Rex ingin berbalik pergi, tapi tiba-tiba saja Jane bangkit dan mencekal pergelangan tangan Rex. "Aku mohon tuan... jangan pergi. Nyonya itu sudah berjanji akan membayar saya dengan nominal yang besar.
"Apa kau gila? Lepaskan tanganku!" bentaknya menepis kasar cekalan tangan Jane padanya. "Apa kau tahu alasan istriku sampai bisa membuatmu berada di dalam ruangan ini?"
Dia tetap bersikeras untuk pergi dari sana tanpa memperdulikan panggilan dari Jane yang berusaha menahan kepergiannya. Namun, lagi-lagi sebelum dia bisa memegang handle pintu Jane sudah lebih dulu duduk di depan pintu untuk menghalangi langkah Rex.
"Aku juga tak menginginkan hal seperti ini, tuan... tapi aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar putus asa. Nyonya itu berjanji akan memberikan sejumlah uang yang aku butuhkan jika aku mematuhi keinginannya."
"Apa kau begitu murahan sampai dengan mudahnya menjual tubuhmu hanya demi lembaran uang saja!" teriaknya murka. "Singkirkan tubuhmu dari pintu, aku ingin pergi seka"
Seketika itu juga, Jane duduk bersimpuh di kaki Rex. "T-Tunanganku kritis di ICU. Aku tak punya cukup waktu lagi... aku butuh uangnya. Jangan meninggalkanku seperti ini, kumohon tuan..."
Rex mengusap kasar wajahnya dan menatap Jane dengan tatapan tak percaya. "Aku ternyata salah menilaimu. Aku pikir kau sama sepertiku, terpaksa berada di tempat ini padahal kau tak nyaman sama sekali dengan semua hingar bingar ini. Aku benar-benar tak menyangka kalau kau ternyata tak jauh beda dengan semua orang di sini, lihat... kau bahkan pandai cerita sesedih ini untuk sekadar membuatku bisa tidur denganmu. Benar-benar mengerikan. Sekarang menyingkirlah."
"Tuan, aku mohon..." dengan nelangsa Jane memeluk kaki Rex. Memohon dengan putus asa tanpa memperdulikan akal sehat yang sedari tadi mendesaknya untuk tak melakukan hal memalukan seperti ini.
"Apa kau tahu apa resikonya jika kau menahan kepergianku seperti ini? Apa kau tahu kalau nominal uang yang dijanjikan istriku padamu itu bukanlah untuk sekadar pembayaran jasamu untuk satu hari saja tapi uang itu untuk membeli hidupmu! Tidakkah kau ingin berpikir logis terlebih dahulu dan memperhitungkan kerugianmu?"
"Aku tahu, aku sangat tahu hal itu..." Jane menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum kemudian menengadah dan menatap Rex dengan wajah berurai air mata. "Bahkan jika nominal uang itu adalah segenap nyawaku... aku akan tetap melakukannya."
"Sekalipun kau harus hamil dan melahirkan anak untuk aku dan istriku?"
Jane tertegun sejenak. Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan selanjutnya air mata meleleh membasahi pipinya seiring dengan dia yang menganggukan kepala. "Lakukanlah apapun yang ingin anda lakukan padaku, tuan."
***
"Kuharap kau tak menyesali pilihanmu karena sekarang semuanya sudah terlambat."
Tanpa peringatan apa pun, Rex mendekap wajah Jane dan menciumnya. Ciuman itu memabukan dan menggairahkan. Jane hanya bisa berdiam diri sekalipun alarm bahaya berbunyi di kepalanya dan memintanya untuk segera menghentikan semua ini, tapi hatinya kembali mengingatkan kalau ini semua harus dia lakukan demi kepentingannya juga.
Dengan debar jantung yang samar-samar terdengar dari dalam dada, Rex mengangkat tubuh Jane membaringkannya ke atas tempat tidur dan mengungkung tubuh mungil itu dibawahnya.
Jane memejamkan matanya rapat-rapat dan mencengkram kain sprei kuat-kuat, ketika Rex mulai menipiskan jarak di antara mereka. Hangat napas pria itu pun menerpa wajah Jane, membuat Jane benar-benar merinding.
"Aku sudah menahan diriku sangat lama. Kau salah karena memasrahkan dirimu padaku," ujar Rex begitu lirih dengan suara yang tercekat.
Jane tak menjawab. Dia tetap bergeming di atas tempat tidur, sekalipun saat itu Rex mulai kembali menciumnya dengan lebih dalam dan kian penuh gairah.
Pada detik selanjutnya, Rex benar-benar dikuasai gairahnya sendiri. Ciumannya mulai turun ke rahang dan leher Jane, menciptakan beberapa bekas merah di kulit putih perempuan itu. Sementara tangan pria itu bergerak membuka setiap inci pakaian Jane.
Tubuh Jane menegang ketika tangan besar milik Rex membelai perutnya untuk beberapa detik sebelum kemudian tangan besar itu bergerak ke belakang punggungnya untuk melepas kaitan bra.
"Aku tak bisa menahan diriku lagi. Aku tak peduli sudah berapa banyak pria yang kau layani saat bekerja di tempat ini... aku akan memulai hal yang kau persilakan untuk mulai."
***
"Aaah," Rex mendesah panjang dan bergerak memompa lebih cepat. Sementara Jane hanya diam menegang di pembaringannya dengan kedua mata terpejam dan menggigit bibir bawahnya.
Rasa sakit dan aneh menderanya tiap kali Rex bergerak. Tubuhnya tak henti-hentinya merinding tiap kali tubuh bagian bawahnya terasa sesak oleh milik Rex.
Ketika gerakan Rex kian cepat, Jane merasa benar-benar kacau. Rex terasa kian memenuhinya, kian membuatnya sesak dan... tiba-tiba Rex menghujamkan miliknya dalam-dalam diiringi dengan erangan penuh kenikmatan yang keluar dari mulutnya.
Jane merasa benar-benar hina ketika tubuhnya merasakan gelombang asing disusul sensasi hangat yang terasa memenuhi bagian dalam dirinya. Perlakuan intim yang Rex lakukan padanya membuat tubuhnya begitu sensitif.
"A-Aku... ingin pipis," cicitnya dengan suara terbata. Dia berusaha mendorong Rex untuk menjauh dari atas tubuhnya, tapi kemudian pria itu mencengkram kedua tangannya dan menahannya.
"Itu artinya kau pun akan meledak. Jangan ditahan," bisiknya dengan suara serak nan berat. Dia menyeringai dan kembali memompa Jane dengan ritme pelan, sehingga pada detik itu pula Jane merasa dilambungkan ke atas langit lalu kemudian tersentak oleh perasaannya yang semakin ingin pipis. Tanpa peringatan, tubuhnya mengejang dan melenting merasakan gelombang asing itu. Dia merasa sangat tak nyaman ketika intinya terasa berdenyut sehingga tiba-tiba saja dia menitikan air mata.
***
Rex sudah berpakaian, rapi dengan kemeja yang kini kembali terpasang sempurna di tubuhnya. Sementara itu, Jane masih berbaring di atas tempat tidur, tubuhnya bergulung dalam selimut tebal, berusaha menyembunyikan diri dari dunia luar dan terutama dari tatapan Rex. Hanya matanya yang tampak, mengintip dengan penuh ketakutan dan rasa malu.
Rex menatap Jane dengan pandangan yang sulit ditebak, campuran antara kebingungan, penyesalan, dan sesuatu yang lebih dalam yang tidak ingin diakuinya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka suara. "Apakah ini pengalaman pertamamu?" tanyanya dengan nada lembut yang tidak biasa.
Jane tetap diam, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya berair, menunjukkan kepedihan yang tak terucapkan. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah dari tenggorokannya. Rex menunggu beberapa saat, berharap mendapat jawaban, tetapi hening tetap menyelimuti ruangan.
Rex mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tak tahu siapa namamu, tapi... ini juga pengalaman pertama bagiku," katanya akhirnya, suaranya bergetar sedikit. Jane mengerutkan keningnya, merasa bingung dan heran. Dia menoleh perlahan ke arah Rex, mencoba mencari kebenaran di matanya.
"Aku tak berbohong. Aku memang sudah menjalani pernikahan ini selama beberapa tahun," lanjut Rex dengan nada pahit. "Tapi kami..aku dan istriku, tidak pernah berhubungan layaknya suami istri. Dia... dia tidak menyukai laki-laki." Rex tertawa getir, seakan mengejek dirinya sendiri. "Ironis, bukan? Seorang pria yang menikah tapi tak pernah merasakan apa itu cinta dari seorang istri. Dan istriku bahkan memintaku menidurimu untuk sekadar memenuhi keinginannya yang ingin punya anak demi mempertahankan kekayaannya."
Jane masih tak berbicara, tetapi matanya kini terpaku pada Rex, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ada sesuatu dalam tatapan Rex yang membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski rasa sakit masih menggigit.
"Ketika dia memintaku melakukan ini denganmu, aku merasa marah, terluka, dan bingung," lanjut Rex, suaranya semakin rendah. "Tapi sekarang, setelah semua ini terjadi, aku hanya merasa hampa. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, kau terlihat masih sangat muda. Tapi aku berharap kau tahu bahwa aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku berani menyentuhmu atas persetujuanmu, jadi dikemudian hari ketika kau merasa menyesali keputusanmu... jangan salahkan aku."
Jane masih saja diam. Tapi kali ini dia memejamkan matanya rapat-rapat, membuat bulir-bulir air mata meleleh membasahi pipinya dan Rex melihat pemandangan itu.
"Aku tak tahu apa alasanmu sampai tiba di tempat seperti ini. Aku pikir kau... kau sama seperti semua perempuan yang bekerja di sini."
Jane menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara lalu membuka matanya dan menatap Rex dengan tatapan sayu. "Aku... aku melakukannya karena aku butuh uang," katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Tunangan saya, dia kritis di ICU dan aku tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang secepat ini."
Rex mengangguk pelan, matanya tertutup sejenak. "Aku mengerti," gumamnya. "Rupanya alasan yang kau katakan sejak awal bukanlah kebohongan. Maaf karena aku sudah mengatakan hal-hal buruk.Oh iya, karena aku adalah pria pertama yang menyentuhmu dan kau pun perempuan pertama yang kusentuh, juga kau menerima secara penuh perjanjian dengan istriku, aku harap setelah hari ini kau tak bertemu pria lain. Kau harus fokus pada rencana untuk segera hamil anakku."
Rex berdiri dari tempat tidur, berjalan menuju pintu. Tapi sebelum dia keluar, dia menoleh sekali lagi ke arah Jane. "Aku benar-benar berharap yang terbaik untukmu dan tunanganmu. Semoga dia segera sembuh."
Jane hanya mengangguk, menatap punggung Rex yang semakin menjauh. Pintu tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Jane sendirian dalam keheningan yang penuh dengan berbagai emosi yang belum terselesaikan. Dia menarik selimut lebih erat, air mata mengalir di pipinya. Meski sakit dan malu, ada secercah harapan yang muncul dari kata-kata Rex. Dunia memang tidak adil, tapi mungkin, hanya mungkin, ada harapan di balik semua penderitaan ini.
Jane mendapatkan sejumlah uang dari istri Rex. Dengan tangan gemetar, dia memasukkan gepokan uang itu ke dalam tasnya. Matanya berair, air mata perlahan jatuh membasahi pipinya. Dia keluar dari klub malam itu, berjalan dengan langkah berat dan penuh beban. Sambil menangis, Jane memeluk tasnya erat-erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa memberinya kekuatan untuk melangkah.Wajahnya berurai air mata sepanjang jalan pulang. Setiap langkah terasa begitu berat, setiap napas terasa penuh dengan kesakitan dan penyesalan. Ketika dia sampai di tepi jalan, Jane mengangkat tangannya, berusaha menghentikan taksi yang lewat. Ketika sebuah taksi berhenti di depannya, dia hampir terjatuh ke dalamnya, menangis pilu di kursi belakang.Sopir taksi menoleh dengan cemas, tetapi Jane hanya memandang ke luar jendela, air mata terus mengalir tanpa henti. "Kemana, Nona?" tanya sopir itu dengan lembut."Ke... ke rumah saya," jawab Jane terisak, memberikan alamatnya dengan suara gemetar. Sopir itu mengang
Di dalam Jaquzi yang diisi penuh oleh air hangat beraroma mawar bercampur manisnya vanila itu Jane berendam dengan wajah datar dan kedua mata yang menatap nanar ke arah jendela yang langsung menyuguhkan pemandangan hamparan daun maple yang memerah.Sejenak Jane memejamkan kepalanya saat merasakan tangan maid mulain memijat kepalanya. Dia tak bohong kalau pijatan itu dan aroma terapi yang dituankan ke dalam air cukup menenangkan pikiran dan tubuhnya. Kemudian, dengan perlahan Jane pun kembali membuka matanya dan kembali menatap lekat-lekat sosok maid itu melalui cermin."Apa kau selalu bertugas melakukan semua pelayanan seperti ini pada setiap perempuan yang dibawa tuan Rex?" tanya Jane tanpa tedeng aling-aling. Dia bahkan tak peduli sekalipun maid itu berpeluang akan mengadukan pembicaraan ini pada Rex. Ini semua dia lakukan didasari oleh ketidak percayaannya pada cerita ironis yang dikatakan Rex pada pertemuan pertama mereka."Setiap perempuan?" cicit maid itu terdengar bingung."Mak
"Dari mana saja kau Rex kenapa kau baru pulang sepagi ini, berada di mana kau kemarin?" tanya Claire sinis sambil menyesap teh hangatnya.Rex yang pagi itu baru pulang ke rumahnya hanya melirik sebentar ke arah istrinya dan kemudian melangkah pergi menuju kamarnya. "Ini masih pagi dan aku lelah, Claire. Jangan mengajakku berdebat," jawab Rex datar.Claire mendengus sinis dan menatap tajam punggung Rex. "Aku dengar kau memelihara perempuan murahan itu di rumah ibumu. Bukankah itu keterlaluan? Selama pernikahan kita kau bahkan tak pernah mengizinkanku untuk sekadar menginjak rumput di halaman rumah ibumu itu. Rupanya kau menyukai pelacur itu, hm?" Rex menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Claire. "Apa sekarang kau mulai cemburu pada perempuan yang kau pilih sendiri untuk aku tiduri?"Claire kembali mendengus sinis dan kali ini dia tersenyum mencemooh Rex. "Tidak sama sekali. Aku tak peduli sekalipun kau setiap hari menghabiskan semalaman suntuk untuk berhubungan intim dengan per
Dengan napas terengah-engah karena berlarian dari parkiran mobil sampai ke IGD. Disana dia mencari keberadaan Rex dan langsung terpaku di tempatnya untuk beberapa detik ketika perawat mengantarkanya pada salah satu bangsal yang dibuka tirainya.Di sana Rex terlihat berbaring tak sadarkan diri dengan kepala yang dibebat perban dan tangan yang penuh goresan. Darah bahkan masih terlihat di perban dan pada luka di tangan pria itu."Bodoh," gerutunya saat melangkahkan kakinya menghampiri Rex. "Tak ada yang lebih bodoh dari kau, Rex. Bisa-bisa baru sebentar keluar rumah kau langsung masuk rumah sakit," tambahnya.Raut kesal dan khawatir memenuhi wajah cantik Claire. Tak lama kemudian dokter yang ditemani perawat pun datang menghampiri dan menjelaskan kondisii Rex."Luka di kepala sudah mendapat jahitan, pendarahannya sudah berhenti. Mungkin anda harus menunggu beberapa waktu sampai pasien sadarkan diri," jelasnya.Claire mengangguk. "Apa kondis
"Peliharaan?" Sepeninggalnya Claire, Jane mengulangi satu kata itu dengan sedih. "Ternyata bagi tuan Rex aku hanya seekor peliharaan," lanjutnya nelangsa.Dengan langkah gontai dia berjalan menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Dari jarak beberapa langkah dia bisa melihat kalau pintu kamarnya terbuka, sehingga pada detik itu juga dia mengarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahaan. Dia berusaha menetralkan perasaan yang berkecamuk di dadanya dan berusaha memupuk keberaniannya sebelum masuk ke dalam kamarnya itu.Saat melangkah masuk ke dalam kamar, Jane tertegun di tempatnya untuk beberapa saat saat melihat pemandangan di hadapannya. "Tuan... apa yang telah terjadi pada anda?" cicitnya.Dia sedikit terkejut melihat keadaan Rex yang kini terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan tangan dan kepala yang dibebat perban.Mendengar pertanyaan dari Jane, perlahan Rex pun membuka matanya dan sedikit bergerak melirik ke arah perempua
Rex terbangun dari tidurnya karena rasa berdenyut di kepalanya. Saat pertama kali membuka mata, wajah cantik Jane yang tengah terlelap tidur jadi pemandangan yang menyambutnya."Kau masih sangat muda," gumam Rex seraya mengulurkan tangannya untuk membelai lembut pipi Jane.Cukup lama dia memandangi wajah cantik yang tengah terlelap itu. Dia terpesona berkali-kali melihat indahnya bentuk mata, hidung dan bibir Jane."Aku baru teringat kalau kau punya warna mata yang sangat indah." Jemari Rex membelai mata, hidung, pipi lalu kemudian berhenti di bibir ranum perempuan itu.Ingatannya tentang ciuman di hari pertama pertemuan mereka, membuat sesuatu di dalam dirinya bergejolak sehingga tanpa sadar membuatnya bergerak mendekatkan wajahnya pada wajah Jane dan perlahan mencium bibir perempuan itu dengan lembut.Ciuman itu membuat Jane terlihat gelisah dalam tidurnya dan Rex yang menyadari hal itu pun segera menyudahi ciumannya dan bergegas pergi
Dengan napas terengah-engah, Rex beringsut menarik dirinya menjauh dari Jane dan terbaring tepat di samping perempuan itu. Untuk waktu yang lama, Rex terus memandangi wajah Jane yang merah padam karena lelah dan juga...malu. Lantas kemudian Rex pun mengulurkan jemarinya untuk menyelipkan anak-anak rambut yang menghalangi wajah cantik Jane."Apa aku menyakitimu," tanya Rex dengan suara lembutnya. Dia kian intens memandangi wajah Jane untuk menunggu jawabannya.Jane menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak," cicitnya.Lantas tanpa kata, Rex menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua lalu kemudian dia pun merengkuh Jane ke dalam pelukannya dan memeluknya erat-erat. Hal itu sempat membuat Jane terkejut untuk beberapa detik karena sadar bahwa saat ini kepalanya menekan lengan pria itu yang sedang terluka."Tuan, tangan anda...""Tak apa, Ruby. Biarkan aku tetap berada dalam posisi ini," ucapnya membuat Jane tak lagi mengeluarkan komentar apap
"Hari ke berapa ini Rex? Kau tampaknya sangat betah sekali di sana sampai-sampai lupa jalan pulang," ujar Claire penuh sindiran begitu melihat Rex melangkah masuk ke dalam rumah."Hari ke 20," jawab Rex singkat dan dengan santainya dia duduk di hadapan Claire untuk ikut makan malam dengan istrinya itu.Suara tawa kecil terdengar dari Claire yang kini menatap Rex dengan tatapan mengejek. "Rupanya kau sangat menyukai perempuan itu. Apa hubungan pria dewasa dan perempuan dewasa secandu itu bagimu? apa bagusnya hubungan seperti itu?""Aku pikir kau akan mengerti seperti apa ikatanku dengan Jane saat ini karena kau pun menjalani ikatan hubungan yang sedikit... sama walaupun tak wajar.""Kalau begitu apa peliharaanmu itu sudah menunjukan tanda kehamilan? Pastikan dia segera hamil."Rex benar-benar benci tiap kali Claire menggunakan istilah kasar itu untuk memanggil Jane. Namun kali ini Rex memilih untuk pura-pura tak mendengar pada bagian itu."Na
"Minumlah dan nikmati sarapanmu dengan nyaman. Kalau kau ingin makan sesuatu yang lain untuk makan malam, kau bisa mengatakannya padaku. Sepulang kerja aku akan membelikannya untukmu," ucap Rex seraya menaruh segelas susu khusus ibu hamil itu di hadapan Jane. Sejenak Jane menatap segelas susu hangat itu lalu kemudian beralih menatap Rex dengan tak enak hati. "Rex... kau sudah sangat sibuk dan lelah oleh urusan pekerjaan, kenapa repot-repot membuatkan susu untukku?" Rex mengangkat bahunya ringan lalu kemudian duduk di seberang Jane dan bertopang dagu menatap Jane lekat-lekat dengan senyuman hangat yang selalu merekah di wajahnya. "Aku tidak merasa kerepotan sama sekali. Mulai dari sekarang aku akan menyiapkan susu hangat dan juga vitamin untukmu," ujarnya enteng. "Kalau pun aku mengatakan untuk jangan melakukannya, kamu pasti akan tetap melakukannya kan?" Senyum di wajah Rex semakin merekah. "Tepat sekali. Karena waktuku bersamamu hanya sebentar, aku tak akan menyia-nyiakan satu
Jane merasakan Rex tak membalas ciumannya, sehingga dia mengernyit dan perlahan membuka matanya yang kemudian langsung bertatapan tepat dengan kedua mata elang Rex yang tengah menatapnya begitu intens pada jarak yang sedekat itu.Dia pun menyudahi ciuman itu dan menatap Rex dengan wajah bingung. "Apa kamu tak menyukainya?"Alih-alih memberikan jawaban, Rex justru tersenyum lebar dan beralih menangkup wajah Jane lalu kemudian memiringkan wajahnya dan mulai mencium Jane lebih intens dan lebih dalam. Lidahnya merangsek masuk, bermain dengan lidah Jane dan beberapa kali melumat dan menggigit bibir Jane dengan gemas."Aku ingin lebih dari sekedar ciuman, Ruby." Rex berucap dengan suara berat.Dari kedua mata Rex, Jane melihat api gairah yang menyala-nyala, walaupun tatapannya saat itu menatap ke arah Jane dengan sayu. Kemudian, Jane pun membuka dua kancing bagian atas dari kemeja longgar yang saat ini dipakainya dan dia pun merentangkan kedua tangannya."Lakukan saja jika anda menginginka
"Aku pulang," ujar Rex mengabarkan kepulangannya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Jane. Lalu kemudian dia tersenyum ketika melihat Jane yang berjalan ke arahnya sambil mengulas senyuman yang sama."Kamu pasti sangat lelah, biar aku bantu meletakan jas dan tas kerjamu." Jane dengan ramah berbicara pada Rex, hendak meraih jas dan tas kerja pria itu, tapi sebelum tangannya menggapai kedua benda itu Rex sudah maju satu langkah dan lebih dulu meligkarkan tangannya untuk memeluk tubuh mungil Jane erat-erat."Senang akhirnya bisa kembali pulang kemari. Hari ini aku merasa sangat lelah," ucapnya sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jane. Hal itu membuat Jane merasa merinding beberapa kali ketika hangat napas Rex membelai lehernya."Kalau begitu ayo ke kamarmu, aku akan minta maid untuk menyiapkan air hangat."Untuk beberapa saat tak ada respon dari Rex, sampai kemudian terdengar helaan napas panjang dari Rex diiring
"Anda memanggil saya?" tanya seorang manager pemasaran yang kebingungan karena tiba-tiba saja dipanggil ke ruangan Rex. "Maaf tuan Milagro, apa saya membuat kesalahan?" lanjutnya risau.Rex menggelengkan kepalanya dan menatap karyawannya itu dengan serius. "Tidak sama sekali. Aku memanggilmu karena urusan lain," ujarnya."Urusan lain?""Aku dengar kau sudah menikah cukup lama dan punya 2 orang anak. Bisakah kau memberitahuku apa saja persiapan yang harus dilakukan calon ayah semasa kehamilan istri?"Karyawan itu sempat terperangah setelah mendengar pertanyaan tak terduga itu. Sejenak dia merasa gugup untuk menjawab, butuh beberapa detik baginya untuk bisa memikirkan jawabannya sampai akhirnya bisa berani dan percaya diri untuk berbicara serius dengan Rex."Saat pertama kali tahu akan jadi seorang ayah, saya lebih dulu mempersiapkan biaya untuk melahirkan nanti tapi karena anda sepertinya tidak perlu menyiapkannya anda bisa mengabaikan bagian ini. Kemudian saya mulai membeli perlengka
"Tuan memberikan izin pada anda untuk pergi keluar rumah walau tanpa pendampingan dari tuan," ujar Elma menyampaikan pesan yang sebelumnya Rex katakan di telepon.Mendengar itu, Jane pun mengangguk mengerti. Dia tak mengatakan apapun, tak bertanya kenapa Rex tak datang ataupun ke mana perginya Rex, dia hanya diam dan membiarkan Elma membantunya berpakaian dan menata rambutnya sampai rapi.Setelah selesai dengan tugasnya Elma pamit pergi, sedangkan Jane menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Dia menatap lekat-lekat pantulan dirinya dengan tatapan datar ketika menyadari wajah sampai ujung kakinya benar-benar membengkak karena pertambahan berat badan yang cukup banyak di masa awal kehamilannya ini."Perutku akan segera membesar dan tak bisa disembunyikan lagi. Apa yang harus aku lakukan saat hal itu terjadi? bagaimana caranya aku bisa menemui Dante?" ujar Jane sedih.Dia menghela napas berat beberapa kali, sebelum kemudian bangkit dan bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Dante di
Rex menarik dirinya dan berbaring di samping Claire dengan napas terengah-engah setelah percintaan mereka. Dia melirik ke arah Claire yang berbaring tanpa menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya, membuat kedua dadanya terekspos bebas di lihat oleh Rex."Apa kau tak merasa kedinginan?" ujarnya seraya menarik selimut sampai sebatas bahu Claire. Bagaimana pun juga dia masih belum terbiasa melihat tubuh polos Claire di situasi ini, rasanya cukup... canggung.Claire melirik sejenak dan memasang wajah datarnya. "Kita sudah bercinta dan kau sudah melihat semua sisi tubuhku, apa yang harus membuatku malu."Akan tetapi saat itu ucapan Claire berbanding terbalik dengan wajahnya yang terlihat merah padam. Jelas sekali Claire tersipu malu, tapi dia tetap berusaha memasang wajah tanpa ekspresi. Karena Claire mulai merasakan panas di pipinya, dia berjingkat bangun dari pembaringannya dan segera mengambil langkah lebar untuk pergi ke kamar mandi.Di dalam sana, Claire berdiri di depan cermin w
"Apa kau sudah gila!" bentak Rex. Dia berusaha mendorong Claire menjauh darinya ketika perempuan itu meraba bagian intimnya dan beralih meraba pinggangnnya untuk mencari letak kepala gesper dan berusaha membuka celananya.Namun, Claire tak sekalipun mengindahkan teguran dari Rex. Dengan wajah yang berurai air mata, Claire tetap melancarkan aksinya dan terus menepis bahkan menarik kasar tangan Rex ketika pria itu berusaha mencegahnya."Bukankah kau selalu menginginkan hal ini dariku sejak kau menikahiku, Rex? Jadi kau diam saja, kali ini aku akan melakukan hal yang kau inginkan selama ini," ujar Claire dengan suara paraunya.Rex benar-benar kebingungan dengan situasi ini, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Perasaannya saat ini benar-benar tak karuan."Jangan bersikap keterlaluan, Claire. Menyingkirlah dariku, saat ini kita berada di tempat kerja.""AKU TIDAK MAU, REX!" bentak Claire dengan nada suara yang meninggi.Seketika Rex terdiam dan memandang Claire dengan tatapan tak perc
Claire berjalan memasuki sebuah gedung apartemen yang sepertinya cukup akrab dengannya. Dia terlihat begitu leluasa berjalan di lorong gedung itu, masuk ke dalam lift dan terlihat sudah tahu betul akan pergi ke lantai berapa dan ketika sampai di lantai yang ditujunya dia dengan santai berjalan di lorong lantai itu lalu kemudian berdiri di sebuah unit apartemen."Dia sepertinya ada di rumah," ujarnya berbicara sendiri lalu mulai menekan pasword pada pengunci pintu sehingga pintu apartemen itu pun bisa dibuka dan dia pun melangkah masuk ke dalam. Dia baru akan melangkah lebih jauh memasuki unit apartemen itu, tapi langkahnya terhenti ketika dia melihat sepatu laki-laki di rak sepatu.Kedua alis Claire langsung bertautan tajam saat melihat hal itu, dengan wajah kesal dia mengambil langkah lebar menuju kamar ketika suara-suara aneh dan suara seorang perempuan yang memanggil-manggil nama Rex mulai terdengar dan menganggunya."Mana muungkin ada Rex di apartemen ini," gumamnya marah. Segera
"Rex, aku akan berpura-pura tak mendengar apapun." Jane berusaha menyudahi suasana tak nyaman ini, tapi Rex bahkan tak mengindahkan ucapannya."Alih-alih bertemu dengan Dante... tolong temui aku lebih awal Ruby. Di kehidupan berikutnya aku benar-benar berharap pertemuan kita ada dalam waktu dan tempat yang tepat. Di kehidupan berikutnya aku harap yang berbagi kebahagiaan denganmu itu adalah aku," ujar Rex yang kian dalam memandang Jane.Jane melihat bahwa Rex benar-benar serius dengan ucapannya, membuat Jane berakhir tenggelam dalam indahnya mata Rex cukup lama sampai akhirnya tersadar dan menatap Rex dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Dia kehingalangan kata-kata dan bingung harus bagaiamana menanggapi ucapan pria itu."Kenapa tiba-tiba?" cicit Jane. Hanya sepenggal kalimat itu yang bisa Jane katakan akhirnya.Rex mengulas senyum tipis. "Entahlah, tapi belakangan ini tiba-tiba aku mulai berandai-andai tentang situasi yang saat ini terjadi. Andai saja aku bertemu denganmu lebih