"Sepertinya sekarang Anda sudah bisa melepaskan saya, Sir."
"Melepaskanmu, lalu apa? Agar kamu bisa kabur begitu saja seperti tadi, hah?"
"Sepertinya ada yang salah dengan ucapan Anda tadi," ujar Selena kalem, membuat Killian lantas mengerutkan dahi. "Saat ini kita berdua sedang berada di dalam lift jadi, saya bisa kabur ke mana?"
Sial! Killian seketika memaki di dalam hati. Dengan buru-buru lelaki tampan itu melepaskan lengan Selena yang sekarang memalingkan wajahnya.
Dasar singa betina yang licik, batinnya menggerutu ketika dia melihat dari pantulan dinding lift bahwa perempuan bermata abu itu kini tengah mengulum senyum.
Lagi pula, sial! Kenapa benda ini tidak bisa lebih cepat, sih?
Sepertinya Killian harus segera membenahi lift khusus miliknya ini agar bisa naik dan turun dengan lebih cepat, sebab, ya, Tuhan, sungguh dia sudah tidak sanggup kalau harus berada lebih lama lagi bersama perempuan ini.
Berduaan bersama Selena en
Sepanjang ingatannya, Selena tidak pernah tahu bagaimanakah neraka itu. Namun sekarang, sepertinya dia sudah bisa sedikit mengerti soal bagaimana gambarannya. "Miss Hills! Aku ingin melihat tabel status lengkap untuk proyek superbolck Crescent Hotel, analisis dan segmentasi pasar dari kantor Beaumont, juga update status akun AMG. Semua sudah harus siap sebelum waktu brunch selesai. Mengerti?" Tidak. Tentu saja Selena tidak mengerti. Lebih tepatnya, dia menolak untuk mengerti. Sebab, ya, Tuhan. Ayolah! Mana mungkin tugas sebanyak itu sudah harus selesai dalam waktu sesempit ini? Sekarang sudah pukul sembilan pagi, sementara waktu brunch berakhir pada pukul sebelas siang. Dua jam, dengan tiga tugas besar sekaligus yang bahkan belum sempat dia pelajari dari Ashin. Tolong jangan lupa kalau ini baru hari pertama Selena bekerja. Dua jam. &
"Tunggu di sini.""Ya?""Miss, Hills. Ada satu perintah yang aku ingin untuk Anda lakukan sekarang. Ini sangat penting jadi, dengarkan baik-baik."Killian menarik satu kursi dan mendorong Selena hingga terduduk."Duduk saja di sini, dan jangan pergi ke mana pun kecuali atas seijinku," ujarnya, bahkan sampai mengetuk-ngetuk permukaan meja restoran untuk lebih memberi penekanan. "Ingat, harus atas seijinku.""Tapi, Sir. Kenapa saya harus-""Ke mana pun Anda berniat untuk pergi, meski itu hanya sebentar atau bahkan sekedar mengambil tisu sekali pun, harus atas sepengetahuanku."Ha?"Sementara itu, silakan pesan menu makan siang apa pun yang Anda inginkan," sambungnya lagi, kali ini sembari meraih buku menu dan menyodorkannya ke depan Selena. "Aku yang akan bayar semuanya. Paham?"Jawaban yang paling
"Apa kamu sudah gila?" "Diamlah!" "Sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan?" "Sudah aku katakan, diamlah!" Ayik menatap sosok lelaki yang sekarang sedang gusar sendiri itu dengan raut wajah kebingungan. Tadi dia sudah akan menikmati jatah makan siangnya, tapi Killian sudah terburu datang. Lelaki tampan berambut hitam itu menerobos masuk ke ruang kerjanya begitu saja dan langsung mengomel-omel tidak jelas soal hal yang sama sekali tidak Ayik mengerti. "Seharusnya dia kan, bisa berpura-pura tidak lihat!" Lalu .... "Soal begitu saja dibesar-besarkan. Sebenarnya, apa maunya?" Kemudian .... "Kenapa ribet sekali, sih? Tinggal berkata iya saja, kok. Cih!" Ingin mencoba mengerti, tapi bagaimana caranya? Ayik bisa apa, ka
Apakah dia sudah gila?"Ini berkas yang Anda minta, Miss.""Silakan taruh saja, terima kasih."Selena hanya memberikan lirikan sekilas dan senyuman tipis kepada seorang lelaki, staf dari departemen ATF yang membawakan data yang dia perlukan, sebelum akhirnya kembali sibuk dengan laptop dan teleponnya."Bukankah Anda belum lama bekerja di sini? Kelihatannya sudah sangat sibuk, ya?" tanya staf itu lagi, terlihat masih berusaha mengobrol, tapi hanya mendapatkan senyuman sekilas karena setelah itu Selena akhirnya kembali sibuk dengan panggilan telepon yang harus dia buat."Right, Mr Nelson. We apologize for the inconvenience. Mr Ardhana will reschedule the meeting with you next week. Yes, Sir. I will get back to you asap. What? My name? Oh, it's Selena Hills. Yes, my pleasure, Sir. Thank you."*(Betul, Tuan Nelson. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Tuan Ardhana akan men
"Miss Hills, apakah Anda sudah selesai mengatur jadwalku?" "Sedang saya kerjakan, Sir—" "Kenapa lama sekali? Bukankah aku sudah memberikan tugas itu kepadamu sejak kemarin?" "Saya sudah berhasil mengatur ulang paling tidak tiga belas pertemuan Anda untuk tiga hari ke depan dan—" "Miss Hills, aku akan bepergian selama satu minggu penuh jadi, bagaimana bisa Anda hanya mengatur ulang jadwalku selama tiga hari ke depan?" Selena melongo mendengarnya. "Tapi, Sir. Anda tidak mengatakan kalau—" "Hasil audit dari proyek superblock Crescent Hotel tidak terlalu menggembirakan jadi, aku harus melakukan tinjauan langsung ke lokasi paling tidak selama seminggu. Kenapa soal seperti itu saja Anda tidak bisa mengerti, Miss Hills? Apakah Anda selalu meminta untuk dijelaskan semuanya baru bisa paham? Memangnya, Anda tidak bisa memikirkannya sendiri?"
Ardhana CorporationKeesokan harinyaSebuah mobil sedan mewah berwarna putih dengan aksen warna gold yang semakin memberikan kesan glamor, meluncur mulus sebelum akhirnya berhenti di depan lobi gedung Ardhana.Bahkan sebelum penumpang mobil tersebut turun, kedua staf yang bertugas untuk menyambut para tamu sudah langsung bertukar pandang, menggeleng, dan menghela napas panjang.Mereka sudah hapal betul siapa yang datang dengan menggunakan mobil yang begitu terlihat dari kalangan jetset tersebut."Selamat pagi, Nona Harron," sapa salah satu petugas dengan ramah, sementara di sebelah sana rekan kerjanya masih bisa menyempatkan diri untuk memutar mata sebelum ikut-ikutan memasang senyuman untuk keperluan kerja. "Apakah ada yang bisa kami bantu? Silakan sebutkan keperluan Anda."Seperti biasa, Charlotte tidak merasa perlu untuk menanggapi sapaan tersebut. Baginya, balas menyap
Apakah dia sedang bermimpi? Selena merasa ada seseorang yang merangkul pinggangnya dengan hati-hati, juga menyibakkan rambutnya, membelai pipinya lembut, lantas mengecup dahinya. Siapa? Rasanya juga seperti ada seseorang yang ikut berbaring di belakangnya, memeluknya erat seolah dia sebuah guling yang nyaman. Dia juga merasakan hembusan udara hangat di tengkuk, seakan ada seseorang yang tengah menunduk di sana, menghirup aroma tubuhnya, sambil bernapas dengan perlahan. Terakhir, perempuan itu merasakan ciuman di puncak kepalanya. Mungkinkah ini sekedar khayalannya? Ah, entahlah. Namun yang jelas, perasaan nyaman kini begitu menguasai diri Selena. Seolah ada sesuatu yang hangat yang membungkus dan menyelimutinya, membuatnya merasa begitu aman. Kalau ini hanya sekedar mimpi, biarlah. Selena bahkan merasa tidak keberatan ketika
Sementara itu, saat ini jam tangan Ashin sudah menunjukkan pukul 19:30 Waktu yang sudah cukup larut, tapi lelaki itu nyatanya masih berada di ruang kerjanya dengan tampang yang tidak karuan. Menghela napas beberapa kali dan menyugar rambut, Ashin merasa tidak tahan lagi dan akhirnya hilir mudik sambil bergumam sendiri. "Dasar orang-orang itu. Tidak bisakah mereka menjaga mulut dan tidak membicarakan soal pekerjaan sambil berjalan-jalan di area lobi tamu?" Rasanya kesal sekali. Ashin sudah begitu bersusah payah untuk bisa menghadapi Charlotte tanpa membocorkan soal kepergian Killian ke Dubai sedikit pun. Namun siapa sangka, kalau perempuan itu justru tidak sengaja mendengarkannya lewat beberapa staf eksekutif yang sedang membicarakan hal tersebut sambil melintas di area lobi. "Dan sialnya, aku tidak segera mengetahui soal itu
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida