"Maafkan aku, sepertinya aku tidak berpikir untuk menikah lagi meskipun harus bercerai dengan suamiku. Selain itu aku tidak mau lagi mendengar candaanmu lagi, karena itu sangat menyakiti perasaanku. Bisakah kau melakukannya untukku, Deo? Jika tidak, aku mungkin harus segera pergi dari rumah ini, supaya semua menjadi lebih baik untuk kita berdua," kata Aziya dan iapun pergi meninggalkan ruang makan tersebut, menahan rasa sakit dan beban yang begitu menghimpit dadanya.Ia bahkan harus meneteskan air matanya untuk yang kesekian kalinya, ia tak bisa menahan kesedihannya saat ini.Deo terpaku, ia menatap kepergian Aziya yang terlihat sangat kecewa padanya. Ia sedikit menyesal sekarang karena membuat Aziya sedih. Padahal ia bermaksud ingin menjadi bagian dari kehidupan Aziya dengan tulus."Sial! Kenapa mulutku selalu saja terlalu terburu-buru?" kesalnya pada dirinya sendiri.###"Davina, apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Bisakah kau berterus terang kepadaku?" tanya Reza setelah tiga hari
Davina benar-benar tercekat dengan keputusan Reza saat ini. Bagaimana bisa lelaki ini berusaha mencampakkan dirinya setelah kesalahan kecil yang ia lakukan? Ini sungguh tidak masuk akal baginya.Ia menatap benci dan marah dengan pria itu, ia tidak sudi dengan ketidak adilan Reza."Mas... kau sadar dengan apa yang kau ucapkan? Bukankah aku melakukannya demi kita berdua? Bagaimana bisa hanya aku yang menanggung semuanya?" protes Davina."Hmm, terserah padamu, yang jelas aku hanya memberimu dua pilihan itu!""Tidak! Aku tidak mau bercerai, Mas!" jawab Davina sambil terus menggelengkan kepalanya.Reza tersenyum miring mendengar betapa ketakutannya Davina jika diceraikan, "Bagus, aku akan menerimamu dengan syarat kau harus menunjukkan di mana Aziya dan kedua anakku berada."Davina menggigit bibirnya pilu, ia tak tahu apakah ini rencana Reza sebenarnya, pria ini sungguh ingin berkumpul dengan mantan istrinya itu? Dia pun teringat dengan Galih yang juga berusaha mati-matian mencari keberada
Galih benar-benar kaget sehingga kedua bola matanya membola. Suasana tegang membuatnya terpaku pada gadis kecil yang melongok ke dalam mobilnya. "Om Direktur mau masuk rumah?" tanya gadis kecil itu kemudian."Humaira, bisakah masuk mobil ini saja?" kata Galih sedikit tergagap.Gadis itu tersenyum, akan tetapi menurut dengan permintaan Galih. Setelah masuk dan duduk manis di sana, bocah itu mengikuti pandangan Galih yang sedang melihat Reza dan Davina di sana, menunggu seseorang membuka pintu gerbang setelah menekan bel rumah."Sepertinya ayahmu datang, Humaira?" tanya Galih pada gadis itu."Entahlah, aku yakin ibu tidak tahu hal ini," jawab gadis itu singkat."Apakah ibu baik-baik saja، Humaira?"Gadis kecil itu mengangguk cepat dan tersenyum, seolah mengerti keinginan tahuan Galih dan tidak ingin Galih merasa cemas."Oh, syukurlah. Tapi ... kenapa kau tidak lagi memanggilku papa Galih? Apakah aku tidak lagi menjadi ayahmu?"Kali ini Humaira menunduk, sembari melihat ayahnya yang mas
Ini adalah mimpi buruk jika semua itu benar adanya. Akan tetapi baik Reza, Davina ataupun Galih masih belum percaya dengan semua ini.Pria itu menatap tajam pada Deo yang menggandeng Aziya. Ia tidak menyukai pria yang berpenampilan urakan seperti ini, apalagi kalau sampai jadi suami Aziya."Kita belum bercerai, kau tak mungkin bisa menikah dengan orang lain," tegas Galih saat itu.Status mereka masih sah suami istri, dan ia tidak akan pernah menceraikan Aziya."Oh, kalau begitu kau bisa menceraikan dengan segera, toh kamu juga mau menikahi wanita mengambil putriku bersamaku," katanya dan membuat Aziya sangat terkejut.###Galih termenung di kamarnya. Kejadian di rumah Elena membuatnya terpuruk. Tak sedetikpun ia bisa melupakan kekacauan yang ada di sana. Baik dirinya ataupun Reza adalah tamu asing yang mendapatkan pengusiran dari Aziya.Wanita itu marah dan mengamuk saat disebutkan bahwa Reza hendak mengambil Humaira putrinya sehingga Aziya kalap dan melempari mereka semua barang yang
Aziya terperangah dengan ucapan Deo yang mengetahui soal kehamilannya. Ia menatap cemas pada pria di hadapannya."Ba-bagaima kamu tahu kalau aku hamil... kau...""Entahlah, aku cukup tahu dari guratan wajahmu, aku punya banyak teman wanita dan mereka akan terlihat seperti itu jika hamil. Anggap saja aku menebak dan ternyata aku benar," ujarnya meskipun sebenarnya tidak seperti itu. Ia tidak sedang menebak, tapi ia menemukan selembar kertas pemeriksaan kehamilan yang terjatuh di lantai semalam.Ia sempat terkejut dan kecewa, tapi ia ingin tahu siapa ayah dari bayi itu sebenarnya."Benarkah? Ta-tapi...""Oke, aku bisa merahasiakannya dari siapapun termasuk ibuku, Aziya. Akan tetapi apakah kau akan menjalani kehidupan menyedihkan ini selamanya?"Aziya hanya terdiam, ia memainkan dengan meremas jemarinya sendiri."Bagaimana kalau kita menikah saja untuk melindungi bayimu itu? Aku yakin kau punya rencana mempertahankan bayi itu dan bersembunyi, bukankah begitu?"Aziya menelan ludah sendiri
Ia tak mengerti bahwa sejauh ini apakah semuanya akan baik-baik saja. Apakah dirinya akan baik-baik saja dan apakah bayinya akan baik-baik saja, lalu bagaimana dengan Galih... apakah pria itu juga akan baik-baik saja?Deo mengantarkan Aziya ke dalam klinik untuk memeriksakan kandungannya. Dengan telaten pria itu menemani Aziya seperti seorang suami terhadap istrinya.Aziya begitu terharu melihat janin yang tumbuh di dalam perutnya. Ia bahkan merasa sangat bahagia."Tentu saja aku sangat bahagia memilikimu," ujarnya lirih, mengenang perjalanannya bersama Galih, jujur ia masih belum bisa melupakan bagaimana ia sempat begitu mencintai Galih meskipun hanya sesaat.Dan kini, bagaimana ia tak berharap untuk bisa bersama Galih lagi? Dia adalah ayah dari bayi yang dikandungnya."Bayinya sangat sehat, selamat ya. Oh ya, anda suaminya?" tanya dokter wanita yang memeriksa Aziya."Benar, saya adalah suaminya. Apakah kondisi istriku baik?""Hmm, sangat baik. Ini adalah triwulan pertama dan semuany
"Jaga dirimu, Aziya...," suara serak Galih menghanyutkan perasaan wanita yang menatap sendu ke arahnya itu. Ingin rasanya Aziya memeluk dan mengungkapkan semuanya sekarang ini, akan tetapi ia merasa sangat bodoh jika melakukannya.Ia harus meyakinkan dirinya bahwa Galih bukan untuknya lagi. Ia harus menempuh jalan ini seorang diri dan melupakan segalanya.Aziya melepaskan tangan Galih dan menatap pria itu sambil tersenyum."Kau juga, jagalah dirimu baik-baik ya, kuharap kau bahagia di sana. Tapi maaf, aku tidak memiliki apapun untuk membalas hadiahmu." kata Aziya dengan perasaannya yang mendalam, ia sungguh mengatakannya penuh cinta, bukan benci!"Bisa bertemu denganmu adalah hadiah terbesar bagiku, Aziya. Aku tidak akan pernah lupa dengan senyum indahmu, tidak sekalipun. Percayalah, aku selalu berharap kamu bahagia."Mereka hanyut dalam tatapan cinta dan rindu, namun tidak ada yang bisa mengatasi kejujuran saat ini kecuali tatapan itu sendiri.Pertemuan singkat dalam perpisahan itu
"Apa kau bilang? Anak Aziya itu mirip denganku?" tanya Galih semakin penasaran, membayangkan bagaimana bisa Aziya memiliki anak yang mirip dengannya sementara wanita itu bersama laki-laki lain.Leo menyesal sekarang dengan menyebutkan semua itu yang sebenarnya cuma iseng, karena Sekar Galih malah ingin tahu lebih banyak lagi soal keluarga Aziya. Seharusnya ini semua tidak terjadi kalau saja Galih mau berpikir waras dengan melupakan saja wanita itu. Rasanya dirinya pun jadi terlibat hubungan konyol diantara mereka."Galih, kau tidak harus melakukan semua ini bukan? Sudahlah, lupakan saja keluarga mereka. Kau juga harus menemukan kebahagiaan tanpa harus seperti ini. Aku sedih kalau kau selalu begini," keluh Leo. "Leo, kau sahabatku bukan? Aku bahagia kok, kamu nggak usah kuatir soal hidupku. Oh ya, aku memang mau melihat mereka akhir bulan ini, aku ingin melihatnya secara langsung, anak itu pasti sangat tampan karena ibunya cantik," cicitnya tanpa perduli kekesalan Leo."Huh, terserah