Lima hari sudah berlalu sejak saat Killian menyadari bahwa istrinya menghilang.
Lima hari tersebut nyaris seluruh pengawal keluarga Ardhana dikerahkan untuk mencari keberadaan perempuan cantik bermata abu itu.
Dalam lima hari ini pulalah seluruh staf yang bekerja di kediaman utama keluarga Ardhana sangat berharap agar Nyonya Muda mereka segera pulang, sebab selama lima hari itu mereka seakan terus menerus harus bertaruh dengan maut.
"Bagaimana ini? Siapa yang akan mengantarkan makan siang untuk Tuan Muda?"
"Apa maksudmu? Tadi pagi aku sudah berkorban untuk mengantarkan sarapan untuk beliau. Jadi, sekarang giliranmu."
"Oh, ayolah! Usiaku masih begitu muda dan aku belum ingin mati."
Perseteruan kedua orang pelayan wanita itu mungkin akan terus berlangsung lama dan panjang, sampai kemudian Erick datang.
Berdeham, lelaki separuh baya itu mengambil alih nampan yang berisi penuh makanan dan mendapatkan banyak ucapan terima kasih.
"Pe
"Apakah aku boleh meminjam salah satu mobil kalian?""Apakah kamu yakin akan berkendara sendiri? Bagaimana kalau aku menghubungi Kak Aiden agar segera pulang dan dia bisa mengantarmu?"Aila tersenyum menanggapi. "Jangan khawatir," balasnya kepada Aisa melalui bahasa isyarat. "Aku bisa kok. Lagi pula Aiden juga sedang bekerja di rumah sakitnya 'kan? Aku tidak enak kalau harus mengganggunya."Aisa tidak sanggup menjawab. Jelas sekali kalau dia tidak bisa menahan Aila yang sekarang terlihat begitu bersemangat.Ini ... aneh, bisiknya di dalam hati.Hari ini setelah berhari-hari yang terasa muram, akhirnya perempuan cantik bermata abu itu bisa kembali ceria. Jadi, bukankah seharusnya Aisa juga merasa senang? Bukankah dia juga seharusnya merasa lega karena masalah antara Aila dan Killian akan segera selesai?Seharusnya begitu, sih, tapi entah mengapa perasaannya te
Perasaan Killian benar-benar buruk. Tidak hanya merasa kesal terhadap dirinya sendiri dan marah atas segala ulah Charlotte, tapi entah mengapa sejak tadi dia juga menyadari adanya rasa gelisah yang semakin membelenggu dan membelit. Testpack itu .... God! Kenapa pikiran Killian terus saja mengarah ke benda kecil yang tidak berguna semacam itu, sih? Saat ini seakan ada bagian dari dirinya yang begitu ingin kembali dan berlari demi mengambil testpack tersebut dari tempat sampah. Seolah-olah benda murahan itu adalah salah satu hartanya yang paling berharga, meski entah apa alasannya. "Hell, no! Aneh-aneh saja aku ini. Damn!" Sambil memaki, lelaki itu pun bergegas memasuki sedan mewahnya dan bahkan membanting pintu mobil dengan begitu kasar. "Antarkan aku pulang!" lanjut Killian, memberi perintah kepada salah satu anggota pengawal keluarga Ardhana yang kali ini merangkap pul
Bahkan ketika Claude memberi perintah agar pelayan pria tersebut membawa masuk para anggota polisi yang telah menunggu pun, Killian tidak bisa dengan begitu jelas mendengarnya. Tidak mau. Sungguh. Rasanya saat ini dia ingin kabur saja. Kalau bisa, maka dia akan berusaha untuk menghindar dari situasi ini dan berlari sejauh mungkin, sebab Killian benar-benar tidak ingin mendengarkan soal apa pun. Meski belum ada yang memberi tahunya sekalipun, tapi dia merasa seolah sudah bisa menebak mengenai kabar apa sebenarnya yang akan dia dengar sebentar lagi. Bukankah ini hal yang aneh? Atau mungkin inilah yang dinamakan sebagai suatu firasat? Ada rasa takut yang sangat besar yang saat ini begitu menguasainya. Walau Killian sudah mati-matian mencoba untuk menyangkal pun, nyatanya kegelisahan itu kian menyebar bagai racun dan mulai mencemari darahnya. "Selamat siang," sapa salah seorang dari tiga anggota polisi yang memakai pakaian sipil. "
Pernahkah kamu mendengar pepatah bahwa semakin tinggi kita berharap, maka setinggi itu pulalah kita bisa terjatuh? Saat ini hal itulah yang dialami oleh Killian. 120 hari sudah berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu terjadi. Setidaknya ada lebih dari ratusan orang anggota pengawal dari keluarga Ardhana dan Agentine yang dikerahkan sekaligus untuk melakukan pencarian. Belum lagi ditambah dengan orang-orang dari keluarga Roxanne dan juga para anggota polisi. Orang-orang itu begitu bekerja keras nyaris tanpa peduli waktu, baik itu pada pagi atau bahkan malam hari. 120 hari pun telah berjalan dengan penuh amarah dan kekecewaan. Kemarahan Heri Roxanne sungguh tidak terbendung ketika mengetahui apa yang sudah dialami oleh putri sulungnya selama ini. Kalau saja tidak ada Claude yang dengan kukuh tetap bersikap bagai perisai bagi putranya, kepala keluarga Roxanne tersebut pasti sudah berhasil membunuh Killian dengan pistol yang memang
"Jangan lagi bertindak seenaknya terhadapku, Kills." "Iya." "Jangan berbuat kasar juga padaku. Itu membuatku ... takut." "Iya, Kiska. Iya." "Janji?" "Iya, Sayang." "Kalau ingkar?" "Maka aku akan mati." *** Tidak banyak acara pemakaman yang pernah Killian ketahui. Sepanjang ingatan, terakhir kali dia menghadiri pemakaman adalah saat neneknya meninggal lebih dari lima belas tahun yang lalu. Saat itu hujan turun sehingga pemakaman pun dilakukan dibawah guyuran hujan. Saat itu bagi seorang anak sekecil itu pun Killian sudah merasakan kesedihan yang sesungguhnya. Saat itu pulalah dia untuk pertama kali mengalami sebuah kehilangan. Jadi, bukankah sekarang seharusnya lebih mudah? Ini bukan pemaka
Halo, Kakak-kakak pembaca. Bagaimana kabarnya? Salam kenal, ya. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih karena sudah berkenan mengikuti cerita Aila dan Killian sampai sejauh ini. Terima kasih juga atas segala dukungan dan komentarnya. Sebelumnya, saya ingin sedikit menjelaskan bahwa saya tidak bermaksud sedikit pun untuk memperpanjang isi novel ini, sebab memang awalnya cerita yang dimulai dari Season Tiga seharusnya berada di buku yang terpisah. Mungkin masih ada Kakak-kakak yang ingat dengan judul buku: Istri Manis Kesayangan CEO? Namun dengan pertimbangan agar Kakak-kakak pembaca bisa lebih mudah menemukan dan menikmati cerita, maka saya dan editor akhirnya sepakat untuk tetap meneruskan di buku yang lama. Jadi, mohon ma'af ya, apabila cerita terasa panjang. Sebenarnya, bisa dikata ada empat cerita di dalam satu novel. Tolong anggap saja begitu ^^; Selanjutnya, yang menjadi inti dari saya membuat Catatan Pen
"Ayo kita mainkan permainan ini." "Permainan apa? Apa maksudmu?" "Ini sebuah permainan yang menarik, meski kotor," bisik Killian sembari menunduk dan menciumi leher jenjang favoritnya itu. "Judul permainannya adalah mendapatkan apa yang menjadi milikku." "Hentikan." Ada seringai seksi yang terkembang di wajah tampan lelaki berambut hitam itu. "Benarkah? Apa kamu yakin?" Terdengar erangan tertahan ketika Killian perlahan menyusupkan tangannya ke balik rok yang mengganggu itu. "Ini permainan yang cukup menyenangkan, bukan? Rasanya juga ... nikmat." "Kills .... Please ...." "Jangan memohon karena saat ini giliran akulah untuk memohon," ucap Killian dengan suara serak, terbelah antara gairah dan juga penyesalan yang mendalam. "Katakan kalau kamu adalah milikku."
Ardhana Corporation. "Berikan padaku rencana awal sekaligus semua laporan pembangunan superblock Crescent Hotel, Ashin!" Saat ini waktu baru menunjukkan pukul 07:30. Masih terlalu pagi dan bahkan belum masuk ke hitungan jam kerja. Ashin sendiri belum lama datang. Lelaki itu bahkan belum sempat meletakkan tas kerja dan baru saja akan duduk. Wajahnya pun masih terlihat sedikit mengantuk, dan sesekali dia juga menguap. Namun seolah tidak ingin memberi kesempatan bagi staf sekretarisnya itu bahkan sekedar untuk menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja, Killian sudah langsung menghubunginya lewat interkom dan memberikan seabrek tugas seolah tanpa ampun. "Baik, Bos. Mohon menunggu, segera saya siapkan datanya," jawab Ashin dengan penuh kesabaran. Sekarang ini masih pagi jadi, seharusnya diawali dengan sesuatu yang positif 'kan? Oleh karena itulah, selain sanggup memberikan jawaban dengan nada yang ceria, Ashin bahkan memasang s