Siang harinya suster kembali menjemput Olivia untuk dibawa ke ruang pemeriksaan berikutnya. Mereka harus benar-benar memastikan kalau fisik Olivia benar-benar siap untuk dilakukan operasi besar.Setelah Olivia diangkat dari ranjang dan dipindahkan ke kursi roda, Angelica mendampingi putrinya dengan hati-hati menuju ruang pemeriksaan. Suster Emily berjalan di depan mereka, sementara beberapa perawat yang melihat memberikan senyum kecil, mengetahui betapa pentingnya pemeriksaan ini untuk Olivia.Olivia sedikit bingung, tubuhnya yang kecil terlihat lebih lemah dari biasanya, tapi dia tidak mengeluh. Angelica bisa merasakan berat hati di dadanya. Setiap langkah terasa lebih lambat, setiap detik yang berlalu terasa begitu berarti. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.Mereka sampai di ruang pemeriksaan, dan Olivia diangkat dengan hati-hati ke atas ranjang pemeriksaan yang sudah dipersiapkan. Peralatan di sekeliling ruangan itu cukup canggih, membuat Angelica sedikit ragu, tapi dia
Keduanya baru saja menyelesaikan adegan panas yang membuat Alex tak bisa tidur selama di luar negeri. Dia sudah membayangkan kegiatan panas yang harus ia lewati meski dalam permainan itu Angelica jiwanya seperti tidak ada di dalam kamar hotel ini, tapi Alex tidak peduli yang penting dia berhasil dibuat puas oleh Angelica. Bahkan barusan Angelica ingin segera pergi tapi pria ini masih menahannya. Angelica bersandar di dada bidang Alex, mereka masih berendam di kolam gelembung air panas. Sensasi air panas itu membuat tubuh keduanya menjadi rileks. Sementara tubuh Alex bersandar pada pinggiran kolam, tangan kirinya memegang gelas yang berisi whisky, sementara tangan kanannya memegang rokok yang asapnya sudah mengepul. Kebiasaan Alex yang dulu pernah hilang ketika bersama Angelica, ini justru kembali dijalani oleh pria itu. Tapi sekali lagi Angelica tidak peduli, dan tidak akan melarang Alex melakukan apapun yang pria itu inginkan. “Tuaaaaaan,” panggil Angel.“Hmmmmm, mau lagi?” balas
“Apa maksudmu?” tanya Alex pada penjaga rumahnya. Suaranya terdengar datar tapi dingin. “Nyonya barusan sudah dibawa ke rumah sakit, Tuan. Beliau benar-benar akan melahirkan. Bahkan air ketubannya sudah pecah,” jelasnya, agak tergesa. Alex mengernyit, sedikit terdiam. Pikirannya langsung tertuju pada Sophia. Dia memang tahu hari perkiraan lahirnya sudah dekat, tapi tak menyangka akan secepat ini. Apalagi, tanpa pemberitahuan. “Siapa yang menemani? Siapa saja yang ikut pulang ke rumahku?” tanya Alex, matanya menatap ke arah lantai meski dia tidak benar-benar melihat ke mana pun. “Tidak ada, Tuan. Nyonya hanya datang sendiri. Sekarang yang menemani ke rumah sakit cuma sopir dan pelayan baru Anda,” jawab sang penjaga rumah dengan nada penuh rasa bersalah. “Tolong segera ke rumah sakit, Tuan. Saya kasihan melihat Nyonya menangis,” lanjutnya. Alex mendecak pelan. Bukan karena marah pada penjaga rumah, tapi karena merasa semuanya begitu tiba-tiba dan tidak terkontrol. Setelah memat
“Sayang, bangun nak,” ucap Angelica menepuk lembut pipi sang anak.Olivia mengerjap, lalu tersenyum.“Mama,” panggilnya.“Iya, sayang. Mama bawa makanan kesukaan Via. Biar gak keburu dingin kita makan sekarang ya, nanti setelah makanan habis Via boleh bobok lagi.”Angelica tak ingin membahas masalah rancauan sang anak saat terlelap. Hatinya sangat sakit melihat Olivia yang begitu ingin bertemu dengan Papa kandungnya.Meski Olivia merasa sangat mengantuk, namun dia tidak menolak keinginan sang mama untuk memberinya makanan. Akan tetapi, baru beberapa suap masuk ke dalam mulutnya suara Olivia kembali terdengar.“Via mau Papa, Ma. Hiks hiks.” Rengekan kecil itu terdengar jelas dan berhasil membuat Angelica meneteskan air mata.Angelica memeluk tubuh mungil sang anak.“Papa pasti doain yang terbaik untuk Via. Makanya Via harus sembuh ya, biar kita bisa segera cari Papa.”Kembali Olivia hanya mengangguk pasrah. Entah kenapa Olivia perlu ingin ada yang melindungi. Dia memang belum paham op
William setengah berlari menyusul sang atasan yang melangkah cepat tanpa menoleh sedikit pun. Alex berjalan lurus ke arah mobil dengan ekspresi wajah datar dan mata tajam yang menatap kosong ke depan. Begitu sampai, tanpa banyak bicara, ia membuka pintu dan langsung duduk di kursi penumpang depan, tepat di samping kemudi.William segera menyusul, membuka pintu di sisi pengemudi dan duduk sambil menyalakan mesin. Suasana di antara mereka terasa tegang, seperti ada beban besar yang Alex rasakan.“Kita balik ke kantor,” ucap Alex datar, tanpa memandang ke arah asistennya.Suaranya tidak menunjukkan emosi, tapi dari caranya menghela napas, William tahu pria itu sedang tidak baik-baik saja. Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan karena kelahiran anak Sophia, justru menjadi hari yang paling membingungkan dan berat bagi Alex.Seluruh keluarga Alex memang sudah datang ke rumah sakit untuk menyambut kelahiran bayi itu. Tapi, tidak satu pun dari mereka yang menunjukkan itikad untuk tinggal bers
Salah satu anestesiolog langsung menyesuaikan dosis obat penstabil tekanan. Jantung Olivia memang sudah lemah. Jika tekanan turun terlalu banyak, tindakan bisa gagal sebelum dimulai. Tapi waktu mereka juga tidak banyak. “Tekanan naik perlahan. 80 per 55. Cukup. Kita mulai.”Dokter memberi isyarat. Tim pun bergerak. Pemotongan dimulai dari bagian tengah dada, menyusuri garis sternum. Gunting bedah tulang bekerja secara perlahan tapi pasti. Ruangan tetap sunyi kecuali suara alat dan detak mesin.“Bypass siap?”“Siap. Sirkulasi eksternal aktif.”Darah dari tubuh Olivia dialihkan ke mesin. Jantungnya akan dihentikan untuk sementara waktu agar bisa dilepas. Jantung lamanya sudah terlalu rusak, tidak akan bertahan.“Mulai proses pelepasan.”Dokter memotong pembuluh-pembuluh besar satu per satu, menjaga agar tidak ada perdarahan besar. Salah satu perawat mengelap keringat yang mengalir dari dahi sang dokter. Waktu berjalan lambat di dalam ruangan itu. Lima belas menit, lalu dua puluh.“Jant
“Kamarnya kosong. Di mana mereka?” tanya Alex dengan nada panik, matanya langsung menyapu sekeliling ruangan.Langkahnya makin cepat memasuki ruang rawat inap yang tampak sepi. Di depan pintu masih tertempel jelas tulisan larangan masuk selain orang tua pasien. Tapi Alex dan William tak mengindahkannya. Bagi Alex, saat ini tidak ada aturan yang lebih penting dari mencari tahu keberadaan Olivia.Begitu memasuki ruangan, William langsung melihat ke sekeliling. Matanya berhenti pada tumpukan barang di pojok ruangan.“Tuan, ini tas dan sepatunya Angel. Ini juga seragam kerja dari anda,” ujarnya sambil menunjuk. “Berarti dugaan kita benar. Olivia memang anaknya.”Deg.Jantung Alex serasa berhenti berdetak sesaat. Alex tak bisa diam. Ia melangkah cepat menuju tas yang ditunjuk William, lalu meraihnya dan membuka tanpa ragu. Tangannya sedikit gemetar saat membuka resleting. Di dalam tas itu, ia menemukan dompet kecil, beberapa perlengkapan wanita, dan satu ponsel tua dengan layar retak di b
William segera berlari ke arah meja perawat. “Tolong! Pasien di UGD pingsan lagi. Cepat panggil dokter!” teriaknya.Tak butuh waktu lama, dua orang dokter bersama satu perawat masuk ke dalam ruang UGD tempat Angelica dirawat. Mereka langsung memeriksa kondisinya. Salah satu dokter memerintahkan pemasangan oksigen sambil memantau tekanan darah dan denyut jantung Angelica.Alex berdiri di samping ranjang, tak berpaling sedikit pun. Wajahnya tegang, penuh kecemasan. Tangannya menggenggam jemari Angelica yang terasa sangat dingin.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Alex, suara seraknya nyaris tak terdengar.Dokter wanita yang memimpin pemeriksaan menoleh cepat. “Tekanan darahnya turun drastis. Tubuhnya sangat lelah dan dehidrasi. Suster tadi juga mengatakan kalau pasien belum tidur sama sekali sejak dua hari lalu, sejak sebelum operasi putrinya. Itu membuat daya tahan tubuhnya sangat drop, ditambah dengan keadaan putrinya yang dalam keadaan kritis.”Alex menatap wajah Angelica yang tampak
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi