“Itu dulu ketika aku masih remaja,” ucap Karina mulai lelah.
Sungguh, ia tidak mengerti dengan Saka yang terus menuduhnya tanpa alasan. Mengapa pria itu terus menilainya dengan buruk padahal tidak tahu kenyataannya seperti apa?
“Lepaskan aku, Saka!”
Namun, Saka hanya tersenyum miring. “Kenapa kau memanggilku seperti itu? Aku ini bosmu. Kenapa kau begitu lancang?"
"Kau harus diberi hukuman.” Saka lalu menarik tengkuk Karina dan menciumnya perlahan.
Syok, Karina jelas memberontak.
Ia terus memukul dada Saka agar melepaskannya. Namun, Saka malah semakin tertantang menaklukannya.
Saka kini mengusap pelan pinggang Karina dan menggigit pelan bibir Karina agar memberi akses lidahnya masuk.
Ketika berhasil, ia merasakan manis yang membuatnya candu.
Karina hanya mampu memejamkan mata kala bibir Saka terus menggodanya.
Dia hanya bisa mengepalkan tangan di bawah sana.
Ia sadar semua ini salah. Apalagi, jemari Saka sudah bergilya di balik punggungnya.
Tes!
Air mata Karina jatuh. Ia menangis.
“Pergilah.” Saka melepaskan Karina mendadak dan berjalan ke kursi kerjanya tanpa merasa bersalah.
Karina lantas mengusap air matanya dan pergi keluar.
Namun, ia dapat mendengar Saka yang berucap pelan. “Dia bertingkah seperti wanita baik-baik saja.”
~~~
Karina memilih diam setelah kejadian itu.
Jika disuruh melakukan sesuatu, Karina hanya menjawabnya dengan anggukan.
Wanita itu tidak pernah membalas apalagi membantah perkataan Saka.
Karina pun selalu menjaga jarak dengannya.
Terus demikian, bahkan sesampainya di Hongkong. Tepatnya, di sebuah hotel yang akan digunakan untuk menginap.
“Itu kamarmu,” tunjuk Ronald pada sebuah kamar, hingga Karina mengangguk.
Wanita itu lalu mengambil sebuah kunci akses kamar. Kemudian pergi ke kamarnya sendiri.
“Nanti malam jangan lupa kau harus ikut,” peringat Ronald.
Karina lagi-lagi mengangguk, kemudian benar-benar masuk ke dalam kamarnya.
“Kenapa dia seperti itu?” heran Ronald. Padahal, terakhir kali bertemu dengan Karina, wanita itu tidak semurung itu. Mungkin, ia terlalu lelah menghadapi Saka.
"Oh, iya di mana Pak Bos?" ucap Ronald heran yang tak menyadari bahwa Saka sudah lebih dulu pergi ke kamarnya.
Bahkan, pria itu sudah masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan shower. “Ini semua belum cukup. Aku harus benar-benar menghancurkannya.” Saka memukul tembok kamar mandi hotel cukup keras.
~~
Sesuai rencana, sebuah makan malam formal yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Karina sudah berada di samping Saka. Ia mengikuti perbincangan meskipun hanya mendengarkan.
Sebenarnya, Karina mengerti dan paham yang dibicarkan. Namun, ia sungguh malas jika harus bergabung.
Perbincangan antarpemimpin perusahaan menurutnya sangatlah berat.
Tidak jauh-jauh dari pembicaraan bisnis atau bagaimana strategi bisnis agar semakin berkembang.
“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini.”
Saka mengangguk. “Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda langsung.”
“Mengenai kerja sama yang akan dilakukan, akan dibahas lebih lanjut di kantor.”
Saka bersalaman dengan calon kliennya itu. Dia tampak tersenyum puas karena mendapat kepercayaan. Setelah kepergian klien, Saka segera melonggarkan dasinya dan melirik Karina yang asik makan.
“Apa jadwalku selanjutnya?”
“Bertemu klien di Paradise Klub,” jawab Karina dan Ronald bersama-sama.
Saka menaikkan salah satu alisnya. Karina dan Ronald nampak saling memandang, saling melemparkan senyum.
Karina pun minum air perlahan menyadari kompaknya dirinya dan teman seperjuangannya itu.
'Paradise klub…. Paradise klub…' batin Karina.
satu
dua
tiga
Karina melebarkan mata. “Saya ikut?” cicitnya perlahan.
Saka menatap tidak suka pertanyaan Karina. “Tugasmu mengikutiku ke manapun aku pergi. Kenapa kau tidak paham-paham juga?”
Karina menunduk. Bertanya saja, langsung diomeli tidak henti. Karina mengerucutkan bibirnya. Ia sungguh lelah. Berhadapan dengan Saka sama saja menguras mental. Ia harus sabar dengan omelan dan hinaan pria itu.
~~~
Hanya butuh beberapa menit menempuh perjalan ke Paradise klub.
Sebagai klub nomer satu yang ada di Hongkong, hanya kalangan atas yang bisa masuk.
Karina menatap pakaiannya sendiri. Tidak ada yang salah. Ia tidak kalah cantik dan seksi dengan wanita yang berada di klub.
Kakinya terus melangkah mengikuti ke mana pun Saka pergi. Sampai di sebuah ruangan tertutup, mereka akhirnya masuk.
“Saya Hao,” ucap Hao memperkenalkan diri.
“Saya Saka.”
Sebagai pebisnis properti terkenal di Hongkong, tujuan utama Saka bertemu dengan Hao adalah membeli tanah di sini.
Bukan hanya tanah, Saka juga ingin membeli beberapa bangunan. Mungkin Apartemen atau rumah.
Keduanya pun berbincang, sedangkan Karina terus mengangguk perlahan.
Orang-orang mungkin mengira dirinya benar-benar menyimak perbincangan mereka. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Karina 99 % mengantuk 1 % menyimak.
“Saya akan mengirim foto bangunan dan tanah yang Anda inginkan,” ucap Hao pada akhirnya yang dibalas anggukan oleh Saka.
Secara cepat, mereka keluar dari ruangan. Beralih ke ruang terbuka di mana bisa menikmati musik dan minuman berakhohol.
Di panggung, terlihat ada beberapa wanita yang menari dengan tubuh yang hampir telanjang.
Semua orang bersulang. Karina juga mengangkat gelasnya yang sudah terisi dengan wine. “Cheers.”
Karina sudah meneguk habis minumannya. Ia berdiri kaku di samping Saka. Keinginannya untuk kembali minum sedang meningkat.
Ia tidak bisa minum dan berakhir mabuk.Karina tidak mau itu terjadi. Jadi, ia harus benar-benar menahan diri kali ini.
Namun, saat membuka mata, ia justru mendapati Saka yang mengisi penuh gelas miliknya kembali dengan wine.
“Cheers.” Saka mengangkat gelasnya di hadapan Karina.
“Saya—” Karina menggeleng pelan. Ia tidak berani membuat Saka marah. Untuk itu, ia mengangkat gelasnya juga. “Cheers.”
Oke, Karina mulai pusing.
Ia menatap sekitar dan berusaha mencari bantuan.
“Ronald,” panggilnya.
“Ya?” Ronald sediki mendekat agar bisa mendengar Karina lebih jelas.
“Hentikan aku jika aku ingin minum lagi.”
Ronald mengangguk. Ia memberikan jempolnya.
Karina menghela nafas berkali-kali. Ia masih berperang dengan dirinya sendiri. Sudah minum 2 gelas namun rasanya masih sangat haus. Alhasil ia mengambil gelasnya dan mengisinya.
Tiga empat… gelas.
Karina hendak mengambil minum lagi. Namun, pinggangnya ditarik seseorang mundur.
Gelasnya dan botol sengaja dijuahkan dari jangkauannya. Karina memandang Saka yang melakukannya. Pandangannya mulai mengabur. Ia sudah setengah mabuk.
Jangan tanyakan Ronald ke mana. Pria itu sudah bersama seorang wanita seksi dan cantik.
Asisten Saka itu berdansa dengan gembira di tengah keramaian manusia.
“Pak,” panggil Karina. “Apa aku boleh pulang?”
Saka menghembuskan asap rokoknya tepat di hadapan Karina. “Pulang ke mana?”
Karina mengibaskan tangannya untuk menghindar dari asap rokok Saka. “Pulang ke Apartemenku,” cicitnya.
Tanpa sadar, Karina juga tersenyum kecil. “Aku ingin tidur,” ucapnya seperti anak kecil. Ia juga memperagakan bagaimana ia tidur.
“Tidak.” Saka menaruh rokoknya, kemudian minum lagi.
“Anda sangat jahat,” cicit Karina. Ia menunduk lalu menopang dagu dengan kedua tangannya.
Karina memperhatikan Saka yang minum banyak namun tidak terlihat mabuk.
Jika berada di klub, Saka tibak bisa meninggalkan Rokok dan Wine. Karena menurutnya dua hal itu adalah keharusan yang tidak bisa ditinggal.
Saka pun menoleh.
Ia menatap Karina dari samping. Entah kenapa, semakin dipandang, Karina semakin cantik meskipun ia hanya hanya duduk dan melamun.
“Karina,” panggil Saka dengan suara berat.
Karina menoleh. Ia mengerjapkan mata. “Ada yang Anda butuhkan?” tanyanya di ambang batas kesadaran. Saka pun menarik pinggang Karina lagi. Ia mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dan berakhir di pangkuannya. Karina hendak memberontak, namun Saka memeluk pinggangnya terlalu erat. Lama menunggu, Saka hanya memperhatikan Karina. Namun perlahan, jemarinya terangkat mengusap helaian rambut Karina yang sedikit berantakan. “Kenapa kau menguncir rambutmu? Kau ingin memamerkan lehermu ini hah?” Dengan tidak sabar, Saka menarik tali rambut Karina, hingga helaian rambut wanita itu terjatuh. Rambut Karina yang sebatas bahu itu terurai dengan indah. Hanya saja, ada banyak rambut Karina yang juga ikut terlepas saat ia menarik kunciran itu. “Rambutku….,” gumam Karina. Saka tidak mengabaikan ucapan Karina. Ia segera menarik tenguk wanita itu dan langsung saja melumat bibir yang selalu menggodanya. Mungkin, karena efek alkohol, membuat Karina pasrah. Ia membuka mulut secara tidak sadar,
“Jangan bermimpi! Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi istrimu!” teriak Karina. “Tidak usah sombong!” Tanto mencengram rahang Karina. Ia tertawa pelan. “Aku beri waktu satu minggu untuk melunasi hutang ibumu. Jika tidak, akan berbunga dua kali lipat.” “Kau tidak akan bisa melarikan diri dariku. Aku akan selalu bisa menangkapmu.” Tanto bersama anak buahnya tertawa. “Jangan jual mahal. Pikirkan sekali lagi. Aku akan melupakan hutang ibumu jika kau mau menjadi istriku yang ke-5. Hidupmu juga akan terjamin.” Rentenir itu pergi. Tubuh Karina merosot di depan pintu. Dari mana ia mendapatkan uang 300 juta dalam waktu dua minggu. ~~ “Karina.” Saka menggeram marah menatap Karina yang seperti patung. Saat rapat—Karina malah sibuk melamun. “KARINA!” teriaknya marah karena tidak mendapat jawaban. Karina seketika menoleh. Ia merapikan kertas-kertas catatannya. “Maaf, pak.” Karina menunduk sambil menghela nafas. “Kenapa kau tidak bekerja dengan benar?” heran Saka. Ia berjalan mendekati K
Tubuh Karina hampir tenggelam.Melihat itu, Saka segera menarik tubuh wanita itu dan membawanya ke tepi.Dengan cepat, Saka menempelkan bibirnya dengan bibir Karina--memberikan nafas buatan untuk wanita itu. "Uhuk!" Karina terbatuk—namun masih memejamkan mata. Melihat itu, Saka bernafas lega. Setidaknya, Karina masih hidup. “Siapa yang mengizinkanmu mengakhiri hidup?” tanya Saka tajam, “sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkannya. Kau tidak akan bisa mati tanpa izinku.” Sang sopir yang sedari tadi dibuat terkejut oleh tingkah atasannya itu lantas mendekat. Dengan hati-hati, ia pun berucap, “Sebaiknya dibawa ke rumah sakit, Sir.” Saka pun mengangguk dan bergegas mengikuti saran yang baru didengarnya itu.~~Karina mengernyit. Ia mencium bau obat-obatan yang menyengat. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang menancap di tangannya. Perlahan, dibukanya mata dan memandang sekitar.Seketika ia sadar sedang berada di sebuah kamar rumah sakit. “Kenapa ak
Saka mengangkat Karina. Membawa Karina masuk ke dalam kamarnya. Oh bukan—Karina terus berpikir jika kamar ini adalah milik Saka dan Aruna. Haruskah ia menodai kamar ini. “Tap—” Saka membaringkan tubuh Karina di atas ranjang dengan kasar. “Kau tidak berhak protes. Diam dan nikmati saja.” Saka kembali mencium Karina. Tidak memberikan wanita itu bernafas dengan benar. Karina kualahan menghadapi Saka yang begitu ganas. Belum lagi di bawah sana jemari Saka sudah masuk ke dalam pusat dirinya. Memainkannya dengan sesuka hati.“Sirrrhh….,” Karina memejamkan mata. Ia meremas seprai. Tubuhnya bergerak tidak karuan saat jemari Saka masuk dan keluar dengan cepat. “Akuuuhh..” Tubuh Karina menggelinjang. Pelepasannya sudah datang. Saka bangkit. Melucuti pakaiannya sendiri. Kedua pipi Karina memerah. Ini pertama kalinya ia melihat tubuh Saka begitu gamblang. Tubuh Saka sempurna. Otot-otot pria itu terbentuk dengan sempurna. Saka kembali menciumnya. Seiring dengan sebuah benda tumpul mulai mele
Pagi harinya. Karina menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ada beberapa bekas kepemilikan yang ada ditubuhnya. Bekas itu tidak akan hilang dalam sekejap. Karina menatap ponselnya yang menyala. Ada sebuah notifikasi yang masuk. sebuah transfer yang masuk. 300 juta sudah masuk ke dalam rekeningnya. “Aku harus segera membayarnya.” TING TING. “Itu pasti dia.” Karina membuka pintu. Benar saja—Tanto beserta anak buahnya. “Kau ikut kami. Aku akan menjualmu.” Tanto berkacak pinggang. “Aku akan membayarmu.” Karina melotot. Ia menjauh dari pria itu. “Berikan aku rekeningmu.” Tanto dan anak buahnya berpandang sebentar. “Jangan berbohong. Aku tidak akan termakan mulutmu jalang!” Karina mengeluarkan ponselnya. “Katakan saja berapa nomer rekeningmu. Aku akan mentransfernya langsung.” Tanto menyebutkan nomor rekeningnya. Karina mengotak-atik ponselnya. Dalam sekejap saja. uang 300 juta tersebut sudah berpindah tangan. “Aku sudah membayar lunas hutangmu.” Karina menunjukkan bukti transfe
Tangan Saka juga kenal tempat. Jemari pria itu memegang erat pinggang ramping Karina. Masalah yang paling ditakutkan Karina adalah bagaimana jika karyawan Delux melihat mereka. “Akan jadi Skandal,” balas Saka acuh. Karina mendengus. “Tamat riwayatku.” “Kau sudah tamat berkali-kali,” balas Saka lagi. Benar. Saka memang selalu benar. Mereka mengambil duduk di samping jendela. Akhirnya Karina bisa kembali makan di Restoran mewah berkat Saka. Mau tidak mau sebenarnya ia juga merindukan kehidupannya yang dulu. Penuh dengan harta, ke manapun bisa, beli apapun bisa dan melakukan apapun bisa. “Terima kasih sudah mengajakku ke sini, Sir.” Karina tersenyum. Ia memang suka. Apalagi pemandangan bawah terlihat sangat indah. “Just call me Saka.” Saka mengambil gelasnya yang sudah diisi oleh anggur oleh pelayan. “Well aku hanya sedikit bersikap baik.” Karina mengangguk. Saka meminum pelan anggurnya. Dengan sorot mata yang tidak lepas dari Karina. “Apa kau dulu sangat senang mempermainkanku?”
Karina mengernyit. “Apapun itu bukan urusanmu.” “Come on Karina.” Kenzo tersenyum. “Aku tahu kau. Kau tidak mungkin mau hidup miskin. Kau pasti mencari sugar daddy untuk mencukupi kebutuhanmu. Apalagi kau dan ibumu itu suka sekali menghabiskan uang.” Lebih dari tahu. Kenzo bahkan hapal kebiasaan Karina dulu. Karina yang gemar menghamburkan uang. “Terserah.” Karina menghela nafas. “Ikutlah denganku malam ini. Aku akan memberimu tip yang cukup banyak.” Kenzo dengan lancang menarik pergelangan tangan Karina. “Lepaskan aku.” Karina berusah memberontak. “Bilang padaku, berapa tarifmu. Aku akan membayarnya tiga atau empat kali lipat sesuai keinginanmu.” Kenzo masih bersikukuh. “Kalau perlu aku akan menjadi sugar daddymu, kau tidak perlu repot-repot mencari pria kaya.” Karina memutar bola matanya malas. “Lepaskan aku.” “Jangan jual mahal, Karina.” Kenzo yang semakin lancang. Pria itu bahkan berani menarik pinggang Karina. Mengusap kedua pipi Karina dengan pelan. “Lepaskan aku brengs
21+ “Ingin apa?” beo Karina. “Kau.” Saka kembali mencium Karina. Kali ini lebih tergesa-gesa. Jemarinya masuk ke dalam dress Karina. Tidak sabar menurunkan resleting dress hingga terdengar robek. Tidak seberapa hanya robek sedikit. Setelah ini Saka akan membelikan Karina lebih banyak dress. “Jangan di sini.” Karina berhasil mendorong pelan Saka. Hingga pangutan mereka terlepas meski hanya sebentar. “Aku tidak peduli.” Saka melepaskan kancing kemejanya. Kemudian kembali memangut bibir Karina. Semakin hari—semakin sering tubuh mereka membelai. Saka semakin tidak bisa lupa. Bayangan tentang Karina yang pasrah di bawahnya selalu terngiang-ngiang. Biar saja dibilang otak mesum. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Saka membawa Karina masuk ke dalam salah satu bilik toilet. Saka dengan mudah melepaskan semua yang ada pada Karina. Hingga tubuh Karina benar-benar telanjang di hadapannya. “Tubuhmu semakin menggoda,” bisik Saka. Karina mencengkram bahu Saka ketika pria itu bermain-mai
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert