"Selamat datang, Tuan dan Non—"
"Minggir!"
Kepala staf di kediaman keluarga Harron pun terpaksa menepi ketika Charlotte sudah berjalan masuk dengan langkah mengentak-entak.
Ada pertanyaan yang jelas seketika menghinggapi pikiran, tapi dengan tangkas kepala staf tersebut tetap memasang sikap biasa.
"Selamat datang, Tuan Muda Hugo," sapanya, mengulangi salam yang tadi sempat terpotong.
Tidak ada sahutan atau bahkan sekedar anggukan kepala sebagai jawaban atas salam yang dia sampaikan, tapi itu sudah merupakan hal yang biasa.
Hugo Alexias Harron memang bukanlah orang yang terbiasa dengan basa-basi.
"Jerome," panggilnya, sambil tetap berjalan cepat.
"Ya, Tuan Muda. Silakan," jawab Jerome, bergegas merendengi langkah lebar Hugo.
"Panggil Estian. Dia juga pasti sedang dalam perjalanan ke sini 'kan
Rasanya Estian ingin mati saja."Jadi, memang Charlotte yang memberikanmu perintah 'kan?"Estian menelan ludah. Hugo memang bicara dengan nada tenang dan tidak membentaknya, tapi bukan berarti dia bisa bernapas dengan lega.Bagaimana tidak, saat ini pandangan lelaki itu seolah hendak menguburnya hidup-hidup."Estian, aku menunjukmu langsung untuk menjadi asisten pribadi adikku karena percaya dengan kemampuanmu," ujar Hugo, membuat Estian bisa merasakan kobaran api tak kasat mata yang bisa diasumsikan sebagai kemarahan yang masih coba dipendam. "Selama ini kamu sangat kompeten, lalu bagaimana bisa kamu tiba-tiba menjadi sebodoh ini?"Menundukkan kepala dan diam-diam menghela napas, saat ini tidak ada yang sanggup Estian ucapkan untuk menyanggah."Perintah Charlotte memang salah," lanjut Hugo, yang meski sedang memberi teguran terhadap Estian, tapi dia juga tet
Brak!Terdengar suara barang yang dilempar dengan kuat, menyusul suara pecahan sesuatu yang lain yang saling bertingkah.Pundak Charlotte naik turun dengan cepat, sementara napasnya pun terengah. Kamar tidur mewah yang seluas 15 m² itu pun kini sudah kembali berantakan, padahal masih belum lama berselang sejak terakhir kali dirapikan.Sprei berwarna merah muda yang semula rapi terpasang, sekarang teronggok tidak karuan, beserta bantal dan gulingnya yang tergeletak di lantai yang beralaskan karpet bulu dengan warna senada.Kursi yang biasa diduduki saat berias pun terguling, dan seluruh isi mejanya berserak. Botol parfum pecah, serbuk bedak betaburan, dan beraneka macam alat make up mahal dan bermerk lain yang jelas sudah tidak dapat digunakan lagi."Memangnya, kenapa?" teriak Charlotte, menatap kesal tumpukan barang rusak yang berserak akibat ulahnya sendiri. "Memangnya kena
"Aila!"Ada banyak seruan bernada kegembiraan ketika Aila baru saja melangkah memasuki ruang pameran. Belum sempat balas menyapa, perempuan bermata abu itu sudah kewalahan mendapatkan pelukan dari beberapa orang sekaligus."It's been a long time!"*(*Sudah lama sekali)"Oh, gosh! We miss you so so much, Aila!"**(**Kami sangat merindukanmu)"You look even cuter, My Honey Bunny Sweetie."***(Kamu bahkan terlihat semakin manis)Aila hanya bisa pasrah ketika kedua pipinya dicubit, digilir dari satu pelukan ke pelukan lain, dan ketika dia akhirnya memiliki kesempatan untuk menyapa salah satu dosen dari Adelaide University yang juga ikut datang ke acara pameran kali ini, penampilannya sudah jauh dari kata rapi."Good afternoon, Stella," sapanya kepada sang dosen, seorang perempuan single berusia sekitar tiga puluh lima tahunan. "How are you? Sorry, I'm late."****(****Selamat siang. Bagaimana kabarmu? Maaf, aku ter
"Apa Anda yakin kalau Anda ingin pergi ke sana, Tuan Muda?"Melirik dari kaca tengah mobil, Jerome bertanya kepada Hugo yang duduk di bangku belakang."Tentu saja, Jerome. Kalau saja pembicaraan dengan pihak Maitra Graphica tadi tidak memakan terlalu banyak waktu, seharusnya aku sudah berada di sana sejak tadi."Jerome terlihat seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi nyatanya urung sebab tidak ada suara yang kemudian terdengar. Selama sisa perjalanan yang ada pun, akhirnya dihabiskan oleh kedua orang itu dalam keheningan.Sejujurnya dia sudah tidak sanggup lagi menahan rasa heran.Selama beberapa tahun menjabat sebagai asisten pribadi Hugo, baru kali inilah Jerome melihat lelaki itu merasa tertarik terhadap hal lain di luar pekerjaan."Lagi pula, sebenarnya apa tujuan Tuan Muda, sampai-sampai beliau rela membuang waktunya yang berharga seperti ini?" gum
Apakah dia salah lihat?Kerjap. Kerjap. Hugo mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatannya.Ah, tidak. Itu ... sepertinya memang 'dia'. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan Hugo memang salah lihat?Tidak mempercayai dirinya sendiri, lelaki itu bahkan mengeluarkan handphone dan membuka menu galeri, hendak melihat salah satu foto yang tersimpan di sana.Hal yang tidak perlu sebenarnya, sebab Hugo bahkan bisa mengenalinya dengan kedua mata terpejam. Selama berhari-hari ini tidurnya selalu dihiasi oleh mimpi yang sama, dan ketenangannya pun terusik."Ketemu," bisiknya, nyaris tertawa. Hugo bahkan menghela napas berat saking leganya. "Aku kira tidak mungkin, tapi ternyata kami bisa bertemu."Sepasang irisnya yang berwarna merah memaku pandangan ke sosok seseorang yang kini tengah terbaring di atas sofa sederhana yang
"Jerome?"Sepasang alis Hugo seketika mencuram. Dia merasa heran karena asisten pribadinya itu tiba-tiba saja tidak melanjutkan ucapan di sambungan telepon mereka."Apa-apaan dia ini?" gerutunya. "Tidak sopan sama sekali."Hugo sudah nyaris mengakhiri sepihak sambungan telepon, ketika dia mendengarkan ada suara lain yang sepertinya tengah berbicara dengan Jerome.Memangnya, asisten pribadinya itu tengah berbicara dengan siapa?Entah mengapa tiba-tiba saja Hugo merasakan firasat yang tidak enak. Tanpa membuang waktu, dia lantas bergegas menuju luar gedung.Namun ketika sampai di persimpangan koridor, lelaki itu sempat berhenti dan ragu sesaat.Apakah nanti dia akan bisa bertemu lagi dengan perempuan itu kalau dia pergi sekarang?Tanpa sadar Hugo bahkan sudah setengah memutar langkah, hendak berbalik ke arah ruang
"Satu menit.""Apa?""Datang ke tempatku dalam waktu satu menit, atau aku tidak akan mau untuk pulang bersamamu, Kills."Killian tersenyum. Istrinya itu selalu saja bisa membuatnya bahagia meski dengan memberi ancaman manis yang semacam ini."Tunggu aku," jawabnya, melepaskan cengkeramannya pada kerah kemeja Hugo begitu saja. "Aku segera ke sana, Queen."Tanpa membuang waktu bahkan sekedar untuk menoleh ke arah orang-orang yang dia tinggalkan dalam kebingungan, lelaki berambut hitam itu segera saja berlari ke arah bangunan utama gedung pameran.Queen-nya memanggil. Jadi tidak ada hal lain yang dapat dia lakukan kecuali datang sesegera mungkin untuk memenuhi panggilan tersebut.Iya 'kan?***Sepuluh menit sebelumnya, di ruang istirahat, gedung pameran.Ada satu helaan napas pan
'Salam sayang, Aila.'Hugo tersenyum sendiri.Memangnya, sudah berapa kali dia membaca kertas berisi pesan itu? Oh, entahlah. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan. Rasanya sudah tidak bisa terhitung lagi, sebab secarik kertas itu sendiri pun sudah menjadi begitu lecek."Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakak?" bisik Charlotte, yang sekarang bersama Jerome sedang mengintip kelakuan Hugo dari balik celah pintu yang kebetulan sedikit terbuka. "Kenapa dia memegang kertas usang begitu? Harusnya 'kan, dibuang saja. Apa isi kertas itu begitu penting?"Di sana, di dalam ruang kerjanya dan di antara tumpukan dokumen yang seharusnya perlu untuk segera dibaca, dipelajari dan ditandatangani, adalah Hugo sendiri.Lelaki yang biasanya gila kerja itu kini justru terlihat hanya duduk berdiam diri. Sepasang mata beriris merahnya terus memaku pandangan ke secarik kertas lecek di tangan, sementara wajah tampan Hugo pun dihiasi segaris senyuman lembut."Apa a