Shia hanya terbaring di ranjang dingin dan hampa, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dan kakinya. Setiap kali matanya terbuka, ruangan itu terasa semakin sempit dan terang. Syukurnya George memberikannya sebuah kamar dengan jendela sehingga ada cahaya matahari yang masuk. Lina, sosok yang telah menjadi penyiksa dirinya. Terkadang, kekerasan itu berupa tamparan yang membakar pipinya, atau mungkin pukulan yang meninggalkan bekas luka. “Berapa lama waktu yang kau butuhkan Dante?” Shia bergumam menatap ke luar jendela. Jika diperkirakan sudah hampir 5 hari dirinya terkurung ditempat ini dan selama itu Shia tidak tau bagaimana kondisi Dante ataupun Robert yang masih koma. Mata Shia melirik ke kamera yang setia merekam setiap detiknya. Kamera pengawas yang berada disudut kamar. Meskipun tubuhnya terluka dan terpukul, keterlihatan kamera menjadi penjaga bisu atas rahasia yang mungkin saja dapat menjadi kunci kebebasannya. Shia kembali menatap keluar jendela. Sebenarnya hal yang m
Sebuah kapal berjenis Yacht belayar sejauh 10 Km dari bibir pantai sebuah pulau tak berpenghuni. Orang-orang mungkin akan mengira jika itu hanyalah sebuah kapal yang mengangkut para pelancong namun nyatanya kapal itu mengangkut sekelompok mafia yang paling kuat di benua Eropa. Sang pemimpin mafia, yang dikenal sebagai Zedane, memandang pulau tak berpenghuni itu dengan tajam melalui teropongnya. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan otoritasnya yang tak terbantahkan di kalangan mafia Eropa. Angin sepoi-sepoi laut mengibaskan rambut hitamnya yang tergerai di udara “Joker!” Panggil Dante dengan suara tegas, memanggil ketua tim shadow-nya. "Tarik mundur semua bawahan yang ikut. Aku akan ke sana sendiri!" Joker, seorang pria yang telah lama setia kepada Zedane dan mengepalai tim bayangan mereka, merasa tidak yakin dengan keputusan ini. "Tapi Tuan-" kata-kata Joker terpotong saat Dante mengarahkan ponselnya pada Joker. “Dia mengundangku untuk datang” Serunya. Layar ponsel Dante me
"Shia..." Panggilan itu membangunkan Shia dari dunianya yang penuh mimpi. Perlahan, dia membuka matanya dan menemukan sosok Robert duduk di sebelah ranjangnya, menggenggam erat tangannya. Senyum tulus terukir di bibir lelaki itu, membawa rasa ketenangan. “Daddy?” Shia bergumam, matanya bertemu dengan mata penuh kasih dari Robert. Dia merasakan kehangatan dan kehadiran ayahnya yang selalu setia. “Ya, Shia, ini daddy. Daddy tidak memiliki banyak waktu dan selalu menunggumu bangun.” Ucap Robert sambil lembut mengusap rambut putrinya. Shia mencoba memahami kata-kata itu. “Di mana Dante?” Meskipun tubuhnya terasa sakit, Shia berusaha bangkit, ingin tahu tentang keadaan saudaranya. Kesadarannya menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Robert masih dengan senyumnya yang lembut menjawab “Dia baik-baik saja, dan Shia, hiduplah dengan baik. Kau masih muda, dan hidupmu panjang. Maafkan Daddy untuk semua yang telah terjadi.” Ucapannya membuat kening Shia mengernyit, mencoba memahami mak
“Jadi… kapan kita kembali ke Milan?” Desak Shia. Sudah selama 2 hari dia terus mengajak Dante untuk ke Milan dan menemui Robert disana namun Dante selalu menolak dengan alasan jika Shia masih belum sehat. Dante nampak menimbang. Shia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Dante, terutama mengenai keadaan kesehatan ayahnya itu. “Mengapa kau terus menyembunyikan sesuatu dariku, Dante?” Tanya Shia “Dia masih sekarat?” Sambungnya Dante menghela napas lalu menatap netra biru Shia “Kita ke Milan besok” Ucapnya dengan senyum tipis lalu meninggalkan Shia dikamar pasien “Jaga Istriku!” Perintah Dante pada Ero yang berjaga didepan kamar Shia “Baik Tuan” Ucapnya patuh Dante terus melangkah dengan hati-hati di lorong rumah sakit yang sunyi. Suasana rumah sakit yang penuh dengan aroma obat dan keheningan. Dante memang mengamankan kondisi rumah sakit. Memberikan keamanan ketat agar tidak ada orang lain yang bisa menembusnya. Jari-jari besarnya memainkan handphone, menghubungkan p
"Kau bahkan lebih payah dari pengecut itu, Robert,” serunya pelan, lalu melangkah mengikuti Shia yang berjalan di depannya. Dante memutar langkahnya dengan langkah panjang, mencoba mengejar Shia yang terus melaju cepat, meninggalkannya dalam kegelapan pemakaman. Kabut tipis mulai menyelimuti kawasan tersebut, memberikan nuansa yang semakin suram pada suasana yang sudah sendu. “Love...” panggil Dante pelan, mencoba menembus keheningan yang mendominasi tempat itu. Shia tetap diam, langkahnya tetap mantap, seolah-olah tak terpengaruh oleh panggilan Dante. “Love...” Panggilan Dante untuk yang kedua kalinya tak dihiraukan oleh Shia. “Arshia Clarikson.” Langkah Shia tiba-tiba terhenti, dan dengan wajah sebamnya, dia menatap Dante dengan ekspresi datar. “Jangan mengikutiku, Zedane” ucap Shia dengan suara serak. “Aku butuh waktu sendiri,” lanjutnya. “Tidak mau. Istriku sedang sedih, bukankah keterlaluan jika aku meninggalkannya sendiri?” tanya Dante dengan entengnya, hingga membuat Shia h
Tawa canggung pecah dari bibir Shia, suara getaran tawa yang mencerminkan campuran kebingungan, kekecewaan, dan bahkan sedikit ketakutan. Shia merenung, menyadari bahwa ia telah terlibat dalam permainan yang jauh lebih besar daripada yang dia duga. "Zedante Algheri Kingston.." bisiknya, meresapi fakta bahwa Dante adalah pemimpin mafia yang sangat berpengaruh yang terlibat dalam tragedy kelamnya. Mata biru itu memandang ke langit-langit mansion, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. "Maaf, Liam," bisiknya sambil menutup mata Saat kelopak itu tertutup, sebulir air mengalir, meninggalkan jejak lurus dari mata hingga pipinya. Shia menghapus air matanya dengan punggung tangannya, membayangkan wajah Liam yang kini telah pergi. Rasa cintanya pada Dante, yang dulunya hanya sekadar perasaan tak terucapkan, kini terasa begitu dalam dan rumit. “Hello Arshia” Shia menoleh kearah pintu. Di sana berdiri seorang wanita dengan tatapan datar, tidak ada raut ramah sama sekali
“Goodbye, bitch” ucap Shia tanpa belas kasihan, mengakhiri drama menyebalkan dalam hidupnya. Ledakan suara tembakan dan tubuh Lina yang roboh mengakhiri segala intrik yang telah membelit mereka. “Sekarang giliranmu” Ucap Shia sambil mengarahkan pistol itu pada Dante. “Lakukan Love” ucap Dante pasrah dengan senyum tulus yang melekat di wajahnya. Matanya yang berwarna abu-abu menatap lurus ke arah Shia yang dingin. Tidak satu pun ekspresi terbaca di wajah Shia. Pandangannya seolah tidak mencerminkan emosi apa pun. "Aku mencintaimu... selalu," ujar Dante, membuat tangan Shia yang memegang senjata itu gemetar. Shia menahan napas, tangan kanannya menegang di sekitar pegangan senjata. Hatinya berdebar-debar, dan ia merasakan kehampaan di dalam dirinya. Mungkin, di balik wajah dinginnya, ada kebingungan yang sulit terungkap. Wajah Dante yang tenang seolah menjadi kontras dari ketegangan di udara. "Tembak aku Love" ucapnya lagi dengan nada lembut Tangan Shia masih mencengkram erat pistol
Di luar Shia menatap mansion Clarikson dengan perasaan yang rumit dan bercampur aduk. Langit senja memberikan sentuhan dramatis pada pemandangan yang seakan mengiringi momen perpisahan ini. “Selamat tinggal…” gumam Shia, suaranya terbawa angin seolah menjadi bagian dari pesan perpisahan yang terukir dalam kenangan. Mansion Clarikson, saksi bisu dari kisah rumit kehidupannya yang kini berakhir. Seiring langkah Shia menjauh, beban berat yang telah menekannya selama ini mulai terasa terangkat. Lega merayap ke dalam hatinya, seperti melepaskan diri dari belenggu masa lalu. Dante menyusul di belakangnya, menggandeng erat tangan Shia. “Aku akan membuatmu bahagia, Love. Aku jamin itu.” ucap Dante dengan penuh keyakinan, matanya penuh dengan tekad. “Ah, aku terlambat” ucapnya, sebuah penyesalan terpancar dari sorot matanya. Kehadiran Paman Ronnie yang muncul dari arah depan gerbang menggugah atmosfer “Kau memang selalu terlambat, Ron,” jawab Dante dengan santai, mencoba meredakan ketegang