Di dalam Jaquzi yang diisi penuh oleh air hangat beraroma mawar bercampur manisnya vanila itu Jane berendam dengan wajah datar dan kedua mata yang menatap nanar ke arah jendela yang langsung menyuguhkan pemandangan hamparan daun maple yang memerah.
Sejenak Jane memejamkan kepalanya saat merasakan tangan maid mulain memijat kepalanya. Dia tak bohong kalau pijatan itu dan aroma terapi yang dituankan ke dalam air cukup menenangkan pikiran dan tubuhnya. Kemudian, dengan perlahan Jane pun kembali membuka matanya dan kembali menatap lekat-lekat sosok maid itu melalui cermin.
"Apa kau selalu bertugas melakukan semua pelayanan seperti ini pada setiap perempuan yang dibawa tuan Rex?" tanya Jane tanpa tedeng aling-aling. Dia bahkan tak peduli sekalipun maid itu berpeluang akan mengadukan pembicaraan ini pada Rex. Ini semua dia lakukan didasari oleh ketidak percayaannya pada cerita ironis yang dikatakan Rex pada pertemuan pertama mereka.
"Setiap perempuan?" cicit maid itu terdengar bingung.
"Maksudku kau terbiasa melayani perempuan-perempuan yang tuan Rex bawa ke tempat ini. Tuan Rex pasti tipe pria yang membawa wanita mainannya ke tempat ini untuk menyembunyikannya kan?" tegas Jane.
Saat itu bagi Jane, cerita Rex tentang istrinya yang menyimpang artinya adalah kesempatan besar bagi Rex agar bebas bergonta ganti perempuan.
"Tidak ada. Anda perempuan pertama yang tuan Rex bawa ke mansion," jawabnya tenang. "Ada apa nona, apa ada sesuatu hal yang mengganggu pikiran anda?"
"Aku merasa kedinginan. Bisakah aku segera menyelesaikan sesi mandiku ini?" ujar Jane seraya bangkit berdiri dan mengambil handuknya. Sementara maid itu mengikuti Jane dari belakang.
Berulang kali Jane menghela napas kasar. Semua pelayanan maid yang berlebihan dalam melayaninya juga tempat tinggal yang mewah seperti ini sungguh dunia yang benar-benar asing untuknya.
"Menyedihkan... aku dilayani seperti seorang nyonya hanya untuk dijamah pria asing," gumam Jane sedih dengan nada yang sangat lirih tatkala maid begitu sibuk mendandaninya dengan pakaian-pakaian mahal nan indah yang tak pernah dilihatnya hanya agar dia pantas ditiduri oleh Rex.
***
"Apa kau nyaman berada di sini?" tanya Rex ditengah-tengah kegiatan makan malam mereka yang sedari tadi diliputi oleh kesunyian.
"Saya tidak tahu," jawab Jane datar.
Rex mengangguk-angguk mengerti lalu menyelesaikan sesi makannya. "Rumah ini akan jadi tempat tinggalmu selama kau terikat kontrak denganku. Kuharap kedepannya kau akan betah tinggal di sini," ujar Rex dengan nada tenang. Suaranya tak terdengar kasar atau pun sinis nan penuh amarah, tidak sama sekali.
Rex terlihat seperti pria baik ketika berbicara pada Jane, tapi tetap saja Jane merasa sangat takut. Bagi Jane air yang tenang bukan berarti tak menyimpan bahaya, sehingga ia begitu takut dan curiga pada tiap tingkah baik Rex.
"Jika sudah selesai, kau boleh ke kamarmu lebih dulu."
Jantung Jane sempat berhenti berdetak untuk beberapa saat mendengar ucapan Rex, sebelum kemudian mengangguk mengerti dan melenggang pergi menuju kamar di mansion ini yang kini menjadi kamar pribadinya. Tiba di dalam kamar jantung Jane benar-benar berdedebar kencang, dia merasa sangat gugup.
"Kau mulai seperti perempuan gila, Jane... karena memikirkan hal tak senonoh di waktu yang canggung ini." Jane menggerutu pada dirinya sendiri lalu dengan berat hati dia pun duduh di tengah tempat tidurnya dan merinding sendiri karena tingkahnya saat ini seperti tengah menunggu Rex dengan senang hati. Sehingga di detik berikutnya dia pun buru-buru mengubah posisinya dan berusaha bersikap setenang mungkin.
Suara langkah kaki kemudian terdengar mendekat, membuat debar jantung Jane semakin menggila. Dia memilih mengambil ponselnya dan menyibukan dirinya dengan menggulir layar ponsel untuk melihat portal berita, walau sebenarnya ia tak benar-benar bisa fokus.
Pintu kemudian terbuka dengan Rex yang melangkah masuk dan kembali menutup pintu kamar rapat-rapat. Demi Tuhan... saat itu jantung Jane benar-benar hampir meledak karena debar jantungnya yang tak terkendali.
"Aku akan mandi terlebih dahulu," ujar Rex yang lagi-lagi bicara santai dengan nada lembut yang bagi Jane justru terdengar sangat mengerikan.
Saat itu rasanya jantung Jane benar-benar meledak.
Sialan memang.
Dengan sikap tenangnya itu, Rex terlebih dahulu menyimpan tas kerjanya ke dalam lemari baru kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Sepeninggalnya Rex, Jane menatap plafon kamar dengan tatapan nyalang. "Kenapa pria sepertinya begitu mudah berbicara setenang itu pada perempuan asing yang hendak ditidurinya. Dia benar-benar membuatku takut..."
***
Aroma maskulin itu menguar saat Rex keluar dari kamar mandi. Pria itu terlihat segar dan terlihat... seksi dalam balutan piyama warna hitam yang dikenakannya.
"Kau belum tidur rupanya," ujarnya.
"Saya menunggu anda."
"Begitu," sahut Rex santai lalu berjalan menghampiri ranjang dan tanpa kata berbaring di sisi kiri tempat tidur tepat di samping Jane. "Aku merasa lelah karena pekerjaan hari ini terasa lebih berat dari biasanya. Aku bertemu orang-orang menyebalkan hari ini, jadi maaf Jane jika aku menemuimu terlalu cepat padahal hari ini adalah hari pertama kau datang kemari. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat di sini."
Jane diam. Jantungnya mencelus dan untuk beberapa saat dia merasa bingung antara harus merasa lega atau malah semakin takut, situasi saat ini benar-benar membingungkan.
"Apa aku membuatmu tak nyaman, Jane?" tanya Rex yang tiba-tiba saja beringsut mengubah posisi tidurnya jadi menghadap Jane dan menatap perempuan itu lekat-lekat.
Jane sampai harus menelan ludahnya dengan susah payah untuk mengumpulkan keberaniannya sebelum akhirnya bisa balik memandang Rex dan memberikan jawabannya, "Saya tak punya hak untuk merasa seperti itu. Anda bisa datang kapan pun anda menginginkannya, tentu saja."
Garis bibir Rex melengkung membuat senyuman manis di wajah tampannya. Lesung pipinya terlihat jelas di pipi kanannya dan matanya sedikit menyipit karena senyuman itu. "Syukurlah. Aku merasa lebih baik setelah mendengar ucapanmu, terima kasih, Jane."
Detik itu pula Jane tertegun. Dia benar-benar tak tahu harus bereaksi seperti apa setelah melihat senyuman Rex di kali kedua pertemuan mereka, tentu Jane tak bisa mengelak dari fakta bahwa dia sedikit terganggu dengan ketampanan Rex yang baru dia sadari pada detik ini.
"Anda berkata kalau anda merasa lelah, apa anda tidak masalah jika harus berada di dalam satu ruangan yang sama dengan orang asing seperti saya?" kali ini entah atas alasan apa tapi Jane perlahan mulai bisa bicara santai pada Rex tanpa merasa canggung ataupun gugup.
"Karena aku merasa tenang berada di sini, terlebih lagi kini ada kau. Rumah mendiang ibuku terasa hangat, tak sedingin dan sesunyi biasanya," kata Rex yang kemudian memejamkan matanya yang terasa berat oleh rasa kantuk.
Perlahan Jane mendengar napas Rex mulai teratur, menjadi tanda bahwa pria itu sudah mulai lelap dalam tidurnya. Pada momen itu pun Jane hanya bisa memandangi wajah tenang Rex ketika tidur, padahal ada yang mengganjal di hatinya setelah mendengar ucapan pria itu. Dia ingin bertanya pada Rex, tapi mau tidak mau dia harus mengurungkan niatnya. Ini pertama kalinya dia menatap wajah pria itu dengan jelas di situasi yang lebih tenang, sehingga ia baru menyadari bahwa Rex adalah pria yang tampan dan terlihat lembut dan... teduh.
"Ada apa ini, kenapa saat tidur setenang ini kau justru terlihat seperti manusia paling kesepian dan bernasib buruk. Padahal kau punya segalanya," gumam Jane pelan. Sangat pelan sampai-sampai terdengar seperti sebuah bisikan. Saat itu dia menatap iba pada Rex.
"Dari mana saja kau Rex kenapa kau baru pulang sepagi ini, berada di mana kau kemarin?" tanya Claire sinis sambil menyesap teh hangatnya.Rex yang pagi itu baru pulang ke rumahnya hanya melirik sebentar ke arah istrinya dan kemudian melangkah pergi menuju kamarnya. "Ini masih pagi dan aku lelah, Claire. Jangan mengajakku berdebat," jawab Rex datar.Claire mendengus sinis dan menatap tajam punggung Rex. "Aku dengar kau memelihara perempuan murahan itu di rumah ibumu. Bukankah itu keterlaluan? Selama pernikahan kita kau bahkan tak pernah mengizinkanku untuk sekadar menginjak rumput di halaman rumah ibumu itu. Rupanya kau menyukai pelacur itu, hm?" Rex menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Claire. "Apa sekarang kau mulai cemburu pada perempuan yang kau pilih sendiri untuk aku tiduri?"Claire kembali mendengus sinis dan kali ini dia tersenyum mencemooh Rex. "Tidak sama sekali. Aku tak peduli sekalipun kau setiap hari menghabiskan semalaman suntuk untuk berhubungan intim dengan per
Dengan napas terengah-engah karena berlarian dari parkiran mobil sampai ke IGD. Disana dia mencari keberadaan Rex dan langsung terpaku di tempatnya untuk beberapa detik ketika perawat mengantarkanya pada salah satu bangsal yang dibuka tirainya.Di sana Rex terlihat berbaring tak sadarkan diri dengan kepala yang dibebat perban dan tangan yang penuh goresan. Darah bahkan masih terlihat di perban dan pada luka di tangan pria itu."Bodoh," gerutunya saat melangkahkan kakinya menghampiri Rex. "Tak ada yang lebih bodoh dari kau, Rex. Bisa-bisa baru sebentar keluar rumah kau langsung masuk rumah sakit," tambahnya.Raut kesal dan khawatir memenuhi wajah cantik Claire. Tak lama kemudian dokter yang ditemani perawat pun datang menghampiri dan menjelaskan kondisii Rex."Luka di kepala sudah mendapat jahitan, pendarahannya sudah berhenti. Mungkin anda harus menunggu beberapa waktu sampai pasien sadarkan diri," jelasnya.Claire mengangguk. "Apa kondis
"Peliharaan?" Sepeninggalnya Claire, Jane mengulangi satu kata itu dengan sedih. "Ternyata bagi tuan Rex aku hanya seekor peliharaan," lanjutnya nelangsa.Dengan langkah gontai dia berjalan menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Dari jarak beberapa langkah dia bisa melihat kalau pintu kamarnya terbuka, sehingga pada detik itu juga dia mengarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahaan. Dia berusaha menetralkan perasaan yang berkecamuk di dadanya dan berusaha memupuk keberaniannya sebelum masuk ke dalam kamarnya itu.Saat melangkah masuk ke dalam kamar, Jane tertegun di tempatnya untuk beberapa saat saat melihat pemandangan di hadapannya. "Tuan... apa yang telah terjadi pada anda?" cicitnya.Dia sedikit terkejut melihat keadaan Rex yang kini terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan tangan dan kepala yang dibebat perban.Mendengar pertanyaan dari Jane, perlahan Rex pun membuka matanya dan sedikit bergerak melirik ke arah perempua
Rex terbangun dari tidurnya karena rasa berdenyut di kepalanya. Saat pertama kali membuka mata, wajah cantik Jane yang tengah terlelap tidur jadi pemandangan yang menyambutnya."Kau masih sangat muda," gumam Rex seraya mengulurkan tangannya untuk membelai lembut pipi Jane.Cukup lama dia memandangi wajah cantik yang tengah terlelap itu. Dia terpesona berkali-kali melihat indahnya bentuk mata, hidung dan bibir Jane."Aku baru teringat kalau kau punya warna mata yang sangat indah." Jemari Rex membelai mata, hidung, pipi lalu kemudian berhenti di bibir ranum perempuan itu.Ingatannya tentang ciuman di hari pertama pertemuan mereka, membuat sesuatu di dalam dirinya bergejolak sehingga tanpa sadar membuatnya bergerak mendekatkan wajahnya pada wajah Jane dan perlahan mencium bibir perempuan itu dengan lembut.Ciuman itu membuat Jane terlihat gelisah dalam tidurnya dan Rex yang menyadari hal itu pun segera menyudahi ciumannya dan bergegas pergi
Dengan napas terengah-engah, Rex beringsut menarik dirinya menjauh dari Jane dan terbaring tepat di samping perempuan itu. Untuk waktu yang lama, Rex terus memandangi wajah Jane yang merah padam karena lelah dan juga...malu. Lantas kemudian Rex pun mengulurkan jemarinya untuk menyelipkan anak-anak rambut yang menghalangi wajah cantik Jane."Apa aku menyakitimu," tanya Rex dengan suara lembutnya. Dia kian intens memandangi wajah Jane untuk menunggu jawabannya.Jane menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak," cicitnya.Lantas tanpa kata, Rex menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua lalu kemudian dia pun merengkuh Jane ke dalam pelukannya dan memeluknya erat-erat. Hal itu sempat membuat Jane terkejut untuk beberapa detik karena sadar bahwa saat ini kepalanya menekan lengan pria itu yang sedang terluka."Tuan, tangan anda...""Tak apa, Ruby. Biarkan aku tetap berada dalam posisi ini," ucapnya membuat Jane tak lagi mengeluarkan komentar apap
"Hari ke berapa ini Rex? Kau tampaknya sangat betah sekali di sana sampai-sampai lupa jalan pulang," ujar Claire penuh sindiran begitu melihat Rex melangkah masuk ke dalam rumah."Hari ke 20," jawab Rex singkat dan dengan santainya dia duduk di hadapan Claire untuk ikut makan malam dengan istrinya itu.Suara tawa kecil terdengar dari Claire yang kini menatap Rex dengan tatapan mengejek. "Rupanya kau sangat menyukai perempuan itu. Apa hubungan pria dewasa dan perempuan dewasa secandu itu bagimu? apa bagusnya hubungan seperti itu?""Aku pikir kau akan mengerti seperti apa ikatanku dengan Jane saat ini karena kau pun menjalani ikatan hubungan yang sedikit... sama walaupun tak wajar.""Kalau begitu apa peliharaanmu itu sudah menunjukan tanda kehamilan? Pastikan dia segera hamil."Rex benar-benar benci tiap kali Claire menggunakan istilah kasar itu untuk memanggil Jane. Namun kali ini Rex memilih untuk pura-pura tak mendengar pada bagian itu."Na
"Apa kau tak pernah sadar kalau bagiku kau seindah itu? Jika rasa cintaku hanya sekadar tertarik pada kecantikan dan keperluan biologis yang harus terpenuhi saja, aku tak akan bertahan selama ini bersamamu.""Seindah apa aku bagimu?""Keindahan yang membuatku terus menerus jatuh cinta tiap kali memandangmu. Keindahan yang membuatku tetap bertahan walau tahu kau tak mencintaiku. Jika saja situasinya berbeda pasti kita akan jadi pasangan yang bahagia dan-""Setelah anakku lahir, mari kita bercerai, Rex." Claire tiba-tiba memotong ucapan dan mengatakan kalimat itu tanpa tedeng aling-aling. Dia bahkan tak sekalipun memperdulikan bagaimana perasaan Rex saat itu.Senyum dan ekspresi penuh hatap di wajah Rex seketika lenyap, berganti dengan ekspresi terkejut dan juga kecewa."Kenapa?" cicit Rex tak habis pikir."Karena kita bukan pasangan. Lebih tepatnya kita tak bisa lagi berlama-lama hidup sebagai pasangan suami istri karena kau lebih banyak diru
"Hari ini anda akan pulang ke rumah utama atau...?" tanya supir pribadi Rex sengaja mengantungkan pertanyaannya. Dia melirik Rex melalui spion dan menunggu jawaban dari tuannya itu.Saat itu Rex hanya duduk melamun di kursi belakang dengan tablet di tangannya sedangkan pandangannya justru terus terpaku pada luar jendela."Tuan Milagro," panggilnya lagi ketika melihat Rex tetap bergeming dan tak mengindahkan pertanyaannya.Kali ini Rex melirik sekilas lalu kembali memusatkan pandangannya pada pemandangan di luar jendela. "Hari ini aku merasa benar-benar kacau. Aku tak bisa bertemu dengan Claire dulu. Jadi, aku ingin menenangkan diri di rumah ibuku," jawab Rex akhirnya.Tanpa kata, supir pribadi Rex itu pun mengubah rute jalannya. Selama perjalanan itu Rex tetap melamun dan terlihat begitu murung."Sepertinya anda selalu mencari rasa tenang pada nona Jane, tuan. Apakah saya perlu menghubunginya untuk memintanya bersiap-siap atas kunjungan
"Minumlah dan nikmati sarapanmu dengan nyaman. Kalau kau ingin makan sesuatu yang lain untuk makan malam, kau bisa mengatakannya padaku. Sepulang kerja aku akan membelikannya untukmu," ucap Rex seraya menaruh segelas susu khusus ibu hamil itu di hadapan Jane. Sejenak Jane menatap segelas susu hangat itu lalu kemudian beralih menatap Rex dengan tak enak hati. "Rex... kau sudah sangat sibuk dan lelah oleh urusan pekerjaan, kenapa repot-repot membuatkan susu untukku?" Rex mengangkat bahunya ringan lalu kemudian duduk di seberang Jane dan bertopang dagu menatap Jane lekat-lekat dengan senyuman hangat yang selalu merekah di wajahnya. "Aku tidak merasa kerepotan sama sekali. Mulai dari sekarang aku akan menyiapkan susu hangat dan juga vitamin untukmu," ujarnya enteng. "Kalau pun aku mengatakan untuk jangan melakukannya, kamu pasti akan tetap melakukannya kan?" Senyum di wajah Rex semakin merekah. "Tepat sekali. Karena waktuku bersamamu hanya sebentar, aku tak akan menyia-nyiakan satu
Jane merasakan Rex tak membalas ciumannya, sehingga dia mengernyit dan perlahan membuka matanya yang kemudian langsung bertatapan tepat dengan kedua mata elang Rex yang tengah menatapnya begitu intens pada jarak yang sedekat itu.Dia pun menyudahi ciuman itu dan menatap Rex dengan wajah bingung. "Apa kamu tak menyukainya?"Alih-alih memberikan jawaban, Rex justru tersenyum lebar dan beralih menangkup wajah Jane lalu kemudian memiringkan wajahnya dan mulai mencium Jane lebih intens dan lebih dalam. Lidahnya merangsek masuk, bermain dengan lidah Jane dan beberapa kali melumat dan menggigit bibir Jane dengan gemas."Aku ingin lebih dari sekedar ciuman, Ruby." Rex berucap dengan suara berat.Dari kedua mata Rex, Jane melihat api gairah yang menyala-nyala, walaupun tatapannya saat itu menatap ke arah Jane dengan sayu. Kemudian, Jane pun membuka dua kancing bagian atas dari kemeja longgar yang saat ini dipakainya dan dia pun merentangkan kedua tangannya."Lakukan saja jika anda menginginka
"Aku pulang," ujar Rex mengabarkan kepulangannya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Jane. Lalu kemudian dia tersenyum ketika melihat Jane yang berjalan ke arahnya sambil mengulas senyuman yang sama."Kamu pasti sangat lelah, biar aku bantu meletakan jas dan tas kerjamu." Jane dengan ramah berbicara pada Rex, hendak meraih jas dan tas kerja pria itu, tapi sebelum tangannya menggapai kedua benda itu Rex sudah maju satu langkah dan lebih dulu meligkarkan tangannya untuk memeluk tubuh mungil Jane erat-erat."Senang akhirnya bisa kembali pulang kemari. Hari ini aku merasa sangat lelah," ucapnya sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jane. Hal itu membuat Jane merasa merinding beberapa kali ketika hangat napas Rex membelai lehernya."Kalau begitu ayo ke kamarmu, aku akan minta maid untuk menyiapkan air hangat."Untuk beberapa saat tak ada respon dari Rex, sampai kemudian terdengar helaan napas panjang dari Rex diiring
"Anda memanggil saya?" tanya seorang manager pemasaran yang kebingungan karena tiba-tiba saja dipanggil ke ruangan Rex. "Maaf tuan Milagro, apa saya membuat kesalahan?" lanjutnya risau.Rex menggelengkan kepalanya dan menatap karyawannya itu dengan serius. "Tidak sama sekali. Aku memanggilmu karena urusan lain," ujarnya."Urusan lain?""Aku dengar kau sudah menikah cukup lama dan punya 2 orang anak. Bisakah kau memberitahuku apa saja persiapan yang harus dilakukan calon ayah semasa kehamilan istri?"Karyawan itu sempat terperangah setelah mendengar pertanyaan tak terduga itu. Sejenak dia merasa gugup untuk menjawab, butuh beberapa detik baginya untuk bisa memikirkan jawabannya sampai akhirnya bisa berani dan percaya diri untuk berbicara serius dengan Rex."Saat pertama kali tahu akan jadi seorang ayah, saya lebih dulu mempersiapkan biaya untuk melahirkan nanti tapi karena anda sepertinya tidak perlu menyiapkannya anda bisa mengabaikan bagian ini. Kemudian saya mulai membeli perlengka
"Tuan memberikan izin pada anda untuk pergi keluar rumah walau tanpa pendampingan dari tuan," ujar Elma menyampaikan pesan yang sebelumnya Rex katakan di telepon.Mendengar itu, Jane pun mengangguk mengerti. Dia tak mengatakan apapun, tak bertanya kenapa Rex tak datang ataupun ke mana perginya Rex, dia hanya diam dan membiarkan Elma membantunya berpakaian dan menata rambutnya sampai rapi.Setelah selesai dengan tugasnya Elma pamit pergi, sedangkan Jane menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Dia menatap lekat-lekat pantulan dirinya dengan tatapan datar ketika menyadari wajah sampai ujung kakinya benar-benar membengkak karena pertambahan berat badan yang cukup banyak di masa awal kehamilannya ini."Perutku akan segera membesar dan tak bisa disembunyikan lagi. Apa yang harus aku lakukan saat hal itu terjadi? bagaimana caranya aku bisa menemui Dante?" ujar Jane sedih.Dia menghela napas berat beberapa kali, sebelum kemudian bangkit dan bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Dante di
Rex menarik dirinya dan berbaring di samping Claire dengan napas terengah-engah setelah percintaan mereka. Dia melirik ke arah Claire yang berbaring tanpa menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya, membuat kedua dadanya terekspos bebas di lihat oleh Rex."Apa kau tak merasa kedinginan?" ujarnya seraya menarik selimut sampai sebatas bahu Claire. Bagaimana pun juga dia masih belum terbiasa melihat tubuh polos Claire di situasi ini, rasanya cukup... canggung.Claire melirik sejenak dan memasang wajah datarnya. "Kita sudah bercinta dan kau sudah melihat semua sisi tubuhku, apa yang harus membuatku malu."Akan tetapi saat itu ucapan Claire berbanding terbalik dengan wajahnya yang terlihat merah padam. Jelas sekali Claire tersipu malu, tapi dia tetap berusaha memasang wajah tanpa ekspresi. Karena Claire mulai merasakan panas di pipinya, dia berjingkat bangun dari pembaringannya dan segera mengambil langkah lebar untuk pergi ke kamar mandi.Di dalam sana, Claire berdiri di depan cermin w
"Apa kau sudah gila!" bentak Rex. Dia berusaha mendorong Claire menjauh darinya ketika perempuan itu meraba bagian intimnya dan beralih meraba pinggangnnya untuk mencari letak kepala gesper dan berusaha membuka celananya.Namun, Claire tak sekalipun mengindahkan teguran dari Rex. Dengan wajah yang berurai air mata, Claire tetap melancarkan aksinya dan terus menepis bahkan menarik kasar tangan Rex ketika pria itu berusaha mencegahnya."Bukankah kau selalu menginginkan hal ini dariku sejak kau menikahiku, Rex? Jadi kau diam saja, kali ini aku akan melakukan hal yang kau inginkan selama ini," ujar Claire dengan suara paraunya.Rex benar-benar kebingungan dengan situasi ini, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Perasaannya saat ini benar-benar tak karuan."Jangan bersikap keterlaluan, Claire. Menyingkirlah dariku, saat ini kita berada di tempat kerja.""AKU TIDAK MAU, REX!" bentak Claire dengan nada suara yang meninggi.Seketika Rex terdiam dan memandang Claire dengan tatapan tak perc
Claire berjalan memasuki sebuah gedung apartemen yang sepertinya cukup akrab dengannya. Dia terlihat begitu leluasa berjalan di lorong gedung itu, masuk ke dalam lift dan terlihat sudah tahu betul akan pergi ke lantai berapa dan ketika sampai di lantai yang ditujunya dia dengan santai berjalan di lorong lantai itu lalu kemudian berdiri di sebuah unit apartemen."Dia sepertinya ada di rumah," ujarnya berbicara sendiri lalu mulai menekan pasword pada pengunci pintu sehingga pintu apartemen itu pun bisa dibuka dan dia pun melangkah masuk ke dalam. Dia baru akan melangkah lebih jauh memasuki unit apartemen itu, tapi langkahnya terhenti ketika dia melihat sepatu laki-laki di rak sepatu.Kedua alis Claire langsung bertautan tajam saat melihat hal itu, dengan wajah kesal dia mengambil langkah lebar menuju kamar ketika suara-suara aneh dan suara seorang perempuan yang memanggil-manggil nama Rex mulai terdengar dan menganggunya."Mana muungkin ada Rex di apartemen ini," gumamnya marah. Segera
"Rex, aku akan berpura-pura tak mendengar apapun." Jane berusaha menyudahi suasana tak nyaman ini, tapi Rex bahkan tak mengindahkan ucapannya."Alih-alih bertemu dengan Dante... tolong temui aku lebih awal Ruby. Di kehidupan berikutnya aku benar-benar berharap pertemuan kita ada dalam waktu dan tempat yang tepat. Di kehidupan berikutnya aku harap yang berbagi kebahagiaan denganmu itu adalah aku," ujar Rex yang kian dalam memandang Jane.Jane melihat bahwa Rex benar-benar serius dengan ucapannya, membuat Jane berakhir tenggelam dalam indahnya mata Rex cukup lama sampai akhirnya tersadar dan menatap Rex dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Dia kehingalangan kata-kata dan bingung harus bagaiamana menanggapi ucapan pria itu."Kenapa tiba-tiba?" cicit Jane. Hanya sepenggal kalimat itu yang bisa Jane katakan akhirnya.Rex mengulas senyum tipis. "Entahlah, tapi belakangan ini tiba-tiba aku mulai berandai-andai tentang situasi yang saat ini terjadi. Andai saja aku bertemu denganmu lebih