Shia duduk dalam sebuah kamar, tangannya terikat dengan tali dan mata yang tertutup oleh kain. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa berakhir di tempat seperti ini, yang pasti Shia yakin jika pelakunya adah George. Pintu terbuka perlahan, suara langkah kaki terdengar mendekati Shia lalu tak lama ikatan yang menutup matanya terlepas. “Bajingan!” Shia mengumpat. Mata biru itu menatap George dengan tajam. Tangan George terulur hendak mengusap kepala Shia namun Shia segala memalingkan pandangannya, menghindari tangan George. Tindakannya itu membuat George tertawa hambar. “Aku sangat menyesal atas apa yang telah terjadi padamu, Shia. Sejujurnya aku tidak ingin kau terlibat dalam semua ini” Suara George terdengar lembut membuat Shia nyaris mual dibuatnya. “Aku tidak pernah bermaksud untuk melukaimu Shia. Ayo kita mulai semuanya dari awal” Ajaknya. Shia berdecih sambil mendengus keras. Mata birunya menampakan binar ejekan “Sebaiknya periksa kesehatan jiwamu ke dokter, sepertinya ada masalah
“Pergilah. Aku sadar jika mendapatkan hatimu hal yang mustahil.” “Huh?” Shia memandang George dengan tatapan bingung, tidak yakin apakah dia bisa percaya pada apa yang baru saja didengarnya. George dengan santainya mengangkat bahu. “Aku bercanda. Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi setelah melukai wajahku? tentu saja tidak, Shia” ucap Geroge lalu keluar dengan cepat disertai dengan suara pintu yang terkunci. “Bajingan sialan!” ucap Shia dengan wajah kesalnya, dia tertipu oleh Geroge. Malam berlalu dengan cepat. Shia menghela nafas lelah, sudah ini hari kedua dirinya terkurung di kamar minim ini. Dia hanya berbaring di ranjang lalu menatap pemandangan luar dari tempat yang tinggi. Shia perkirakan dia berada disebuah bangunan yang mirip dengan menara, untungnya Geroger berbaik hati tidak mengikat kedua tangan dan kakinya. “Bagaimana kabar daddy?” Shia bergumam Hal yang mudah bagi Shia untuk keluar dari kamar ini namun dia tidak yakin dengan keadaan di luar. Dia tidak tau stru
“Kau menemukannya?” Ucap Dante seraya mengetuk meja kantornya dengan pelan. Dia sedang menunggu laporan Ero yang baru saja membuka kantor pintu Dante. “Mr Pattion membawa Nyonya pergi bersama beberapa pria, kami sudah menelusuri kamera pengintai dan titik terakhir berada di kota Texas. Handphone Nyonya Shia ditemukan disana” ucapnya sambil menyerahkan sebuah handphone dalam kondisi rusak itu. Dante menghela nafas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang merambat di seluruh tubuhnya “Lakukan pencarian Shia secara terbuka dan tandai semua orang yang mencurigakan!” Perintah Dante. Ero mengangguk lalu keluar dari ruangan Dante ‘Kau kehilangannya lagi bodoh’ Seruan itu membuat Dante memejamkan matanya, kepalanya berdenyut sakit setelah beberapa menit matanya terbuka, netra abu-abunya semakin menggelap bersamaan dengan jam tangannya berdering. "Tuan kami mendeteksi sinyal terakhir Nyonya Shia di sebuah bangunan terpencil di pinggiran kota Texas. Sepertinya tempat itu telah lama dit
Shia hanya terbaring di ranjang dingin dan hampa, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dan kakinya. Setiap kali matanya terbuka, ruangan itu terasa semakin sempit dan terang. Syukurnya George memberikannya sebuah kamar dengan jendela sehingga ada cahaya matahari yang masuk. Lina, sosok yang telah menjadi penyiksa dirinya. Terkadang, kekerasan itu berupa tamparan yang membakar pipinya, atau mungkin pukulan yang meninggalkan bekas luka. “Berapa lama waktu yang kau butuhkan Dante?” Shia bergumam menatap ke luar jendela. Jika diperkirakan sudah hampir 5 hari dirinya terkurung ditempat ini dan selama itu Shia tidak tau bagaimana kondisi Dante ataupun Robert yang masih koma. Mata Shia melirik ke kamera yang setia merekam setiap detiknya. Kamera pengawas yang berada disudut kamar. Meskipun tubuhnya terluka dan terpukul, keterlihatan kamera menjadi penjaga bisu atas rahasia yang mungkin saja dapat menjadi kunci kebebasannya. Shia kembali menatap keluar jendela. Sebenarnya hal yang m
Sebuah kapal berjenis Yacht belayar sejauh 10 Km dari bibir pantai sebuah pulau tak berpenghuni. Orang-orang mungkin akan mengira jika itu hanyalah sebuah kapal yang mengangkut para pelancong namun nyatanya kapal itu mengangkut sekelompok mafia yang paling kuat di benua Eropa. Sang pemimpin mafia, yang dikenal sebagai Zedane, memandang pulau tak berpenghuni itu dengan tajam melalui teropongnya. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan otoritasnya yang tak terbantahkan di kalangan mafia Eropa. Angin sepoi-sepoi laut mengibaskan rambut hitamnya yang tergerai di udara “Joker!” Panggil Dante dengan suara tegas, memanggil ketua tim shadow-nya. "Tarik mundur semua bawahan yang ikut. Aku akan ke sana sendiri!" Joker, seorang pria yang telah lama setia kepada Zedane dan mengepalai tim bayangan mereka, merasa tidak yakin dengan keputusan ini. "Tapi Tuan-" kata-kata Joker terpotong saat Dante mengarahkan ponselnya pada Joker. “Dia mengundangku untuk datang” Serunya. Layar ponsel Dante me
"Shia..." Panggilan itu membangunkan Shia dari dunianya yang penuh mimpi. Perlahan, dia membuka matanya dan menemukan sosok Robert duduk di sebelah ranjangnya, menggenggam erat tangannya. Senyum tulus terukir di bibir lelaki itu, membawa rasa ketenangan. “Daddy?” Shia bergumam, matanya bertemu dengan mata penuh kasih dari Robert. Dia merasakan kehangatan dan kehadiran ayahnya yang selalu setia. “Ya, Shia, ini daddy. Daddy tidak memiliki banyak waktu dan selalu menunggumu bangun.” Ucap Robert sambil lembut mengusap rambut putrinya. Shia mencoba memahami kata-kata itu. “Di mana Dante?” Meskipun tubuhnya terasa sakit, Shia berusaha bangkit, ingin tahu tentang keadaan saudaranya. Kesadarannya menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Robert masih dengan senyumnya yang lembut menjawab “Dia baik-baik saja, dan Shia, hiduplah dengan baik. Kau masih muda, dan hidupmu panjang. Maafkan Daddy untuk semua yang telah terjadi.” Ucapannya membuat kening Shia mengernyit, mencoba memahami mak
“Jadi… kapan kita kembali ke Milan?” Desak Shia. Sudah selama 2 hari dia terus mengajak Dante untuk ke Milan dan menemui Robert disana namun Dante selalu menolak dengan alasan jika Shia masih belum sehat. Dante nampak menimbang. Shia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Dante, terutama mengenai keadaan kesehatan ayahnya itu. “Mengapa kau terus menyembunyikan sesuatu dariku, Dante?” Tanya Shia “Dia masih sekarat?” Sambungnya Dante menghela napas lalu menatap netra biru Shia “Kita ke Milan besok” Ucapnya dengan senyum tipis lalu meninggalkan Shia dikamar pasien “Jaga Istriku!” Perintah Dante pada Ero yang berjaga didepan kamar Shia “Baik Tuan” Ucapnya patuh Dante terus melangkah dengan hati-hati di lorong rumah sakit yang sunyi. Suasana rumah sakit yang penuh dengan aroma obat dan keheningan. Dante memang mengamankan kondisi rumah sakit. Memberikan keamanan ketat agar tidak ada orang lain yang bisa menembusnya. Jari-jari besarnya memainkan handphone, menghubungkan p
"Kau bahkan lebih payah dari pengecut itu, Robert,” serunya pelan, lalu melangkah mengikuti Shia yang berjalan di depannya. Dante memutar langkahnya dengan langkah panjang, mencoba mengejar Shia yang terus melaju cepat, meninggalkannya dalam kegelapan pemakaman. Kabut tipis mulai menyelimuti kawasan tersebut, memberikan nuansa yang semakin suram pada suasana yang sudah sendu. “Love...” panggil Dante pelan, mencoba menembus keheningan yang mendominasi tempat itu. Shia tetap diam, langkahnya tetap mantap, seolah-olah tak terpengaruh oleh panggilan Dante. “Love...” Panggilan Dante untuk yang kedua kalinya tak dihiraukan oleh Shia. “Arshia Clarikson.” Langkah Shia tiba-tiba terhenti, dan dengan wajah sebamnya, dia menatap Dante dengan ekspresi datar. “Jangan mengikutiku, Zedane” ucap Shia dengan suara serak. “Aku butuh waktu sendiri,” lanjutnya. “Tidak mau. Istriku sedang sedih, bukankah keterlaluan jika aku meninggalkannya sendiri?” tanya Dante dengan entengnya, hingga membuat Shia h