Setelah itu bergegas pergi ke kamar mandi untuk siap-siap. Karina mengganti pakaiannya dengan sebuah dress hitam selutut. Ia menatap cermin—menaburkan bedak tipis di wajahnya. Tidak lupa menambahkan sebuah liptint. “Jam berapa dia akan ke sini?” Karina mengambil ponselnya. Lagi-lagi mati—Karina harus segera menggantinya. Lagipula uang pemberian Saka sangatlah banyak. Ia bisa membeli satu ponsel yang bagus untuk bekerja. Karina yang tidak bisa menghidupkan ponselnya, terpaksa hanya bisa menunggu Saka. Ia duduk di sofa depan TV. Menonton Tv sambil menunggu Saka datang. Namun sudah beberapa jam Saka tidak kunjung datang. “Apa dia lupa?” gumam Karina. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia juga mulai menguap lebar. Karina menatap makanan yang telah dibuatnya. “Pasti sudah dingin. Aku akan menyimpannya di kulkas.” Karina merasakan kekecewaan. Atau dirinya lupa jika hanya sekedar penghibur. Karina menggeleng. Ia berusaha keras untuk tidak mengharapkan apapun da
Lift terbuka. Karina menunggu Saka berjalan lebih dulu. Tapi pria itu kembali menekan tombol, hingga lift kembali tertutup. Karina mendongak. “Sir—” “Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Karina baru tahu masih ada lantai atas. Pasti ke rooftop. Lift terbuka. Mereka langsung berada di ruangan paling atas. Saka berjalan keluar lebih dulu. Karina mengikutinya dengan ragu. Di Rooftop tidak ada apapun yang spesial. Hanya ada satu sofa buluk yang masih berada di sana. “Jelaskan, Karina,” desak Saka. Karina menatap langit cerah. “Hanya gosip.” Saka memegang kedua bahu Karina. “Gosip seperti apa?” “Ada yang merekam kejadian di Reuni. Mereka semua mengira aku menggoda suami temanku. Ya begitulah.” Karina tersenyum. Saka mengernyit. Ia menaruh salah satu tangannya ke dalam saku. Bukan Karina yang marah—tetapi malah dirinya. Saka tidak terima ada orang lain yang menyakiti Karina. Karena hanya dirinya saja yang boleh menyakiti wanita itu. “Apa kau tahu siapa penyebarnya?” tanya Saka. Karin
“Apa saya menganggu?” tanya seorang pria. Ronald datang membawa beberapa berkas. Ruangan Ronald memang terpisah, pria itu masih menjadi Asistennya. Sesekali masih berkomunikasi langsung dengan Saka. Tapi kebanyakan memang sering berdiskusi online dengan Karina. Saka melengos. Ia berjalan masuk ke dalam ruangannya. Diikuti oleh Ronald. “Ini adalah peraturan baru yang sudah dibuat oleh bagian personalia.” Ronald memberikan sebuah dokumen. “Saya sudah memeriksanya—ada beberapa point yang menurut saya kurang. Anda bisa melihatnya sendiri.” “Hm. Pergilah.” Saka mengambil dokumen itu dengan malas. “Baik, Sir.” Ronald membalikkan badan. “Sir jangan galak-galak pada Karina. Dia terlihat sangat ketakutan.” Saka mendongak. Hendak membalas perkataan Asistennya itu namun Ronald sudah keburu pergi. ~~ Sampai istirahat siang. Saka sama sekali tidak memanggil Karina. Ia masih kesal dan jengkel setengah mati. Pokoknya ia tidak akan berbicara dengan wanita itu. Sedangkan Karina hanya bisa pasra
“Kamu sudah makan?” tanya Leona. Saka sudah menandatangani dokumen yang dibawa Karina. Karina sungguh tidak bermaksud merusak suasana hangat keluarga itu. Namun ia sungguh terpaksa. Saat ia akan pergi—Leona menanyainya. “Sudah, Mrs,” jawab Karina. Ia tersenyum. “Kalau begitu saya pergi dulu. Maaf sudah menganggu waktu anda.” Karina langsung melangkah pergi. Di depan Restoran, Karina hampir saja terjatuh. Namun belum sempat karina ia berhasil mengendalikan diri. Hal tersebut tidak luput dari pandangan Saka. Tingkah konyol Karina membuatnya tersenyum tipis. “Dia sembrono,” ucap Leona memandang Karina. “Tapi dia tidak seperti kebanyakan Sekretaris yang biasa aku temui. Pakaiannya sopan. Tapi dia sedikit murung. Seperti banyak menyimpan beban.” Leona mendeskripsikan Karina. Jangan heran—memang pertama kali bertemu, Leona sering kali menilai seseorang. “Sudah, Mom. Makan saja,” ucap Saka. “Sudah berapa lama dia jadi Sekretaris kamu?” tanya Leona. Saka mendongak. “Sudah sekitar 2 bul
Ia mendekati Saka. Berusaha mengambil ponsel itu namun Saka mengangkat tinggi-tinggi ponsel itu. Karina yang lebih pendek—karina yang kecil tidak akan bisa menggapai ponselnya yang diangkat tinggi oleh Saka. “Sir kembalikan.” “Aku tidak suka. Kau ingin membuatmu marah?” Saka langsung melempar ponsel itu dari balkon. Karina langsung menunduk—melihat ponselnya yang sudah remuk di bawah sana. Bagaimana tidak remuk jika dijatuhkan dari atas ketinggian. “Ponselku…,” lirih Karina. “Aku akan membelikanmu lagi.” Saka menarik pinggang Karina. Memeluknya sambil menyandarkan dagunya di bahu Karina yang kecil. “Jangan membuatku marah.” Karina pasrah. Namun dalam hati mendumel tidak henti. Saka yang kaya suka menghamburkan uang. Karina sungguh tidak suka dengan hal itu. Karina meremas bahu pria itu—Saka yang tidak bisa berhenti mengecup leher Karina. Bahkan jemari Saka membuka lebih lebar kerah leher Karina agar ia bisa menjelajahi leher wanita itu. Dengan tidak sabaran Saka hampir menyobek
“Aku membawa barang-barangku ke sini.” Aruna membawa dua koper. Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar Saka. Membuka kopernya kemudian menaruh barang-barangnya di lemari. Saka memutar bola matanya malas. Melihat Aruna membuatnya muak. Ia jadi ingin menemui Karina. Padahal tadi siang mereka bercinta dengan penuh gairah. Tapi rasanya masih kurang. Saka mengambil jaketnya. “Kau akan ke mana?” tanya Aruna. “Bukan urusanmu.” Aruna mencegah Saka yang akan pergi. “Bagaimana jika Mom dan Dad ke sini?” Saka menghela nafas. Ia tersenyum remeh. “Kau pintar bersandiwara. Hal yang mudah bagimu untuk mencari alasan kenapa aku tidak ada di rumah.” “Saka tapi—” “Cukup.” Saka menatap tajam Aruna. “Aku muak denganmu.” “Kau pikir aku juga tidak muak?” Aruna mengusap rambutnya frustasi. “Jangan bersikap sok berkuasa. Kita saling membutuhkan. Bukan hanya aku tapi kau membutuhkanku. Kita bekerja sama agar para orang tua tidak tahu keadaan rumah tangga kita yang sebenarnya.” “Aku tahu.” Saka menc
Saka menyelipkan tangannya di bawah lutut dan pinggang Karina. Menggendongnya ke kamar. Dengan hati-hati menurunkan Karina di atas ranjang yang kecil. “Bagaimana bisa dia tidur di ranjang yang kecil ini?” Saka semakin heran. Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul. Sejak kapan Karina menjadi miskin dan hidup seperti ini. Saka berbaring di samping Karina. Menyingkirkan helaian rambut Karina. “Aku ingin sekali menghancurkanmu. Tapi aku—” jemarinya mengusap pelan bibir bawah Karina. “Tapi entahlah.” “Kasur ini sangat kecil, sialan!” Kaki Saka yang sangat panjang menggantung di kasur Karina. Karina bergerak—telinganya mendengar suara-suara yang bising. Akhirnya ia membuka mata. Mendapati seorang pria yang berbaring di sampingnya. Saka—apa yang dilakukan pria itu di sini malam-malam. “Sir,” panggil Karina. Saka menoleh. “Hm?” “Kenapa anda di sini?” “Untuk melihatmu. Apakah masih hidup atau mati,” jawab asal Saka. Ia bangkit—duduk kemduian menghela nafas kasar. “Sejak kapan kau tinggal d
Karina mengerjap. Ia menjaga sedikit jarak dengan Saka. “Jika kamu terus mengingatnya. Kamu hanya akan sakit hati.” “Benar dan obat atas sakit hatiku adalah membuatmu menderita.” Saka menatap Karina dengan sorot tajamnya. “Baiklah terserah kamu.” Karina lelah. Ia juga lapar. Ia mengabaikan Saka dan memulai memotong bahan masakan. “Karina,” panggil Saka. “Karina jangan mengabaikanku,” protes Saka. Karina yang sibuk memtong bawang merah, bawang putih karena ia akan memasak nasi goreng. “Lanjutkan nanti saja. Aku benar-benar lapar.” Karina mendongak. Mengusap pelan pipi Saka. Sentuhan yang tidak seberapa itu membuat Saka berhenti sejenak. Ia memegang pipinya yang disentuh oleh Karina. Ada semacam kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Saka mulas namun juga senang. “Karina—” Saka melotot saat menangkap seorang makhluk hidup kecil berwarna hitam tengah berlari. “KARINA ADA TIKUS!” Saka memeluk Karina ketakutan. “Karina bunuh tikus itu!” tunjuk Saka pada tikus yang bersembunyi di ba
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert