Beranda / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 105: Teka-teki yang Terungkap

Share

Bab 105: Teka-teki yang Terungkap

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-05 21:24:28

Pagi itu, ketika matahari sudah cukup tinggi, Randy duduk termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia tak memiliki niat untuk meminumnya.

Pikiran-pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sulit ia ungkapkan. Semua yang terjadi kemarin.

Semuanya saling berputar dalam benaknya, membingungkan dan menyakitkan. Ia merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan entah mengapa, ia merasa semakin terjebak dalam misteri ini.

Tiba-tiba, ingatannya melayang. Cinta, teman baiknya waktu SMA yang juga sangat dekat dengan Alea. Arka dan Cinta bekerja di kantor yang sama.

Randy merasa, jika ada orang yang bisa memberi pencerahan tentang hal-hal yang menyelubungi Dina, itu adalah Cinta. Jadi, dengan penuh pertimbangan, ia meraih ponselnya dan mulai mengetik nomor Cinta.

Ia menekan tombol panggil, dan menunggu dengan perasaan gelisah. Deringan telepon terdengar lama, seolah-olah memperlambat detak jantungnya, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu berat.
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 106: Menanti Dalam Diam

    Siang itu, keadaan Alea perlahan mulai stabil. Setelah berhari-hari berada dalam ketidakpastian, akhirnya ia dipindahkan ke ruang perawatan.Meski tubuhnya masih lemah, monitor yang ada di sampingnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang menggembirakan. Suara detak jantungnya terdengar teratur, memberi sedikit harapan bagi Arka yang tidak henti-hentinya menjaga di sisinya. Ruangan rumah sakit itu sunyi, kecuali suara monoton monitor yang setia memantau kondisi Alea. Lampu yang menyinari ruangan terasa dingin, memberikan kesan semakin mencekam.Arka duduk di kursi dekat ranjang Alea, menggenggam tangan istrinya dengan erat. Wajahnya yang tampak lelah, dengan mata merah dan bengkak karena kurang tidur, menunjukkan bahwa ia belum bisa lepas dari kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Ia menatap wajah Alea yang masih tampak tenang meski tertidur, seakan tak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang ia rasakan.Perlahan, Arka membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan Alea yang ia

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 107: Langit Mendung di Hati Randy

    Pagi itu, Randy duduk di dalam mobilnya, memandangi langit yang kelabu. Awan tebal menggantung rendah, seolah mencerminkan kebimbangan yang tak henti-henti mengisi pikirannya. Tidak ada hujan yang turun, tetapi suasana mendung terasa menekan, persis seperti hatinya saat ini. Berat dan penuh tanda tanya. Dengan satu tarikan napas dalam, Randy menyalakan mesin mobil. Denting kecil suara klakson di kejauhan menyusup di antara lamunannya. Ia menatap keluar jendela, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari ini. Hari ini adalah hari rapat penting di kantor Arka. Seharusnya Arka yang memimpin rapat ini, tetapi keadaan Alea yang masih kritis membuatnya tidak bisa hadir untuk waktu yang belum ditentukan. Randy memahami alasan itu, tetapi sesuatu tetap mengganggunya. Fakta bahwa Dina, yang kini memimpin rapat, tampaknya semakin mengambil alih posisi Arka dalam banyak hal. Ada rasa tidak nyaman yang merayapi benaknya, namun ia berusaha menepisnya. Dina adalah kolega profesional,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 108: Tawaran yang Tidak Masuk Akal

    Setelah ketegangan yang menggantung di ruang rapat, Dina berdiri dari kursinya dan menatap Randy. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit ditebak, antara kesal dan sedikit terhibur karena melihat kebingungan di mata Randy. “Kita tidak bisa membicarakan ini di sini,” katanya sambil memungut berkas-berkasnya. “Ayo, aku tahu tempat yang lebih tenang.” Randy ragu sejenak, tetapi ia akhirnya mengikuti Dina keluar dari ruang rapat. Mereka berjalan dalam diam menuju kedai kopi kecil yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Langit masih mendung, angin dingin berhembus pelan, dan Randy merasa semakin tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengerikan di balik ketenangan Dina yang tampak begitu terkontrol. Sesampainya di kedai, Dina memilih meja di sudut yang jauh dari keramaian. Ia memesan secangkir espresso, sementara Randy hanya meminta air mineral. Ketika pelayan pergi, Dina menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya menatap tajam ke arah Randy. “Jadi,” Dina memulai, dengan nada suara yang s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 109 : Ambang Pintu

    Dina tetap duduk di kursinya, mengaduk sisa espresso yang sudah mulai dingin. Dina menyandarkan tubuhnya ke kursi, bibirnya membentuk senyum tipis. Senyum penuh makna. Randy bereaksi persis seperti yang ia perkirakan. Kemarahan. Ketidakpercayaan. Kebingungan. Semua itu terpancar jelas di wajahnya beberapa menit yang lalu. “Dia terlalu lemah untuk ini,” pikir Dina. “Terlalu lurus untuk melihat peluang.” Namun, ada satu hal yang mengusik pikirannya. Randy mungkin tidak semudah itu dimanipulasi. Reaksinya yang tegas, bahkan penuh kemarahan. Bisa menjadi penghalang bagi rencana Dina. Tapi bukan Dina namanya jika ia menyerah. “Dia akan berpikir,” bisiknya pelan sambil memandang ke luar jendela. Awan mendung masih menggantung, membuat suasana semakin suram. “Dan semakin dia memikirkannya, semakin dia sadar bahwa aku benar.” Dina menyesap sisa kopinya perlahan, membiarkan rasa pahit mengalir di tenggorokannya. Seperti rasa pahit yang ia simpan di dalam hatinya selama ini. Cinta ada

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 110: Di Bawah Langit Kelabu

    Di rumah sakit, Arka duduk di samping tempat tidur Alea, menatap wajah istrinya yang masih terlelap dalam koma. Tangannya menggenggam erat jemari Alea, seolah mencoba menyampaikan kekuatan yang tersisa dalam dirinya. Matanya merah karena kurang tidur, pikirannya penuh dengan bayangan semua kesalahan yang telah ia lakukan. Penyesalan menggerogoti dirinya seperti racun. Seluruh dunianya kini hanya berputar pada wanita yang terbaring di hadapannya. “Sayang ... maafkan aku,” bisiknya pelan. Suara alat medis yang monoton menjadi satu-satunya teman kesunyiannya. Arka memikirkan semua kesalahan yang telah ia perbuat, semua janji yang ia langgar, dan semua rasa sakit yang ia sebabkan pada Alea. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tidak pernah berakhir. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Randy melangkah masuk, membawa tas kecil di tangannya. Langkahnya mantap, tetapi wajahnya menampakkan keraguan yang dalam. “Randy?” Arka memandangnya dengan pandangan lelah. Randy

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 111 : Perang Pikiran dan Hati

    Dina sedang bersiap di kantornya. Ia duduk di mejanya, matanya tidak teralihkan dari layar komputer. Hari ini, semuanya harus berjalan sesuai rencana. Ia sudah memutuskan untuk tidak lagi bermain-main. Jika Arka ingin menghadapi kenyataan, maka ia harus siap menghadapi Dina, yang selalu berada di belakang layar dengan rencana yang lebih matang.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," jawab Dina singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Sekretarisnya, Susy, melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas. "Bu Dina, semua jadwal sudah diatur seperti yang diminta. Pak Arka akan datang ke kantor sekitar pukul dua siang nanti."Dina mengangguk, matanya tetap fokus pada layar, namun pikirannya sudah melayang jauh. Ini adalah langkah pertama dari rencana besarnya. Arka akan datang, dan Arka akan melihat betapa mudahnya mengambil kendali atas situasi ini."Baik, terima kasih, Susy," jawab Dina. "Jaga agar semuanya tetap berjalan lancar."Begitu sekretarisnya keluar, Dina mel

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 112: Kehilangan yang Tak Terucap

    Alea merasa gelisah, tubuhnya lemah, dan pikirannya kacau. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring di tempat tidur rumah sakit, dengan satu harapan, mendapatkan penjelasan.Tangannya gemetar ketika ia melihat tombol yang terletak di samping tempat tidurnya. Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol itu dengan lembut, berharap seorang perawat segera datang dan memberinya sedikit kelegaan.Beberapa detik terasa seperti menit, lalu terdengar suara langkah kaki di luar pintu kamar. Pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang perawat muncul dengan senyum ramah di wajahnya.“Selamat sore, Nona Alea. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya perawat itu dengan lembut.Alea menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Perut dan kepala saya ... terasa sangat sakit. Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya di sini?” suara Alea terdengar cemas, seolah ia berusaha mencari kepastian dalam setiap kata.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menghampiri tempat tidur dan memeriks

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 113 : Jarak yang Terlalu Jauh

    Waktu seakan terhenti. Semua suara, semua gerakan, menjadi hampa, menghilang dalam kesunyian yang mencekam. Mata Alea membelalak lebar, terkejut dan bingung, tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja Arka ucapkan. Ia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kebenaran yang datang begitu tiba-tiba. Tetapi kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima.Air mata mulai mengalir, tak bisa lagi dibendung. Hatinya robek, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hancurnya dia saat itu.Alea, dengan suara gemetar, hampir berbisik.“Tidak … itu tidak mungkin. Kamu pasti salah. Dia baik-baik saja, kan? Aku masih bisa merasakannya waktu itu … Aku masih …”Arka memotongnya dengan suara yang pecah karena tangis, “maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mencoba … Aku berdoa setiap saat, berharap keajaiban … tapi kecelakaannya terlalu parah. Dokter bilang tidak ada yang bisa dilakukan…”Alea menggelengkan kepalanya dengan lemah, suaranya semakin tidak karuan. Isaknya semakin keras,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status