Karina menoleh. Ia mengerjapkan mata. “Ada yang Anda butuhkan?” tanyanya di ambang batas kesadaran.
Saka pun menarik pinggang Karina lagi.
Ia mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dan berakhir di pangkuannya.
Karina hendak memberontak, namun Saka memeluk pinggangnya terlalu erat.
Lama menunggu, Saka hanya memperhatikan Karina.
Namun perlahan, jemarinya terangkat mengusap helaian rambut Karina yang sedikit berantakan. “Kenapa kau menguncir rambutmu? Kau ingin memamerkan lehermu ini hah?”
Dengan tidak sabar, Saka menarik tali rambut Karina, hingga helaian rambut wanita itu terjatuh.
Rambut Karina yang sebatas bahu itu terurai dengan indah. Hanya saja, ada banyak rambut Karina yang juga ikut terlepas saat ia menarik kunciran itu.
“Rambutku….,” gumam Karina.
Saka tidak mengabaikan ucapan Karina. Ia segera menarik tenguk wanita itu dan langsung saja melumat bibir yang selalu menggodanya.
Mungkin, karena efek alkohol, membuat Karina pasrah. Ia membuka mulut secara tidak sadar, sehingga memudahkan aksi Saka.
Jemari Saka pun mengusap pipi Karina pelan. Ia berdiri dan mengangkat Karina lalu menggendong tubuhnya dan berjalan cepat.
Ia baru berhenti saat masuk ke dalam sebuah kamar.
Saka lalu mendudukkan Karina di atas sebuah meja, kemudian kembali mencium Karina.
Kali ini, lebih intens dari sebelumnya.
Karina bahkan merasakan mint bercampur dengan nikotin masuk ke dalam mulunya dan bagaimana jemari Saka mengusap punggungnya lembut.
“Pak…,” panggil Karina.
Karina sungguh tidak bisa menahan gejolak panas ini. Saka memberikan tanda yang begitu banyak di lehernya.
“Pak berhenti.” Karina membuka mata. Ia mulai sadar jika yang dilakukan mereka salah. Saka sudah mempunyai istri. Saka bukan lagi pria single yang bisa sembarangan berhubungan dengan wanita. Apalagi wanita sepertinya.
Saka pun berhenti sejenak sebelum ia tiba-tiba memeluk Karina erat.
Pria itu seolah kerasukan dan mencium leher Karina beberapa kali.
“Pak,” panggil Karina.
“Aku tahu.” Saka mengangkat tubuh Karina. Membaringkannya di atas ranjang.
“Saya harus pergi. Bukan hanya saya, tapi juga Anda.” Karina hendak bangkit. Namun, Saka justru segera menariknya.
Buk!
Tubuh karina pun jatuh di atas tubuh Saka.
“Tetap di sini.” Saka mememeluk Karina sepergi guling.
“Tapi—”
“Mau membantah?” Saka menggeram pelan. Ia sedikit meremas pinggang Karina karena wanita itu yang terus saja melawannya.
Karina memilih diam. Ia tidak berani memberontak lagi. Lama-kelamaan, ia juga mengantuk.
Tak lama, mereka pun jatuh tertidur tanpa melakukan apa-apa lagi. Hanya saja, Saka memeluk Karina sangat erat.
~~
"Shit!" erang Saka yang terbangun lebih awal.
Pertama kali ia membuka mata, didapatinya wajah Karina yang begitu dekat.
Saka mencoba mengingat kegiatan mereka tadi malam.
Ia mencium Karina dan menggendongnya sampai ke sebuah kamar yang berada di klub.
Saka menggeleng pelan.
Wajah polos Karina mengundangnya untuk mencium wanita itu lagi. Namun, ia tahan.
Segera, Saka bangkit dari ranjang. Ia lebih dulu membersihkan diri di dalam kamar mandi.
Sedangkan Karina yang juga mulai terbangun. Ia menatap sekitar. Tadi malam, ia tidak sepenuhnya mabuk. Ia ingat terakhir kali bersama Saka.
Mendegar suara gemricik air di dalam kamar mandi, ia pun menoleh.
“Aku harus pergi sebelum dia keluar.” Karina buru-buru mengangkat selimut. Namun sialnya ia justru terjatuh.
Bugh!
“Awh,” ringis Karina. Bokongnya mendarat di lantai.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Saka ketika keluar dari kamar mandi.
Seperti biasa, tanpa sedikitpun malu. Saka seakan sengaja menampilkan tubuhnya yang sempurna di hadapan Karina. Saka hanya menggunakan bathroob.
“Tidak.” Karina menatap ke arah lain. Ia bangkit dan berjalan mendekati pintu.
“Tidak ada yang terjadi tadi malam,” ujar Saka. “Kau pergilah membersihkan diri di kamar lain. Aku tunggu dibawah dalam 10 menit.”
Karina menghela nafas. Ia mengangguk dan segera keluar.
Sepuluh menit adalah waktu yang sangat cepat. Ia harus selesai tepat waktu jika tidak mau dimarahi oleh bosnya itu.
~~
Setelah menempuh perjalanan belasan jam dari Hongkong kembali ke Indonesia, akhirnya Karina sampai di Apartemennya.
Seluruh badannya terasa hampir remuk. Ia berusaha mengikuti semua jadwal Saka sebaik mungkin meski sempat merasa canggung setelah kejadian itu.
Ditariknya koper pelan. Sama seperti malam kemarin-kemarin, apartemennya gelap.
Karina pun mencari saklar lampu dan menyalakannya.
“Kenapa rumah ini begitu bersih?” heran Karina. Ia melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Kamarku begitu rapi?”
Karina menghela nafas. Ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Karina menatap sebuah surat yang tergeletak di atas nakas.
[ Maaf, Mama pergi bekerja ke Arab Saudi. ]
“Apa?” Karina mencoba menghubungi nomor ibunya. Namun, nomornya sudah tidak aktif.
“Jawab, Ma,” lirih wanita itu mulai putus asa.
Tak selang lama, ada sebuah pesan masuk.
[ Kau adalah anak Rita. Dia punya utang padaku 300 juta. Dia kabur dan tidak membayar hutangnya. Sebagai anak, kau harus membayar hutangnya.]
[Dari rentenir paling kejam dari seluruh dunia, Tanto.]
Karina terjatuh. Apalagi sekarang? 300 juta? Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Karina menghela nafas. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
Sembari menunduk, wanita itu menangis dalam sendirian.
“Aku selalu berpikir aku kuat. Aku bisa menghadapi semua hal sendirian.” Karina memegang dadanya yang terasa begitu sesak. “Tapi aku takut. Aku takut. Paa….” Karina mendongak. “Andai papa di sini. Karina kangen papa.”
~~
TING TING TING!
Karina membuka mata saat matahari sudah berada di atas langit. Siapa pagi-pagi begini bertamu di rumah orang?
Karina memejamkan mata lagi. Namun, suara bel kembali berbunyi. Dengan kesal, Karina pun turun dari ranjang.Ia membuka pintu. Alangkah terkejutnya melihat tiga orang berbadan besar di depannya. “Permisi ada keperluan apa?”
“Bayar hutangmu.” Seorang pria muncul. Ia membela pria besar tadi sembari menatap Karina.
Tiba-tiba ia menarik sudut bibirnya.
Melihat itu, Karina merasa marah. “Aku tidak berhutang denganmu. Yang berhutang ibuku. Aku tidak ada urusan dengannya. Kau bisa menagihnya, bukan menagihku.”
Pria yang dikenal sebagi rentenir paling kejam itu tertawa. “Ibumu kabur membawa uangku! Wanita sialan itu kabur setelah meminjam banyak uangku. Penjudi bodoh itu kabur, lalu kau menyuruhku menagih hutang padanya?”
“Kalau kau tahu dia penjudi bodoh kenapa kau meminjaminya uang? Kau sengaja menjebaknya. Kau sengaja meminjaminya uang lalu menaikkan bunga setiap kali dia tidak bisa bayar.” Karina menatap Tanto dengan tajam. “Aku tahu niat busukmu. Aku tahu kau memeras orang!”
Tanto melotot. Ia tidak terima dengan ucapan Karina. “Jangan banyak bicara. Lunasi saja hutang ibumu.”
Dua pria berbada kekar itu memegangi Karina di dua sisi. “Lepaskan aku!”
“Orang miskin sepertimu memang banyak bicara.” Tanto mencengkram dagu Karina. “Berikan aku uang atau tubuhmu.”
Tanto memandang tubuh Karina dari atas hingga bawah. Sorot matanya menunjukkan ketertarikan mengarah ke nafsu. “Kau bisa jadi istriku yang ke-5. Hutang ibumu lunas dan kau bisa hidup mudah menjadi istriku.”
“Jangan bermimpi! Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi istrimu!” teriak Karina. “Tidak usah sombong!” Tanto mencengram rahang Karina. Ia tertawa pelan. “Aku beri waktu satu minggu untuk melunasi hutang ibumu. Jika tidak, akan berbunga dua kali lipat.” “Kau tidak akan bisa melarikan diri dariku. Aku akan selalu bisa menangkapmu.” Tanto bersama anak buahnya tertawa. “Jangan jual mahal. Pikirkan sekali lagi. Aku akan melupakan hutang ibumu jika kau mau menjadi istriku yang ke-5. Hidupmu juga akan terjamin.” Rentenir itu pergi. Tubuh Karina merosot di depan pintu. Dari mana ia mendapatkan uang 300 juta dalam waktu dua minggu. ~~ “Karina.” Saka menggeram marah menatap Karina yang seperti patung. Saat rapat—Karina malah sibuk melamun. “KARINA!” teriaknya marah karena tidak mendapat jawaban. Karina seketika menoleh. Ia merapikan kertas-kertas catatannya. “Maaf, pak.” Karina menunduk sambil menghela nafas. “Kenapa kau tidak bekerja dengan benar?” heran Saka. Ia berjalan mendekati K
Tubuh Karina hampir tenggelam.Melihat itu, Saka segera menarik tubuh wanita itu dan membawanya ke tepi.Dengan cepat, Saka menempelkan bibirnya dengan bibir Karina--memberikan nafas buatan untuk wanita itu. "Uhuk!" Karina terbatuk—namun masih memejamkan mata. Melihat itu, Saka bernafas lega. Setidaknya, Karina masih hidup. “Siapa yang mengizinkanmu mengakhiri hidup?” tanya Saka tajam, “sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkannya. Kau tidak akan bisa mati tanpa izinku.” Sang sopir yang sedari tadi dibuat terkejut oleh tingkah atasannya itu lantas mendekat. Dengan hati-hati, ia pun berucap, “Sebaiknya dibawa ke rumah sakit, Sir.” Saka pun mengangguk dan bergegas mengikuti saran yang baru didengarnya itu.~~Karina mengernyit. Ia mencium bau obat-obatan yang menyengat. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang menancap di tangannya. Perlahan, dibukanya mata dan memandang sekitar.Seketika ia sadar sedang berada di sebuah kamar rumah sakit. “Kenapa ak
Saka mengangkat Karina. Membawa Karina masuk ke dalam kamarnya. Oh bukan—Karina terus berpikir jika kamar ini adalah milik Saka dan Aruna. Haruskah ia menodai kamar ini. “Tap—” Saka membaringkan tubuh Karina di atas ranjang dengan kasar. “Kau tidak berhak protes. Diam dan nikmati saja.” Saka kembali mencium Karina. Tidak memberikan wanita itu bernafas dengan benar. Karina kualahan menghadapi Saka yang begitu ganas. Belum lagi di bawah sana jemari Saka sudah masuk ke dalam pusat dirinya. Memainkannya dengan sesuka hati.“Sirrrhh….,” Karina memejamkan mata. Ia meremas seprai. Tubuhnya bergerak tidak karuan saat jemari Saka masuk dan keluar dengan cepat. “Akuuuhh..” Tubuh Karina menggelinjang. Pelepasannya sudah datang. Saka bangkit. Melucuti pakaiannya sendiri. Kedua pipi Karina memerah. Ini pertama kalinya ia melihat tubuh Saka begitu gamblang. Tubuh Saka sempurna. Otot-otot pria itu terbentuk dengan sempurna. Saka kembali menciumnya. Seiring dengan sebuah benda tumpul mulai mele
Pagi harinya. Karina menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ada beberapa bekas kepemilikan yang ada ditubuhnya. Bekas itu tidak akan hilang dalam sekejap. Karina menatap ponselnya yang menyala. Ada sebuah notifikasi yang masuk. sebuah transfer yang masuk. 300 juta sudah masuk ke dalam rekeningnya. “Aku harus segera membayarnya.” TING TING. “Itu pasti dia.” Karina membuka pintu. Benar saja—Tanto beserta anak buahnya. “Kau ikut kami. Aku akan menjualmu.” Tanto berkacak pinggang. “Aku akan membayarmu.” Karina melotot. Ia menjauh dari pria itu. “Berikan aku rekeningmu.” Tanto dan anak buahnya berpandang sebentar. “Jangan berbohong. Aku tidak akan termakan mulutmu jalang!” Karina mengeluarkan ponselnya. “Katakan saja berapa nomer rekeningmu. Aku akan mentransfernya langsung.” Tanto menyebutkan nomor rekeningnya. Karina mengotak-atik ponselnya. Dalam sekejap saja. uang 300 juta tersebut sudah berpindah tangan. “Aku sudah membayar lunas hutangmu.” Karina menunjukkan bukti transfe
Tangan Saka juga kenal tempat. Jemari pria itu memegang erat pinggang ramping Karina. Masalah yang paling ditakutkan Karina adalah bagaimana jika karyawan Delux melihat mereka. “Akan jadi Skandal,” balas Saka acuh. Karina mendengus. “Tamat riwayatku.” “Kau sudah tamat berkali-kali,” balas Saka lagi. Benar. Saka memang selalu benar. Mereka mengambil duduk di samping jendela. Akhirnya Karina bisa kembali makan di Restoran mewah berkat Saka. Mau tidak mau sebenarnya ia juga merindukan kehidupannya yang dulu. Penuh dengan harta, ke manapun bisa, beli apapun bisa dan melakukan apapun bisa. “Terima kasih sudah mengajakku ke sini, Sir.” Karina tersenyum. Ia memang suka. Apalagi pemandangan bawah terlihat sangat indah. “Just call me Saka.” Saka mengambil gelasnya yang sudah diisi oleh anggur oleh pelayan. “Well aku hanya sedikit bersikap baik.” Karina mengangguk. Saka meminum pelan anggurnya. Dengan sorot mata yang tidak lepas dari Karina. “Apa kau dulu sangat senang mempermainkanku?”
Karina mengernyit. “Apapun itu bukan urusanmu.” “Come on Karina.” Kenzo tersenyum. “Aku tahu kau. Kau tidak mungkin mau hidup miskin. Kau pasti mencari sugar daddy untuk mencukupi kebutuhanmu. Apalagi kau dan ibumu itu suka sekali menghabiskan uang.” Lebih dari tahu. Kenzo bahkan hapal kebiasaan Karina dulu. Karina yang gemar menghamburkan uang. “Terserah.” Karina menghela nafas. “Ikutlah denganku malam ini. Aku akan memberimu tip yang cukup banyak.” Kenzo dengan lancang menarik pergelangan tangan Karina. “Lepaskan aku.” Karina berusah memberontak. “Bilang padaku, berapa tarifmu. Aku akan membayarnya tiga atau empat kali lipat sesuai keinginanmu.” Kenzo masih bersikukuh. “Kalau perlu aku akan menjadi sugar daddymu, kau tidak perlu repot-repot mencari pria kaya.” Karina memutar bola matanya malas. “Lepaskan aku.” “Jangan jual mahal, Karina.” Kenzo yang semakin lancang. Pria itu bahkan berani menarik pinggang Karina. Mengusap kedua pipi Karina dengan pelan. “Lepaskan aku brengs
21+ “Ingin apa?” beo Karina. “Kau.” Saka kembali mencium Karina. Kali ini lebih tergesa-gesa. Jemarinya masuk ke dalam dress Karina. Tidak sabar menurunkan resleting dress hingga terdengar robek. Tidak seberapa hanya robek sedikit. Setelah ini Saka akan membelikan Karina lebih banyak dress. “Jangan di sini.” Karina berhasil mendorong pelan Saka. Hingga pangutan mereka terlepas meski hanya sebentar. “Aku tidak peduli.” Saka melepaskan kancing kemejanya. Kemudian kembali memangut bibir Karina. Semakin hari—semakin sering tubuh mereka membelai. Saka semakin tidak bisa lupa. Bayangan tentang Karina yang pasrah di bawahnya selalu terngiang-ngiang. Biar saja dibilang otak mesum. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Saka membawa Karina masuk ke dalam salah satu bilik toilet. Saka dengan mudah melepaskan semua yang ada pada Karina. Hingga tubuh Karina benar-benar telanjang di hadapannya. “Tubuhmu semakin menggoda,” bisik Saka. Karina mencengkram bahu Saka ketika pria itu bermain-mai
Karina berusaha mengingatkan diri sendiri. Kebersamaan mereka kemarin malam sebagai tugasnya. Saka tidak menginginkan apapun dari dirinya selain tubuhnya. Siang ini adalah jadwal Saka melakukan pemotretan bersama istrinya. Karina memandang Aruna. Dugaannya benar. Aruna sangatlah cantik. Wanita berstatus istri Saka itu adalah seorang desainer dan model. Hari ini mereka terlihat sangat serasi melakukan sesi photoshoot. Saka menggunakan setelan kemeja biru laut dengan bawahan hitam. Sedangkan Aruna menggunakan dress cantik berwarna biru juga. Mereka sangat serasi. Karina memandang mereka. Ia duduk di sofa yang sudah disediakan. Pose yang dilakukan sangat romantis. Aruna melingkarkan kedua tangannya di leher Saka. “Dia siapa?” tanya Aruna. Saka melingkarkan kedua tangannya di pinggang Aruna. Ia tahu yang dimaksud Aruna adalah Karina. “Bukan siapa-siapa.” “Dia norak dan kampungan,” komentar pedas Aruna. “Hanya sekedar jadi Sekretarismu saja dia tidak pantas. Kau pasti butuh pembantu.”
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert