Manusia itu bisa berubah dalam hitungan hari, jam, menit maupun detik. Manusia bukanlah makhluk kaku. Manusia itu dinamis, termasuk Biya sendiri. Ketika mendapat stimulus, apapun itu, pasti akan memengaruhi perilaku maupun saat mengambil suatu keputusan. Biya menghela napas panjang ketika menghadapi hari Senin dan nanti diharuskan kembali bertatap muka dengan Dalvin.
06.25
[Maya: Gue nggak masuk kerja hari ini]
[Maya: Perut gue sakit banget. Kemarin hari pertama datang bulan. Gue udah izin ke bagian HR]
[Maya: Nanti pas lo pulang ke apart, boleh titip obat nyeri ga? Obat gue tinggal satu :(]
“Pagi, Fi.”Fidelia menoleh ke arah Biya yang ‘tumben’ sekali datang padanya. Fidelia duduk di balik meja, menatap Biya yang berdiri di depan kubu pembatas. Hanya mereka berdua karyawan yang baru datang pagi ini. Kedua alis Biya terangkat tinggi dan senyum kaku pun terukir di bibir. Memperlihatkan bahwa Biya super terpaksa; kaku nan canggung ketika bicara pada Fidelia pagi ini.Ya, sebenarnya mereka juga jarang bicara. Mereka bicara seperlunya sebagai seorang rekan kerja. Tidak pernah makan siang di kantin berdua atau bertukar nomor telepon.‘Anjir, canggung banget.’Biya memilih bicara pada Fidelia bukan tanpa alasan. Biya bicara pada Fidelia, karen
Gama disambut hangat oleh sosok mama—Yani—ketika melangkah masuk ke dalam rumah. Gama memeluk erat Yani kemudian melihat jam dinding di ruang tamu yang jarum pendeknya mengarah pada angka delapan. Wajah Gama terlihat penuh penyesalan saat meminta maaf, “Maaf aku pulangnya kemalaman, Ma. Tadi ada pekerjaan yang nggak bisa aku tinggal.”“Iya, nggak papa. Kamu sudah makan?” Yani melontarkan pertanyaan pada sang anak. “Belum,” Gama menjawab seraya celingukan mencari sosok sang kakak perempuan, “Ce Celine mana?”“Cece lagi keluar sama pacarnya. Biasalah. Tadi pacarnya bawain nasi goreng sama lauk lainnya. Kamu mau makan itu atau pesan di luar aja? Tadi Mama nggak masak.”“Makan makanan yang dibawain pacarnya Ce Celine aja. Aku mandi dulu ya ber
“Bi, ini surat izin cuti gue,” Maya menyerahkan amplop putih berisi selembar kertas surat izin cuti di atas meja makan selagi Biya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut. Biya menganggukkan kepala pelan. “Makasih, ya, besok tolong serahkan ke Pak Baskoro … eh, maksud gue, Pak Dalvin.” Maya mengoreksi di akhir, karena ingin melihat reaksi Biya.Sayang, Biya tetap tampak tidak bersemangat akibat terkejut seolah baru saja mendapat kejadian tidak terduga dan pandangannya masih menerawang. Manik cokelatnya tidak terarah pada Maya yang semakin kebingungan.Maya tahu dan yakin jika ada suatu hal yang baru saja terjadi antara Biya dan Dalvin, tapi enggan mencari tahu lebih jauh, karena tidak mau memicu pertengkaran di antara mereka lagi. Keyakinan Maya didasari oleh sesuatu yang kuat. Apa? Cerita Biya usai tadi sampai di apartemen.
Sesampainya di tempat kerja, aku buru-buru masuk ke dalam lift perusahaan tanpa menyapa satpam yang biasa kusapa di depan ambang pintu setiap pagi. Napasku terengah. Aku terlambat setengah jam. Di tengah lift yang masih menuju ke lantai departemenku, aku fokus menata rambut menggunakan jemari dan memanfaatkan kamera ponsel. Lift berbunyi beriringan dengan pintu yang terbuka. Aku bergegas melangkah masuk ke dalam ruang departemenku. Sialnya, aku sedikit terlalu bersemangat saat membuka pintu sehingga menimbulkan bunyi yang menarik perhatian semua orang dalam ruangan. Seluruh karyawan menatapku seakan-akan aku adalah orang asing yang salah masuk ruangan. Dalam sekejap, rona merah padam menjalari pipi bebarengan dengan sensasi panas akibat malu. Bibirku sempat terkatup rapat sebelum aku memberanikan diri berjalan menuju ke meja kerjaku dan mengucapkan, “Maaf saya terlambat.” Yang membuatku semakin malu adalah Pak Dalvin. Pak Dalvin duduk di balik meja, sama sekali tak melirik, dan ente
Aku tahu semua orang kasihan padaku dari cara menatap mereka saat aku kembali bekerja. Sorot mata mereka menjerit 'Ih, nggak tega, dia abis dimarahin sama Bu Vidya. Mana jahat banget marahinnya di depan umum kayak gitu'. Mereka membuatku semakin tidak percaya diri untuk menunjukkan wajah di tempat kerja. Aku terlalu malu berinteraksi dengan siapapun ... Ya, walaupun tidak semua karyawan seperti itu. Ada juga yang menatap biasa saja seolah tidak terjadi apapun tadi.Benar kata Gama, berinteraksi dengan orang kurang baik dijadikan sebagai pembelajaran dalam hidup saja. Tidak semua pelajaran dalam hidup menyenangkan, tapi setidaknya aku masih bisa bernapas dan berjalan dalam menjalani hari."Sis, are you okay?" Fidelia mengetuk kubu pembatas di hadapanku ketika jam pulang tiba. Satu per satu karyawan mulai meninggalkan ruangan untuk pulang di saat aku masih termenung—ada tanggungan pekerjaan sehingga tidak bisa pulang cepat. Aku terpaksa lembur hari ini. "Bu Vidya jahat banget marahinnya
Perempuan mana yang rela tidak mengantri untuk memperoleh kesempatan menjadi kekasih Gama? Dari sekian perempuan, aku mendapat kesempatan tersebut tanpa perlu berusaha seperti mereka. Aku seperti diberi barang berharga yang tidak mungkin digerus waktu. Jika aku menjadi kekasih Gama, pasti banyak perempuan akan iri padaku dan kemungkinan besar akan mengataiku.Bahwa aku tidak pantas untuk lelaki sesempurna Gama.Memang benar, aku sering mengecewakan, melanggar janji, dan telah kehilangan mahkota berhargaku. Gama tahu beberapa bagian dari kebusukanku dan dia menjadi korban dari keegoisanku. Apa yang dia lihat dariku sampai bisa mengungkapkan, “Let’s date. I will make you the happiest woman in the world.”Aku menggigit bibir bawah bagian dalam ketika sel-sel otakku mulai bekerja. Mataku perlahan memanas saat masih menatap lekat manik cokelat Gama. Gama terkejut dan menangkup pipi kananku. Aku bisa merasakan hangatnya permukaan tangan Gama.“Kenapa nangis?” aku menggeleng pelan mendengar
“Saya enggak mau,” untuk kali pertama, Biya memberanikan diri menolak permintaan dari seseorang. Biya menarik tangannya dari genggaman Dalvin. Nafsu seksual telah hilang digantikan oleh rasa tidak senang; badmood. Apalagi Biya juga mengingat bahwa tadi pagi dan siang Dalvin sama sekali tidak membantunya sedikit pun. “Pak Dalvin butuh penjelasan apa dari saya?”Kedua alis Dalvin bertaut dalam dan sorot matanya masih membara. Ada ketidaksukaan, karena melihat Biya bersama Gama. Sejak awal, Dalvin tidak mau Gama berada di dekat Biya—dia merasa posisinya terancam, karena meyakini jika Biya akan pergi darinya.“Bisa kita bicara di kamar kamu aja?” Dalvin sengaja, karena tujuan utamanya adalah membujuk Biya agar tidak marah lagi sekaligus melakukan hal ‘lain’. Tidak ingin status friends with benefits rusak dalam sekejap, karena Dalvin masih membutuhkan perempuan itu. Pun besok adalah tanggal merah.“Kenapa harus di kamar? Kenapa nggak di sini aja?”Dalvin langsung menangkis dengan, “Nggak
“A-ah … “Desahan demi desahan meluncur mulus dari bibir ranum Biya yang berulang kali dicumbu oleh Dalvin. Mereka berada di ruang tengah, duduk di atas sofa, dan bisa menatap wajah satu sama lain yang dipenuhi kabut nafsu. Meski hanya cahaya bulan yang menjadi penerang saat listrik masih belum menyala, namun itu tak menghentikan kegiatan mereka.Biya menggenggam bahu lebar Dalvin saat penis Dalvin melesak masuk ke dalam vaginanya. Biya mendongakkan kepala, matanya terpejam nikmat, dan perlahan Biya menggerakkan pinggul maju-mundur. Bergerak di atas Dalvin untuk kali pertama—Biya merasa begitu nakal, apalagi Dalvin juga menatap si perempuan intens.“P-Pak,” Biya merengek. Menggerakkan pinggul perlahan, karena tidak mampu membendung seluruh rasa nikmat di area bawah yang diciptakan oleh fraksi persetubuhan mereka.“Iya, cantik?” Dalvin bertanya tanpa berhenti menikmati pemandangan di hadapannya. Dalvin menepuk-nepuk pantat Biya; membiarkan perempuan itu menikmati setiap sensasi yang ad