Pernahkah kamu mendengar pepatah bahwa semakin tinggi kita berharap, maka setinggi itu pulalah kita bisa terjatuh?
Saat ini hal itulah yang dialami oleh Killian.
120 hari sudah berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu terjadi.
Setidaknya ada lebih dari ratusan orang anggota pengawal dari keluarga Ardhana dan Agentine yang dikerahkan sekaligus untuk melakukan pencarian. Belum lagi ditambah dengan orang-orang dari keluarga Roxanne dan juga para anggota polisi.
Orang-orang itu begitu bekerja keras nyaris tanpa peduli waktu, baik itu pada pagi atau bahkan malam hari.
120 hari pun telah berjalan dengan penuh amarah dan kekecewaan.
Kemarahan Heri Roxanne sungguh tidak terbendung ketika mengetahui apa yang sudah dialami oleh putri sulungnya selama ini.
Kalau saja tidak ada Claude yang dengan kukuh tetap bersikap bagai perisai bagi putranya, kepala keluarga Roxanne tersebut pasti sudah berhasil membunuh Killian dengan pistol yang memang
"Jangan lagi bertindak seenaknya terhadapku, Kills." "Iya." "Jangan berbuat kasar juga padaku. Itu membuatku ... takut." "Iya, Kiska. Iya." "Janji?" "Iya, Sayang." "Kalau ingkar?" "Maka aku akan mati." *** Tidak banyak acara pemakaman yang pernah Killian ketahui. Sepanjang ingatan, terakhir kali dia menghadiri pemakaman adalah saat neneknya meninggal lebih dari lima belas tahun yang lalu. Saat itu hujan turun sehingga pemakaman pun dilakukan dibawah guyuran hujan. Saat itu bagi seorang anak sekecil itu pun Killian sudah merasakan kesedihan yang sesungguhnya. Saat itu pulalah dia untuk pertama kali mengalami sebuah kehilangan. Jadi, bukankah sekarang seharusnya lebih mudah? Ini bukan pemaka
Halo, Kakak-kakak pembaca. Bagaimana kabarnya? Salam kenal, ya. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih karena sudah berkenan mengikuti cerita Aila dan Killian sampai sejauh ini. Terima kasih juga atas segala dukungan dan komentarnya. Sebelumnya, saya ingin sedikit menjelaskan bahwa saya tidak bermaksud sedikit pun untuk memperpanjang isi novel ini, sebab memang awalnya cerita yang dimulai dari Season Tiga seharusnya berada di buku yang terpisah. Mungkin masih ada Kakak-kakak yang ingat dengan judul buku: Istri Manis Kesayangan CEO? Namun dengan pertimbangan agar Kakak-kakak pembaca bisa lebih mudah menemukan dan menikmati cerita, maka saya dan editor akhirnya sepakat untuk tetap meneruskan di buku yang lama. Jadi, mohon ma'af ya, apabila cerita terasa panjang. Sebenarnya, bisa dikata ada empat cerita di dalam satu novel. Tolong anggap saja begitu ^^; Selanjutnya, yang menjadi inti dari saya membuat Catatan Pen
"Ayo kita mainkan permainan ini." "Permainan apa? Apa maksudmu?" "Ini sebuah permainan yang menarik, meski kotor," bisik Killian sembari menunduk dan menciumi leher jenjang favoritnya itu. "Judul permainannya adalah mendapatkan apa yang menjadi milikku." "Hentikan." Ada seringai seksi yang terkembang di wajah tampan lelaki berambut hitam itu. "Benarkah? Apa kamu yakin?" Terdengar erangan tertahan ketika Killian perlahan menyusupkan tangannya ke balik rok yang mengganggu itu. "Ini permainan yang cukup menyenangkan, bukan? Rasanya juga ... nikmat." "Kills .... Please ...." "Jangan memohon karena saat ini giliran akulah untuk memohon," ucap Killian dengan suara serak, terbelah antara gairah dan juga penyesalan yang mendalam. "Katakan kalau kamu adalah milikku."
Ardhana Corporation. "Berikan padaku rencana awal sekaligus semua laporan pembangunan superblock Crescent Hotel, Ashin!" Saat ini waktu baru menunjukkan pukul 07:30. Masih terlalu pagi dan bahkan belum masuk ke hitungan jam kerja. Ashin sendiri belum lama datang. Lelaki itu bahkan belum sempat meletakkan tas kerja dan baru saja akan duduk. Wajahnya pun masih terlihat sedikit mengantuk, dan sesekali dia juga menguap. Namun seolah tidak ingin memberi kesempatan bagi staf sekretarisnya itu bahkan sekedar untuk menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja, Killian sudah langsung menghubunginya lewat interkom dan memberikan seabrek tugas seolah tanpa ampun. "Baik, Bos. Mohon menunggu, segera saya siapkan datanya," jawab Ashin dengan penuh kesabaran. Sekarang ini masih pagi jadi, seharusnya diawali dengan sesuatu yang positif 'kan? Oleh karena itulah, selain sanggup memberikan jawaban dengan nada yang ceria, Ashin bahkan memasang s
"Kita mulai rapatnya. Saya anggap saat ini kalian semua sudah membaca dan mempelajari portofolio yang sudah Ashin berikan." Setidaknya ada dua belas orang yang duduk di balik meja kerja yang memanjang tersebut, siap di depan laptop masing-masing. Kalau dari ekspresi pucat dan keringat dingin yang terlihat dari sebagian besar peserta rapat yang diadakan secara mendadak ini, jelas sudah bahwa mereka belum tuntas mempelajari portofolio yang memuat banyak data dan angka hitungan tersebut. Bahkan kemungkinan besar, ada sebagian dari mereka malah belum membacanya sama sekali. Portofolio tersebut sendiri baru selesai dikerjakan Ashin sesaat sebelum makan siang, sehingga beberapa dari mereka pun baru mendapati laporan yang tidak ubahnya bagai buku kematian itu di atas meja kerja masing-masing seusai istirahat makan siang. Meski mereka mencoba membacanya secara terburu-buru seka
Akhirnya Killian sendirian. Ah, tunggu. Bukankah selama ini dia memang sendirian? Maksudnya, yah ... untuk beberapa tahun terakhir, sih. Jadi, bukan hal tersebut masalahnya, sebab yang dimaksudkan adalah akhirnya Killian bisa sendirian saja di areal pemakaman. Tadi sewaktu dia datang, ada beberapa mobil yang terparkir dan dia mengenalinya sebagai mobil milik keluarga Roxanne. Merasa tidak ingin bertemu, lelaki tampan itu lantas memilih untuk memutar mobil dan memarkirnya di lahan parkir sebelah barat. Memang untuk itu Killian akhirnya harus berjalan lebih jauh, tapi tidak apa-apa. Setidaknya, itu lebih baik bila dibandingkan dengan harus bertemu secara tidak sengaja dengan anggota keluarga Roxanne. Bahkan setelah lima tahun berlalu pun dia masih tidak sanggup untuk bertemu dengan keluarga istrinya itu. "Ya, Tuhan," bisiknya, bersandar di balik seb
Pukul 07:30 Keesokan harinya, di Ardhana Corporation. Seperti biasa, Ashin datang lebih pagi. Untuk sesaat dia merasa ragu, apakah dia langsung menuju ruang kerjanya seperti biasa atau lebih baik mampir ke pantry terlebih dulu untuk menikmati secangkir kopi hangat? "Ah, lebih baik aku langsung ke tempat kerja saja," ujarnya sembari tersenyum-senyum sendiri. "Dua tanggal keramat sudah berlalu jadi, hari ini Bos pasti sudah lebih baik perasaannya." Namun untuk pemikiran yang kedua kali, lelaki itu lantas memutuskan bahwa tidak ada salahnya untuk membawa secangkir kapucino bersamanya. "Hari ini aku juga akan mendapatkan rekan kerja yang baru," gumamnya, merasa luar biasa bahagia. "Ya, Tuhan. Akhirnya hari-hari bagai nerakaku akan berakhir." Menepuk-nepuk bahunya sambil mengangguk-angguk sendiri, lelaki yang baru berusia 27 tahun, tapi dengan wajah ba
Di antara semua warna, kenapa harus mata dengan warna itu yang kini tengah balas memandangnya? Sepasang mata abu itu .... Ya, Tuhan. Betapa Killian seketika teringat dengan istrinya. "Berikut CV-nya, Bos," lanjut Ashin, berjalan mendekat dan meletakkan sebuah map di atas meja kerja Killian. "Seperti yang sudah saya beri tahukan sebelumnya, Miss Hills berhasil lulus dari program percepatan kuliah dengan hasil yang memuaskan. Jadi—" Pentingkah itu? Memang, apa gunanya bila dibanding dengan rasa sakit yang kini seolah menghunjam dan mencabik-cabik dada Killian? Selena Hills. Sial! Kenapa perempuan itu harus memiliki mata abu yang sama seperti milik istrinya? "Suruh dia pergi," ujar Killian dengan suara yang sedikit bergetar. "Eh? Ya? Bagaimana, Bos?" Mencengkeram pulpennya beg