“Bukan saatnya untuk melakukan itu. Jawab dulu kenapa kamu memberikan karyawanmu tanpa izinku?” Isha mendorong tubuh Danish lagi agar dapat menjangkau wajahnya.“Aku tidak mau kamu kelelahan. Kamu bisa tenang saat tidak bisa ke toko jika ada karyawan lain. Jadi sengaja aku meminta Dino mengirim karyawan ke sini.” Danish mencoba menjelaskan hal itu.Isha tahu sekarang alasan Danish memberikan karyawan hanya untuknya.“Kamu tidak perlu membayar karyawan itu. Aku yang membayarnya.” Danish membelai lembut pipi Isha. Senyum manis menghiasi wajahnya.Isha cukup terharu dengan perhatian Danish. Demi kandungannya, dia sampai merekrut karyawan baru untuknya.“Terima kasih.” Isha langsung memeluk Danish. Entah kenapa dia jadi melow ketika mendapatkan perhatian. Mungkin itu semua karena dia yang sedang hamil.Mendapati pelukan sang istri jelas membuat Danish berbunga-bunga.“Jika kamu terus memelukku, aku yakin sesuatu di bawah sana akan bangun.” Di tengah pelukan itu, Danish mengatakan itu.Men
“Kamu mau makan apa?” tanya Danish. Isha memikirkan apa yang enak dimakan. Hingga akhirnya dia menemukan satu makanan. “Pasta.” Sayangnya kalimat itu diucapkan tidak hanya Isha saja. Namun, juga Danish. “Kamu tahu yang aku mau.” Isha malu ketika Danish tahu apa yang diinginkannya. Danish sudah hapal betul keinginan sang istri. Jadi dia memilih untuk menuruti. Walaupun sejujurnya dia mual melihat makanan tersebut. “Din, antar ke restoran Marlene.” Danish pun memberikan perintah pada Dino. “Baiklah.” Dino mengangguk. Kemudian melajukan mobilnya ke restoran favorit Isha. Di restoran, Isha dan Danish makan dalam satu meja, sedangkan Dino di meja lain. Kebetulan ada adik Liam yang sedang di restoran. Jadi mereka asyik mengobrol. Isha dan Danish tampak asyik menikmati makan. Isha tampak semangat makan, sedangkan Danish hanya makan beberapa menu saja. **** Isha tidak berangkat pagi untuk ke toko. Pagi tadi, dia muntah-muntah dan membuat tubuhnya lemas. Alhasil jam sepuluh dia baru b
'Ternyata mereka bermain api di belakangku.' Senyum tipis tertarik disudut bibir Isha. Walaupun belum melihat dengan mata kepalanya sendiri, tetapi Isha dapat menyimpulkan jika Abra dan Ina memiliki kedekatan. Tidak mungkin hanya sekadar hubungan biasa, karena sampai ada tanda merah di leher Ina. 'Kita lihat siapa yang akan terbakar api yang mereka buat?' batin Isha. Dia tidak akan tinggal diam setelah ini. "Kenapa kamu tersenyum?" Danish memerhatikan jika Isha tersenyum sendiri. "Tidak apa-apa." Isha menggeleng. Kemudian melanjutkan kembali makannya. Danish penasaran, karena mereka sedang membahas Abra. Pikiran Danish adalah Isha tersenyum karena memikirkan Abra. Namun, Danish hanya bisa pasrah. Karena sadar jika Isha begitu mencintai Abra. Buktinya sampai dia mau merelakan dirinya. Entahlah, perasaan Danish jadi bimbang. Dia jadi merasa perasaan yang mulai tumbuh tak ada gunanya. "Besok aku mau pulang dulu saja sebelum makan malam. Jadi aku bisa mandi dan bersiap." Isha mengali
"Apa kamu sudah terlena bertemu mereka?" tanya Danish memastikan.Isha terdiam. Jika ditanya terlena, mungkin jawabannya iya. Terkadang dia merasa keluarga Danish begitu perhatian padanya hingga membuatnya merasakan kebahagiaan yang telah lama tidak didapatkan.Danish naik ke atas tempat tidur. Merebahkan tubuhnya di samping Isha. Dia menunggu jawaban dari istrinya yang tampak lama sekali."Aku terlena, aku menikmati perhatian yang mereka berikan. Tapi, nanti saat waktunya tiba, maka aku akan menyadarkan diriku jika semua sudah berakhir." Isha merasa berat mengatakan hal itu, tetapi dia sadar jika memang hal itu akan terjadi. Semua kebahagiaan yang didapatkan sekarang, akan segera dilepaskan.Ucapan Isha itu mengisyaratkan jika dia akan kembali pada Abra. Rasanya membayangkan hal itu membuat Danish tersiksa."Bagus, jadi pilihanku tidak salah untuk mengajakmu bersama keluargaku. Karena pada akhirnya kamu sadar sendiri harus apa." Terpaksa Danish menjawab tak sesuai dengan keinginan ha
Sesuai rencana tadi pagi, Isha dan Danish pergi ke penjara. Mereka diantar oleh Dino.Sebenarnya Isha ingin menunda karena tubuhnya sedikit lemas. Namun, dia tidak mau kehilangan kesempatan. Takut juga Danish sampai berubah pikiran. Jadi Isha menguatkan dirinya untuk pergi ke penjara. Sesampainya di penjara, mereka melakukan prosedur untuk kunjungan. Kemudian mereka menunggu Abra di ruang kunjungan. Tak hanya Isha dan Danish yang masuk, tetapi ada Dino juga, ada beberapa berkas yang harus ditandatangani Abra.Mereka duduk di ruangan tersebut. Isha dan Danish duduk bersebelahan, sedangkan Dino di sisi berseberangan. Satu kursi di samping Dino kosong. Tentu saja itu akan jadi tempat duduk Abra.Sesaat kemudian Abra datang. Dia tampak terkejut melihat kedatangan Isha dengan Danish. Jika Dino saja, mungkin dia tidak akan terkejut."Wah ... mimpi apa aku semalam ada orang penting menjenguk aku. Seorang Pak Danish Morgan Fabrizio datang ke penjara." Hal pertama yang dikatakan Abra saat mel
Danish segera menghampiri Isha yang duduk di sofa. Mendapati pertanyaan itu Isha terdiam. Memikirkan apa yang harus dijawabnya. "Aku hanya merasa lega, karena Kak Abra sudah keluar. Artinya aku tidak punya hutang budi padanya lagi." "Hutang budi?" Danish merasa aneh dengan jawaban Isha itu. "Iya, aku merasa kebaikan Kak Abra selama ini adalah hutang budi yang aku harus balas. Seperti halnya kamu yang memberikan jaminan kebebasan, maka aku harus membalas dengan memberikan anak untukmu." Danish terpaku. Jika dipikir-pikir dirinya dan Abra tidak ada bedanya. Hanya memanfaatkan Isha saja. Jika Abra memanfaatkan Isha untuk kebebasannya, maka Danish memanfaatkan dengan menutut Isha punya anak. Rasanya Danish malu. Dia pun mempertanyakan, layakkah rasa cintanya itu hadir. "Setelah semua selesai. Maka aku akan bebas dari semua ini." Isha merasa kelegaan. Setelah perjanjiannya dengan Danish selesai maka, dia akan dapat memulai hidup barunya. Walaupun harus merelakan anaknya. Danish jadi
Danish langsung berlari ketika melihat Isha. Menghampiri sang istri. “Kamu mau ke mana?” tanya Danish.“Mau ke kamar mandi. Kenapa kamu panik seperti itu?” Isha merasa aneh sekali dengan sikap Danish. Danish juga tidak tahu kenapa dia panik sekali. Padahal jelas Isha hanya bangun dari tempat tidur. Tidak melakukan apa-apa. Mungkin karena tadi Isha pingsan. Jadi dia panik seperti tadi. Takut terjadi apa-apa pada Isha. “Aku takut kamu kenapa-kenapa saja.” Danish menyampaikan apa yang membuat Danish panik. Isha paham betul ketakutan apa yang dirasakan Danish. Danish membantu Isha berjalan ke kamar mandi. Tak mau terjadi hal buruk pada istrinya itu. Sayangnya, Danish tidak berhenti di depan kamar mandi. Langkahnya terus sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat Isha menghentikan langkahnya. “Kamu mau ke mana?” tanya Isha menatap sang suami. “Mengantarkan kamu ke kamar mandi.” Dengan polosnya Danish menyampaikan apa yang membuatnya ikut masuk ke kamar mandi. “Aku bisa sendiri. Kamu p
Isha yang penasaran pun memilih untuk mencari Danish. Segera dia keluar dari kamarnya. Mencari keberadaan suaminya. Saat membuka pintu, Isha mencium aroma masakkan. Seingatnya, asisten rumah tangga tidak masuk hari ini. Jadi Isha bingung siapa gerangan yang memasak. Isha segera turun ke lantai bawah. Aroma masakan tercium kuat menggelitik hidung. Aroma manis gurih bercampur menjadi satu. Isha penasaran, masakan apa yang dibuat hingga seharum ini. Langkahnya terus diayunkan ke dapur. Saat di dapur, dia melihat Danish yang sedang sibuk memasak. “Kenapa dia semakin tampan saat memasak.” Isha sadar betul jika Danish memang tampan. Namun, entah kenapa dia merasa kali ini ketampanan Danish berlipat-lipat kali. Jantung Isha semakin berdebar ketika melihat ketampanan suaminya itu. Rasanya, matanya tak mau beralih dari pemandangan indah itu. Danish terus bergerak membuat masakan. Pagi ini dia membuat zupa soup. Setelah soup jadi, dia memindahkan ke mangkuk-mangkuk kecil dan menutupnya de