“Jadi… kapan kita kembali ke Milan?” Desak Shia. Sudah selama 2 hari dia terus mengajak Dante untuk ke Milan dan menemui Robert disana namun Dante selalu menolak dengan alasan jika Shia masih belum sehat. Dante nampak menimbang. Shia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Dante, terutama mengenai keadaan kesehatan ayahnya itu. “Mengapa kau terus menyembunyikan sesuatu dariku, Dante?” Tanya Shia “Dia masih sekarat?” Sambungnya Dante menghela napas lalu menatap netra biru Shia “Kita ke Milan besok” Ucapnya dengan senyum tipis lalu meninggalkan Shia dikamar pasien “Jaga Istriku!” Perintah Dante pada Ero yang berjaga didepan kamar Shia “Baik Tuan” Ucapnya patuh Dante terus melangkah dengan hati-hati di lorong rumah sakit yang sunyi. Suasana rumah sakit yang penuh dengan aroma obat dan keheningan. Dante memang mengamankan kondisi rumah sakit. Memberikan keamanan ketat agar tidak ada orang lain yang bisa menembusnya. Jari-jari besarnya memainkan handphone, menghubungkan p
"Kau bahkan lebih payah dari pengecut itu, Robert,” serunya pelan, lalu melangkah mengikuti Shia yang berjalan di depannya. Dante memutar langkahnya dengan langkah panjang, mencoba mengejar Shia yang terus melaju cepat, meninggalkannya dalam kegelapan pemakaman. Kabut tipis mulai menyelimuti kawasan tersebut, memberikan nuansa yang semakin suram pada suasana yang sudah sendu. “Love...” panggil Dante pelan, mencoba menembus keheningan yang mendominasi tempat itu. Shia tetap diam, langkahnya tetap mantap, seolah-olah tak terpengaruh oleh panggilan Dante. “Love...” Panggilan Dante untuk yang kedua kalinya tak dihiraukan oleh Shia. “Arshia Clarikson.” Langkah Shia tiba-tiba terhenti, dan dengan wajah sebamnya, dia menatap Dante dengan ekspresi datar. “Jangan mengikutiku, Zedane” ucap Shia dengan suara serak. “Aku butuh waktu sendiri,” lanjutnya. “Tidak mau. Istriku sedang sedih, bukankah keterlaluan jika aku meninggalkannya sendiri?” tanya Dante dengan entengnya, hingga membuat Shia h
Tawa canggung pecah dari bibir Shia, suara getaran tawa yang mencerminkan campuran kebingungan, kekecewaan, dan bahkan sedikit ketakutan. Shia merenung, menyadari bahwa ia telah terlibat dalam permainan yang jauh lebih besar daripada yang dia duga. "Zedante Algheri Kingston.." bisiknya, meresapi fakta bahwa Dante adalah pemimpin mafia yang sangat berpengaruh yang terlibat dalam tragedy kelamnya. Mata biru itu memandang ke langit-langit mansion, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. "Maaf, Liam," bisiknya sambil menutup mata Saat kelopak itu tertutup, sebulir air mengalir, meninggalkan jejak lurus dari mata hingga pipinya. Shia menghapus air matanya dengan punggung tangannya, membayangkan wajah Liam yang kini telah pergi. Rasa cintanya pada Dante, yang dulunya hanya sekadar perasaan tak terucapkan, kini terasa begitu dalam dan rumit. “Hello Arshia” Shia menoleh kearah pintu. Di sana berdiri seorang wanita dengan tatapan datar, tidak ada raut ramah sama sekali
“Goodbye, bitch” ucap Shia tanpa belas kasihan, mengakhiri drama menyebalkan dalam hidupnya. Ledakan suara tembakan dan tubuh Lina yang roboh mengakhiri segala intrik yang telah membelit mereka. “Sekarang giliranmu” Ucap Shia sambil mengarahkan pistol itu pada Dante. “Lakukan Love” ucap Dante pasrah dengan senyum tulus yang melekat di wajahnya. Matanya yang berwarna abu-abu menatap lurus ke arah Shia yang dingin. Tidak satu pun ekspresi terbaca di wajah Shia. Pandangannya seolah tidak mencerminkan emosi apa pun. "Aku mencintaimu... selalu," ujar Dante, membuat tangan Shia yang memegang senjata itu gemetar. Shia menahan napas, tangan kanannya menegang di sekitar pegangan senjata. Hatinya berdebar-debar, dan ia merasakan kehampaan di dalam dirinya. Mungkin, di balik wajah dinginnya, ada kebingungan yang sulit terungkap. Wajah Dante yang tenang seolah menjadi kontras dari ketegangan di udara. "Tembak aku Love" ucapnya lagi dengan nada lembut Tangan Shia masih mencengkram erat pistol
Di luar Shia menatap mansion Clarikson dengan perasaan yang rumit dan bercampur aduk. Langit senja memberikan sentuhan dramatis pada pemandangan yang seakan mengiringi momen perpisahan ini. “Selamat tinggal…” gumam Shia, suaranya terbawa angin seolah menjadi bagian dari pesan perpisahan yang terukir dalam kenangan. Mansion Clarikson, saksi bisu dari kisah rumit kehidupannya yang kini berakhir. Seiring langkah Shia menjauh, beban berat yang telah menekannya selama ini mulai terasa terangkat. Lega merayap ke dalam hatinya, seperti melepaskan diri dari belenggu masa lalu. Dante menyusul di belakangnya, menggandeng erat tangan Shia. “Aku akan membuatmu bahagia, Love. Aku jamin itu.” ucap Dante dengan penuh keyakinan, matanya penuh dengan tekad. “Ah, aku terlambat” ucapnya, sebuah penyesalan terpancar dari sorot matanya. Kehadiran Paman Ronnie yang muncul dari arah depan gerbang menggugah atmosfer “Kau memang selalu terlambat, Ron,” jawab Dante dengan santai, mencoba meredakan ketegang
Valencia, Spanyol. Bangunan berlantai dua berdiri megah diatas lahan ratusan hektar. Sebuah mansion dikelilingi pepohoan rindang dan hijau. Ada banyak jenis pohon buah dan bunga yang terpetak dengan rapi. 10 meter dari pintu utama mansion terdapat sebuah air mancur dan lampu-lampu benderang yang menambah kesan kemegahan. Sebuah mobil hitam berhenti didekat pelataran. Mobil itu berhenti kemudian Pintu mobil terbuka, menampakan sosok Dante dan keluar bersama Shia. Kedatangan mereka disambut dengan Bela, kepala pelayan mansion. “Selamat datang Tuan dan Nyonya” Sapa Bela dengan ramah Bela memang sudah mengatakan jika dia akan terus mengabdi pada keluarga Kingston karena itu Bela ikut bersama mereka menempati kediaman baru, kediaman yang tenang dan hanya diisi oleh beberapa orang terpilih. “Bela” Shia memeluk Bela dengan erat sebelum kegiatan itu terintrupsi karena Dante yang langsung menariknya “Kau memeluknya terlalu lama” Ucap Dante dengan nada agak kesal. Shia mendengus tanpa memp
Jari besar itu melanjutkan gerakan mempesona di dalam dinding basah yang mengepit dan hawa panas di ruangan semakin intens. Shia mencoba menahan desahannya, tapi suara kecilnya masih meluncur dari bibirnya. Dante menyeringai samar, ingin memahami setiap reaksi yang muncul di wajah Shia. “Dante..” Suara Shia mencicit bersamaan dengan rintihannya terdengar “Apa disini sakit?” tanya Dante lagi, kali ini dengan sorot mata penuh perhatian yang nampak polos Shia membuka mata birunya, tangannya meraih bahu Dante dan menundukan kepala, menatap sosok Dante dibawahnya “Kau bisa bedakan kesakitan dengan desahan kan?” Ucap Shia sarkastik. Dante tersenyum, tetapi matanya tetap serius. "Tentu saja, Love. Tapi aku ingin memastikan bahwa kau merasa nyaman."Ketika Dante mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu “Apa kau ingin aku merasakannya, Love?” Dante berbisik, mendekatkan kepalanya pada sisi Shia “Atau akankah kau yang menjilatnya untukku?” Jari-jari Dante bergerak cepat keluar masuk. Shia b
Elusan pada wajahnya membuat Shia membuka matanya. Seluruh tubuhnya terasa lelah tapi sepertinya tidak dengan Dante yang sudah duduk disamping dengan senyum lebar. wajah pria itu tersenyum lebar yang entah mengapa terlihat menyebalkan bagi Shia. “Good morning, Love” Shia menaikkan selimutnya lalu membalikkan tubuhnya enggan bertatapan atau membalas sapaan Dante. Ia menatap kedepannya dan mendengus. Sekelilingnya benar-benar berantakan, baju yang berserakan hingga sebuah bantal yang robek hingga membuat kapuknya menyebar. "Bukankah tadi malam sangat liar” ucap Dante ketika mendapati Shia yang menatap bantal robek itu. Bantal yang digunakan untuk memukul Dante karena pria itu tidak ingin berhenti melakukannya dengan Shia. “Kamu bilang akan berhenti setelahnya, tapi ucapan bohongmu itu selalu berkata ‘sekali lagi,’” desis Shia dengan nada kesal, wajahnya masih terlihat memerah akibat kombinasi antara kelelahan, kekesalan maupun kepuasan. “Haha, maaf Love, hanya saja rasanya berbeda d