"Siapa juga yang cengeng?" protesku dengan bibir cemberut. Melepaskan pelukan. Richard tertawa dan menyentuh pipiku yang basah, lalu dengan pelan mencubitnya. "Hm, lalu ini apa?" tanyanya dengan suara menggoda. "Ahh, i-ini... ini cuma kemasukan debu," jawabku, mengalihkan pandangan dengan malu sehingga Richard tertawa lagi. "Ohya? Kalau begitu, sini aku tiup matanya biar debunya hilang."Richard mendekatkan wajahnya, seperti benar-benar hendak meniup mataku. Aku segera menunduk dengan gugup. "T-tidak usah. Begini saja."Untuk mencegah Richard meniup mataku, aku segera memeluknya. Karena takut mengotori kemeja putihnya dengan air mata dan riasanku, sedikit kujauhkan wajahku dari dadanya.Sepertinya Richard menyadari keanehan tingkahku sehingga bertanya. "Kenapa memelukku seperti itu, Jeany?""Seperti apa?" balasku, pura-pura tak tahu. "Kamu menjauhkan wajahmu dari dadaku."Richard meraih daguku dan membuat diriku menatap ke arahnya sehingga dengan sangat terpaksa aku pun memberi
"Makan siangnya sangat enak. Kamu ingin oleh-oleh apa untuk nanti malam?"Saat sampai rumah, Richard dengan begitu baik hatinya menelepon serta menawarkan aku ingin oleh-oleh apa darinya. "Ha? tidak usah. Aku cukup senang karena kamu makan dengan baik, Rich. Kamu juga menghabiskan makan siang buatanku. Itu sudah membuat aku sangat senang," jawabku sambil tersenyum lebar. Rasanya jika seperti ini, aku dan dia seperti dua orang yang saling mencintai. Hal itu tentu saja membuat hatiku berbunga-bunga. "Yah, tetap saja. Kamu harus minta oleh-oleh."Richard tetap memaksa aku untuk meminta oleh-oleh, sehingga karena tak tahu harus meminta apa, kusebutkan saja apa yang aku inginkan untuk saat ini. "Mmm, apa, ya? Buah anggur?" jawabku. "Buah anggur lagi? Bukankah almari es di kamar sudah penuh dengan buah anggur? Bagaimana kalau strawberry?" Richard memberi usul agar aku memilih strawberry, tapi aku langsung menggeleng. "Strawberry? Ugh, tidak. Bukankah buah itu rasanya masam?" tolakk
"Hari ini aku membuatkan makan siang sandwich. Bukankah seorang dokter butuh makanan yang sehat dan berenergi?"Aku sangat bersemangat mengirim makan siang untuk Richard karena tak sabar dengan oleh-oleh yang akan dia bawa nanti malam. Hari ini aku sengaja memilih menu ringan saja karena tak ingin membuat Richard terbebani jika dia masih ingin makan siang tambahan di luar. Aku berangkat dengan gembira karena sudah tak sabar bertemu Richard suamiku, tapi begitu aku sampai di depan rumah sakit dan membuka pintu mobil, seseorang yang berlari ke arah ku, seketika membuat kening ku berkerut. "Damien? Kenapa kamu ada di sini?"Aku bertanya dengan ekspresi curiga, sedangkan Damien yang kini berdiri di depanku, menjawab dengan cepat. "Aku sudah membuntutimu selama beberapa hari ini, dan aku tahu setiap jam segini kamu pasti datang menemui suamimu yang bekerja di sini, Jeany."Mendengar itu, reflek aku mundur ke belakang dengan terkejut. "Apa kamu gila? Kamu tidak punya pekerjaan?!""Apak
Aku memutuskan untuk menyembunyikan peristiwa tidak menyenangkan dengan Damien dari Richard, tidak ada maksud apa-apa, hanya karena tak ingin masalah ini menjadi semakin besar dan Richard salah paham jika tahu aku bertemu dengan Damien, meski tak ada kesengajaan sama sekali. Richard juga tak bertanya kenapa aku tidak mengirimkan langsung bekal makan siang ke kantornya. Dia hanya bilang bahwa aku masih harus membawa bekal makan siang seperti biasa saat ke tempat dia bekerja. "Sepertinya aku sudah terlalu terbiasa makan masakanmu, Jeany. Jadi aku sekarang tidak bisa kalau harus makan makanan lain saat makan siang," ucapnya. Hal itu tentu saja membuat aku luluh dan menyingkirkan rasa takut jika harus bertemu Damien di rumah sakit seperti yang terjadi sebelumnya. Untungnya, besoknya saat aku mengirim bekal ke rumah sakit, dengan ditemani Mayes karena aku masih takut bertemu Damien, semuanya aman-aman saja. "Selamat siang, Nyonya. Mengantarkan makan siang untuk tuan Dante?"Security
Damien yang mendapat ancaman seperti itu dari Richard bukannya terlihat ketakutan, malah tertawa terbahak-bahak. "Apakah kamu berani melukaiku di sini? Bukankah kamu hanya akan membuat istrimu yang lembut ini ketakutan dan lari?" tantangnya, meraih tanganku dengan kasar lalu menarikku keluar dari mobil. Damien mencengkeram pipiku erat-erat dan menghadapkan wajahku ke arah Richard, seakan-akan sedang menunjukkan kepadaku bagaimana wajah asli seorang Dante Richardo. "Apa maksudmu?"Richard berjalan mendekat dengan lebih cepat, terlihat sekali bagaimana dia tampak sangat tidak nyaman dengan perlakuan Damien padaku. "Yah, apa kamu mengira aku tidak tahu kalau kamu selama ini menyembunyikan kekejamanmu di depan saudaraku yang sangat baik hati ini, tuan Dante Richardo? Bukankah kamu selalu menampakkan topeng pria baik selama di depannya?" ejeknya lagi sambil tertawa sinis, tangan yang satunya masih dia gunakan untuk mencengkeram pipiku sementara tangan yang lain menahan badanku agar tid
Dua hari ini aku berhenti mengirim bekal makan siang kepada Richard. Aku terus kepikiran dengan kata-kata Damien, sehingga menghindari Richard. Namun, setelah tiga hari berlalu, aku akhirnya luluh dengan semua sikap manis Richard dan mulai sedikit melupakan ucapan Damien. "Aku merasa bersalah sudah menghindari dia dan tidak mengirim bekal makan siang padanya. Bukankah dia bilang kalau tidak bisa makan kecuali makanan buatanku?"Berpikir seperti itu, aku pun mulai membuatkan bekal makan siang untuk Richard dan mengirim pesan padanya. [Suamiku, aku akan datang ke rumah sakit mengirim bekal makan siang. Boleh?]Begitu pesan terkirim, pada saat itu juga, Richard langsung menjawab. [Boleh, aku tunggu.]Aku segera tersenyum saat membaca jawabannya. Lega karena sepertinya Richard tidak marah padaku meski aku telah menghindari dirinya beberapa hari ini. Ketika hendak menaruh ponsel, Richard tiba-tiba menelepon. "Hah? Kenapa? Apa dia berubah pikiran?" gumamku, tiba-tiba takut. Setelah
"Richard!"Aku segera berlari masuk tanpa memedulikan apa pun. Sampai di dalam, aku hanya menatap kosong pada pria yang duduk di depanku. Tepatnya, ke arah lengannya teriuka parah dan dia tidak bisa bergerak."Kamu mungkin akan mengatakan bahwa lukamu bukanlah masalah besar." Suara kecil dan tipisku bergema di seluruh kantor.Berbeda denganku, yang memandang keadaan Richard dengan tubuh gemetar, wajah Richard, dengan punggung bersandar di sofa setelah menerima perawatan, tampak sangat rileks."Kamu pasti akan bilang tidak apa-apa, meskipun kamu tidak bisa menggunakan tanganmu samasekali," lanjut ku dengan suara bergetar. Richard belum membicarakan apa pun, tapi aku sudah merasa putus asa dengan keadaan suamiku yang terluka. Kakiku bahkan gemetar dan badanku terhuyung-huyung. "Bagaimana bisa.... "Hatiku berdenyut sakit melihat banyaknya darah yang berceceran, seberapa parah lukanya? Aku benar-benar khawatir. Richard yang memperhatikanku dengan tenang, membuat senyuman indah yan
Pipiku merona mendengar ucapan Richard itu dan memegang tangannya."Tetap saja rasanya pasti sakit, lain kali tolong hati-hati, oke?" pintaku dengan mata sembab."Tidak apa-apa bagiku sakit seperti ini, Jeany. Tapi ini mungkin akan menjadi masalah bagimu,"ucapnya, yang membuat aku bingung. "Masalah untukku? Apa maksudmu, Rich?"Richard menghela napas panjang dan berkata. "Yah, kamu tahu. Meski sudah terluka seperti ini, aku masih harus bekerja, dan, bekerja sendirian dalam kondisi ini rasanya sangat sulit."Mata Richard beralih ke meja dekat ranjang yang disulap menjadi meja kantor dan di atasnya ada tumpukan dokunmen yang belum diproses.Aku yang juga melihat ke arah mana Richard menatap, mengepalkan tinjuku dan melompat."Jangan khawatir, aku akan membantumu," ucapku dengan percaya diri. Tidak ada yang tidak bisa dia lakukan untuknya selama ini, sudah waktunya dia membalas kebaikan Richard. "Ayo duduk. Aku akan menyerahkan kertasnya padamu," ujarku lagi, membantu dia untuk dud
"Lun, lo tau nggak kira-kira kenapa ada sisa bau Venus di tubuh lo?" Sekali lagi Kyle mengulang pertanyaan kenapa ada aroma Venus di baju sehingga netra Luana bergetar sedikit karena tak mampu memberi jawaban yang memuaskannya. Luana benar-benar tidak sedang dalam kondisi bisa berbohong sambil tersenyum sekarang, tidak ketika seluruh tubuhnya memanas secara tak jelas begini. Seperti mengetahui kelemahan Luana, Kyle mengelus dengan lembut pinggang sang gadis yang terbalut kemeja tipis, lalu mendekatkan hidung mancungnya ke badan Luana, sambil memejamkan mata dia mengendus pelan. "Baunya jelas banget, kenapa ya? Bilang ke gue coba, ini cuma parfum yang sama, kan? Tolong jawab gitu," ucapnya. Meski nadanya sangat tenang, Luana tahu jika ada aura mengancam di dalamnya. Luana tidak menggeleng atau mengangguk, hanya menatap wajah tampan teesebut dalam diam. Nadanya menyakitkan, sehingga Luana takut, jika salah menjawab maka semua akan berubah fatal. Beberapa detik kemudian, karena
"Cara apa?" Bodohnya Luana malah bertanya. Tak sadar bahwa Kyle sedang menjebaknya. "Biar nggak kedinginan kita harus mengeluarkan keringat, kan? Nah, ada cara yang mudah dan efektif serta menyenangkan, mau coba?" Kyle mengatakan dengan ceria, tampak sedikit bersemangat. "Emang gimana?" Luana yang masih tak paham maksud Kyle, bertanya lagi. "Begini." Seperti sudah tak sabar, Kyle segera mencondongkan badan ke arah gadis itu, lalu tanpa ba-bi-bu menempelkan bibirnya ke bibir Luana. Untuk mencegah Luana melarikan diri, dia mengunci belakang kepala Luana dengan tangannya lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut gadis itu. "K-Kyle...!" Mata Luana terbelalak lebar. Sensasi manis lollipop yang tadi dimakan Kyle, menyebar di seluruh mulut Luana, rasa hangat bibir Kyle dan rasa permen yang dia makan seakan melebur jadi satu di dalam mulut gadis itu. Kyle semakin mencondongkan badannya sehingga dada mereka saling menempel, melanjutkan sentuhan bibirnya ketika tak mendapat pen
Setelah menjawab seperti itu, Luana segera berlari dengan kecepatan penuh, mengambil peralatan mandi dan kemeja dan rok di tumpukan paling atas, lalu mandi, keramas dan ber-make up sederhana sebelum kembali berlari menuju perpustakaan. Untunglah, untung jarak antara asrama dan perpustakaan bisa ia potong lewat jalan pintas, kalau tidak, bisa celaka semuanya. Cemas, Luana melirik jam tangan, masih ada empat menit lagi. Huft. Semoga Luana bisa bertemu dengannya. Kembali Luana berlari menuju tempat biasa mereka bertemu, dan di sana... Tubuh gadis itu langsung merosot ke lantai ketika melihat Venus yang tampak tertidur nyenyak di meja biasa mereka bertemu saking leganya. Jackson tak ada di mana-mana, mungkin pulang setelah marah marah pada Luana tadi. Jantung gadis itu masih berdegup kencang ketika duduk di sebelah pria muda yang tengah tertidur, memandangi Venus yang tidur dengan memiringkan kepala, tampak tenang dan damai. Tangan Luana tiba-tiba tergelitik untuk merapikan ramb
Luana segera berbalik menghadap Kyle dan tersenyum semanis mungkin, menyembunyikan niatnya yang ingin menyelinap pergi untuk menemui Venus. "Kamu janji bakal ngeberesin kekacauan ini, kan, Kyle?" tanya Luana, masih tersenyum manis.Kyle tampak mengerucutkan bibir tipisnya dengan kening berkerut ketika menatap asrama Luana yang porak-poranda, lalu tersenyum lebar saat menatap wajah cemas gadis itu. Mengendikkan bahu, dengan santai dia pun menjawab."Mmm, Oke."Suaranya terdengar riang. Namun, Kata-katanya tak berhenti sampai situ. "Tapi... "Kyle seperti sengaja menggantung kalimatnya, sehingga Luana pun bertanya."Tapi apa, Kyle?""Tapi malem ini lo harus ikut sama gue pulang, ya?" jawabnya, dengan senyum lebar.Luana lagi-lagi tersenyum canggung. Luana tahu itu bukan permintaan meski Kyle berkata dengan nada ringan, tapi perintah yang harus ia taati.Jadi dengan pelan, Luana pun menganggukkan kepala.Senyum Kyle berubah semakin cerah melihat Luana yang menganggukkan kepala, dia p
Mati-matian Luana menahan tubuhnya supaya tidak ambruk ke lantai dan berusaha terlihat setenang mungkin."Yaaahhh, karena lo kayaknya suka gue yang kayak iblis begini, jadi rencananya gue mau bikin dia pisah sama jiwanya sebentar, lalu tubuhnya mau gue lempar dari atap gedung ini. Gimana? Seru, kan, pasti? Jadi gue nggak perlu sakit hati lagi."Kyle yang berada dalam tubuh Theo, mengucapkan semua rencana pembunuhan untuk Venus dengan sangat santai seakan Venus hanyalah seekor lalat saja.Luana tentu saja bergidik ngeri mendengar pengakuannya tersebut.'Jangan bunuh kak Venus, jangan!'Dia berteriak dengan putus asa. "Ky, Kyle... aku ... aku...."Tak sanggup rasanya luana meneruskan ucapan karena tenggorokan terasa kering, jadi ia menelan ludah dan membasahi bibir. Memandang Kyle dengan mata bergetar."Karena lo udah di sini, gimana cara lo ngehentiin gue, Luana? Gimana cara lo bikin gue nggak nyentuh si bajingan itu? Gue mau lihat."Kyle bertanya dengan suara manis, seakan memberi k
Sosok jangkung berkulit putih berlari ke arah Luana dengan terengah-engah, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Dia adalah Vincent, ketua kelas tiga. "Kamu di sini? Kamu baik-baik saja, kan? Lebih baik kamu pergi jauh untuk sementara, Lun. Theo saat ini kehilangan kendali, dia–""Theo di mana sekarang, Vin?"Luana memotong ucapan Vincent dengan terburu, melihat wajah panik gadis itu, Vincent memilih menjawab pertanyaan dari Luana. "Setelah bikin sebagian besar penghuni asrama putri seperti ini, dia melesat lari ke asrama putra, seperti mencari seseorang atau sesuatu entahlah. Akibatnya korban semakin bertambah banyak karena semakin banyak anak yang di sentuh Theo, sebaiknya kamu sembunyi yang jauh sebelum dia juga membuatmu seperti yang lain, Lun!"Wajahnya yang lelah terlihat cemas, Luana mau mengucapkan terima kasih karena telah mencemaskan dirinya tapi tangan Karios lebih dulu menyeret pergi."Mereka siapa? Boleh aku mengantarmu, Lum?"Vincent mengejar langkah kami dan menjajari Lu
Sungguh, Luana benar-benar tak tahu alasan mengapa Kyle melakukan ini semua.Mereka kini bergerak dengan satu tujuan yaitu membuat Kyle sadar kembali. Karena kalau lusa Kyle belum sadar juga, maka Luana pasti akan kehilangan nyawa di tangan Karios, sebelum kedua orang ini akan kehilangan nyawa di tangan ayah Kyle, yaitu tuan Ivander. 'Kyle, aku btahu ini semua balasan atas semua kekasaranku padamu, tapi kumohon, bangunlah.'Luana membatin dengan putus asa. Ia mengepalkan tangan yang basah oleh keringat untuk meredam rasa gugup yang terus membelenggu dirinya seperti rantai. Beberapa saat kemudian sebuah Limosin mengkilap terparkir di depan pintu gerbang rumah mewah itu dan dengan cekatan para bawahan menempatkan tubuh Kyle yang tak sadarkan diri dengan nyaman di sana.Kyle saat ini terbaring tenang dengan selang infus dan alat bantu pernapasan.Wajahnya terlihat sangat damai seperti orang mati."Itu membuat aku merinding, semoga kamu nggak mati, Kyle," bisik Luana dengan tangan basa
"Tolong, Luana. Tolong bangunkan anakku! Bagaimana pun caranya tolong buat dia terbangun kembali sebelum lusa!"Nyonya glory memohon dengan begitu putus asa. Cengkeraman nyonya Glory di lengan Luana sedikit mengeras bersamaan dengan air mata yang mulai jatuh ke pipi cantiknya, wanita itu menekankan untuk membangunkan Kyle lagi sebelum lusa.Luana tidak tahu alasannya apa, tapi sepertinya ini ada hubungannya dengan tuan Ivander yang kabarnya akan pulang dari luar negeri.Nyonya Glory yang terisak-isak tak mampu melanjutkan ucapannya, sehingga posisi berbicara pun digantikan oleh Karios. "Waktu kami hanya sampai besok, kalo sampe kamu nggak bisa bikin tuan muda Kyle sadar kembali, aku ngga bakal ragu lagi buat menyingkirkanmu dari muka bumi ini."Geraman Karios mengirimkan gelombang ketakutan pada Luana. Luana tahu wajahnya saat mengatakan itu tidak main-main, seakan Karios benar-benar bisa dengan mudah melakukan semua itu ...."Tolong lakukan apa pun, Luana. Tolong! Tolong! Kalau sa
Kyle dalam sekejap kembali menjadi seperti mayat hidup. Luana memandang sekeliling dengan panik. Di manakah jiwanya saat ini? Kenapa dia pergi lagi seperti ini? "Kyle, kamu di mana, Kyle? Di mana?!" teriak Luana, meski tak ada jawaban. Tanpa berpikir panjang, segera gadis itu meraih tangan Karios dan menyeretnya ke luar kamar. "Tunjukkan aku jalan ke luar rumah!" ucapnya. Luana pikir, mungkin saja ... mungkin saja jiwa Kyle sekarang berkeliaran di luar seperti saat sebelum luana masuk ke sini tadi. Luana harus menemukan dirinya dan membujuk untuk kembali ke tubuhnya atau nyawanya benar-benar melayang di tangan bodyguard Kyle yang menurut ketika ia seret pergi ini. Di luar rumah, sayangnya tetap tak ia jumpai siapa pun meski Luana terus meneriakkan nama Kyle sampai suaraku serak. Tanda-tanda kehadirannya seakan lenyap. Kyle saat ini tak ada di mana-mana dan Luana tak bisa melihatnya lagi. 'Tidak, ini tidak boleh terjadi! Bagaimana nasibku kalau terus seperti ini? Aku tid