“Jangan panggil gue kayak gitu!” Karina melotot. “Gue gak suka sama lo! Jangan bikin gue tambah jijik!” bergidik ngeri dengan Saka yang memanggilnya dengan suara lembut. Percayalah Karina melakukannya karena semua teman-temannya berada di sana. Karina tidak ingin ada rumor jika dirinya benar-benar menyukai Saka. Namun dalam hati—ia tidak tega melihat Saka yang sedih akibat perkataannya. ~~ Sejak kejadian di mana Karina memutuskan Saka. Saka menjauh dan tidak pernah mendekati Karina lagi. Karina merasa kehilangan—meskipun ia selalu dikelilingi oleh teman-temannya. Ia merasa kosong. Saka sering menjemputnya untuk pergi bersama ke sekolah. Saka sering terkena ejekan sang Mama. Namun Saka tidak menyerah—ia tetap menjemput Karina diam-diam. Mereka berangkat bersama menggunakan motor. “Karina,” panggil Saka. “Ya?” “Kamu suka naik motor?” Karina mengangguk. “Suka.” Waktu itu—dunia Saka terasa sangat indah. Waktu bersama Karina sangatlah membahagiakan. Apalagi melihat senyum indah Ka
Cahaya yang masuk membuat mata cantik itu menyipit. Karina membuka mata—ia menatap sekitar. Ia berada di kamarnya yang tidak terlalu luas. Karina memegang tangan seseorang yang memeluk pinggangnya. Karina membuka selimut. Tubuh mereka sama-sama polos tanpa sehelai benangpun. Karina kembali menutup selimut ke atas tubuhnya. Ia mengganti posisinya berbaring di hadapan Saka. Pria itu masih memejamkan mata. “Perfect.” Karina mengagumi Saka. Pria itu sungguh tampan. Alis yang tebal, rahang yang tegas, kulit sehat berwarna kuning langsat dan rahang yang tegas. Karina terperanjat saat tubuhnya ditarik. Saka yang sudah bangun namun enggan membuka mata. Ia menenggelamkan wajahnya di leher Karina. Menghirup aroma Karina yang menyegarkan. “Apa kamu—” Karina tidak jadi meneruskan perkataannya. “Hm?” gumam Saka. “Tidak jadi,” balas Karina. Jemarinya terangkat ingin mengusap rambut Saka yang lebat. Namun ia urungkan kembali. Entahlah Karina merasa perbuatannya terlalu berlebihan. “Katakan.”
[Saka: Wajahmu Karina. Cepat!”] Karina mangut-mangut. Akhirnya ia mengambil foto dirinya menggunakan ponsel baru itu. Ia tersenyum dan cekrek. Karina mengirim foto itu. Saka: Cantik. Karina: Makasih Tidak ada balasan. Karina menutup ponselnya. Ia menyentuh pipinya yang memanas. Karina tidak bisa menahan senyumnya. Ia berjalan dengan riang ke arah lemari. Nanti ia memilih pakaian yang akan digunakan pergi ke acara pameran Diana. Ia menatap lemarinya yang penuh dengan dress, tas dan sepatu. Semua itu adalah pemberian dari Saka. Jumlahnya sangat banyak sampai Karina harus menekannya agar muat di lemarinya yang kecil. “Ini bagus. Tapi—sedikit terbuka.” Karina mengambil sebuah dress hitam. Panjangnya hanya mencapai setengah pahanya. Atasnya cantik dengan lengan pendek. ~~ Karina menatap sebuah bangunan di depannya. Tidak banyak orang yang datang karena hari ini adalah hari terakhir pameran. Karina memang menghindari keramaian. Ia hanya takut—takut ada orang yang mengenalinya dan b
“Iya tidak mungkin. Kami hanya teman satu angkatan,” imbuh Karina melirik Saka sebentar. “Ooh.” Aruna mengangguk pelan. “Ayo lihat lukisan yang lain sayang.” Menarik Saka agar kembali berjalan. Aruna benar-benar menempel pada Saka seperti lintah. “Karina,” panggil Diana. Karina bangun dari lamunannya. “Iya?” “Aku pergi dulu ya? Kau bisa melihat-lihat lagi. Atau bisa bersantai di sana.” Diana menunjuk sebuah ruangan paling depan. Di sana ada sebuah stand makanan dan tempat duduk untuk bersantai. “Oke.” Karina mengangguk. Karina pergi ke depan. Ia memesan satu matcha latte dan croffle. Ia mengambil duduk sendirian di bangku. Yang datang kebanyakan memang orang yang berpasangan. Karina menunduk—mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Saka: Pulang, Karina. Aku akan ke sana setelah mengantar Aruna. Karina: Sebentar. Aku ingin makan sebentar. Setelah makan aku akan pulang. Saka: Pulang sekarang juga! Karina menoleh ke sana ke mari. Ia tidak melihat wujud Saka. Ia akan menunggu maka
“Pak ini tisu buat eek. Huaaa.” Karina menangis namun ia juga ingin tertawa. Saka sampai di gedung Apartemen Karina. Ia langsung masuk. Seperti biasa—Ia langsung masuk karena pintu yang belum diperbaiki juga. Ia begitu marah melihat seluruh ruangan yang gelap. Saka pergi ke kamar Karina. Wanita itu sudah tidur meringkuk di atas kasur. Karina bahkan tidak berganti pakaian. Karina tertidur menggunakan dress hitam yang digunakannya ke pameran. Selimutnya entah ke mana—dress itu sudah tersingkap tidak karuan. “Karina kau benar-benar membuatku marah,” geram Saka. Karina bergerak pelan—merubah posisinya menjadi terlentang. Saka mendekat dan naik ke atas ranjang Karina. Sedikit bergoyang akibat pergerakannya—namun Karina masih memejamkan mata. Tidak terusik sama sekali. “Karina,” panggil Saka. Ia mengusap pipi Karina pelan. Karina perlahan membuka mata. Menatap Saka yang sudah berada di hadapannya. “Aku mimpi?” “Hm. Kau mimpi. Kau akan bermimpi sangat indah.” Jemari Saka membelah dada
“Bagaimanapun caranya, aku ingin kau menghapus semua video yang sudah terlanjur beredar. Aku juga ingin tahu siapa yang menyebarkannya.” Saka berbicara melalui telepon. Ia mempunyai kenalan di sebuah perusahaan detektif swasta. “Saya akan menghapusnya namun butuh waktu untuk memastikan jika video itu benar-benar sudah hilang.” “Kau harus melakukannya secepatnya. Aku tidak ingin video itu semakin tersebar.” Saka berkacak pinggang. Berjalan ke sana-ke mari dengan gelisah. “Baik, Sir.” Sambungan telepon dimatikan. Saka hampir saja menendang seseorang yang tiba-tiba berada di hadapannya. “Kenapa kau ada di sini?” kesal Saka. “Mendengarkanmu.” Aruna mengedikkan bahu. Ia membawa nampan yang berisi dengan roti dan kopi. “Aku membawakanmu sarapan. Makan dulu sebelum pergi ke kantor.” Saka menghela nafas kasar. “Kau masih berpura-pura? Orang tuaku sudah pulang. Kau tidak perlu repot-repot bersandiwara.” Aruna menggeleng. “Aku tidak sandiwara. Aku hanya melakukan tugasku sebagai istrimu.
Benar sekali—hari ini Karina telat. Ada beberapa pegawai yang menatapnya sinis. Karina tidak peduli—ia berjalan tergesa masuk ke dalam lift. Lift yang sudah berjalan membuatnya bernafas lega. Ia berpegang dinding. “Untunglah.” Karina mengatur nafasnya. Ia telat 10 menit. Tidak terlalu buruk. Meskipun nanti ia yakin Saka akan memarahinya. “Telat?” tanya seseorang. Karina menoleh. Seorang pria yang mempunyai senyum manis. “Iya.” Namun Karina tidak bisa tertipu hanya dengan wajah rupawan. Kebanyakan laki-laki di kantor adalah buaya. “Aku Dani.” Pria itu mengulurkan tangannya. Karina hanya tersenyum tanpa menjabat tangan Dani. “Aku Karina.” Dania mengedikkan bahu kemudian memasukkan tangannya yang ditolak Karina. Ia nampak tidak keberatan. Bahkan pria itu tersenyum. “Semoga harimu menyenangkan Karina.” Lift terbuka. Dani langsung keluar. Karina tertegun sebentar. Baru kali ini ia bertemu dengan karyawan yang sopan seperti Dani. Namun ia segera menggeleng. Ia menekan tombol naik. T
“Apa?” Saka kehilangan kata-kata. Mendadak ngeblank sesaat. ‘Buka jas kamu.’ Adalah kata-kata yang ambigu bagi Saka. Pikirannya sebagai laki-laki sudah mengelana jauh. “Nanti jas kamu kotor. Di sana juga rada bau. Gelung juga kemeja kamu.” Karina membuka tasnya. Mengambil dompet kemudian diselipkannya di ketiak. Begitu saja tanpa takut jatuh. Ternyata hanya pikiran Saka yang kotor. Saka menggeleng pelan. Ia melepaskan jasnya. Kemudian ia merasa tangan mungil Karina menarik tangannya. Karina menggelung lengan kemejanya sampai sebatas siku. “Sudah.” Karina lebih dulu turun dari mobil. Saka mengikuti Karina dari belakang. Mereka mulai memasuki pasar yang masih ramai. Ada banyak pedagang sayur yang baru berjualan. Karina berhenti. “Ke sini.” Karina sedikit menarik kemeja Saka. “Jalan di samping. Supaya gak hilang.” Saka berdecak pelan. Memangnya dirinya anak kecil. Entah apa yang dicari Karina. Wanita itu melewati pedagang daging. “Aku tidak tahu harus beli apa.” “Beli semuanya sa
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert