Apa sebenarnya yang sedang dia lakukan? Kenapa dia malah mendatangi sekretarisnya ini dan lantas menyeretnya pergi seperti seorang penculik saja?
Lalu, untuk lebih tepatnya, apa rencananya sekarang?
"Sir, tunggu," panggil Selena, tapi percuma saja. Bukannya memelankan larinya atau sekedar memberi sahutan, Killian justru mempererat genggaman dan semakin cepat berlari menuju lobi depan di mana sebuah mobil sport berwarna hitam miliknya sudah menunggu. "Tunggu dulu, Sir!"
"Cepat masuk."
"Tidak, sampai Anda mengatakan akan membawa saya ke mana malam-malam begini!"
Detik berikutnya Selena menjerit ketika Killian menggendong dan nyaris seolah melemparkannya begitu saja ke bangku penumpang depan.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Killian keheranan ketika dengan cepat Selena berpindah ke tempat duduk belakang. "Duduk di depan. Aku bukan supirmu, Miss Hills!"
Rasanya terlalu menyepelekan kalau Selena mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dua hari sudah berlalu sejak malam yang mengerikan tersebut dan selama itu pulalah Selena diberikan ijin untuk beristirahat. Sebenarnya dia merasa hal tersebut tidak perlu dan menganggap bahwa Killian hanya bertindak berlebihan, tapi nyatanya setelah sempat memaksa kerja tepat pada keesokan harinya Selena malah berakhir nyaris pingsan. Saat menemani atasannya menaiki lift proyek, dia seketika mual sewaktu lift yang mereka naiki berada di level yang cukup tinggi. Lalu yang lebih parahnya lagi, Selena bahkan akhirnya muntah sehingga mengotori pakaian Killian sedemikian rupa. Namun ajaibnya, entah mengapa lelaki itu sama sekali tidak marah. Mengakhiri pekerjaan mereka lebih cepat dari yang seharusnya, Killian segera membawa Selena kembali ke hotel dan memberi perintah agar dia beristirahat. Kemu
"Sir! Saya tidak bisa. Sungguh!" "Kiska, apakah harus aku ingatkan lagi untuk memanggilku apa saat kita berduaan?" "Tt—tapi—" "Kiska?" "Oke, oke. Kills. Sudah. Apakah Anda puas? Tapi saya benar-benar tidak bisa soal ini!" "Masuk saja belum, kenapa sudah bilang tidak bisa? Kamu diam saja, biar aku yang bergerak." "Ah? Apa maksud And— Akh!" Selena menjerit dan masih sempat memberontak ketika Killian tiba-tiba menggendongnya. Namun bukannya melemparkan Selena begitu saja seperti beberapa waktu yang lalu, kali ini Killian mendudukkan sekretarisnya itu dengan hati-hati. "Saya— saya tidak mau duduk di depan, Kills. Saya—" "Kiska, seperti yang kamu lihat, mobil ini hanya bisa dimuati oleh dua penumpang." Membungkuk, Killian berbisik di dekat telinga Selena. "Lalu, kamu mau duduk d
"Kiska." "Mm?" "Coba lihat itu." Selena yang tadi sudah sempat terpejam dalam pelukan Killian, perlahan membuka sepasang mata abunya. Saat ini mereka berdua tengah duduk di bagian kap depan mobil dengan Selena duduk di pangkuan Killian dan bersandar di dada bidangnya. Rupanya, setelah bermain nyaris seharian di pantai cukup membuat perempuan cantik itu kecapekan. Tadinya Killian sudah akan menggendongnya untuk duduk di dalam mobil agar lebih nyaman, tapi Selena menolak. Tubuhnya yang basah dan kotor oleh pasir gara-gara terjatuh ketika berlarian di pantai tadi, membuat Selena merasa tidak enak apabila harus duduk di mobil mewah milik atasannya. Padahal sebenarnya Killian sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, sebab kondisi lelaki itu sendiri pun kurang lebih sama seperti Selena. Bermaksud ing
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" Keheningan terasa di antara mereka, seolah segala suara yang lain nyaris tidak sanggup menembus ke dalam kesadaran Selena. "Sekarang." Killian kembali bicara dengan tatapan kelam, bergerak satu langkah mendekat ke arah Selena. "Apa maumu dengan menarikku masuk ke kamar tidurmu ini, Kiska? Hm?" Dada Selena bergerak naik turun, dia bisa merasakan rasa dingin dari pintu kamar menembus blouse-nya yang masih setengah basah. Berusaha lebih menempel lagi ke pintu kamarnya, Selena bisa merasakan hangat dari napas Killian di rambutnya ketika lelaki itu menunduk. Dekat. Posisi mereka sangat dekat. Terlalu dekat malahan. Selena tahu bahwa yang dia perlu lakukan hanya mendongak dan bibir mereka akan bertemu. Sial! Memikirkan tentang hal tersebut sama sekali tidak membantu meringankan situasi ini. Sebenarnya, kenapa tadi dia
Rasanya mengantuk sekali dan juga capek, tapi nyatanya sejak tadi mata Selena tidak juga bisa terpejam. Berbaring di atas tempat tidur, perempuan bermata abu itu justru merasa gelisah sendiri."Quen itu ... siapa?"Entah mengapa dia merasa terusik dengan satu nama tersebut. Meski ingin melupakannya bagitu saja, tapi nama itu terus saja berdengung di dalam kepala.Kemudian, ada satu nama lain yang juga mengganggu pikirannya."Aila," gumam Selena, teringat saat beberapa hari yang lalu nama tersebut sempat disebut-sebut. Mengerutkan dahi, dia tidak juga bisa menghilangkan perasaan aneh sejak pertama kali mendengar nama tersebut.Queen. Aila."Mereka itu siapa?" bisiknya. "Lalu, aku ini ... kenapa?"Selena bisa merasakan betapa jantungnya berdetak semakin cepat dan juga ... kenapa dia tiba-tiba merasa sesak?Menarik
"Beliau sudah mendarat dengan selamat, Tuan Muda, dan sekarang sedang dalam perjalanan pulang."Andreas mengalihkan perhatiannya dari layar laptop sejenak dan tersenyum menanggapi. "Bagus. Terus ikuti dan beri tahukan segera kalau ada sesuatu."Orang bawahannya yang tadi memberi laporan pun mengangguk dan segera meminta undur diri. Sementara Andreas sudah kembali berkonsentrasi melanjutkan pekerjaannya dengan wajah yang masih dihiasi senyuman, maka Ronald, asisten pribadinya, hanya berdiri mengamatinya dalam diam."Kalau ada yang ingin kamu sampaikan, katakan saja, Ron," ujar Andreas dengan mata yang tetap terpaku ke layar laptopnya. "Ada apa?"Ronald tidak segera menjawab, melainkan beberapa kali menarik napas dalam-dalam. "Maafkan saya, Tuan Muda, tapi ... saya masih merasa kalau hal yang Anda lakukan ini tidak benar.""Sudah lima tahun berlalu dan kamu masih juga membicarakan soal ini, Ron?""Saya tahu bahwa hubungan Anda dengan beliau bi
Kediaman Roxanne"Mom, ayolah!""Mommy, please!""Mom!""Mommy!"Ansia memijit kepalanya dan menghela napas panjang. Perempuan itu terlihat begitu pusing sementara kedua anak lelaki kembarnya tengah merengek sambil menarik-narik rok."Hentikan, Alexis, Alden!" serunya, akhirnya tidak lagi sanggup mendengar rengekan yang sudah berlangsung nyaris selama setengah jam tanpa henti. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Berhenti bersikap seperti ini.""Ayolah, Mom. Katakan, iya, baru nanti kami akan berhenti," sahut Alexis yang ditimpali anggukan kepala Alden. "Ya, Mom? Ya?"Menghela napas panjang untuk yang ke sekian kalinya, Ansia akhirnya memilih untuk berlutut lantas membelai kepala kedua putranya secara bergantian."Alexis, Alden." Ansia berkata dengan nada berusaha sabar. "Sekarang ceritakan dari
Membosankan!Setidaknya hanya satu kata itulah yang cocok untuk mengungkapkan apa yang Killian rasakan saat ini. Bukan hal yang terlalu sulit untuk ditebak sebenarnya, sebab kata 'bosan' seolah sudah tercetak dengan jelas di wajah tampannya."Wah! Begitu, ya?" Suara Ivona terdengar terlalu ceria seakan dibuat-buat. Secara diam-diam, perempuan setengah baya itu juga menginjak kaki Killian. Lewat sudut mata, dia memberi peringatan pada putranya yang sejak tadi memasang wajah masam. "Kebetulan sekali Ian juga sangat menyukai strawberry pie. Ah, kalau begitu Chelsea bisa membuatkannya untuk Ian, dong, tapi kalau bisa, sih, Tante juga ingin mengincip strawberry pie buatan Chelsea."Kalau Ivona mengakhiri ucapannya dengan tawa merdu, maka Killian seketika tersedak. Tanpa bisa ditahan lagi lelaki itu menyemburkan mocktail yang tadi sedang dia minum."Ian!" seru Ivona dengan nada mencela, sementara Killian m
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida