku tidak berhak memberikan kalian maaf. Yang berhak memberikan maaf hanyalah Isha." Danish tampak semakin dingin."Isha, maaf sudah membuatmu seperti ini. Aku tidak menyangka ucapanku membuatmu kepikiran."Isha sebenarnya sedih ketika mengingat bagaimana mereka membicarakannya. Namun, apa artinya jika marah bukankah itu akan membuang waktu dan tenaganya."Terkadang kita tidak tahu apa yang terjadi pada orang lain. Jangan membiasakan mengasumsikan sendiri. Jika pun aku adalah wanita biasa yang mendapatkan Danish, artinya ada perjuangan yang sudah aku lakukan untuk mendapatkannya." Isha meluapkan sedikit rasa kesalnya. "Aku memaafkan kalian, semoga kalian lebih bijak lagi menilai orang.""Terima kasih." Miska langsung menyalami Isha.Teman-teman yang lain pun menyalami Isha juga. Berterim
"Halo." Suara bass terdengar dari sambungan telepon.Luel yang mendengar hal itu pun langsung menjauhkan ponselnya untuk tahu siapa yang menghubunginya. Alangkah terkejutnya Luel ketika ternyata Levon yang menghubunginya. Luel merutuki kesalahannya yang sedikit membentak ketika menyapa."Hai, Levon." Kali ini suara Luel lebih lembut dibanding tadi."Apa aku mengganggumu?" Levon merasa suara keras tadi adalah tanda jika Luel sedang tidak mau diganggu.Luel langsung bangun. Rasa kantuknya seketika hilang. "Kamu tidak menganggu aku.""Benarkah?""Tentu saja benar.""Syukurlah. Aku pikir aku mengganggumu." Levon tertawa."Ada apa kamu menghubungi aku?" Luel ingin tahu apa yang ingin dikatakan Levon."Aku hanya ingin memberitahu jika minggu depan mungkin aku akan ke sana."Mendengar hal itu Luel langsung girang sekali. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang di sambungan telepon."Apa kamu sudah bilang Uncle Danish?""Belum, rencananya mungkin aku akan bilang sehari sebelumnya. Jika sudah b
Isha menjalani hari-harinya dengan tenang paska ditetapkannya Abra sebegitu tersangka kasus pembakaran ruko. Isha tidak lagi memikirkan hal itu. Kini dia hanya ingin menjalani kehamilannya dengan baik. Apalagi usai kandungannya sudah enam bulan. "Lihatlah, perutku semakin besar. Aku gemas sekali." Isha benar-benar senang melihat perutnya semakin besar. "Iya, sudah mulai besar." Danish memeluk sang istri dari belakang. "Lihatlah, saat aku memelukmu saja, tanganku mulai tidak muat." Danish merasa memang perut sang istri mulai besar. "Aku tidak sabar untuk menunggu sembilan bulan." Isha merasa jika pasti akan semakin besar perutnya ketika sembilan bulan. "Sabar. Nikmati prosesnya." Danish mendaratkan kecupan di pipi sang istri. Isha mengangguk. Dia akan menikmati setiap proses yang kehamilannya. "Ayo, kita sarapan." Danish segera mengajak sang istri untuk keluar kamar. Sebelum berangkat dia harus sarapan dulu. "Ayo." Isha segera memutar tubuhnya kemudian melingkarkan tangann
"Karena sudah tidak ada Endrew, apalagi?" Luel merasa jika sudah tidak perlu memeluk Levon karena mantan pacarnya sudah tidak ada.Levon menarik tangan Luel dan membawanya untuk memeluknya lagi. Luel tampak terkejut ketika melihat Levon menarik tangannya."Aku tidak mau dimanfaatkan sebentar saja." Levon mengulas senyumnya.Entah kenapa Luel tidak bisa menolak apa yang dilakukan oleh Levon. Dia seolah menikmati apa yang dilakukannya.Saat Luel tidak menolak apa yang dilakukan, Levon tampak senang. Dia selalu menikmati apa yang dilakukan bersama Luel."Sebenarnya kenapa kamu putus dengan pria tadi?" Levon menatap Luel dari pantulan cermin."Ada alasan khusus yang aku tidak bisa katakan." Luel tidak mau jujur pada Levon. Lebih tepatnya dia malu membahas hal itu.Levon tidak memaksa jika memang Luel tidak mau menjawab."Kamu kenapa tiba-tiba sekali ada di kampusku?" Luel masih bingung dengan keberadaan Leo yang tiba-tiba tadi."Aku memang ingin menemuimu. Tidak menyangka jika bertemu den
Luel keluar dari kamar bersamaan dengan Levon yang juga keluar dari kamarnya. Entah kenapa Luel merasa canggung sekali. Sedikit malu pada Levon."Mau turun?" Levon mengulas senyumnya."Iya." Luel mengangguk."Ayo." Levon mengajak Luel untuk bersama.Mereka berdua turun ke lantai bawah bersama. Tentu saja itu menarik perhatian Danish yang juga baru saja keluar kamar."Lihatlah, mereka serasi 'kan. Sudahlah jangan banyak yang dipikirkan." Isha yang melihat Luel dan Levon pun menenangkan sang suami yang tampak khawatir.Danish tidak menjawab ucapan istrinya. Memilih untuk diam saja."Kalian sudah turun, ayo kita makan bersama." Melihat Luel dan Levon, Isha segera mengajak mereka untuk bergabung.Mereka semua ke ruang makan. Menikmati makan malam. Danish masih terus memerhatikan Luel dan Levon. Memerhatikan gerak-gerik dua orang itu.Isha menyadari apa yang dilakukan oleh suaminya. Tentu saja dia yakin jika itu membuat Luel dan Levon tidak nyaman."Sayang, kamu bilang mau ajak Levon kemah
"Memang kamu mau dengan siapa? Dengan Levon?" Danish langsung melayangkan sindiran keras."Bukan begitu juga, Uncle. Kenapa aku tidak dengan Aunty Isha saja?""Aunty Isha tidak bisa tidur sendiri. Harus ada aku." Danish memberikan alasannya."Aku juga tidak bisa tidur sendiri, Uncle. Aku takut. Apalagi ini di tempat asing." Luel tidak mau sampai benar-benar tidur sendiri. Tidur di alam terbuka sepert ini jelas membuatnya takut.Danish bingung saat ini. Dia tidak mungkin membiarkan keponakannya itu tidur bersama. Bisa bahaya jika seperti itu."Sayang, kamu tidur dengan Luel saja bagaimana?" Danish berusaha untuk membujuk Isha.Isha langsung menatap Danish. Dia merasa jika tidak ada pilihan lagi. "Baiklah kalau begitu."Danish bernapas lega karena akhirnya sang istri mau tidur dengan keponakannya. Jika begini, tidak ada masalah."Baiklah, ayo kita rapikan semua. Aku akan ambil barang-barang di mobil." Danish segera beralih pada Levon. "Ayo, kita ambil barang-barang," ajaknya."Baiklah."
Danish seolah tidak bisa bertindak apa-apa saat sang istri melarangnya. Dia tahu jika ini adalah hal berat. Namun, terkadang hati tidak bisa dikendalikan. Selalu dekat, tentu saja akan membuat Luel dan Levon semakin dekat. Levon yang melihat tangan Luel terluka, langsung mengambil kotak obat. Tadi dia lihat Danish merapikan kotak obat. Jadi dia harus mengobati luka tersebut."Ayo, kita gantikan mereka membakar." Isha memberikan ide."Ayo." Danish langsung setuju. Danish dan Isha yang melihat Levon sedang mengobati Luel, langsung mengambil alih untuk membakar daging. Mereka menghampiri Luel dan Levon bersama-sama. "Kalian obati saja dulu, biar kami yang urus ini." Isha menatap Levon dan juga Luel."Baik, Aunty." Levon segera mengajak Luel untuk duduk di kursi. Kemudian membuka kotak obat. Dia mencari obat untuk luka bakar. Saat menemukan, dia langsung mengolesi obat ke luka Luel."Ach ...." Luel merasa lukanya sakit sekali."Kamu ceroboh sekali. Lihatlah, jadi luka seperti ini." Le
Tanpa terasa Dario sudah sebelas bulan. Dia susah mulai berdiri-diri. Berpegangan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Pagi ini, dia bermain dengan sang mami dan papinya di taman belakang. “Minggu depan pembukaan toko. Apa yang harus aku persiapkan?” Pembangunan toko milik Isha, akhirnya selesai juga. Walaupun sedikit meleset dari perkiraan, tapi tidak banyak kendala yang terjadi. “Tidak perlu menyiapkan apa-apa. Siapkan dirimu saja. Aku sudah siapkan semua.” Danish selalu ingin yang terbaik untuk istrinya. “Terima kasih.” Isha merasa sangat beruntung sekali karena sang suami selalu mempermudah semuanya. Danish memegangi Dario yang sedang berdiri. Karena senangnya berdiri-diri, anaknya itu memang selalu meminta untuk berdiri. Saat sedang berpegangan pada sang papi, tiba-tiba Dario melepaskan tagannya yang berpegang pads sang papi. Danish dan Isha tampak terkejut ketika melihat hal itu. “Rio ....” Isha memanggil anaknya itu. Dario yang dipanggil pun segera mengayunkan langkah
“Aaaccchhh ....”Suara indah yang keluar dari mulutnya keduanya menandakan jika pelepasan sempurna didapat oleh keduanya.Tubuh Danish seketika lemas dan terjatuh di atas tubuh sang istri. Mengatur napas yang terengah-engah.Isha pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Mengatur napasnya yang seperti baru saja lari kiloan meter.Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan tenaganya. Hingga akhirnya, membersihkan diri.****Isha dan Danish memutuskan pulang saat sore hari. Seharian mereka memanfaatkan waktu untuk mencari kenikmatan. Melepaskan hasrat yang terpendam beberapa bulan.“Aku malu sekali mau pulang.” Tiba-tiba saja Isha merasakan hal itu.“Bersikaplah tenang. Nanti mereka akan curiga jika kamu bersikap seperti itu.”Isha bersikap tenang seperti yang suaminya katakan. Dia tidak mau membuat kakak iparnya curiga.Mereka sampai di rumah. Tampak mobil Liam-suami Loveta sudah di depan rumah. Isha dan Danish berusaha untuk tenang seperti tida
Pagi-pagi Loveta sudah sampai di rumah Danish. Semalam, dia dikabari oleh adiknya itu untuk membantu menjaga Dario. “Kak Loveta.” Isha menyapa kakak iparnya itu. “Mana Iyoo?” Loveta senang sekali karena akhirnya diminta jaga keponakannya. “Baru saja tidur, Kak.” Isha segera mempersilakan kakak iparnya untuk masuk ke rumah. Menyajikan teh sambil menunggu Danish bersiap. Beberapa saat kemudian, Danish keluar dari kamarnya. Kemudian menghampiri sang istri. “Kak Lolo sudah datang, kalau begitu ayo pergi.” Danish menatap istrinya. Isha masih diam. Dia masih tidak enak sekali dengan kakak iparnya karena harus menjaga sang anak. “Sudah, kalian pergi saja. Serahkan anak kalian padaku.” Loveta berusaha untuk meyakinkan adik iparnya. Saat mendapati ucapan itu, Isha segera bersiap untuk meraih tasnya yang berada di sofa ruang keluarga. “Titip Rio yang, Kak.” Sebelum berangkat dia menitipkan lagi anaknya. “Iya.” Loveta mengangguk. Isha dan Danish segera pergi. Danish mengendarai mobiln
Levon dan Luel semakin nyaman menjalani hubungan setelah mendapatkan restu. Perjalanan masih panjang untuk hubungan mereka ke jenjang serius. Mereka lebih memilih untuk menikmati hubungan. Apalagi mereka harus fokus pada kuliah mereka.Isha semakin nyaman menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya semakin gembul sekali. Apalagi sang anak minum ASI.Kehadiran Dario membuat rumah menjadi ramai. Keluarga sering datang ke rumah untuk bertemu Dario. Mulai Nessia, Loveta, atau pun Mami Neta.Seperti hari ini, Loveta datang untuk berkunjung. Dia terus bermain dengan Dario.“Iyoo ... Iyooo ....” Loveta memanggil keponakannya itu.“Mi, namanya Dario, kenapa dipanggil Iyoo?” Ve melemparkan protesnya.“Susah jika dipanggil Dario. Seperti namamu saja. Singkat. Hanya ‘Ve’.” Loveta menjelaskan pada sang anak.Ve hanya bisa menggeleng heran. Ternyata itulah yang membuat sang mami memanggilnya singkat. Agar lebih mudah.Isha yang mendengar perdebatan itu hanya tersenyum saja.“Kak Loveta su
Mendapati pertanyaan sang anak, Dona terdiam sejenak. Memandang Luel.Luel yang melihat mama Levon menunggu jawaban dari wanita itu. Penasaran apa jawaban yang akan diberikan.“Iya, Mama tidak marah.” Dona langsung membenarkan apa yang diucapkan oleh Levon.Luel merasa lega sekali mendengar hal itu. Rasanya ketakutan yang dirasakannya menguap.Tok ... tok ....Suara ketukan pintu terdengar. Luel, Levon, dan Dona mengalihkan pandangan merek. Dilihatnya Isha yang mengetuk pintu.“Minumannya aku taruh di meja. Silakan diminum.” Isha melebarkan pintu untuk memberitahu di mana ditaruh minumannya.“Terima kasih, Aunty.” Levon mengangguk.“Mama akan ke sana.” Dona menepuk bahu Levon. Kemudian mengayunkan langkahnya keluar.Levon memilih untuk tetap tinggal di kamar Luel. Menemani Luel.Dona segera keluar untuk menikmati teh yang dibuat oleh Isha. Menghargai Isha yang membuatkan minuman.Melihat Dona yang keluar dan Levon yang tetap tinggal di kamar, membuat Isha memutuskan untuk menemani Don
“Makanlah dulu.” Isha memberikan semangkuk bubur pada Luel.“Terima kasih, Aunty.” Luel segera menerima mangkuk yang diberikan. Dengan perlahan dia memakan bubur yang dibuatkan oleh aunty-nya.Isha tidak tega melihat Luel yang sakit. Padahal kemarin dia sudah mengingatkan Luel untuk makan.“Apa tidak apa-apa jika tidak mengabari mami dan papimu?” Isha memastikan pada Luel.“Iya, Aunty. Tidak perlu. Lagi pula aku sudah lebih baik.” Luel menolak tawaran sang aunty. Takut justru membuat orang tuanya khawatir atau bahkan menyalahkan paman dan bibinya.“Baiklah kalau begitu.” Isha tidak mau memaksa jika Luel tidak mau. “Kalau begitu kamu habiskan buburnya. Setelah itu kamu minum obat.”Luel segera memakan bubur yang diberikan oleh Isha. Tak lupa memakan obat dari dokter.“Istirahatlah lagi kalau begitu.” Isha segera meraih kembali mangkuk bubur yang kini sudah kosong.Isha meninggalkan Luel di kamarnya. Memberikan waktu untuk Luel beristirahat. Dia segera turun ke lantai bawah. Menyusul sa
“Uncle, tadi Luel pingsan dan sekarang di rumah sakit. Kata dokter dia terkena asam lambung.”Mendengar hal itu Danish seketika terkejut. Tadi keponakannya itu berangkat baik-baik saja. Tapi, kenapa tiba-tiba sakit.“Kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan ke sana.”“Baik, Uncle.” Levon mengangguk.Akhirnya Danish mematikan sambungan teleponnya.“Siapa yang di rumah sakit?” Isha tampak penasaran sekali. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Luel.”“Luel?” Isha membulatkan matanya ketika mendengar jika Luel di rumah sakit. “Kenapa dia?” tanyanya ingin tahu.“Katanya dia asam lambung.” Danish menjawab seraya mengambil jaket di dalam lemari.“Pasti karena seharian dia tidak makan.” Sejenak Isha teringat dengan hal itu.Mendengar ucapan Danish, dia teringat ucapan Isha. Jika Luel tidak makan sejak pagi.“Bisa jadi.” Danish membenarkan.Danish segera bersiap untuk ke rumah sakit. Dia harus mengecek keadaan keponakannya itu.“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah.” Danish mendarat
Dona tampak terkejut melihat anaknya dengan seorang gadis. Yang menjadi perhatiannya jika ternyata gadis itu adalah gadis yang ditemuinya tadi di toilet. Dona memerhatikan gadis yang berada di sampingnya itu sedang melingkarkan tangan di lengan sang anak. Jika hanya teman, rasanya Dona yakin bukan. Karena teman tidak mungkin sedekat itu. “Ma.” Levon menyapa sang mama.Dona tidak langsung menjawab sapaan itu. Dia memilih memerhatikan gadis di samping sang anak.Levon menyadari hal itu. Mamanya sedang memerhatikan Luel. “Ma, kenalkan ini Luel, pacarku.” Dia pun segera memperkenalkan Luel.Pacar? Pikiran Dona melayang memikirkan pacar anaknya. Seingatnya sang anak sedang menjalin hubungan dengan keponakan Danish.‘Apa dia keponakan Danish?’ Dona bertanya dalam hatinya.“Luel?” Sejenak Dona mengingat sesuatu. Beberapa bulan lalu saat anaknya sakit, seorang gadis datang ke rumah sakit. Dona ingat nama gadis itu.“Kamu gadis yang ada di rumah sakit waktu itu?” tanya Dona memastikan.“Iya,
Luel memilih gaun cukup lama. Hingga membuat Levon menunggu. Karena orang tua Luel sedang pergi, jadi Levon menunggu sendiri. “Kak Luel mau pilih yang mana sebenarnya?” Ve merasa jika sedari tadi kakaknya terus memilih gaun tanpa tahu mana yang mau dipakai. “Iya, aku bingung. Kasihan Kak Levon sedari tadi menunggu. “Iya, sebentar lagi.” Luel mencari gaun. Hingga akhirnya dia mendapatkan gaun tersebut. Tak butuh waktu lama, dia pun mendapatkan gaun yang dicarinya. Gaun hitam dengan payet warna gold. Perpaduan pas untuk pesta malam ini. Tadi juga Luel sudah bertanya pada Levon. Baju warna apa saja yang dimiliki Levon. Hitam dan gold tadi disebut oleh Levon. Jadi tentu saja nanti mereka akan serasi. Saat mendapatkan gaun, segera dia berdandan untuk acara pesta. Dia tak punya banyak waktu. Jadi harus segera bersiap.Tepat jam lima sore akhirnya Luel siap. Segera mereka berangkat. Sebelum ke tempat pesta, Levon mengajak Luel untuk ke kost tempatnya lebih dulu karena dia gantian akan