Beranda / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 151: Kehancuran dan Awal yang Baru

Share

Bab 151: Kehancuran dan Awal yang Baru

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 14:20:42

Pagi itu, suasana kantor dipenuhi dengan bisikan-bisikan yang tak pernah Dina bayangkan akan tertuju padanya. Setiap langkahnya seolah membawa gelombang keheningan yang aneh. Percakapan yang semula hidup mendadak terhenti saat Dina lewat, hanya untuk digantikan oleh tatapan tajam atau lirikan cepat dari para kolega. Dina berusaha menegakkan kepala, meskipun hatinya penuh kegelisahan.

Wajahnya dipaksakan untuk tetap tersenyum saat ia melangkah masuk ke ruangannya. Namun, ketika ia melihat mejanya, senyum itu langsung pudar. Di atas meja, ada beberapa catatan anonim yang dilempar begitu saja. Dina meraih salah satunya dengan tangan gemetar.

"Kebohonganmu akhirnya terbongkar, ya?"

Tangannya mencengkeram kertas itu erat, lalu ia membuka catatan berikutnya.

"Kamu nggak malu kerja di sini setelah semuanya?"

Dina merasa dadanya sesak. Ia memandang ke luar kaca ruangannya, melihat beberapa rekan kerja berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahnya. Tatapan mereka tidak lagi penuh rasa horm
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 152: Langkah Kecil Menuju Kebahagiaan

    Pagi di Singapura membawa kehangatan yang lembut, meskipun di hati Alea, kehangatan itu belum sepenuhnya terasa. Sinar matahari menembus tirai jendela apartemennya, membangunkannya perlahan. Ia membuka mata, menoleh ke arah Raka yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajah kecil anak itu begitu damai, seperti kanvas kosong yang belum tergores oleh kerasnya dunia.Alea tersenyum tipis, mendekat untuk mengecup kening Raka. “Selamat pagi, Nak,” bisiknya pelan meskipun ia tahu anaknya masih terlelap.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, dan mulai mempersiapkan diri untuk hari yang sibuk. Rutinitas pagi di apartemennya yang kecil tapi nyaman kini menjadi penghibur dalam kehidupan barunya.Hari itu, Alea kembali bekerja di pusat komunitas seni yang menjadi tempatnya berlabuh sejak pindah ke Singapura. Ruangan itu terasa hidup dengan warna-warna cerah yang menghiasi dinding dan meja-meja yang dipenuhi perlengkapan seni. Bau cat dan pastel memenuhi udara,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 153: Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga

    Alea menatap Randy dengan perasaan yang sulit ia namai. Ada kehangatan yang familiar, tetapi juga kegelisahan yang menggantung di udara di antara mereka. Sudah lama sejak seseorang datang menemuinya dengan niat sehangat ini. Sejenak, ia berpikir apakah ia masih pantas menerima perhatian seperti itu."Randy?" Suaranya terdengar seperti bisikan, seolah takut membuyarkan sesuatu yang rapuh. "Kenapa kamu ada di sini?"Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, senyum yang tidak berubah sejak dulu, lalu mengulurkan mawar putih yang tampak kontras di jemarinya yang kokoh. "Aku janji mau ketemu kamu, kan? Dan aku penasaran sama tempat kerja kamu. Jadi, aku pikir, kenapa nggak sekalian bawa ini?"Alea menerima bunga itu dengan gerakan ragu, seolah takut sentuhan pada kelopaknya akan mengungkap sesuatu yang tak ingin ia sadari. Senyum samar terbentuk di bibirnya. "Terima kasih... tapi ini mendadak sekali.""Aku memang nggak suka menunda-nunda, Alea." Randy menatapnya lembut, tetapi di

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 154: Menata Hidup Baru

    Setelah resmi bergabung dengan perusahaan keluarga, Arka memulai harinya lebih awal dari biasanya. Gedung kantor pusat keluarga yang megah di Jakarta kini menjadi tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Di balik meja kerjanya yang besar, ia memandang deretan laporan keuangan, grafik pertumbuhan bisnis, dan proposal proyek. Namun, kali ini, beban tanggung jawab itu terasa berbeda—bukan lagi sebagai seorang arsitek ambisius, tetapi sebagai penerus yang ingin memberikan makna baru pada warisan keluarganya.Setelah rapat selesai, Arka kembali ke ruang kerjanya. Di layar laptopnya, wajah kakaknya, Risa, muncul melalui panggilan video. Risa tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kerjanya di Singapura, tetapi senyumnya tetap ramah.“Bagaimana kabar Jakarta?” tanya Risa, membuka percakapan.“Cukup menantang,” jawab Arka sambil tersenyum tipis. “Tapi aku rasa aku mulai memahami apa yang Ayah rasakan selama ini. Tanggung jawab ini berat, tapi aku ingin membuatnya bermakna.”Risa m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 155: Langkah Randy

    Randy melangkah keluar dari terminal bandara Changi, matanya menatap hiruk-pikuk kota Singapura yang sudah mulai terasa akrab baginya. Perjalanan bisnis yang sering membawanya ke kota ini kini memiliki makna lebih dalam, bukan hanya pekerjaan, tetapi juga kesempatan untuk bertemu seseorang yang mulai mengisi ruang di hatinya.Dalam beberapa bulan terakhir, Randy selalu menyempatkan waktunya untuk bertemu Alea dan Raka setiap kali ia berada di Singapura. Dari awalnya hanya pertemuan singkat, kini pertemuan itu terasa lebih personal. Ada kehangatan yang sulit ia jelaskan setiap kali ia melihat senyum Alea atau mendengar cerita polos dari Raka.---Di sore yang cerah, sinar matahari menyinari taman dengan lembut, memberikan nuansa damai. Randy duduk di bangku taman dekat apartemen Alea, tangannya memegang cangkir kopi hangat. Di depannya, Raka sedang berlari-larian mengejar bola dengan penuh semangat, tertawa ceria. Alea duduk di sampingnya, matanya terus mengawasi anaknya sambil terseny

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 156: Menyatukan Keluarga

    Pagi itu, di sela kesibukannya di pusat komunitas, ponsel Alea bergetar di atas meja. Nama "Kak Risa" muncul di layar, membuat Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo, Kak Risa,” sapa Alea dengan nada ramah namun penuh kehati-hatian.“Halo, Alea,” suara Risa terdengar hangat namun tegas. “Aku mau bicara soal Raka. Aku ingin dia menginap di rumahku selama beberapa hari.”Alea terkejut mendengar permintaan itu. “Menginap, Kak? Tapi—”Risa segera memotong. “Alea, dengar dulu. Aku tahu kamu mungkin merasa ragu. Tapi aku dan keluargaku juga bagian dari hidup Raka. Dia keponakanku, dan anak-anak di rumah selalu ingin mengenal dia lebih dekat. Aku pikir ini bisa jadi momen yang baik untuknya, untuk merasa bahwa dia punya keluarga besar di sini.”Alea terdiam. Pikirannya langsung melayang ke Raka, yang selama ini hanya mengenal dunia kecil yang ia ciptakan untuk melindunginya. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa Raka juga butuh merasakan kasih sayang dari keluarga l

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 157: Pertemuan yang Tak Terduga

    Langit malam Singapura dipenuhi bintang, meskipun gemerlap lampu kota mengaburkan sebagian cahayanya. Alea berjalan pelan menuju apartemennya setelah menghabiskan waktu seharian di rumah Risa. Langkahnya terasa berat karena kelelahan, tetapi hati kecilnya merasa lega karena Raka terlihat bahagia bersama keluarganya.Ketika ia hampir sampai di pintu apartemen, langkahnya terhenti. Sosok yang familiar berdiri di depan pintu, membuat alis Alea terangkat karena terkejut. Randy, dengan jas rapi dan sebuah kotak kecil berbungkus kertas biru di tangannya, berdiri di sana."Randy?" panggil Alea, menatapnya dengan penuh tanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Randy berbalik, menyunggingkan senyum hangat yang khas. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat. Dan… ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”Alea mengerutkan kening, tetapi membuka pintu apartemennya dan mempersilakan Randy masuk. “Mungkin kamu mau bicara di dalam?”Randy mengangguk, mengikuti Alea masuk ke dalam apartemen k

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 158: Keputusan yang Berat

    Restoran kecil itu dipenuhi alunan musik lembut, menciptakan suasana tenang di bawah cahaya lilin. Meja mereka terletak di sudut yang cukup privat, dengan pemandangan menghadap ke Marina Bay yang berkilauan. Alea dan Randy duduk berhadapan, menikmati hidangan penutup yang manis.“Kamu tahu,” kata Randy sambil mengaduk kopinya pelan. “Aku nggak pernah menyangka kalau Singapura akan jadi tempat aku bolak-balik seperti sekarang. Dulu, aku nggak terlalu suka ke sini.”Alea tersenyum kecil, menatap secangkir teh di depannya. “Kenapa? Singapura kan rapi, teratur. Rasanya semua orang suka tinggal di sini.”Randy terkekeh, menatap Alea dengan sorot mata lembut. “Mungkin karena dulu aku datang ke sini hanya untuk urusan kerja dan mengunjungi orangtuaku. Tapi sekarang, ada alasan lain.”Alea mengangkat alis, pura-pura tidak paham. “Alasan lain?”“Ya,” jawab Randy, nada suaranya santai tetapi penuh makna. “Raka sangat menyukai taman-taman di sini. Dan, tentu saja, ada kamu.”Alea tertawa kecil,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 159: Tiga Hati yang Bertaut

    Alea menggigit bibirnya, merasa dadanya sesak oleh campuran emosi yang sulit dijelaskan. “Randy, aku nggak tahu kapan aku akan benar-benar siap. Kalau kamu lelah … aku nggak akan menyalahkanmu.”Randy menatap Alea dengan tatapan yang dalam, seolah-olah ingin memastikan ia mengerti. “Aku nggak lelah, Alea. Karena mencintaimu adalah hal paling alami yang pernah aku rasakan. Jadi, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, oke?”Alea tersenyum kecil, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Randy. Aku nggak tahu apa aku layak mendapatkan ini, tapi terima kasih.”Randy mengangguk sekali lagi sebelum melangkah mundur. “Selamat malam, Alea. Aku harap kamu mimpi indah malam ini.”Alea menatapnya hingga Randy berbalik dan berjalan pergi. Ketika pintu apartemen tertutup, Alea bersandar pada pintu itu, menatap ke arah lantai dengan hati yang penuh kebingungan.Di balkon hotelnya, Randy berdiri dengan tangan di saku jasnya, menatap gemerlap lampu kota Singapura. Malam yang tenang itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19

Bab terbaru

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 160: Masa Lalu dan Masa Depan

    “Alea ... ” suara Arka terdengar di seberang, lembut tetapi sarat emosi. “Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku cuma ingin tahu kabarmu. Kamu ... baik-baik saja, kan?”Alea terdiam sejenak, mencoba menyembunyikan emosi yang mulai berkecamuk. “Aku baik, Arka. Raka juga baik. Dia ... dia menikmati waktunya di rumah Kak Risa.”Arka tersenyum kecil di seberang, meskipun itu tidak terlihat oleh Alea. “Aku senang mendengar itu. Aku tahu aku nggak punya hak untuk mencampuri hidupmu lagi, tapi aku cuma ingin kamu tahu kalau aku ... aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan Raka.”Alea menarik napas panjang, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. “Terima kasih, Arka. Aku ... aku juga berharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu.”Ada jeda yang panjang di antara mereka, seolah-olah keduanya mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.“Alea,” suara Arka terdengar pelan, penuh kehati-hatian, seolah-olah ia takut kata-katanya akan menyakiti. “Aku tahu aku mungkin nggak punya hak lagi, t

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 159: Tiga Hati yang Bertaut

    Alea menggigit bibirnya, merasa dadanya sesak oleh campuran emosi yang sulit dijelaskan. “Randy, aku nggak tahu kapan aku akan benar-benar siap. Kalau kamu lelah … aku nggak akan menyalahkanmu.”Randy menatap Alea dengan tatapan yang dalam, seolah-olah ingin memastikan ia mengerti. “Aku nggak lelah, Alea. Karena mencintaimu adalah hal paling alami yang pernah aku rasakan. Jadi, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, oke?”Alea tersenyum kecil, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Randy. Aku nggak tahu apa aku layak mendapatkan ini, tapi terima kasih.”Randy mengangguk sekali lagi sebelum melangkah mundur. “Selamat malam, Alea. Aku harap kamu mimpi indah malam ini.”Alea menatapnya hingga Randy berbalik dan berjalan pergi. Ketika pintu apartemen tertutup, Alea bersandar pada pintu itu, menatap ke arah lantai dengan hati yang penuh kebingungan.Di balkon hotelnya, Randy berdiri dengan tangan di saku jasnya, menatap gemerlap lampu kota Singapura. Malam yang tenang itu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 158: Keputusan yang Berat

    Restoran kecil itu dipenuhi alunan musik lembut, menciptakan suasana tenang di bawah cahaya lilin. Meja mereka terletak di sudut yang cukup privat, dengan pemandangan menghadap ke Marina Bay yang berkilauan. Alea dan Randy duduk berhadapan, menikmati hidangan penutup yang manis.“Kamu tahu,” kata Randy sambil mengaduk kopinya pelan. “Aku nggak pernah menyangka kalau Singapura akan jadi tempat aku bolak-balik seperti sekarang. Dulu, aku nggak terlalu suka ke sini.”Alea tersenyum kecil, menatap secangkir teh di depannya. “Kenapa? Singapura kan rapi, teratur. Rasanya semua orang suka tinggal di sini.”Randy terkekeh, menatap Alea dengan sorot mata lembut. “Mungkin karena dulu aku datang ke sini hanya untuk urusan kerja dan mengunjungi orangtuaku. Tapi sekarang, ada alasan lain.”Alea mengangkat alis, pura-pura tidak paham. “Alasan lain?”“Ya,” jawab Randy, nada suaranya santai tetapi penuh makna. “Raka sangat menyukai taman-taman di sini. Dan, tentu saja, ada kamu.”Alea tertawa kecil,

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 157: Pertemuan yang Tak Terduga

    Langit malam Singapura dipenuhi bintang, meskipun gemerlap lampu kota mengaburkan sebagian cahayanya. Alea berjalan pelan menuju apartemennya setelah menghabiskan waktu seharian di rumah Risa. Langkahnya terasa berat karena kelelahan, tetapi hati kecilnya merasa lega karena Raka terlihat bahagia bersama keluarganya.Ketika ia hampir sampai di pintu apartemen, langkahnya terhenti. Sosok yang familiar berdiri di depan pintu, membuat alis Alea terangkat karena terkejut. Randy, dengan jas rapi dan sebuah kotak kecil berbungkus kertas biru di tangannya, berdiri di sana."Randy?" panggil Alea, menatapnya dengan penuh tanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Randy berbalik, menyunggingkan senyum hangat yang khas. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat. Dan… ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”Alea mengerutkan kening, tetapi membuka pintu apartemennya dan mempersilakan Randy masuk. “Mungkin kamu mau bicara di dalam?”Randy mengangguk, mengikuti Alea masuk ke dalam apartemen k

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 156: Menyatukan Keluarga

    Pagi itu, di sela kesibukannya di pusat komunitas, ponsel Alea bergetar di atas meja. Nama "Kak Risa" muncul di layar, membuat Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo, Kak Risa,” sapa Alea dengan nada ramah namun penuh kehati-hatian.“Halo, Alea,” suara Risa terdengar hangat namun tegas. “Aku mau bicara soal Raka. Aku ingin dia menginap di rumahku selama beberapa hari.”Alea terkejut mendengar permintaan itu. “Menginap, Kak? Tapi—”Risa segera memotong. “Alea, dengar dulu. Aku tahu kamu mungkin merasa ragu. Tapi aku dan keluargaku juga bagian dari hidup Raka. Dia keponakanku, dan anak-anak di rumah selalu ingin mengenal dia lebih dekat. Aku pikir ini bisa jadi momen yang baik untuknya, untuk merasa bahwa dia punya keluarga besar di sini.”Alea terdiam. Pikirannya langsung melayang ke Raka, yang selama ini hanya mengenal dunia kecil yang ia ciptakan untuk melindunginya. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa Raka juga butuh merasakan kasih sayang dari keluarga l

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 155: Langkah Randy

    Randy melangkah keluar dari terminal bandara Changi, matanya menatap hiruk-pikuk kota Singapura yang sudah mulai terasa akrab baginya. Perjalanan bisnis yang sering membawanya ke kota ini kini memiliki makna lebih dalam, bukan hanya pekerjaan, tetapi juga kesempatan untuk bertemu seseorang yang mulai mengisi ruang di hatinya.Dalam beberapa bulan terakhir, Randy selalu menyempatkan waktunya untuk bertemu Alea dan Raka setiap kali ia berada di Singapura. Dari awalnya hanya pertemuan singkat, kini pertemuan itu terasa lebih personal. Ada kehangatan yang sulit ia jelaskan setiap kali ia melihat senyum Alea atau mendengar cerita polos dari Raka.---Di sore yang cerah, sinar matahari menyinari taman dengan lembut, memberikan nuansa damai. Randy duduk di bangku taman dekat apartemen Alea, tangannya memegang cangkir kopi hangat. Di depannya, Raka sedang berlari-larian mengejar bola dengan penuh semangat, tertawa ceria. Alea duduk di sampingnya, matanya terus mengawasi anaknya sambil terseny

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 154: Menata Hidup Baru

    Setelah resmi bergabung dengan perusahaan keluarga, Arka memulai harinya lebih awal dari biasanya. Gedung kantor pusat keluarga yang megah di Jakarta kini menjadi tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Di balik meja kerjanya yang besar, ia memandang deretan laporan keuangan, grafik pertumbuhan bisnis, dan proposal proyek. Namun, kali ini, beban tanggung jawab itu terasa berbeda—bukan lagi sebagai seorang arsitek ambisius, tetapi sebagai penerus yang ingin memberikan makna baru pada warisan keluarganya.Setelah rapat selesai, Arka kembali ke ruang kerjanya. Di layar laptopnya, wajah kakaknya, Risa, muncul melalui panggilan video. Risa tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kerjanya di Singapura, tetapi senyumnya tetap ramah.“Bagaimana kabar Jakarta?” tanya Risa, membuka percakapan.“Cukup menantang,” jawab Arka sambil tersenyum tipis. “Tapi aku rasa aku mulai memahami apa yang Ayah rasakan selama ini. Tanggung jawab ini berat, tapi aku ingin membuatnya bermakna.”Risa m

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 153: Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga

    Alea menatap Randy dengan perasaan yang sulit ia namai. Ada kehangatan yang familiar, tetapi juga kegelisahan yang menggantung di udara di antara mereka. Sudah lama sejak seseorang datang menemuinya dengan niat sehangat ini. Sejenak, ia berpikir apakah ia masih pantas menerima perhatian seperti itu."Randy?" Suaranya terdengar seperti bisikan, seolah takut membuyarkan sesuatu yang rapuh. "Kenapa kamu ada di sini?"Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, senyum yang tidak berubah sejak dulu, lalu mengulurkan mawar putih yang tampak kontras di jemarinya yang kokoh. "Aku janji mau ketemu kamu, kan? Dan aku penasaran sama tempat kerja kamu. Jadi, aku pikir, kenapa nggak sekalian bawa ini?"Alea menerima bunga itu dengan gerakan ragu, seolah takut sentuhan pada kelopaknya akan mengungkap sesuatu yang tak ingin ia sadari. Senyum samar terbentuk di bibirnya. "Terima kasih... tapi ini mendadak sekali.""Aku memang nggak suka menunda-nunda, Alea." Randy menatapnya lembut, tetapi di

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 152: Langkah Kecil Menuju Kebahagiaan

    Pagi di Singapura membawa kehangatan yang lembut, meskipun di hati Alea, kehangatan itu belum sepenuhnya terasa. Sinar matahari menembus tirai jendela apartemennya, membangunkannya perlahan. Ia membuka mata, menoleh ke arah Raka yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajah kecil anak itu begitu damai, seperti kanvas kosong yang belum tergores oleh kerasnya dunia.Alea tersenyum tipis, mendekat untuk mengecup kening Raka. “Selamat pagi, Nak,” bisiknya pelan meskipun ia tahu anaknya masih terlelap.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, dan mulai mempersiapkan diri untuk hari yang sibuk. Rutinitas pagi di apartemennya yang kecil tapi nyaman kini menjadi penghibur dalam kehidupan barunya.Hari itu, Alea kembali bekerja di pusat komunitas seni yang menjadi tempatnya berlabuh sejak pindah ke Singapura. Ruangan itu terasa hidup dengan warna-warna cerah yang menghiasi dinding dan meja-meja yang dipenuhi perlengkapan seni. Bau cat dan pastel memenuhi udara,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status