Beranda / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 92: Dibalik kebimbangan

Share

Bab 92: Dibalik kebimbangan

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-01 21:08:21

Arka duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Meski fisiknya ada di kantor, pikirannya tidak tenang. Dia tahu, apa yang terjadi di balik layar proyek ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.

Dina tidak hanya bermain dengan pekerjaan, tapi juga dengan ambisinya sendiri dan Arka mulai merasakannya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya sejak ia kembali ke kantor terasa semakin berat, seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya.

Selama beberapa hari terakhir, meskipun tampaknya segalanya berjalan normal, Arka tahu ada yang salah. Dina semakin sering berinisiatif, mengambil peran lebih besar dalam pengambilan keputusan, meskipun proyek ini seharusnya ia yang memimpin. Ketika Arka bertanya, selalu ada alasan yang rasional, jawaban yang terdengar logis, namun selalu ada celah di dalamnya.

Hari itu, saat rapat berlangsung, Dina mengajukan sebuah revisi desain besar yang langsung mengubah alur proyek. Padahal, revisi tersebut sangat mendalam dan bi
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 93: Ketegangan yang Semakin Menjadi

    Pagi itu, Arka kembali ke kantor dengan pikiran yang penuh. Proyek Tech Hub terus berkembang, namun bukan tanpa tantangan. Sejak Dina mengambil lebih banyak alih kendali, setiap keputusan yang diambil terasa semakin berat. Arka tahu, di balik layar, Dina sedang menjalankan rencananya sendiri, dan ia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam permainan yang lebih besar. Tapi itu tidak mudah. Proyek ini, yang semula berjalan lancar, kini menuntut seluruh perhatian dan energi Arka.Hari itu, ia duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan laporan dan email yang masuk. Setiap menit terasa berharga, setiap keputusan harus dipikirkan matang-matang. Arka merasakan tekanan yang luar biasa. Keputusan yang salah bisa berarti kegagalan besar, dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.Tapi meskipun ia berusaha sekeras mungkin, pikirannya tak bisa lepas dari apa yang sedang terjadi di rumah. Alea, istrinya, telah merencanakan untuk pergi ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Selama beberapa minggu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 94: Keputusan yang Menanti

    Sore itu, Arka merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat dari biasanya. Dengan tumpukan tugas yang terus menumpuk di mejanya, proyek Tech Hub yang hampir tak ada ujungnya, dan tekanan dari setiap arah yang datang, terutama dari Dina yang semakin menguasai kendali di dalam proyek Arka merasa hampir tenggelam. Setiap detik di kantor terasa semakin panjang, dan setiap keputusan yang ia buat seperti bertaruh pada masa depan yang belum pasti. Pekerjaan ini, yang dulunya penuh dengan semangat dan visi, kini terasa seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Sejak ia mengambil keputusan untuk tetap berada di perusahaan ini, setiap langkah terasa semakin rumit. Ada begitu banyak hal yang harus ia tangani, dari eksekusi proyek hingga menjaga hubungan dengan tim, klien, bahkan dirinya sendiri. Semua itu menggerogoti energi dan waktu yang ada, dan semakin lama, semakin membuatnya merasa terpecah. Di satu sisi, Arka merasa memiliki kewajiban untuk membawa perusahaan keluarga ke l

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 95: Keputusan yang Terucap

    Setelah pertemuan yang melelahkan dengan Risa, Arka merasa kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga yang akhirnya ia ambil terasa berat, namun juga sebuah langkah besar yang harus dilakukan. Dalam keheningan malam yang mencekam, ia tahu ia harus segera pulang, meskipun banyak pekerjaan yang masih menunggu di kantornya. Sesampainya di rumah, suasana yang sederhana namun hangat menyambutnya. Raka, sedang asyik bermain dengan mainan kereta api di ruang tamu. Alea, duduk di dekat jendela besar dengan kanvas di depannya, tengah fokus pada lukisannya. Alea, dengan tangan yang sedikit berlumuran cat, memandangi lukisannya dengan penuh perhatian. Di lantai, Raka tersenyum riang setiap kali keretanya melaju cepat di atas rel kecil. Melihat pemandangan itu, Arka merasa hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pekerjaan yang belum selesai masih menghantui pikirannya. Raka yang melihatnya langsung berlari kecil menghampiri, memangg

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 96: Pesan yang Mengguncang

    Pagi itu, Alea merasa sedikit lebih ringan. Setelah beberapa hari penuh dengan rutinitas yang melelahkan, ia akhirnya bisa menyempatkan diri untuk mengikuti seminar terapi seni yang sudah ia rencanakan. Seminar itu sudah lama ia nantikan, sebuah kesempatan untuk kembali menghubungkan dirinya dengan dunia seni yang sangat ia cintai. Meskipun perasaan cemas tetap ada, ia merasa ini adalah langkah kecil yang tepat untuk dirinya sendiri. Setelah sarapan bersama Arka dan Raka, Alea bersiap untuk pergi. Ia mengenakan pakaian yang nyaman, siap menyerap ilmu baru dan meresapi ketenangan yang datang bersama seni. Sambil berjalan keluar rumah, ia mengecek ponselnya sejenak untuk memastikan tidak ada pesan penting yang tertinggal. Di jalan menuju seminar, ia merasa lapar dan memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kafe yang terletak di sepanjang jalan. Kafe itu kecil dan nyaman, dengan suasana yang tenang, sempurna untuk menikmati waktu sambil menenangkan pikiran. Begitu masuk, Alea lang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 97: Keputusan yang Membawa Petaka

    Alea berjalan pelan menuju gedung tempat seminar berlangsung, meskipun pikirannya masih terjerat oleh pesan misterius yang diterimanya. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Seminar yang seharusnya menjadi tempat untuk mengisi jiwa dan pikiran, kini terasa seperti hal yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang sedang mengganggu hatinya. Di dalam ruangan seminar, Alea mencoba untuk fokus. Ia duduk di kursi paling belakang, berusaha untuk menyerap materi yang disampaikan oleh pembicara. Namun, matanya hanya terarah pada papan tulis, sementara pikirannya berlarian jauh, melayang ke pesan yang baru saja ia terima. "Kamu telah mengkhianati suamimu," kalimat itu terus berputar di kepalanya, dan bayangan wajah Randy yang tersenyum kepadanya di kafe tadi semakin jelas. “Siapa yang mengirimkan pesan itu?” tanya Alea dalam hati. Kenapa mereka tahu? Apa yang mereka inginkan dariku? Pikirannya terus berputar-putar. Ia mencoba berkon

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 98: Kecelakaan yang Menghancurkan

    Suara sirene ambulans menggema di sepanjang jalan yang sepi, mengiringi perjalanan Alea yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur darurat. Randy duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alea yang terasa dingin, mencoba memberikan kenyamanan dalam ketidakpastian yang mengerikan ini. Setiap detik terasa panjang, seperti beban berat yang terus menekan jantungnya. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya. "Alea ... ayo, bertahanlah," bisiknya pelan, meskipun ia tahu bahwa Alea tidak dapat mendengarnya. Wajah Alea tampak pucat, dan napasnya sesekali terengah-engah. Randy merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sisinya, menunggu pertolongan datang. Kecelakaan itu begitu mendalam menggores hati Randy. Semua itu terjadi begitu cepat. Bahkan sebelum ia sempat berbicara lebih banyak dengan Alea, kejadian itu datang begitu mendadak dan menghantam mereka berdua. Randy menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ing

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 99: Keputusan yang Mematahkan

    Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 100: Ketegangan yang Memuncak

    Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03

Bab terbaru

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status