'Kak .... Kakak ada di mana? Kenapa Kakak menghilang begitu lama? Lalu sekarang, siapa yang bisa aku ajak bertukar pendapat? Siapa yang bisa mendengarkan semua keluhanku? Siapa yang selalu bisa memaklumi dan memahamiku?'
'Kak .... Saat Kakak pergi, Kakak membawa pula semuanya bersama Kakak. Seolah tidak ada apa pun lagi yang tersisa di sini, kecuali kesedihan dan rasa putus asa. Rasanya ... sakit, hingga sekarang pun masih begitu sakit. Bahkan sepertinya semakin lama berjalannya waktu, rasa sakit itu terasa semakin menguat. Seolah ada sebuah pasak besar yang dipukulkan ke dadaku dengan kuat, dan meninggalkan lubang besar yang menganga di sana.'
'Kak .... Entah berapa kali aku merasa kalau Kakak tidak benar-benar pergi. Seolah Kakak hanya berada di suatu tempat yang andai aku tahu di mana letaknya, maka pasti akan segera kudatangi. Anehkah itu? Aku tahu kalau semua itu hanyalah pemikiran bodohku, tapi setidaknya dengan begitu hatiku bisa menjadi sedikit lebih baik.'
Grand Hyatt Dubai08:55 IANASudah berapa lamakah waktu berlalu sejak dia melihat Selena bersama Andreas?Ah, entahlah. Yang jelas, Killian harus benar-benar berusaha agar dia terlihat biasa-biasa saja, meski nyatanya tangannya yang memegang cangkir yang berisi minuman coklat itu kini sedikit gemetar."Wah! Saya sama sekali tidak menyangka kalau kita akan bertemu di sini," sapa Andreas, bergegas keluar dari lift. "Bagaimana kabar Anda—" Andreas mengulurkan tangan dan tersenyum ramah, "—Tuan Muda Ardhana?"Selena segera menoleh dan memandang ke arah kedua lelaki itu, sementara suasana yang ada mendadak menjadi tegang.Apakah Andreas tidak tahu bahwa sudah cukup lama Killian tidak ingin dipanggil dengan sebutan itu?Namun entah apakah dia tidak tahu atau hanya pura-pura tidak menyadari apa pun, Andreas tetap memasang ekspresi ceria dan senyuman lebar di wajah tampannya.Bahkan ketika uluran tangannya tidak juga bersambu
"Sir! Tolong tunggu!"Selena mengejar Killian yang ternyata sudah memasuki lift sementara sepasang pintu besinya sudah bergeser nyaris menutup."Sir!" seru Selena dengan percuma, sebab pada saat itu pula pintu lift sudah langsung tertutup nyaris di depan hidungnya. "Sial!"Menghentakkan sebelah kaki, Selena mendengus kesal. Perempuan itu bersumpah bahwa dia masih sempat melihat Killian yang hanya menatapnya sambil tersenyum.Senyuman miring yang khas yang biasanya terlihat menawan itu, sekarang terasa begitu menyebalkan bagi Selena. Benar-benar membuat kesal saja!Perempuan itu lantas melepas sepasang heels-nya, lalu tanpa berpikir panjang segera berlari menaiki tangga hotel sembari mencoba tidak menghiraukan pandangan aneh orang-orang.Ya, Tuhan."Dasar Bos keras kepala, kurang kerjaan, pemarah, suka mengomel, sikapnya juga sering tidak
Selena sama sekali tidak tahu bagaimana dia bisa melesat menuruni tangga tanpa membunuh dirinya sendiri.Dia berlari dari kamar tidur Killian seperti orang yang kabur dari kebakaran, meninggalkan atasannya yang masih menerima telepon entah dari siapa, wajah melongo, tubuh yang nyaris tidak berpakaian dan penampilan yang meski berantakan, tapi tetap terkesan seksi.Selena tidak ingat bagaimana caranya dia tadi membenahi pakaiannya dengan sangat cepat, sebelum akhirnya dengan gemetar dan langkah yang sedikit goyah dia berhasil lolos dari kamar tidur yang tidak ubahnya bagai sarang serigala tersebut.Apa-apaan itu tadi? Apa sebenarnya yang terjadi? Apa baru saja dia bermesraan dengan atasannya sendiri? Lagi?"Sial," bisiknya dengan nada menggerutu. "Apa yang salah dengan diriku?"Selena tercengang. Dia sendiri merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Merasa tidak mampu untuk berjalan sampai ke kamar tidurnya, Selena terhuyung-huy
Charlotte datang dengan wajah penuh amarah.Wajah perempuan itu tampak memerah dan entah mengapa rambutnya yang berwarna coklat keemasan malah terlihat bagai petir yang menyambar-nyambar, sehingga membuat Selena bertanya-tanya.Apakah mitos soal dewa Zeus dan dewi Hera itu benar-benar ada? Sebab sepertinya saat ini dia sedang melihat perpaduan dari kedua dewa dan dewi tersebut."Apa?" salaknya sambil menatap tajam ke arah putri keluarga Harron tersebut.Hari ini dia sudah cukup mengalami hal yang membuat suasana hatinya buruk dan kenyataan bahwa seorang Charlotte Harron datang menemuinya dalam keadaan marah tentu saja tidak masuk ke dalam list rencana Selena."Apa?" Charlotte balas membentak. "Apa maksudmu dengan bertanya 'apa' seperti tadi?""Dengar, kalau yang Anda inginkan adalah sebuah pertengkaran, maka lupakan saja. Silakan marah-marah sendiri."Dia baru saja akan berbelok keluar dari kamar kecil, ketika merasakan ada sebuah tan
Apa sebenarnya yang sedang dia lakukan? Kenapa dia malah mendatangi sekretarisnya ini dan lantas menyeretnya pergi seperti seorang penculik saja? Lalu, untuk lebih tepatnya, apa rencananya sekarang? "Sir, tunggu," panggil Selena, tapi percuma saja. Bukannya memelankan larinya atau sekedar memberi sahutan, Killian justru mempererat genggaman dan semakin cepat berlari menuju lobi depan di mana sebuah mobil sport berwarna hitam miliknya sudah menunggu. "Tunggu dulu, Sir!" "Cepat masuk." "Tidak, sampai Anda mengatakan akan membawa saya ke mana malam-malam begini!" Detik berikutnya Selena menjerit ketika Killian menggendong dan nyaris seolah melemparkannya begitu saja ke bangku penumpang depan. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Killian keheranan ketika dengan cepat Selena berpindah ke tempat duduk belakang. "Duduk di depan. Aku bukan supirmu, Miss Hills!"
Rasanya terlalu menyepelekan kalau Selena mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dua hari sudah berlalu sejak malam yang mengerikan tersebut dan selama itu pulalah Selena diberikan ijin untuk beristirahat. Sebenarnya dia merasa hal tersebut tidak perlu dan menganggap bahwa Killian hanya bertindak berlebihan, tapi nyatanya setelah sempat memaksa kerja tepat pada keesokan harinya Selena malah berakhir nyaris pingsan. Saat menemani atasannya menaiki lift proyek, dia seketika mual sewaktu lift yang mereka naiki berada di level yang cukup tinggi. Lalu yang lebih parahnya lagi, Selena bahkan akhirnya muntah sehingga mengotori pakaian Killian sedemikian rupa. Namun ajaibnya, entah mengapa lelaki itu sama sekali tidak marah. Mengakhiri pekerjaan mereka lebih cepat dari yang seharusnya, Killian segera membawa Selena kembali ke hotel dan memberi perintah agar dia beristirahat. Kemu
"Sir! Saya tidak bisa. Sungguh!" "Kiska, apakah harus aku ingatkan lagi untuk memanggilku apa saat kita berduaan?" "Tt—tapi—" "Kiska?" "Oke, oke. Kills. Sudah. Apakah Anda puas? Tapi saya benar-benar tidak bisa soal ini!" "Masuk saja belum, kenapa sudah bilang tidak bisa? Kamu diam saja, biar aku yang bergerak." "Ah? Apa maksud And— Akh!" Selena menjerit dan masih sempat memberontak ketika Killian tiba-tiba menggendongnya. Namun bukannya melemparkan Selena begitu saja seperti beberapa waktu yang lalu, kali ini Killian mendudukkan sekretarisnya itu dengan hati-hati. "Saya— saya tidak mau duduk di depan, Kills. Saya—" "Kiska, seperti yang kamu lihat, mobil ini hanya bisa dimuati oleh dua penumpang." Membungkuk, Killian berbisik di dekat telinga Selena. "Lalu, kamu mau duduk d
"Kiska." "Mm?" "Coba lihat itu." Selena yang tadi sudah sempat terpejam dalam pelukan Killian, perlahan membuka sepasang mata abunya. Saat ini mereka berdua tengah duduk di bagian kap depan mobil dengan Selena duduk di pangkuan Killian dan bersandar di dada bidangnya. Rupanya, setelah bermain nyaris seharian di pantai cukup membuat perempuan cantik itu kecapekan. Tadinya Killian sudah akan menggendongnya untuk duduk di dalam mobil agar lebih nyaman, tapi Selena menolak. Tubuhnya yang basah dan kotor oleh pasir gara-gara terjatuh ketika berlarian di pantai tadi, membuat Selena merasa tidak enak apabila harus duduk di mobil mewah milik atasannya. Padahal sebenarnya Killian sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, sebab kondisi lelaki itu sendiri pun kurang lebih sama seperti Selena. Bermaksud ing
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida