Ardhana Corporation.
"Berikan padaku rencana awal sekaligus semua laporan pembangunan superblock Crescent Hotel, Ashin!"
Saat ini waktu baru menunjukkan pukul 07:30. Masih terlalu pagi dan bahkan belum masuk ke hitungan jam kerja.
Ashin sendiri belum lama datang. Lelaki itu bahkan belum sempat meletakkan tas kerja dan baru saja akan duduk. Wajahnya pun masih terlihat sedikit mengantuk, dan sesekali dia juga menguap.
Namun seolah tidak ingin memberi kesempatan bagi staf sekretarisnya itu bahkan sekedar untuk menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja, Killian sudah langsung menghubunginya lewat interkom dan memberikan seabrek tugas seolah tanpa ampun.
"Baik, Bos. Mohon menunggu, segera saya siapkan datanya," jawab Ashin dengan penuh kesabaran.
Sekarang ini masih pagi jadi, seharusnya diawali dengan sesuatu yang positif 'kan?
Oleh karena itulah, selain sanggup memberikan jawaban dengan nada yang ceria, Ashin bahkan memasang s
"Kita mulai rapatnya. Saya anggap saat ini kalian semua sudah membaca dan mempelajari portofolio yang sudah Ashin berikan." Setidaknya ada dua belas orang yang duduk di balik meja kerja yang memanjang tersebut, siap di depan laptop masing-masing. Kalau dari ekspresi pucat dan keringat dingin yang terlihat dari sebagian besar peserta rapat yang diadakan secara mendadak ini, jelas sudah bahwa mereka belum tuntas mempelajari portofolio yang memuat banyak data dan angka hitungan tersebut. Bahkan kemungkinan besar, ada sebagian dari mereka malah belum membacanya sama sekali. Portofolio tersebut sendiri baru selesai dikerjakan Ashin sesaat sebelum makan siang, sehingga beberapa dari mereka pun baru mendapati laporan yang tidak ubahnya bagai buku kematian itu di atas meja kerja masing-masing seusai istirahat makan siang. Meski mereka mencoba membacanya secara terburu-buru seka
Akhirnya Killian sendirian. Ah, tunggu. Bukankah selama ini dia memang sendirian? Maksudnya, yah ... untuk beberapa tahun terakhir, sih. Jadi, bukan hal tersebut masalahnya, sebab yang dimaksudkan adalah akhirnya Killian bisa sendirian saja di areal pemakaman. Tadi sewaktu dia datang, ada beberapa mobil yang terparkir dan dia mengenalinya sebagai mobil milik keluarga Roxanne. Merasa tidak ingin bertemu, lelaki tampan itu lantas memilih untuk memutar mobil dan memarkirnya di lahan parkir sebelah barat. Memang untuk itu Killian akhirnya harus berjalan lebih jauh, tapi tidak apa-apa. Setidaknya, itu lebih baik bila dibandingkan dengan harus bertemu secara tidak sengaja dengan anggota keluarga Roxanne. Bahkan setelah lima tahun berlalu pun dia masih tidak sanggup untuk bertemu dengan keluarga istrinya itu. "Ya, Tuhan," bisiknya, bersandar di balik seb
Pukul 07:30 Keesokan harinya, di Ardhana Corporation. Seperti biasa, Ashin datang lebih pagi. Untuk sesaat dia merasa ragu, apakah dia langsung menuju ruang kerjanya seperti biasa atau lebih baik mampir ke pantry terlebih dulu untuk menikmati secangkir kopi hangat? "Ah, lebih baik aku langsung ke tempat kerja saja," ujarnya sembari tersenyum-senyum sendiri. "Dua tanggal keramat sudah berlalu jadi, hari ini Bos pasti sudah lebih baik perasaannya." Namun untuk pemikiran yang kedua kali, lelaki itu lantas memutuskan bahwa tidak ada salahnya untuk membawa secangkir kapucino bersamanya. "Hari ini aku juga akan mendapatkan rekan kerja yang baru," gumamnya, merasa luar biasa bahagia. "Ya, Tuhan. Akhirnya hari-hari bagai nerakaku akan berakhir." Menepuk-nepuk bahunya sambil mengangguk-angguk sendiri, lelaki yang baru berusia 27 tahun, tapi dengan wajah ba
Di antara semua warna, kenapa harus mata dengan warna itu yang kini tengah balas memandangnya? Sepasang mata abu itu .... Ya, Tuhan. Betapa Killian seketika teringat dengan istrinya. "Berikut CV-nya, Bos," lanjut Ashin, berjalan mendekat dan meletakkan sebuah map di atas meja kerja Killian. "Seperti yang sudah saya beri tahukan sebelumnya, Miss Hills berhasil lulus dari program percepatan kuliah dengan hasil yang memuaskan. Jadi—" Pentingkah itu? Memang, apa gunanya bila dibanding dengan rasa sakit yang kini seolah menghunjam dan mencabik-cabik dada Killian? Selena Hills. Sial! Kenapa perempuan itu harus memiliki mata abu yang sama seperti milik istrinya? "Suruh dia pergi," ujar Killian dengan suara yang sedikit bergetar. "Eh? Ya? Bagaimana, Bos?" Mencengkeram pulpennya beg
"Sepertinya sekarang Anda sudah bisa melepaskan saya, Sir." "Melepaskanmu, lalu apa? Agar kamu bisa kabur begitu saja seperti tadi, hah?" "Sepertinya ada yang salah dengan ucapan Anda tadi," ujar Selena kalem, membuat Killian lantas mengerutkan dahi. "Saat ini kita berdua sedang berada di dalam lift jadi, saya bisa kabur ke mana?" Sial! Killian seketika memaki di dalam hati. Dengan buru-buru lelaki tampan itu melepaskan lengan Selena yang sekarang memalingkan wajahnya. Dasar singa betina yang licik, batinnya menggerutu ketika dia melihat dari pantulan dinding lift bahwa perempuan bermata abu itu kini tengah mengulum senyum. Lagi pula, sial! Kenapa benda ini tidak bisa lebih cepat, sih? Sepertinya Killian harus segera membenahi lift khusus miliknya ini agar bisa naik dan turun dengan lebih cepat, sebab, ya, Tuhan, sungguh dia sudah tidak sanggup kalau harus berada lebih lama lagi bersama perempuan ini. Berduaan bersama Selena en
Sepanjang ingatannya, Selena tidak pernah tahu bagaimanakah neraka itu. Namun sekarang, sepertinya dia sudah bisa sedikit mengerti soal bagaimana gambarannya. "Miss Hills! Aku ingin melihat tabel status lengkap untuk proyek superbolck Crescent Hotel, analisis dan segmentasi pasar dari kantor Beaumont, juga update status akun AMG. Semua sudah harus siap sebelum waktu brunch selesai. Mengerti?" Tidak. Tentu saja Selena tidak mengerti. Lebih tepatnya, dia menolak untuk mengerti. Sebab, ya, Tuhan. Ayolah! Mana mungkin tugas sebanyak itu sudah harus selesai dalam waktu sesempit ini? Sekarang sudah pukul sembilan pagi, sementara waktu brunch berakhir pada pukul sebelas siang. Dua jam, dengan tiga tugas besar sekaligus yang bahkan belum sempat dia pelajari dari Ashin. Tolong jangan lupa kalau ini baru hari pertama Selena bekerja. Dua jam. &
"Tunggu di sini.""Ya?""Miss, Hills. Ada satu perintah yang aku ingin untuk Anda lakukan sekarang. Ini sangat penting jadi, dengarkan baik-baik."Killian menarik satu kursi dan mendorong Selena hingga terduduk."Duduk saja di sini, dan jangan pergi ke mana pun kecuali atas seijinku," ujarnya, bahkan sampai mengetuk-ngetuk permukaan meja restoran untuk lebih memberi penekanan. "Ingat, harus atas seijinku.""Tapi, Sir. Kenapa saya harus-""Ke mana pun Anda berniat untuk pergi, meski itu hanya sebentar atau bahkan sekedar mengambil tisu sekali pun, harus atas sepengetahuanku."Ha?"Sementara itu, silakan pesan menu makan siang apa pun yang Anda inginkan," sambungnya lagi, kali ini sembari meraih buku menu dan menyodorkannya ke depan Selena. "Aku yang akan bayar semuanya. Paham?"Jawaban yang paling
"Apa kamu sudah gila?" "Diamlah!" "Sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan?" "Sudah aku katakan, diamlah!" Ayik menatap sosok lelaki yang sekarang sedang gusar sendiri itu dengan raut wajah kebingungan. Tadi dia sudah akan menikmati jatah makan siangnya, tapi Killian sudah terburu datang. Lelaki tampan berambut hitam itu menerobos masuk ke ruang kerjanya begitu saja dan langsung mengomel-omel tidak jelas soal hal yang sama sekali tidak Ayik mengerti. "Seharusnya dia kan, bisa berpura-pura tidak lihat!" Lalu .... "Soal begitu saja dibesar-besarkan. Sebenarnya, apa maunya?" Kemudian .... "Kenapa ribet sekali, sih? Tinggal berkata iya saja, kok. Cih!" Ingin mencoba mengerti, tapi bagaimana caranya? Ayik bisa apa, ka