Keheningan yang menyelimuti rumah orangtua Arka begitu pekat, seperti udara yang semakin berat untuk dihirup. Setelah pemakaman, rumah itu tampak sepi, seakan tak ada lagi yang bisa dipertahankan.Semua pelayat sudah pulang, dan yang tersisa hanyalah keluarga yang kini terperangkap dalam kesedihan mereka sendiri. Arka, yang biasanya tampak kuat, kini hanya duduk terdiam di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jauh ke depan. Alea bisa merasakan betapa dalam perasaan yang sedang melanda suaminya, meskipun Arka berusaha keras untuk menahannya.Alea duduk di samping Arka, menggenggam tangannya dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan yang sangat dibutuhkannya. Namun, keheningan itu tetap menguasai, dan setiap kali Alea berusaha berbicara, seolah kata-katanya tidak cukup untuk meruntuhkan tembok kesedihan yang dibangun Arka.“Mas,” Alea mencoba memulai, suaranya lembut, penuh pengertian, “aku di sini, jangan terlalu sedih ya.”Arka hanya menggelengkan kepala pelan, matanya tak ber
Pagi itu, suasana di kantor terasa berbeda. Di ruang rapat yang biasanya dipenuhi dengan diskusi produktif dan perencanaan strategis, kini ada keheningan yang meliputi. Para karyawan duduk dengan rapi di meja besar, namun energi yang biasanya mengalir melalui ruangan itu tampak hilang.Arka, sang ketua tim, tidak hadir, dan suasana itu tidak bisa disembunyikan. Meskipun Dina, yang kini memimpin rapat sementara, berusaha menjaga agar segala sesuatunya tetap berjalan lancar, atmosfernya tetap terasa hampa.Dina berdiri di depan layar besar, mempresentasikan data dan grafik yang diperlukan untuk rapat, namun tidak ada semangat atau kegembiraan dalam suaranya. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk fokus pada presentasi, namun pikirannya terus melayang kepada situasi yang sedang dialami oleh Arka. Kehilangan orang tua adalah hal yang sangat berat, dan Dina tahu bahwa meskipun Arka tidak menunjukkannya, hatinya pasti tengah hancur.“Baiklah, mari kita lanjutkan dengan pembahasan angg
Setelah rapat, Dina mengajak Randy untuk makan siang. Randy dan Dina pertama kali bertemu saat mereka masih kuliah di universitas yang sama, meskipun mereka mengambil jurusan yang berbeda. Dina mengambil jurusan Arsitektur, sementara Randy memilih untuk mendalami jurusan Teknologi Informasi (IT). Meskipun keduanya berada di dunia yang sangat berbeda, mereka bertemu melalui beberapa proyek kampus yang melibatkan kerjasama antar jurusan, terutama di bidang desain dan teknologi.Mereka pernah bekerja sama pada sebuah kompetisi desain dan teknologi yang diadakan oleh fakultas. Dina, sebagai mahasiswa Arsitektur yang lebih senior, terlibat dalam merancang desain dan konsep untuk proyek tersebut, sementara Randy, yang masih di tahun kedua, berperan dalam pengembangan sistem teknologi untuk mendukung proyek desain tersebut. Di sinilah mereka pertama kali bertemu dan mulai saling mengenal.Dina yang lebih berpengalaman di dunia profesional, dengan mudah menjadi panutan bagi Randy. Mereka seri
Suasana di rumah Arka dan Alea terasa lebih hening dari biasanya. Meski keluarga mereka kembali berkumpul, ada ketegangan yang menyelimuti, terutama bagi Arka yang tengah dihantui oleh pilihan besar yang harus ia buat. Di satu sisi, ada perusahaan keluarga yang membutuhkan perhatian, dan di sisi lain, proyek besar yang tak bisa begitu saja ditinggalkan. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah banyak hal. Di ruang tamu, Raka bermain dengan mainan kecil, sementara Alea duduk di sofa dengan ekspresi wajah yang tak jauh berbeda dari suaminya, kebingungan dan cemas. Arka duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas di meja, namun pikirannya melayang jauh. “Alea,” Arka akhirnya memutuskan untuk berbicara setelah beberapa saat hening, “kamu tahu aku nggak bisa memilih antara proyek ini dan perusahaan, kan?” Alea mendekat dan duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk meraih tangannya. “Aku tahu, Mas. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kamu harus memikirkannya. Kalau kamu l
Hari-hari setelah makan siang Randy dan Dina berjalan dengan biasa. Rapat-rapat rutin dilanjutkan, dan meskipun Arka masih tidak sepenuhnya kembali ke kantor, tim terus bekerja di bawah arahan Dina. Namun, meskipun pekerjaan berjalan dengan lancar, ada ketegangan yang terus muncul, terutama antara Dina dan Randy. Dina lebih sering menghubungi Randy untuk mendiskusikan detail teknis proyek, sesuatu yang sebelumnya tidak begitu sering terjadi. Randy mulai merasa bahwa Dina sedang mencoba untuk mendekatinya dengan cara yang halus, namun tetap terkesan profesional. Terkadang, saat percakapan mereka berlanjut lebih lama dari yang seharusnya, Randy merasa seolah-olah Dina menguji sesuatu. Suatu hari, setelah jam kantor berakhir, Randy kembali ke mejanya dan menemukan sebuah email dari Dina. Judulnya hanya satu kata: "Revisi". Di dalam email itu, Dina meminta agar Randy menyelesaikan beberapa revisi pada aplikasi yang sedang mereka kembangkan untuk proyek Tech Hub. Namun, ada catatan t
Randy duduk tertekan di kursi kantornya, pandangannya kosong menatap layar komputernya yang sudah minim aktivitas. Meskipun rapat sudah berakhir dan kerjaan menumpuk, pikirannya masih terpaut pada percakapan dengan Dina beberapa hari yang lalu. Ada sesuatu yang ganjil dalam pembicaraan mereka, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Dina, yang dulu selalu tampak profesional dan tegas, kini mulai menunjukkan sisi lain, sesuatu yang lebih halus, namun penuh dengan perhitungan. Niatnya, meskipun tersembunyi, begitu jelas terasa. Ia tahu, dia tak bisa hanya diam. Kejadian itu harus dibicarakan dengan Arka. Tapi ia juga merasa perlu untuk lebih berhati-hati. Tidak hanya karena hubungan mereka yang kian rumit, tetapi juga karena Arka sedang berada dalam situasi yang sangat rapuh. Dengan ragu, Randy meraih ponselnya dan menekan nomor Arka. Telepon berdering beberapa kali, dan di ujung sana, terdengar suara Arka yang lelah namun tetap penuh perhatian. “Randy,” suara Arka terdeng
Pagi itu, Arka kembali ke kantor setelah beberapa hari absen, memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Meski fisiknya ada di sana, pikirannya masih terpecah. Semua yang terjadi belakangan ini.Arka duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan tugas yang harus diselesaikan. Namun, pikirannya terus menerus kembali ke Dina. Sejak ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, segala sesuatu menjadi berbeda. Proyek yang semula berjalan lancar mulai terasa terhambat, dan Arka merasa ada yang tidak beres.Dina, yang kini mengambil alih beberapa tugas yang biasanya ia pimpin, selalu berhasil menemukan cara untuk menyabotase kemajuan pekerjaan mereka. Tidak langsung, namun cukup halus. Revisi yang tidak tepat, keputusan yang merugikan, atau bahkan pengalihan fokus yang sering kali mengganggu proses kerja.Setiap kali Arka bertanya tentang kemajuan proyek atau meminta klarifikasi, Dina selalu memberikan jawaban yang samar, seperti menghindari pertanyaan yang lebih
Arka duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Meski fisiknya ada di kantor, pikirannya tidak tenang. Dia tahu, apa yang terjadi di balik layar proyek ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.Dina tidak hanya bermain dengan pekerjaan, tapi juga dengan ambisinya sendiri dan Arka mulai merasakannya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya sejak ia kembali ke kantor terasa semakin berat, seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya.Selama beberapa hari terakhir, meskipun tampaknya segalanya berjalan normal, Arka tahu ada yang salah. Dina semakin sering berinisiatif, mengambil peran lebih besar dalam pengambilan keputusan, meskipun proyek ini seharusnya ia yang memimpin. Ketika Arka bertanya, selalu ada alasan yang rasional, jawaban yang terdengar logis, namun selalu ada celah di dalamnya.Hari itu, saat rapat berlangsung, Dina mengajukan sebuah revisi desain besar yang langsung mengubah alur proyek. Padahal, revisi tersebut sangat mendalam dan bi
Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya
Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn
Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco
Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya
Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du
Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan
Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung
Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A
Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek