Perasaan Killian benar-benar buruk.
Tidak hanya merasa kesal terhadap dirinya sendiri dan marah atas segala ulah Charlotte, tapi entah mengapa sejak tadi dia juga menyadari adanya rasa gelisah yang semakin membelenggu dan membelit.
Testpack itu ....
God! Kenapa pikiran Killian terus saja mengarah ke benda kecil yang tidak berguna semacam itu, sih?
Saat ini seakan ada bagian dari dirinya yang begitu ingin kembali dan berlari demi mengambil testpack tersebut dari tempat sampah. Seolah-olah benda murahan itu adalah salah satu hartanya yang paling berharga, meski entah apa alasannya.
"Hell, no! Aneh-aneh saja aku ini. Damn!" Sambil memaki, lelaki itu pun bergegas memasuki sedan mewahnya dan bahkan membanting pintu mobil dengan begitu kasar. "Antarkan aku pulang!" lanjut Killian, memberi perintah kepada salah satu anggota pengawal keluarga Ardhana yang kali ini merangkap pul
Bahkan ketika Claude memberi perintah agar pelayan pria tersebut membawa masuk para anggota polisi yang telah menunggu pun, Killian tidak bisa dengan begitu jelas mendengarnya. Tidak mau. Sungguh. Rasanya saat ini dia ingin kabur saja. Kalau bisa, maka dia akan berusaha untuk menghindar dari situasi ini dan berlari sejauh mungkin, sebab Killian benar-benar tidak ingin mendengarkan soal apa pun. Meski belum ada yang memberi tahunya sekalipun, tapi dia merasa seolah sudah bisa menebak mengenai kabar apa sebenarnya yang akan dia dengar sebentar lagi. Bukankah ini hal yang aneh? Atau mungkin inilah yang dinamakan sebagai suatu firasat? Ada rasa takut yang sangat besar yang saat ini begitu menguasainya. Walau Killian sudah mati-matian mencoba untuk menyangkal pun, nyatanya kegelisahan itu kian menyebar bagai racun dan mulai mencemari darahnya. "Selamat siang," sapa salah seorang dari tiga anggota polisi yang memakai pakaian sipil. "
Pernahkah kamu mendengar pepatah bahwa semakin tinggi kita berharap, maka setinggi itu pulalah kita bisa terjatuh? Saat ini hal itulah yang dialami oleh Killian. 120 hari sudah berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu terjadi. Setidaknya ada lebih dari ratusan orang anggota pengawal dari keluarga Ardhana dan Agentine yang dikerahkan sekaligus untuk melakukan pencarian. Belum lagi ditambah dengan orang-orang dari keluarga Roxanne dan juga para anggota polisi. Orang-orang itu begitu bekerja keras nyaris tanpa peduli waktu, baik itu pada pagi atau bahkan malam hari. 120 hari pun telah berjalan dengan penuh amarah dan kekecewaan. Kemarahan Heri Roxanne sungguh tidak terbendung ketika mengetahui apa yang sudah dialami oleh putri sulungnya selama ini. Kalau saja tidak ada Claude yang dengan kukuh tetap bersikap bagai perisai bagi putranya, kepala keluarga Roxanne tersebut pasti sudah berhasil membunuh Killian dengan pistol yang memang
"Jangan lagi bertindak seenaknya terhadapku, Kills." "Iya." "Jangan berbuat kasar juga padaku. Itu membuatku ... takut." "Iya, Kiska. Iya." "Janji?" "Iya, Sayang." "Kalau ingkar?" "Maka aku akan mati." *** Tidak banyak acara pemakaman yang pernah Killian ketahui. Sepanjang ingatan, terakhir kali dia menghadiri pemakaman adalah saat neneknya meninggal lebih dari lima belas tahun yang lalu. Saat itu hujan turun sehingga pemakaman pun dilakukan dibawah guyuran hujan. Saat itu bagi seorang anak sekecil itu pun Killian sudah merasakan kesedihan yang sesungguhnya. Saat itu pulalah dia untuk pertama kali mengalami sebuah kehilangan. Jadi, bukankah sekarang seharusnya lebih mudah? Ini bukan pemaka
Halo, Kakak-kakak pembaca. Bagaimana kabarnya? Salam kenal, ya. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih karena sudah berkenan mengikuti cerita Aila dan Killian sampai sejauh ini. Terima kasih juga atas segala dukungan dan komentarnya. Sebelumnya, saya ingin sedikit menjelaskan bahwa saya tidak bermaksud sedikit pun untuk memperpanjang isi novel ini, sebab memang awalnya cerita yang dimulai dari Season Tiga seharusnya berada di buku yang terpisah. Mungkin masih ada Kakak-kakak yang ingat dengan judul buku: Istri Manis Kesayangan CEO? Namun dengan pertimbangan agar Kakak-kakak pembaca bisa lebih mudah menemukan dan menikmati cerita, maka saya dan editor akhirnya sepakat untuk tetap meneruskan di buku yang lama. Jadi, mohon ma'af ya, apabila cerita terasa panjang. Sebenarnya, bisa dikata ada empat cerita di dalam satu novel. Tolong anggap saja begitu ^^; Selanjutnya, yang menjadi inti dari saya membuat Catatan Pen
"Ayo kita mainkan permainan ini." "Permainan apa? Apa maksudmu?" "Ini sebuah permainan yang menarik, meski kotor," bisik Killian sembari menunduk dan menciumi leher jenjang favoritnya itu. "Judul permainannya adalah mendapatkan apa yang menjadi milikku." "Hentikan." Ada seringai seksi yang terkembang di wajah tampan lelaki berambut hitam itu. "Benarkah? Apa kamu yakin?" Terdengar erangan tertahan ketika Killian perlahan menyusupkan tangannya ke balik rok yang mengganggu itu. "Ini permainan yang cukup menyenangkan, bukan? Rasanya juga ... nikmat." "Kills .... Please ...." "Jangan memohon karena saat ini giliran akulah untuk memohon," ucap Killian dengan suara serak, terbelah antara gairah dan juga penyesalan yang mendalam. "Katakan kalau kamu adalah milikku."
Ardhana Corporation. "Berikan padaku rencana awal sekaligus semua laporan pembangunan superblock Crescent Hotel, Ashin!" Saat ini waktu baru menunjukkan pukul 07:30. Masih terlalu pagi dan bahkan belum masuk ke hitungan jam kerja. Ashin sendiri belum lama datang. Lelaki itu bahkan belum sempat meletakkan tas kerja dan baru saja akan duduk. Wajahnya pun masih terlihat sedikit mengantuk, dan sesekali dia juga menguap. Namun seolah tidak ingin memberi kesempatan bagi staf sekretarisnya itu bahkan sekedar untuk menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja, Killian sudah langsung menghubunginya lewat interkom dan memberikan seabrek tugas seolah tanpa ampun. "Baik, Bos. Mohon menunggu, segera saya siapkan datanya," jawab Ashin dengan penuh kesabaran. Sekarang ini masih pagi jadi, seharusnya diawali dengan sesuatu yang positif 'kan? Oleh karena itulah, selain sanggup memberikan jawaban dengan nada yang ceria, Ashin bahkan memasang s
"Kita mulai rapatnya. Saya anggap saat ini kalian semua sudah membaca dan mempelajari portofolio yang sudah Ashin berikan." Setidaknya ada dua belas orang yang duduk di balik meja kerja yang memanjang tersebut, siap di depan laptop masing-masing. Kalau dari ekspresi pucat dan keringat dingin yang terlihat dari sebagian besar peserta rapat yang diadakan secara mendadak ini, jelas sudah bahwa mereka belum tuntas mempelajari portofolio yang memuat banyak data dan angka hitungan tersebut. Bahkan kemungkinan besar, ada sebagian dari mereka malah belum membacanya sama sekali. Portofolio tersebut sendiri baru selesai dikerjakan Ashin sesaat sebelum makan siang, sehingga beberapa dari mereka pun baru mendapati laporan yang tidak ubahnya bagai buku kematian itu di atas meja kerja masing-masing seusai istirahat makan siang. Meski mereka mencoba membacanya secara terburu-buru seka
Akhirnya Killian sendirian. Ah, tunggu. Bukankah selama ini dia memang sendirian? Maksudnya, yah ... untuk beberapa tahun terakhir, sih. Jadi, bukan hal tersebut masalahnya, sebab yang dimaksudkan adalah akhirnya Killian bisa sendirian saja di areal pemakaman. Tadi sewaktu dia datang, ada beberapa mobil yang terparkir dan dia mengenalinya sebagai mobil milik keluarga Roxanne. Merasa tidak ingin bertemu, lelaki tampan itu lantas memilih untuk memutar mobil dan memarkirnya di lahan parkir sebelah barat. Memang untuk itu Killian akhirnya harus berjalan lebih jauh, tapi tidak apa-apa. Setidaknya, itu lebih baik bila dibandingkan dengan harus bertemu secara tidak sengaja dengan anggota keluarga Roxanne. Bahkan setelah lima tahun berlalu pun dia masih tidak sanggup untuk bertemu dengan keluarga istrinya itu. "Ya, Tuhan," bisiknya, bersandar di balik seb
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida