Randy duduk tertekan di kursi kantornya, pandangannya kosong menatap layar komputernya yang sudah minim aktivitas. Meskipun rapat sudah berakhir dan kerjaan menumpuk, pikirannya masih terpaut pada percakapan dengan Dina beberapa hari yang lalu. Ada sesuatu yang ganjil dalam pembicaraan mereka, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Dina, yang dulu selalu tampak profesional dan tegas, kini mulai menunjukkan sisi lain, sesuatu yang lebih halus, namun penuh dengan perhitungan. Niatnya, meskipun tersembunyi, begitu jelas terasa. Ia tahu, dia tak bisa hanya diam. Kejadian itu harus dibicarakan dengan Arka. Tapi ia juga merasa perlu untuk lebih berhati-hati. Tidak hanya karena hubungan mereka yang kian rumit, tetapi juga karena Arka sedang berada dalam situasi yang sangat rapuh. Dengan ragu, Randy meraih ponselnya dan menekan nomor Arka. Telepon berdering beberapa kali, dan di ujung sana, terdengar suara Arka yang lelah namun tetap penuh perhatian. “Randy,” suara Arka terdeng
Pagi itu, Arka kembali ke kantor setelah beberapa hari absen, memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Meski fisiknya ada di sana, pikirannya masih terpecah. Semua yang terjadi belakangan ini.Arka duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan tugas yang harus diselesaikan. Namun, pikirannya terus menerus kembali ke Dina. Sejak ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, segala sesuatu menjadi berbeda. Proyek yang semula berjalan lancar mulai terasa terhambat, dan Arka merasa ada yang tidak beres.Dina, yang kini mengambil alih beberapa tugas yang biasanya ia pimpin, selalu berhasil menemukan cara untuk menyabotase kemajuan pekerjaan mereka. Tidak langsung, namun cukup halus. Revisi yang tidak tepat, keputusan yang merugikan, atau bahkan pengalihan fokus yang sering kali mengganggu proses kerja.Setiap kali Arka bertanya tentang kemajuan proyek atau meminta klarifikasi, Dina selalu memberikan jawaban yang samar, seperti menghindari pertanyaan yang lebih
Arka duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Meski fisiknya ada di kantor, pikirannya tidak tenang. Dia tahu, apa yang terjadi di balik layar proyek ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.Dina tidak hanya bermain dengan pekerjaan, tapi juga dengan ambisinya sendiri dan Arka mulai merasakannya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya sejak ia kembali ke kantor terasa semakin berat, seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya.Selama beberapa hari terakhir, meskipun tampaknya segalanya berjalan normal, Arka tahu ada yang salah. Dina semakin sering berinisiatif, mengambil peran lebih besar dalam pengambilan keputusan, meskipun proyek ini seharusnya ia yang memimpin. Ketika Arka bertanya, selalu ada alasan yang rasional, jawaban yang terdengar logis, namun selalu ada celah di dalamnya.Hari itu, saat rapat berlangsung, Dina mengajukan sebuah revisi desain besar yang langsung mengubah alur proyek. Padahal, revisi tersebut sangat mendalam dan bi
Pagi itu, Arka kembali ke kantor dengan pikiran yang penuh. Proyek Tech Hub terus berkembang, namun bukan tanpa tantangan. Sejak Dina mengambil lebih banyak alih kendali, setiap keputusan yang diambil terasa semakin berat. Arka tahu, di balik layar, Dina sedang menjalankan rencananya sendiri, dan ia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam permainan yang lebih besar. Tapi itu tidak mudah. Proyek ini, yang semula berjalan lancar, kini menuntut seluruh perhatian dan energi Arka.Hari itu, ia duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan laporan dan email yang masuk. Setiap menit terasa berharga, setiap keputusan harus dipikirkan matang-matang. Arka merasakan tekanan yang luar biasa. Keputusan yang salah bisa berarti kegagalan besar, dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.Tapi meskipun ia berusaha sekeras mungkin, pikirannya tak bisa lepas dari apa yang sedang terjadi di rumah. Alea, istrinya, telah merencanakan untuk pergi ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Selama beberapa minggu
Sore itu, Arka merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat dari biasanya. Dengan tumpukan tugas yang terus menumpuk di mejanya, proyek Tech Hub yang hampir tak ada ujungnya, dan tekanan dari setiap arah yang datang, terutama dari Dina yang semakin menguasai kendali di dalam proyek Arka merasa hampir tenggelam. Setiap detik di kantor terasa semakin panjang, dan setiap keputusan yang ia buat seperti bertaruh pada masa depan yang belum pasti. Pekerjaan ini, yang dulunya penuh dengan semangat dan visi, kini terasa seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Sejak ia mengambil keputusan untuk tetap berada di perusahaan ini, setiap langkah terasa semakin rumit. Ada begitu banyak hal yang harus ia tangani, dari eksekusi proyek hingga menjaga hubungan dengan tim, klien, bahkan dirinya sendiri. Semua itu menggerogoti energi dan waktu yang ada, dan semakin lama, semakin membuatnya merasa terpecah. Di satu sisi, Arka merasa memiliki kewajiban untuk membawa perusahaan keluarga ke l
Setelah pertemuan yang melelahkan dengan Risa, Arka merasa kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga yang akhirnya ia ambil terasa berat, namun juga sebuah langkah besar yang harus dilakukan. Dalam keheningan malam yang mencekam, ia tahu ia harus segera pulang, meskipun banyak pekerjaan yang masih menunggu di kantornya. Sesampainya di rumah, suasana yang sederhana namun hangat menyambutnya. Raka, sedang asyik bermain dengan mainan kereta api di ruang tamu. Alea, duduk di dekat jendela besar dengan kanvas di depannya, tengah fokus pada lukisannya. Alea, dengan tangan yang sedikit berlumuran cat, memandangi lukisannya dengan penuh perhatian. Di lantai, Raka tersenyum riang setiap kali keretanya melaju cepat di atas rel kecil. Melihat pemandangan itu, Arka merasa hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pekerjaan yang belum selesai masih menghantui pikirannya. Raka yang melihatnya langsung berlari kecil menghampiri, memangg
Pagi itu, Alea merasa sedikit lebih ringan. Setelah beberapa hari penuh dengan rutinitas yang melelahkan, ia akhirnya bisa menyempatkan diri untuk mengikuti seminar terapi seni yang sudah ia rencanakan. Seminar itu sudah lama ia nantikan, sebuah kesempatan untuk kembali menghubungkan dirinya dengan dunia seni yang sangat ia cintai. Meskipun perasaan cemas tetap ada, ia merasa ini adalah langkah kecil yang tepat untuk dirinya sendiri. Setelah sarapan bersama Arka dan Raka, Alea bersiap untuk pergi. Ia mengenakan pakaian yang nyaman, siap menyerap ilmu baru dan meresapi ketenangan yang datang bersama seni. Sambil berjalan keluar rumah, ia mengecek ponselnya sejenak untuk memastikan tidak ada pesan penting yang tertinggal. Di jalan menuju seminar, ia merasa lapar dan memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kafe yang terletak di sepanjang jalan. Kafe itu kecil dan nyaman, dengan suasana yang tenang, sempurna untuk menikmati waktu sambil menenangkan pikiran. Begitu masuk, Alea lang
Alea berjalan pelan menuju gedung tempat seminar berlangsung, meskipun pikirannya masih terjerat oleh pesan misterius yang diterimanya. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Seminar yang seharusnya menjadi tempat untuk mengisi jiwa dan pikiran, kini terasa seperti hal yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang sedang mengganggu hatinya. Di dalam ruangan seminar, Alea mencoba untuk fokus. Ia duduk di kursi paling belakang, berusaha untuk menyerap materi yang disampaikan oleh pembicara. Namun, matanya hanya terarah pada papan tulis, sementara pikirannya berlarian jauh, melayang ke pesan yang baru saja ia terima. "Kamu telah mengkhianati suamimu," kalimat itu terus berputar di kepalanya, dan bayangan wajah Randy yang tersenyum kepadanya di kafe tadi semakin jelas. “Siapa yang mengirimkan pesan itu?” tanya Alea dalam hati. Kenapa mereka tahu? Apa yang mereka inginkan dariku? Pikirannya terus berputar-putar. Ia mencoba berkon
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam