Dari dekat, barulah Via mengerti siapa yang sedang berada di restoran miliknya. Dia adalah Galih, pria brengsek yang mempermainkan perasaan sahabatnya. Dia adalah seorang pria yang menjadikan pernikahan sebuah permainan, bagaimanapun ia tidak bisa menerima perlakuan lelaki ini pada sahabatnya."Apa ini? Kenapa makanan restoran kita dikembalikan? Sebaiknya komplain harus ditangani dengan tegas karena bisa jadi seseorang sedang berusaha merusak reputasi restoran kita," kata Via, ia bersedekap ketus saat berbicara pada karyawannya demi menyinggung Galih."Begini Bu... ""Ini restoran ku, kalau tidak suka siapapun boleh mencari restoran lain tanpa melakukan perbuatan-perbuatan tidak hormat."Galih juga heran, apa yang telah membuat wanita ini tersinggung? Tentu saja ia akan membayar penuh semua yang dia beli, tanpa mengurangi rasa hormat. Akan tetapi ia tidak bisa menelan masakan yang baru saja dihidangkan. Ia harus membeli makanan yang lain dan tidak berbau amis.Galih berdiri, berhadapa
Elena begitu tercengang dengan putra yang dengan terang-terangan berani melamar Aziya, tamu terhormatnya. Ia tidak bisa membayangkan perasaan Aziya saat ini, apakah wanita itu baik-baik saja mendengarkan ocehan putranya?"Pergilah, Deo, kau tidak harus mengganggu kami," tegas ibunya mengusir putranya."Astaga, ibu sangat protektif sama dia, aku jadi penasaran, sebenarnya siapa sih yang anak ibu," gerutunya tapi tetap menurut pergi karena Aziya terlihat canggung. "Biasanya, ibu yang memohon supaya aku datang, tapi sekarang ibu malah mengusirku, tapi baiklah... demi calon menantu ibu, aku rela buat pergi," oceh Deo lagi.Elena menggelengkan kepalanya karena kelakuan Deo yang sangat membuatnya resah. "Maafkan Deo, Aziya. Dia memang suka jadi biang kerok kalau di rumah," terang wanita itu karena menyesali suasana yang tadi tenang malah jadi tegang karena ulah Deo."Nggak apa-apa, Bibi, Deo memang masih suka bebas, sehingga ia mengatakan apapun yang dia mau," jawab Aziya."Benar katamu, a
"Kau yakin?" sekali lagi Reza bertanya soal kesanggupan Davina merawat kedua anaknya. Hanya saja siapa yang akan mbawa mereka datang?"Aku yakin, Mas. Aku bisa menjaga mereka kok."Reza termenung, ia bahkan belum memikirkan hal lain. Ia tidak yakin Davina bisa sebaik Aziya dalam merawat kedua anaknya, mengingat Davina selalu sibuk dengan hal-hal di luar rumah."Kita akan memikirkannya nanti, Davina. Selain itu kalian mengatakan bahwa Aziya berada di Malaysia di rumah kerabat kalian, akan sulit kalau kita harus ke Malaysia mengambilnya, aku yakin Aziya tidak akan melepaskan anak-anak.""Tenang saja, Mas. Aku tahu di mana rumah bibi Elena. Kita akan mengambilnya diam-diam tanpa sepengetahuan Aziya."Reza sebenarnya merasa ragu, tapi ia sangat penasaran dimana Aziya sekarang berada, dan bagaimana kondisinya saat ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu sehingga harus pergi begitu jauh. Jadi ia memutuskan untuk mengiyakan saja ide Davina."Baiklah, tetapi terserah saja jika itu ya
Wanita yang sangat dikenali Reza karena telah menjadi istrinya itu berlari bersembunyi dibalik tubuh Reza dengan ketakutan. Ia menangis dan mengatakan, "Di-dia... melecehkanku, dia memaksaku berada di ruangan ini," ujarnya membuat empat atau lima orang yang ada di situ membuka telinganya lebar-lebar, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Galih sangat terkejut, ini adalah fitnah dari mulut keji seorang perempuan, bawahannya sendiri. Bagaimana mungkin ia melecehkan seorang perempuan bersuami dan bahkan memiliki sejarah menyedihkan dengan istrinya."Davina... kau bicara... kau gila?!" pekik Galih. "Apa maksudmu, Davina? Mana mungkin pak Galih melecehkan....," kata yang lainnya."Apa kalian tidak melihatnya, bagaimana lelaki ini menarik pakaianku?" balasannya untuk meyakinkan semua orang yang ada di sana dengan menunjukkan robekan pada pakaiannya.Mereka saling melihat, antara percaya dan tidak. Hanya saja bukti yang ditunjukkan Davina membuat mereka ragu."Kalian p
Galih sungguh terperangah, disisi lain ia tahu Davina pasti punya rencana lain. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba menjadi baik hati kepadanya?"Hmm, itu cukup menarik, tapi apa sebenarnya tujuan kamu sehingga berpikir untuk memberitahu keberadaan Aziya? Aku merasa khawatir kau punya tujuan lain, bukankah begitu?"Aziya tertunduk, Galih memang tidak sebodoh itu memahami sikapnya yang seketika ingin membantu."Saya hanya berpikir itu adalah informasi yang Pak Galih butuhkan, dan sebagai gantinya saya minta maaf atas kejadian tadi... uhmm, Pak Galih tahu sendiri, di sana ada Reza suamiku, aku tidak tahu harus bagaimana," ujarnya seolah-olah dia bisa mengatasi Galih dengan sandiwara palsu itu."Hanya itu yang kau mau?""Uhm... iya Pak," angguk Davina."Baik, sekarang katakan padaku di mana Aziya berada. Kalau perlu berikan nomor telepon yang bisa kuhubungi di sana."Wajah Davina langsung berubah senang, tak sia-sia ia berusaha meyakinkan Galih dan iapun mendapatkan pengampunan dari atasannya
"Maafkan aku, sepertinya aku tidak berpikir untuk menikah lagi meskipun harus bercerai dengan suamiku. Selain itu aku tidak mau lagi mendengar candaanmu lagi, karena itu sangat menyakiti perasaanku. Bisakah kau melakukannya untukku, Deo? Jika tidak, aku mungkin harus segera pergi dari rumah ini, supaya semua menjadi lebih baik untuk kita berdua," kata Aziya dan iapun pergi meninggalkan ruang makan tersebut, menahan rasa sakit dan beban yang begitu menghimpit dadanya.Ia bahkan harus meneteskan air matanya untuk yang kesekian kalinya, ia tak bisa menahan kesedihannya saat ini.Deo terpaku, ia menatap kepergian Aziya yang terlihat sangat kecewa padanya. Ia sedikit menyesal sekarang karena membuat Aziya sedih. Padahal ia bermaksud ingin menjadi bagian dari kehidupan Aziya dengan tulus."Sial! Kenapa mulutku selalu saja terlalu terburu-buru?" kesalnya pada dirinya sendiri.###"Davina, apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Bisakah kau berterus terang kepadaku?" tanya Reza setelah tiga hari
Davina benar-benar tercekat dengan keputusan Reza saat ini. Bagaimana bisa lelaki ini berusaha mencampakkan dirinya setelah kesalahan kecil yang ia lakukan? Ini sungguh tidak masuk akal baginya.Ia menatap benci dan marah dengan pria itu, ia tidak sudi dengan ketidak adilan Reza."Mas... kau sadar dengan apa yang kau ucapkan? Bukankah aku melakukannya demi kita berdua? Bagaimana bisa hanya aku yang menanggung semuanya?" protes Davina."Hmm, terserah padamu, yang jelas aku hanya memberimu dua pilihan itu!""Tidak! Aku tidak mau bercerai, Mas!" jawab Davina sambil terus menggelengkan kepalanya.Reza tersenyum miring mendengar betapa ketakutannya Davina jika diceraikan, "Bagus, aku akan menerimamu dengan syarat kau harus menunjukkan di mana Aziya dan kedua anakku berada."Davina menggigit bibirnya pilu, ia tak tahu apakah ini rencana Reza sebenarnya, pria ini sungguh ingin berkumpul dengan mantan istrinya itu? Dia pun teringat dengan Galih yang juga berusaha mati-matian mencari keberada
Galih benar-benar kaget sehingga kedua bola matanya membola. Suasana tegang membuatnya terpaku pada gadis kecil yang melongok ke dalam mobilnya. "Om Direktur mau masuk rumah?" tanya gadis kecil itu kemudian."Humaira, bisakah masuk mobil ini saja?" kata Galih sedikit tergagap.Gadis itu tersenyum, akan tetapi menurut dengan permintaan Galih. Setelah masuk dan duduk manis di sana, bocah itu mengikuti pandangan Galih yang sedang melihat Reza dan Davina di sana, menunggu seseorang membuka pintu gerbang setelah menekan bel rumah."Sepertinya ayahmu datang, Humaira?" tanya Galih pada gadis itu."Entahlah, aku yakin ibu tidak tahu hal ini," jawab gadis itu singkat."Apakah ibu baik-baik saja، Humaira?"Gadis kecil itu mengangguk cepat dan tersenyum, seolah mengerti keinginan tahuan Galih dan tidak ingin Galih merasa cemas."Oh, syukurlah. Tapi ... kenapa kau tidak lagi memanggilku papa Galih? Apakah aku tidak lagi menjadi ayahmu?"Kali ini Humaira menunduk, sembari melihat ayahnya yang mas