Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda
Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang
Dina menghampiri mereka dengan senyuman lebar, membawa dua kantong plastik berisi makanan dan minuman. Wajahnya terlihat hangat, seolah-olah ia benar-benar peduli dengan situasi yang sedang terjadi. Tapi Randy, yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya, tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang merayap di benaknya.“Aku tahu kalian pasti belum makan,” kata Dina, meletakkan kantong di meja kecil di depan mereka. “Ini, aku bawakan sesuatu untuk kalian. Arka, aku tahu kamu pasti lelah.”Arka mengangkat kepalanya perlahan, menatap Dina dengan tatapan kosong. “Terima kasih, Dina. Tapi aku nggak lapar.” Suaranya terdengar lemah, mencerminkan perasaan yang menguasai dirinya.“Kamu harus makan sesuatu,” desak Dina lembut. “Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Alea nanti?”Randy, yang berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan di dadanya.“Dina,” katanya tiba-tiba, nadanya datar. “Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu sedang sibuk dengan proyek?”Dina menoleh padanya dengan senyuman ya
Randy kembali ke ruang tunggu rumah sakit dengan langkah yang terasa berat, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menambah beban di pundaknya. Ia memandang sekeliling dengan pandangan kosong, lalu berhenti sejenak di depan pintu ruang tunggu.Wajahnya lelah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Ia tidak bisa mengerti mengapa situasi ini begitu rumit, mengapa segalanya harus berputar begitu cepat tanpa pemberitahuan. Sejenak, ia merasakan sesuatu yang ganjil, ada rasa cemas yang semakin menyelip di dalam hatinya, jauh lebih dalam daripada kecemasan terhadap kondisi Alea.Di dalam ruang tunggu yang sunyi itu, Dina masih duduk di sebelah Arka, berbicara dengan suara pelan. Wajahnya tampak penuh simpati, namun Randy bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak terasa tulus.Setiap kali Dina melirik Arka, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat hati Randy semakin waspada. Bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di tengah ketegangan yang meliputi seluruh ruangan? Apa yang seb
Randy tiba di apartemennya dengan langkah berat. Suasana di dalam unit yang biasanya terasa nyaman kini terasa hampa. Ia melemparkan kunci ke meja kecil dekat pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan helaan napas panjang.Pikirannya terus berputar, tak bisa lepas dari kejadian di rumah sakit. Bayangan Alea yang terbaring di ICU, kondisi Arka yang tampak begitu terpukul, dan terutama Dina. Semuanya memenuhi benaknya.Randy mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. “Kenapa semuanya jadi serumit ini?” gumamnya pada dirinya sendiri.Ia teringat percakapannya dengan Dina di lorong rumah sakit. Jawaban-jawaban Dina terdengar masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam tatapan dan nada bicaranya yang membuat Randy tak percaya. Wanita itu terlalu tenang, terlalu terencana.Randy berdiri, berjalan menuju jendela besar di ruang tamunya, menatap kerlip lampu kota yang tidak memberikan ketenangan apa pun.“Dina,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan bayang
Dunia Arka seperti runtuh seketika. Bibirnya terkatup rapat, matanya terbelalak, dan ia merasa seolah-olah semuanya melambat. Jantungnya berdebar keras, namun tak ada suara yang keluar. Seperti ada kekosongan yang merenggut setiap harapan yang ia miliki. “Tidak ... ” Arka berbisik, suaranya terputus-putus, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya berubah pucat, dan tubuhnya merasa semakin berat. Ia merasa seperti tidak bisa bernafas, seolah-olah ada beban yang tak terbayangkan menghempas dirinya. “Dok, Anda pasti salah. Anak kami ... dia masih di sana, kan? Dia pasti selamat, kan?” Tanya Arka dengan suara bergetar, seakan mencoba menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini semua adalah salah paham. Namun, dokter itu hanya menundukkan kepalanya, merasakan kepedihan yang sama, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lembut, namun penuh penyesalan. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan. Namun, trauma yang dialami istri Anda terlalu pa
Pagi itu, ketika matahari sudah cukup tinggi, Randy duduk termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia tak memiliki niat untuk meminumnya. Pikiran-pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sulit ia ungkapkan. Semua yang terjadi kemarin.Semuanya saling berputar dalam benaknya, membingungkan dan menyakitkan. Ia merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan entah mengapa, ia merasa semakin terjebak dalam misteri ini. Tiba-tiba, ingatannya melayang. Cinta, teman baiknya waktu SMA yang juga sangat dekat dengan Alea. Arka dan Cinta bekerja di kantor yang sama. Randy merasa, jika ada orang yang bisa memberi pencerahan tentang hal-hal yang menyelubungi Dina, itu adalah Cinta. Jadi, dengan penuh pertimbangan, ia meraih ponselnya dan mulai mengetik nomor Cinta.Ia menekan tombol panggil, dan menunggu dengan perasaan gelisah. Deringan telepon terdengar lama, seolah-olah memperlambat detak jantungnya, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu berat.
Siang itu, keadaan Alea perlahan mulai stabil. Setelah berhari-hari berada dalam ketidakpastian, akhirnya ia dipindahkan ke ruang perawatan.Meski tubuhnya masih lemah, monitor yang ada di sampingnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang menggembirakan. Suara detak jantungnya terdengar teratur, memberi sedikit harapan bagi Arka yang tidak henti-hentinya menjaga di sisinya. Ruangan rumah sakit itu sunyi, kecuali suara monoton monitor yang setia memantau kondisi Alea. Lampu yang menyinari ruangan terasa dingin, memberikan kesan semakin mencekam.Arka duduk di kursi dekat ranjang Alea, menggenggam tangan istrinya dengan erat. Wajahnya yang tampak lelah, dengan mata merah dan bengkak karena kurang tidur, menunjukkan bahwa ia belum bisa lepas dari kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Ia menatap wajah Alea yang masih tampak tenang meski tertidur, seakan tak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang ia rasakan.Perlahan, Arka membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan Alea yang ia
Siang itu, keadaan Alea perlahan mulai stabil. Setelah berhari-hari berada dalam ketidakpastian, akhirnya ia dipindahkan ke ruang perawatan.Meski tubuhnya masih lemah, monitor yang ada di sampingnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang menggembirakan. Suara detak jantungnya terdengar teratur, memberi sedikit harapan bagi Arka yang tidak henti-hentinya menjaga di sisinya. Ruangan rumah sakit itu sunyi, kecuali suara monoton monitor yang setia memantau kondisi Alea. Lampu yang menyinari ruangan terasa dingin, memberikan kesan semakin mencekam.Arka duduk di kursi dekat ranjang Alea, menggenggam tangan istrinya dengan erat. Wajahnya yang tampak lelah, dengan mata merah dan bengkak karena kurang tidur, menunjukkan bahwa ia belum bisa lepas dari kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Ia menatap wajah Alea yang masih tampak tenang meski tertidur, seakan tak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang ia rasakan.Perlahan, Arka membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan Alea yang ia
Pagi itu, ketika matahari sudah cukup tinggi, Randy duduk termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia tak memiliki niat untuk meminumnya. Pikiran-pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sulit ia ungkapkan. Semua yang terjadi kemarin.Semuanya saling berputar dalam benaknya, membingungkan dan menyakitkan. Ia merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan entah mengapa, ia merasa semakin terjebak dalam misteri ini. Tiba-tiba, ingatannya melayang. Cinta, teman baiknya waktu SMA yang juga sangat dekat dengan Alea. Arka dan Cinta bekerja di kantor yang sama. Randy merasa, jika ada orang yang bisa memberi pencerahan tentang hal-hal yang menyelubungi Dina, itu adalah Cinta. Jadi, dengan penuh pertimbangan, ia meraih ponselnya dan mulai mengetik nomor Cinta.Ia menekan tombol panggil, dan menunggu dengan perasaan gelisah. Deringan telepon terdengar lama, seolah-olah memperlambat detak jantungnya, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu berat.
Dunia Arka seperti runtuh seketika. Bibirnya terkatup rapat, matanya terbelalak, dan ia merasa seolah-olah semuanya melambat. Jantungnya berdebar keras, namun tak ada suara yang keluar. Seperti ada kekosongan yang merenggut setiap harapan yang ia miliki. “Tidak ... ” Arka berbisik, suaranya terputus-putus, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya berubah pucat, dan tubuhnya merasa semakin berat. Ia merasa seperti tidak bisa bernafas, seolah-olah ada beban yang tak terbayangkan menghempas dirinya. “Dok, Anda pasti salah. Anak kami ... dia masih di sana, kan? Dia pasti selamat, kan?” Tanya Arka dengan suara bergetar, seakan mencoba menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini semua adalah salah paham. Namun, dokter itu hanya menundukkan kepalanya, merasakan kepedihan yang sama, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lembut, namun penuh penyesalan. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan. Namun, trauma yang dialami istri Anda terlalu pa
Randy tiba di apartemennya dengan langkah berat. Suasana di dalam unit yang biasanya terasa nyaman kini terasa hampa. Ia melemparkan kunci ke meja kecil dekat pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan helaan napas panjang.Pikirannya terus berputar, tak bisa lepas dari kejadian di rumah sakit. Bayangan Alea yang terbaring di ICU, kondisi Arka yang tampak begitu terpukul, dan terutama Dina. Semuanya memenuhi benaknya.Randy mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. “Kenapa semuanya jadi serumit ini?” gumamnya pada dirinya sendiri.Ia teringat percakapannya dengan Dina di lorong rumah sakit. Jawaban-jawaban Dina terdengar masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam tatapan dan nada bicaranya yang membuat Randy tak percaya. Wanita itu terlalu tenang, terlalu terencana.Randy berdiri, berjalan menuju jendela besar di ruang tamunya, menatap kerlip lampu kota yang tidak memberikan ketenangan apa pun.“Dina,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan bayang
Randy kembali ke ruang tunggu rumah sakit dengan langkah yang terasa berat, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menambah beban di pundaknya. Ia memandang sekeliling dengan pandangan kosong, lalu berhenti sejenak di depan pintu ruang tunggu.Wajahnya lelah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Ia tidak bisa mengerti mengapa situasi ini begitu rumit, mengapa segalanya harus berputar begitu cepat tanpa pemberitahuan. Sejenak, ia merasakan sesuatu yang ganjil, ada rasa cemas yang semakin menyelip di dalam hatinya, jauh lebih dalam daripada kecemasan terhadap kondisi Alea.Di dalam ruang tunggu yang sunyi itu, Dina masih duduk di sebelah Arka, berbicara dengan suara pelan. Wajahnya tampak penuh simpati, namun Randy bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak terasa tulus.Setiap kali Dina melirik Arka, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat hati Randy semakin waspada. Bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di tengah ketegangan yang meliputi seluruh ruangan? Apa yang seb
Dina menghampiri mereka dengan senyuman lebar, membawa dua kantong plastik berisi makanan dan minuman. Wajahnya terlihat hangat, seolah-olah ia benar-benar peduli dengan situasi yang sedang terjadi. Tapi Randy, yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya, tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang merayap di benaknya.“Aku tahu kalian pasti belum makan,” kata Dina, meletakkan kantong di meja kecil di depan mereka. “Ini, aku bawakan sesuatu untuk kalian. Arka, aku tahu kamu pasti lelah.”Arka mengangkat kepalanya perlahan, menatap Dina dengan tatapan kosong. “Terima kasih, Dina. Tapi aku nggak lapar.” Suaranya terdengar lemah, mencerminkan perasaan yang menguasai dirinya.“Kamu harus makan sesuatu,” desak Dina lembut. “Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Alea nanti?”Randy, yang berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan di dadanya.“Dina,” katanya tiba-tiba, nadanya datar. “Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu sedang sibuk dengan proyek?”Dina menoleh padanya dengan senyuman ya
Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang
Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda
Suara sirene ambulans menggema di sepanjang jalan yang sepi, mengiringi perjalanan Alea yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur darurat. Randy duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alea yang terasa dingin, mencoba memberikan kenyamanan dalam ketidakpastian yang mengerikan ini. Setiap detik terasa panjang, seperti beban berat yang terus menekan jantungnya. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya. "Alea ... ayo, bertahanlah," bisiknya pelan, meskipun ia tahu bahwa Alea tidak dapat mendengarnya. Wajah Alea tampak pucat, dan napasnya sesekali terengah-engah. Randy merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sisinya, menunggu pertolongan datang. Kecelakaan itu begitu mendalam menggores hati Randy. Semua itu terjadi begitu cepat. Bahkan sebelum ia sempat berbicara lebih banyak dengan Alea, kejadian itu datang begitu mendadak dan menghantam mereka berdua. Randy menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ing