Galih tak berkutik dalam himpitan tubuh Aziya, benar-benar di bawah tubuh Aziya. Sementara itu ia justru terpaku pada wajah Aziya yang cantik saat terkejut sehingga wajahnya memerah. Begitu juga bibir Aziya yang merah dan terbuka membuatnya ingin melahap apa yang dihadapannya sekarang juga.'Cantik,' batinnya.Lalu ia meraih pipi Aziya yang merona merah entah mungkin karena salah tingkah.Aziya seketika terkejut dengan tindakan pria di bawahnya itu, tatapan Galih membuatnya berdebar tak menentu. Iapun segera mengangkat kepalanya susah payah dan berusaha untuk bangun.Anehnya ia merasa ketika dalam posisi itu, Galih sangat menarik pandangannya. Namun tentu saja ia segera sadar, ada yang salah disini. Tak seharusnya ia menikmati suasana ini, berada di atas tubuh Galih? Benar-benar gila!Aziya mendorong tangannya ke sisi tubuh Galih untuk bangkit. Akan tetapi Galih malah menahan tubuh Aziya dan mencium bibir Aziya tanpa aba-aba.Saking terkejutnya, Aziya duduk dan menampar pipi Galih san
"Benar Galih, sebenarnya ibu bisa mengerti kalau kamu pasti keberatan menjemput putri Aziya. Akan tetapi kamu harus ingat Galih, Aziya telah kehilangan bayinya karena menyelamatkan kamu waktu itu. Dan sekarang apakah kamu bisa menanggung sebuah kesalahan itu lagi dan lagi? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Humaira? Bagaimana kalau Aziya akhirnya menuntut ganti rugi pada keluarga kita karena dia kehilangan bayinya?" terang wanita terlihat khawatir ia berusaha keras untuk membujuk putranya."Ah ibu... panggil saja taksi online untuk menjemputnya, aku yakin pasti juga sampai rumah," bantahnya."Dia gadis kecil, Galih. Apa yang bisa dia lakukan jika ada orang yang berniat jahat di perjalanan? Kamu percaya taksi online? Kalau sampai terjadi sesuatu apa yang akan kamu lakukan?"Memikirkannya memang membuat Galih bergidik ngeri. Tapi bukankah ini sangat merepotkan?"Galih? Mau ya?" rengek sang ibu.Galih tak menjawab, tapi ibunya tahu bahwa putranya tidak menolak suatu pekerjaan jika dia
Reza sungguh merasa ada sesuatu yang nggak beres dengan keadaan ini. Atasannya terkenal sangat cuek terhadap siapapun, bagaimana bisa pria itu mau melakukan hal seperti itu. Menjemput putrinya? ini cukup aneh.Adapun Galih hanya merasa gugup. Ia masih mengingat jelas kejadian pagi hari dimana ia nekad mencium Aziya, mantan istri Reza. Ia memang merasa bodoh karenanya, akan tetapi menurutnya itu karena ia refleks melampiaskan kekesalannya secara naluriah.Di mobil, Humaira sudah menunggu di bangku belakang. Ia mulai sedikit kesal karena mereka entah membicarakan apa. Akan tetapi ia tahu ayahnya pasti sangat marah dengan dirinya dan juga Galih."Duduklah di depan, aku bukan sopirmu," perintah Galih sesaat setelah membuka pintu mobil."Baik om direktur," kata Humaira dan melompat dari tengah samping Galih. Pria itu mendelik karena peralatan kerjanya yang berada diantara bangku sopir dan penumpang jadi sasaran langkah Humaira secara tergesa-gesa."Oh God," desisnya kesal melihatnya.Sesaa
"Wah, hebat sekali ayahmu itu, Celine. Aku bahkan tidak mau hubungan tipu-tipu ini kalau saja bukan karena rasa kasihan. Kamu yang memaksaku merelakan namaku dicatut untuk ayahmu, dan sekarang kau mau aku gimana? Jadi tolonglah, Celine , tolong selesaikan masalah itu sendiri, oke?!" cibir Galih dan iapun segera pergi dari tempat itu seolah permintaan Celine bukan apa-apa.Celine menggigit bibirnya.Ia menyaksikan sendiri bahwa Isabella telah diambil keluarganya dalam keadaan masih koma. Dokter juga menjelaskan kemungkinan untuk sadar menjadi lebih tipis sebab traumatis yang berulang yang terjadi pada wanita itu.Ia berharap Galih menyerah menunggu wanita itu dan setujui saja keinginan ayahnya dan juga Pak Gala untuk menikah dengan dirinya.Akan tetapi sepertinya Galih benar-benar tidak perduli kepadanya, meskipun ia sudah berusaha untuk melakukan apapun untuknya.Galih melaju dengan kencang dan berhenti di sebuah restoran untuk membeli makanan. Ia harus memberikan makan pada Aziya ata
Setelah percakapan di ponsel dengan Humaira, Aziya kembali termenung.Membayangkan bagaimana Galih bersedia menjemput putrinya di sekolah dan menggagalkan Reza mengambil putrinya, ia merasa lega.Iapun kembali bersemangat dan duduk kembali di samping Guntur.Sebuah buku berjudul "Good Sense" membuatnya kembali larut dalam baik kata di dalamnya.""Kamu tidak akan mengenang masa lalu hanya untuk bersikap pesimis. Kamu juga tidak akan membuat masa lalu sebagai batu penghalang masa depanmu."""Ah, benar sekali, aku memang tidak akan pesimis dengan masa laluku. Aku justru pesimis dengan apa yang sedang kuhadapi saat ini," gumam Aziya dengan pikirannya yang melayang pada sosok Galih. Ia sedikit pesimis untuk bertahan dalam pekerjaan ini.""Setiap rasa sakit akan membuat orang membayarnya. Baik itu sebuah karma, penderitaan atau rasa iri dan juga penyesalan, mungkin kamu harus bersikap tidak perduli atau memaafkannya jika saat itu datang."""Siapa orang yang akan membayar rasa sakit yang kur
Wajah Aziya yang memerah masih terlihat jelas dan menunjukkan kekesalannya.Baru saja ia mau bilang kalau Guntur adiknya telah siuman, pria itu malah memancing emosinya! Menyebalkan!"Apakah dia kakakku?" ujar Guntur pelan."Kau mengingatnya bukan? Benar, aku baru saja menghubungi Galih, kakak lelakimu. Kau tahu nggak, dia itu sangat gila. Oh ya, dia akan datang sebentar lagi, bersabarlah," kata Aziya menenangkan Guntur. Sepertinya Guntur memang belum bisa sepenuhnya menggerakkan tubuhnya.Karena tidak ada seorangpun yang bisa dimintai tolong untuk memanggil seorang dokter, Aziya berinisiatif memanggil dokter Arkan. Pria itu tinggal tidak jauh dari apartemen Galih."Halo, bagaimana kabarmu? Aku Aziya,""Oh Aziya, syukurlah kau menghubungi aku.""Arkan, aku butuh bantuanmu. Datanglah ke alamat ini, ada seorang pasien yang membutuhkan pertolonganmu."Aziya, tentu saja, aku pasti datang." Dan benar saja, Arkan telah sampai dalam beberapa menit. Dengan pakaian dokter, pria itu datang den
Bukan menolong Aziya bangun, pria itu tidak bosan-bosannya malah membentak dengan kasar dan arogan."Sial kamu!" umpatnya lalu pergi meninggalkan Aziya."Huft!" Aziya kesal melihat pria itu pergi begitu saja. Ia terpaksa merangkak menjangkau tongkat miliknya untuk bisa membuatnya berdiri dan menyusul Galih di lantai atas.Galih terburu-buru melihat kondisi Guntur. Hatinya berdebar dipenuhi rasa bahagia dan cemas. Penantian panjang dan rasa rindunya tak terukur. Tentu saja ia sangat cemas karenanya."Guntur!" suaranya memecah kesunyian ruangan besar itu, sementara Arkan sangat terkejut dengan kehadiran Galih yang tiba-tiba."Kau sudah sadar... syukurlah..." senyum lebar menghiasi wajah Galih dan pria itu memeluk erat adik lelakinya.Galih menatap mata Guntur, mencoba untuk berkomunikasi dengan pria yang telah lama hilang dari hidupnya ini."Mas Galih...""Iya, kau mengingatku dengan baik. Oh, syukurlah...," kata Galih lalu
Arkan terkekeh, tapi Galih makin kesal karena bisa mendengar ucapan Aziya. Enak saja Aziya mengejeknya dengan gangguan mental? Awas ya!Setelah Aziya kembali, Aziya bisa melihat ketegangan Galih saat melihatnya."Sekarang kau bisa menjelaskan kepadaku perihal kesalahan yang kumiliki. Sebutkan saja, maka siapa tahu aku bisa menebus kesalahanku itu," tanya Aziya kemudian.Galih yang duduk di sebuah kursi tamu mendesah panjang. Kejadian itu sangat jelas di dalam ingatannya."Kau , apa yang kau lakukan di malam tahun baru tiga tahun yang lalu? Kau telah membuat kekacauan dengan menyalip mobil Guntur. Pada malam itu kecelakaan menimpa mereka sehingga mobil mereka terbalik. Seharusnya kamu mengingat bagaimana kejadian itu terjadi dengan sangat jelas. Aku melihatmu diinterogasi seorang polisi.""Aku? Malam tahun baru?" "Ya, ingatlah tiga tahun yang lalu. Bukankah kau yang mengemudi kendaraan dengan ugal-ugalan? Malam itu mobil yang kau tump