Setelah percakapan di ponsel dengan Humaira, Aziya kembali termenung.Membayangkan bagaimana Galih bersedia menjemput putrinya di sekolah dan menggagalkan Reza mengambil putrinya, ia merasa lega.Iapun kembali bersemangat dan duduk kembali di samping Guntur.Sebuah buku berjudul "Good Sense" membuatnya kembali larut dalam baik kata di dalamnya.""Kamu tidak akan mengenang masa lalu hanya untuk bersikap pesimis. Kamu juga tidak akan membuat masa lalu sebagai batu penghalang masa depanmu."""Ah, benar sekali, aku memang tidak akan pesimis dengan masa laluku. Aku justru pesimis dengan apa yang sedang kuhadapi saat ini," gumam Aziya dengan pikirannya yang melayang pada sosok Galih. Ia sedikit pesimis untuk bertahan dalam pekerjaan ini.""Setiap rasa sakit akan membuat orang membayarnya. Baik itu sebuah karma, penderitaan atau rasa iri dan juga penyesalan, mungkin kamu harus bersikap tidak perduli atau memaafkannya jika saat itu datang."""Siapa orang yang akan membayar rasa sakit yang kur
Wajah Aziya yang memerah masih terlihat jelas dan menunjukkan kekesalannya.Baru saja ia mau bilang kalau Guntur adiknya telah siuman, pria itu malah memancing emosinya! Menyebalkan!"Apakah dia kakakku?" ujar Guntur pelan."Kau mengingatnya bukan? Benar, aku baru saja menghubungi Galih, kakak lelakimu. Kau tahu nggak, dia itu sangat gila. Oh ya, dia akan datang sebentar lagi, bersabarlah," kata Aziya menenangkan Guntur. Sepertinya Guntur memang belum bisa sepenuhnya menggerakkan tubuhnya.Karena tidak ada seorangpun yang bisa dimintai tolong untuk memanggil seorang dokter, Aziya berinisiatif memanggil dokter Arkan. Pria itu tinggal tidak jauh dari apartemen Galih."Halo, bagaimana kabarmu? Aku Aziya,""Oh Aziya, syukurlah kau menghubungi aku.""Arkan, aku butuh bantuanmu. Datanglah ke alamat ini, ada seorang pasien yang membutuhkan pertolonganmu."Aziya, tentu saja, aku pasti datang." Dan benar saja, Arkan telah sampai dalam beberapa menit. Dengan pakaian dokter, pria itu datang den
Bukan menolong Aziya bangun, pria itu tidak bosan-bosannya malah membentak dengan kasar dan arogan."Sial kamu!" umpatnya lalu pergi meninggalkan Aziya."Huft!" Aziya kesal melihat pria itu pergi begitu saja. Ia terpaksa merangkak menjangkau tongkat miliknya untuk bisa membuatnya berdiri dan menyusul Galih di lantai atas.Galih terburu-buru melihat kondisi Guntur. Hatinya berdebar dipenuhi rasa bahagia dan cemas. Penantian panjang dan rasa rindunya tak terukur. Tentu saja ia sangat cemas karenanya."Guntur!" suaranya memecah kesunyian ruangan besar itu, sementara Arkan sangat terkejut dengan kehadiran Galih yang tiba-tiba."Kau sudah sadar... syukurlah..." senyum lebar menghiasi wajah Galih dan pria itu memeluk erat adik lelakinya.Galih menatap mata Guntur, mencoba untuk berkomunikasi dengan pria yang telah lama hilang dari hidupnya ini."Mas Galih...""Iya, kau mengingatku dengan baik. Oh, syukurlah...," kata Galih lalu
Arkan terkekeh, tapi Galih makin kesal karena bisa mendengar ucapan Aziya. Enak saja Aziya mengejeknya dengan gangguan mental? Awas ya!Setelah Aziya kembali, Aziya bisa melihat ketegangan Galih saat melihatnya."Sekarang kau bisa menjelaskan kepadaku perihal kesalahan yang kumiliki. Sebutkan saja, maka siapa tahu aku bisa menebus kesalahanku itu," tanya Aziya kemudian.Galih yang duduk di sebuah kursi tamu mendesah panjang. Kejadian itu sangat jelas di dalam ingatannya."Kau , apa yang kau lakukan di malam tahun baru tiga tahun yang lalu? Kau telah membuat kekacauan dengan menyalip mobil Guntur. Pada malam itu kecelakaan menimpa mereka sehingga mobil mereka terbalik. Seharusnya kamu mengingat bagaimana kejadian itu terjadi dengan sangat jelas. Aku melihatmu diinterogasi seorang polisi.""Aku? Malam tahun baru?" "Ya, ingatlah tiga tahun yang lalu. Bukankah kau yang mengemudi kendaraan dengan ugal-ugalan? Malam itu mobil yang kau tump
Cibiran Aziya sontak membuat Reza geram. Aziya samasekali tidak terprovokasi dengan kondisi Reza yang mengejeknya dan justru membalasnya dengan ucapan pedas."Setidaknya aku tidak sekere kamu, Ziya. Kau terlihat menyedihkan dengan baju yang kau pakai sejak menjadi istriku itu, apa kamu jadi babu sekarang dan tidak sanggup lagi beli baju yang layak?" Kini Aziya membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Reza, kali ini memberikan tatapan menakutkan."Diam mulutmu! Kamu sudah tidak punya hak menilai penampilanku!"Sesaat kemudian pintu lift terbuka, dan ternyata mereka memiliki tujuan yang sama yaitu ke ruangan Galih atasan mereka. Aziya membiarkan Reza lebih dulu keluar dan masuk ke pintu Galih, terutama karena ia harus memakai tongkat dan tertatih saat berjalan. Reza hanya menyorotkan kekesalannya saat melintas di hadapan Aziya sekaligus sorotan mengejek karena lambat berjalan.Setelah Reza masuk ke ruangan tersebut, Aziya kemudian juga masuk
Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi setelah mobil tersebut masuk jurang.Akan tetapi tentu saja Galih memiliki rekaman seluruhnya kejadian tersebut.Mobil itu terperosok ke dalam jurang setelah terbolak-balik beberapa kali. Beruntung mobil itu tidak meledak karena mesin sepertinya sudah mati. Kemudian video pengangkatan korban juga ditunjukkan dengan jelas di situ yang merupakan dua orang kesayangan Galih."Kau bisa melihatnya bukan? Bagaimana kejadian seperti ini bisa lolos dari kepolisian? Siapa kamu sebenarnya?""Apa maksudmu? Tak ada kejadian apapun yang menunjukkan aku terlibat di sini. Ini sangat bodoh!" umpat Aziya.Galih menekan tombol lain untuk memindahkan video."Bagaimana dengan ini?" katanya lalu menunjukkan siapa yang baru saja keluar dari mobil tersebut.Saat itu seorang pria keluar dari mobil dan Aziya sangat mengenalinya. Akan tetapi Reza bukanlah pengemudi mobil tersebut."Mas Reza?"
Bulu kuduk Aziya meremang, seolah mendapatkan sentuhan magnet berkekuatan super menyapu sisi tengkuk dan telinganya.Mengalirkan energi panas yang tak pernah ia alami bahkan saat menikah selama sepuluh tahun dengan Reza.Ia harus menelan ludah untuk menghilangkan kegugupan yang ia rasakan saat ini.Siapa yang perduli bagaimana kerasnya ia menekan harga diri dan juga akal sehatnya untuk tidak jatuh dalam pesona aneh pria ini. Ia mulai meragukan dirinya sendiri!"Aku tidak mau!" bantah Aziya dan meronta hendak dilepaskan namun sebenarnya ada yang mendorongnya untuk bertahan."Pikirkanlah... bahkan aku tak bisa tertolong saat ini..." desis Galih dengan seksi menggoda Aziya. Namun sayangnya Aziya pun mengakhiri godaan Galih dengan menginjak ujung sepatu Galih kuat-kuat menggunakan ujung tongkat berjalan miliknya.Sontak Galih melepaskan pelukannya dan berteriak."Akkhh!" Galih memekik kesakitan atas tindakan Aziya sementara Aziya terlempar ke lantai
Takdir memang selalu menjadi misteri hidup manusia. Akan tetapi apakah takdir Aziya bertemu Arkan adalah takdir yang sesungguhnya?Aziya merasa Arkan adalah pria yang baik, akan tetapi entah kenapa ia merasa tidak ada perasaan yang lebih dari sekedar teman lamanya."Aziya, aku sengaja membeli bunga ini karena aku tahu kamu dulu sangat menyukainya. Aku tahu kamu senang dengan aroma mawar dan warna merah yang cantik ini. Apa kamu suka?""Tentu saja Arkan. Aku masih menyukai warna merah dari bunga mawar dan juga aromanya. Aku suka tapi sebenarnya tidak perlu melakukannya...ini membuatku malu," kata Aziya."Kenapa harus malu, ini bukan apa-apa."Malam itu jalanan tidak terlalu ramai. Arkan sengaja tidak melaju terlalu cepat supaya bisa menikmati suasana malam hari. Mereka berbincang dengan bahagia mengenang masa sekolah dulu."Ziya, aku masih menyimpan buku matematika yang kau pinjamkan dan belum sempat aku kembalikan, apa kamu membu