“Aku membawa barang-barangku ke sini.” Aruna membawa dua koper. Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar Saka. Membuka kopernya kemudian menaruh barang-barangnya di lemari. Saka memutar bola matanya malas. Melihat Aruna membuatnya muak. Ia jadi ingin menemui Karina. Padahal tadi siang mereka bercinta dengan penuh gairah. Tapi rasanya masih kurang. Saka mengambil jaketnya. “Kau akan ke mana?” tanya Aruna. “Bukan urusanmu.” Aruna mencegah Saka yang akan pergi. “Bagaimana jika Mom dan Dad ke sini?” Saka menghela nafas. Ia tersenyum remeh. “Kau pintar bersandiwara. Hal yang mudah bagimu untuk mencari alasan kenapa aku tidak ada di rumah.” “Saka tapi—” “Cukup.” Saka menatap tajam Aruna. “Aku muak denganmu.” “Kau pikir aku juga tidak muak?” Aruna mengusap rambutnya frustasi. “Jangan bersikap sok berkuasa. Kita saling membutuhkan. Bukan hanya aku tapi kau membutuhkanku. Kita bekerja sama agar para orang tua tidak tahu keadaan rumah tangga kita yang sebenarnya.” “Aku tahu.” Saka menc
Saka menyelipkan tangannya di bawah lutut dan pinggang Karina. Menggendongnya ke kamar. Dengan hati-hati menurunkan Karina di atas ranjang yang kecil. “Bagaimana bisa dia tidur di ranjang yang kecil ini?” Saka semakin heran. Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul. Sejak kapan Karina menjadi miskin dan hidup seperti ini. Saka berbaring di samping Karina. Menyingkirkan helaian rambut Karina. “Aku ingin sekali menghancurkanmu. Tapi aku—” jemarinya mengusap pelan bibir bawah Karina. “Tapi entahlah.” “Kasur ini sangat kecil, sialan!” Kaki Saka yang sangat panjang menggantung di kasur Karina. Karina bergerak—telinganya mendengar suara-suara yang bising. Akhirnya ia membuka mata. Mendapati seorang pria yang berbaring di sampingnya. Saka—apa yang dilakukan pria itu di sini malam-malam. “Sir,” panggil Karina. Saka menoleh. “Hm?” “Kenapa anda di sini?” “Untuk melihatmu. Apakah masih hidup atau mati,” jawab asal Saka. Ia bangkit—duduk kemduian menghela nafas kasar. “Sejak kapan kau tinggal d
Karina mengerjap. Ia menjaga sedikit jarak dengan Saka. “Jika kamu terus mengingatnya. Kamu hanya akan sakit hati.” “Benar dan obat atas sakit hatiku adalah membuatmu menderita.” Saka menatap Karina dengan sorot tajamnya. “Baiklah terserah kamu.” Karina lelah. Ia juga lapar. Ia mengabaikan Saka dan memulai memotong bahan masakan. “Karina,” panggil Saka. “Karina jangan mengabaikanku,” protes Saka. Karina yang sibuk memtong bawang merah, bawang putih karena ia akan memasak nasi goreng. “Lanjutkan nanti saja. Aku benar-benar lapar.” Karina mendongak. Mengusap pelan pipi Saka. Sentuhan yang tidak seberapa itu membuat Saka berhenti sejenak. Ia memegang pipinya yang disentuh oleh Karina. Ada semacam kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Saka mulas namun juga senang. “Karina—” Saka melotot saat menangkap seorang makhluk hidup kecil berwarna hitam tengah berlari. “KARINA ADA TIKUS!” Saka memeluk Karina ketakutan. “Karina bunuh tikus itu!” tunjuk Saka pada tikus yang bersembunyi di ba
“Jangan banyak tanya.” Saka berdecak. “Aku mendadak lapar.” Karina menggeleng pelan. “Ada saja alasannya,” gumamnya pelan. “Apa kau bilang?” Karina cepat-cepat menggeleng. Karina memandang Saka dari samping. Sekarang—Saka lebih terlihat manusiawi. Saka yang biasanya adalah Saka yang sering membuatnya takut dan bergidik ngeri. Tapi entah kenapa malam ini, Saka seperti laki-laki yang ia temui 13 tahun lalu. “Kau mulai mengagumiku?” tanya Saka percaya diri. Ia menyerahkan piring yang sudah kosong itu pada Karina. “Kamu tampan. Siapapun wanita pasti mengagumi kamu,” balas Karina. Saka tertawa pelan. “Termasuk kau?” “Maybe.” Karina yang tertawa. Mengambil kaleng soda dan meminumnya. Saka mengambilnya. Meminum soda dari bekas yang sama dengan Karina. Pertama kalinya mereka bisa berbicara dan tertawa sesantai ini. Biasanya hanya dihiasi dengan kemarahan Saka dan percintaan panas mereka berdua. Urusan ranjang yang menjadi nomor satu di dalam hubungan ini. Saka dan Karina bahkan tidak
CHAPTER 36 #Flashback Masih On Karina menghela nafas dalam. Saka Ravindra. Laki-laki pindahan 6 bulan lalu. Laki-laki yang sekarang mendapat predikat si jenius karena kepintarannya. Saka mendapat peringat pertama paralel. Tidak ada salahnya mencoba. Daripada mendapat nilai jelek, yang ada bisa dimarahi habis-habisan oleh mamanya. Karina akan mencoba mendekati Saka. Meskipun ia sungguh mual hanya dengan melihat laki-laki itu. Pertama. Karina membelikan sebuah minuman untuk Saka. “Ini buat lo.” Karina yang berdiri di depan Saka. Ia tersenyum sangat cantik. Bahkan semua mata memandang mereka berdua. “Lo bisa bantuin gue belajar?” tanya Karina. Saka dengan ragu mendongak. Pertama kalinya ada seorang perempuan yang mendekatinya lebih dulu. Hatinya terasa berbunga dan jantungnya berdetak dengan cepat. Ia menunduk dan mengangguk perlahan. Jujur saja ia tidak sanggup bertatapan lebih lama dengan Karina yang sangat cantik di matanya. Karina bersorak dalam hati. ‘Gampang nih culun dimanf
“Jangan panggil gue kayak gitu!” Karina melotot. “Gue gak suka sama lo! Jangan bikin gue tambah jijik!” bergidik ngeri dengan Saka yang memanggilnya dengan suara lembut. Percayalah Karina melakukannya karena semua teman-temannya berada di sana. Karina tidak ingin ada rumor jika dirinya benar-benar menyukai Saka. Namun dalam hati—ia tidak tega melihat Saka yang sedih akibat perkataannya. ~~ Sejak kejadian di mana Karina memutuskan Saka. Saka menjauh dan tidak pernah mendekati Karina lagi. Karina merasa kehilangan—meskipun ia selalu dikelilingi oleh teman-temannya. Ia merasa kosong. Saka sering menjemputnya untuk pergi bersama ke sekolah. Saka sering terkena ejekan sang Mama. Namun Saka tidak menyerah—ia tetap menjemput Karina diam-diam. Mereka berangkat bersama menggunakan motor. “Karina,” panggil Saka. “Ya?” “Kamu suka naik motor?” Karina mengangguk. “Suka.” Waktu itu—dunia Saka terasa sangat indah. Waktu bersama Karina sangatlah membahagiakan. Apalagi melihat senyum indah Ka
Cahaya yang masuk membuat mata cantik itu menyipit. Karina membuka mata—ia menatap sekitar. Ia berada di kamarnya yang tidak terlalu luas. Karina memegang tangan seseorang yang memeluk pinggangnya. Karina membuka selimut. Tubuh mereka sama-sama polos tanpa sehelai benangpun. Karina kembali menutup selimut ke atas tubuhnya. Ia mengganti posisinya berbaring di hadapan Saka. Pria itu masih memejamkan mata. “Perfect.” Karina mengagumi Saka. Pria itu sungguh tampan. Alis yang tebal, rahang yang tegas, kulit sehat berwarna kuning langsat dan rahang yang tegas. Karina terperanjat saat tubuhnya ditarik. Saka yang sudah bangun namun enggan membuka mata. Ia menenggelamkan wajahnya di leher Karina. Menghirup aroma Karina yang menyegarkan. “Apa kamu—” Karina tidak jadi meneruskan perkataannya. “Hm?” gumam Saka. “Tidak jadi,” balas Karina. Jemarinya terangkat ingin mengusap rambut Saka yang lebat. Namun ia urungkan kembali. Entahlah Karina merasa perbuatannya terlalu berlebihan. “Katakan.”
[Saka: Wajahmu Karina. Cepat!”] Karina mangut-mangut. Akhirnya ia mengambil foto dirinya menggunakan ponsel baru itu. Ia tersenyum dan cekrek. Karina mengirim foto itu. Saka: Cantik. Karina: Makasih Tidak ada balasan. Karina menutup ponselnya. Ia menyentuh pipinya yang memanas. Karina tidak bisa menahan senyumnya. Ia berjalan dengan riang ke arah lemari. Nanti ia memilih pakaian yang akan digunakan pergi ke acara pameran Diana. Ia menatap lemarinya yang penuh dengan dress, tas dan sepatu. Semua itu adalah pemberian dari Saka. Jumlahnya sangat banyak sampai Karina harus menekannya agar muat di lemarinya yang kecil. “Ini bagus. Tapi—sedikit terbuka.” Karina mengambil sebuah dress hitam. Panjangnya hanya mencapai setengah pahanya. Atasnya cantik dengan lengan pendek. ~~ Karina menatap sebuah bangunan di depannya. Tidak banyak orang yang datang karena hari ini adalah hari terakhir pameran. Karina memang menghindari keramaian. Ia hanya takut—takut ada orang yang mengenalinya dan b
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert