Rex ingin berbalik pergi, tapi tiba-tiba saja Jane bangkit dan mencekal pergelangan tangan Rex. "Aku mohon tuan... jangan pergi. Nyonya itu sudah berjanji akan membayar saya dengan nominal yang besar.
"Apa kau gila? Lepaskan tanganku!" bentaknya menepis kasar cekalan tangan Jane padanya. "Apa kau tahu alasan istriku sampai bisa membuatmu berada di dalam ruangan ini?"
Dia tetap bersikeras untuk pergi dari sana tanpa memperdulikan panggilan dari Jane yang berusaha menahan kepergiannya. Namun, lagi-lagi sebelum dia bisa memegang handle pintu Jane sudah lebih dulu duduk di depan pintu untuk menghalangi langkah Rex.
"Aku juga tak menginginkan hal seperti ini, tuan... tapi aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar putus asa. Nyonya itu berjanji akan memberikan sejumlah uang yang aku butuhkan jika aku mematuhi keinginannya."
"Apa kau begitu murahan sampai dengan mudahnya menjual tubuhmu hanya demi lembaran uang saja!" teriaknya murka. "Singkirkan tubuhmu dari pintu, aku ingin pergi seka"
Seketika itu juga, Jane duduk bersimpuh di kaki Rex. "T-Tunanganku kritis di ICU. Aku tak punya cukup waktu lagi... aku butuh uangnya. Jangan meninggalkanku seperti ini, kumohon tuan..."
Rex mengusap kasar wajahnya dan menatap Jane dengan tatapan tak percaya. "Aku ternyata salah menilaimu. Aku pikir kau sama sepertiku, terpaksa berada di tempat ini padahal kau tak nyaman sama sekali dengan semua hingar bingar ini. Aku benar-benar tak menyangka kalau kau ternyata tak jauh beda dengan semua orang di sini, lihat... kau bahkan pandai cerita sesedih ini untuk sekadar membuatku bisa tidur denganmu. Benar-benar mengerikan. Sekarang menyingkirlah."
"Tuan, aku mohon..." dengan nelangsa Jane memeluk kaki Rex. Memohon dengan putus asa tanpa memperdulikan akal sehat yang sedari tadi mendesaknya untuk tak melakukan hal memalukan seperti ini.
"Apa kau tahu apa resikonya jika kau menahan kepergianku seperti ini? Apa kau tahu kalau nominal uang yang dijanjikan istriku padamu itu bukanlah untuk sekadar pembayaran jasamu untuk satu hari saja tapi uang itu untuk membeli hidupmu! Tidakkah kau ingin berpikir logis terlebih dahulu dan memperhitungkan kerugianmu?"
"Aku tahu, aku sangat tahu hal itu..." Jane menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum kemudian menengadah dan menatap Rex dengan wajah berurai air mata. "Bahkan jika nominal uang itu adalah segenap nyawaku... aku akan tetap melakukannya."
"Sekalipun kau harus hamil dan melahirkan anak untuk aku dan istriku?"
Jane tertegun sejenak. Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan selanjutnya air mata meleleh membasahi pipinya seiring dengan dia yang menganggukan kepala. "Lakukanlah apapun yang ingin anda lakukan padaku, tuan."
***
"Kuharap kau tak menyesali pilihanmu karena sekarang semuanya sudah terlambat."
Tanpa peringatan apa pun, Rex mendekap wajah Jane dan menciumnya. Ciuman itu memabukan dan menggairahkan. Jane hanya bisa berdiam diri sekalipun alarm bahaya berbunyi di kepalanya dan memintanya untuk segera menghentikan semua ini, tapi hatinya kembali mengingatkan kalau ini semua harus dia lakukan demi kepentingannya juga.
Dengan debar jantung yang samar-samar terdengar dari dalam dada, Rex mengangkat tubuh Jane membaringkannya ke atas tempat tidur dan mengungkung tubuh mungil itu dibawahnya.
Jane memejamkan matanya rapat-rapat dan mencengkram kain sprei kuat-kuat, ketika Rex mulai menipiskan jarak di antara mereka. Hangat napas pria itu pun menerpa wajah Jane, membuat Jane benar-benar merinding.
"Aku sudah menahan diriku sangat lama. Kau salah karena memasrahkan dirimu padaku," ujar Rex begitu lirih dengan suara yang tercekat.
Jane tak menjawab. Dia tetap bergeming di atas tempat tidur, sekalipun saat itu Rex mulai kembali menciumnya dengan lebih dalam dan kian penuh gairah.
Pada detik selanjutnya, Rex benar-benar dikuasai gairahnya sendiri. Ciumannya mulai turun ke rahang dan leher Jane, menciptakan beberapa bekas merah di kulit putih perempuan itu. Sementara tangan pria itu bergerak membuka setiap inci pakaian Jane.
Tubuh Jane menegang ketika tangan besar milik Rex membelai perutnya untuk beberapa detik sebelum kemudian tangan besar itu bergerak ke belakang punggungnya untuk melepas kaitan bra.
"Aku tak bisa menahan diriku lagi. Aku tak peduli sudah berapa banyak pria yang kau layani saat bekerja di tempat ini... aku akan memulai hal yang kau persilakan untuk mulai."
***
"Aaah," Rex mendesah panjang dan bergerak memompa lebih cepat. Sementara Jane hanya diam menegang di pembaringannya dengan kedua mata terpejam dan menggigit bibir bawahnya.
Rasa sakit dan aneh menderanya tiap kali Rex bergerak. Tubuhnya tak henti-hentinya merinding tiap kali tubuh bagian bawahnya terasa sesak oleh milik Rex.
Ketika gerakan Rex kian cepat, Jane merasa benar-benar kacau. Rex terasa kian memenuhinya, kian membuatnya sesak dan... tiba-tiba Rex menghujamkan miliknya dalam-dalam diiringi dengan erangan penuh kenikmatan yang keluar dari mulutnya.
Jane merasa benar-benar hina ketika tubuhnya merasakan gelombang asing disusul sensasi hangat yang terasa memenuhi bagian dalam dirinya. Perlakuan intim yang Rex lakukan padanya membuat tubuhnya begitu sensitif.
"A-Aku... ingin pipis," cicitnya dengan suara terbata. Dia berusaha mendorong Rex untuk menjauh dari atas tubuhnya, tapi kemudian pria itu mencengkram kedua tangannya dan menahannya.
"Itu artinya kau pun akan meledak. Jangan ditahan," bisiknya dengan suara serak nan berat. Dia menyeringai dan kembali memompa Jane dengan ritme pelan, sehingga pada detik itu pula Jane merasa dilambungkan ke atas langit lalu kemudian tersentak oleh perasaannya yang semakin ingin pipis. Tanpa peringatan, tubuhnya mengejang dan melenting merasakan gelombang asing itu. Dia merasa sangat tak nyaman ketika intinya terasa berdenyut sehingga tiba-tiba saja dia menitikan air mata.
***
Rex sudah berpakaian, rapi dengan kemeja yang kini kembali terpasang sempurna di tubuhnya. Sementara itu, Jane masih berbaring di atas tempat tidur, tubuhnya bergulung dalam selimut tebal, berusaha menyembunyikan diri dari dunia luar dan terutama dari tatapan Rex. Hanya matanya yang tampak, mengintip dengan penuh ketakutan dan rasa malu.
Rex menatap Jane dengan pandangan yang sulit ditebak, campuran antara kebingungan, penyesalan, dan sesuatu yang lebih dalam yang tidak ingin diakuinya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka suara. "Apakah ini pengalaman pertamamu?" tanyanya dengan nada lembut yang tidak biasa.
Jane tetap diam, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya berair, menunjukkan kepedihan yang tak terucapkan. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah dari tenggorokannya. Rex menunggu beberapa saat, berharap mendapat jawaban, tetapi hening tetap menyelimuti ruangan.
Rex mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tak tahu siapa namamu, tapi... ini juga pengalaman pertama bagiku," katanya akhirnya, suaranya bergetar sedikit. Jane mengerutkan keningnya, merasa bingung dan heran. Dia menoleh perlahan ke arah Rex, mencoba mencari kebenaran di matanya.
"Aku tak berbohong. Aku memang sudah menjalani pernikahan ini selama beberapa tahun," lanjut Rex dengan nada pahit. "Tapi kami..aku dan istriku, tidak pernah berhubungan layaknya suami istri. Dia... dia tidak menyukai laki-laki." Rex tertawa getir, seakan mengejek dirinya sendiri. "Ironis, bukan? Seorang pria yang menikah tapi tak pernah merasakan apa itu cinta dari seorang istri. Dan istriku bahkan memintaku menidurimu untuk sekadar memenuhi keinginannya yang ingin punya anak demi mempertahankan kekayaannya."
Jane masih tak berbicara, tetapi matanya kini terpaku pada Rex, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ada sesuatu dalam tatapan Rex yang membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski rasa sakit masih menggigit.
"Ketika dia memintaku melakukan ini denganmu, aku merasa marah, terluka, dan bingung," lanjut Rex, suaranya semakin rendah. "Tapi sekarang, setelah semua ini terjadi, aku hanya merasa hampa. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, kau terlihat masih sangat muda. Tapi aku berharap kau tahu bahwa aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku berani menyentuhmu atas persetujuanmu, jadi dikemudian hari ketika kau merasa menyesali keputusanmu... jangan salahkan aku."
Jane masih saja diam. Tapi kali ini dia memejamkan matanya rapat-rapat, membuat bulir-bulir air mata meleleh membasahi pipinya dan Rex melihat pemandangan itu.
"Aku tak tahu apa alasanmu sampai tiba di tempat seperti ini. Aku pikir kau... kau sama seperti semua perempuan yang bekerja di sini."
Jane menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara lalu membuka matanya dan menatap Rex dengan tatapan sayu. "Aku... aku melakukannya karena aku butuh uang," katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Tunangan saya, dia kritis di ICU dan aku tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang secepat ini."
Rex mengangguk pelan, matanya tertutup sejenak. "Aku mengerti," gumamnya. "Rupanya alasan yang kau katakan sejak awal bukanlah kebohongan. Maaf karena aku sudah mengatakan hal-hal buruk.Oh iya, karena aku adalah pria pertama yang menyentuhmu dan kau pun perempuan pertama yang kusentuh, juga kau menerima secara penuh perjanjian dengan istriku, aku harap setelah hari ini kau tak bertemu pria lain. Kau harus fokus pada rencana untuk segera hamil anakku."
Rex berdiri dari tempat tidur, berjalan menuju pintu. Tapi sebelum dia keluar, dia menoleh sekali lagi ke arah Jane. "Aku benar-benar berharap yang terbaik untukmu dan tunanganmu. Semoga dia segera sembuh."
Jane hanya mengangguk, menatap punggung Rex yang semakin menjauh. Pintu tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Jane sendirian dalam keheningan yang penuh dengan berbagai emosi yang belum terselesaikan. Dia menarik selimut lebih erat, air mata mengalir di pipinya. Meski sakit dan malu, ada secercah harapan yang muncul dari kata-kata Rex. Dunia memang tidak adil, tapi mungkin, hanya mungkin, ada harapan di balik semua penderitaan ini.
Jane mendapatkan sejumlah uang dari istri Rex. Dengan tangan gemetar, dia memasukkan gepokan uang itu ke dalam tasnya. Matanya berair, air mata perlahan jatuh membasahi pipinya. Dia keluar dari klub malam itu, berjalan dengan langkah berat dan penuh beban. Sambil menangis, Jane memeluk tasnya erat-erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa memberinya kekuatan untuk melangkah.Wajahnya berurai air mata sepanjang jalan pulang. Setiap langkah terasa begitu berat, setiap napas terasa penuh dengan kesakitan dan penyesalan. Ketika dia sampai di tepi jalan, Jane mengangkat tangannya, berusaha menghentikan taksi yang lewat. Ketika sebuah taksi berhenti di depannya, dia hampir terjatuh ke dalamnya, menangis pilu di kursi belakang.Sopir taksi menoleh dengan cemas, tetapi Jane hanya memandang ke luar jendela, air mata terus mengalir tanpa henti. "Kemana, Nona?" tanya sopir itu dengan lembut."Ke... ke rumah saya," jawab Jane terisak, memberikan alamatnya dengan suara gemetar. Sopir itu mengang
Di dalam Jaquzi yang diisi penuh oleh air hangat beraroma mawar bercampur manisnya vanila itu Jane berendam dengan wajah datar dan kedua mata yang menatap nanar ke arah jendela yang langsung menyuguhkan pemandangan hamparan daun maple yang memerah.Sejenak Jane memejamkan kepalanya saat merasakan tangan maid mulain memijat kepalanya. Dia tak bohong kalau pijatan itu dan aroma terapi yang dituankan ke dalam air cukup menenangkan pikiran dan tubuhnya. Kemudian, dengan perlahan Jane pun kembali membuka matanya dan kembali menatap lekat-lekat sosok maid itu melalui cermin."Apa kau selalu bertugas melakukan semua pelayanan seperti ini pada setiap perempuan yang dibawa tuan Rex?" tanya Jane tanpa tedeng aling-aling. Dia bahkan tak peduli sekalipun maid itu berpeluang akan mengadukan pembicaraan ini pada Rex. Ini semua dia lakukan didasari oleh ketidak percayaannya pada cerita ironis yang dikatakan Rex pada pertemuan pertama mereka."Setiap perempuan?" cicit maid itu terdengar bingung."Mak
"Dari mana saja kau Rex kenapa kau baru pulang sepagi ini, berada di mana kau kemarin?" tanya Claire sinis sambil menyesap teh hangatnya.Rex yang pagi itu baru pulang ke rumahnya hanya melirik sebentar ke arah istrinya dan kemudian melangkah pergi menuju kamarnya. "Ini masih pagi dan aku lelah, Claire. Jangan mengajakku berdebat," jawab Rex datar.Claire mendengus sinis dan menatap tajam punggung Rex. "Aku dengar kau memelihara perempuan murahan itu di rumah ibumu. Bukankah itu keterlaluan? Selama pernikahan kita kau bahkan tak pernah mengizinkanku untuk sekadar menginjak rumput di halaman rumah ibumu itu. Rupanya kau menyukai pelacur itu, hm?" Rex menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Claire. "Apa sekarang kau mulai cemburu pada perempuan yang kau pilih sendiri untuk aku tiduri?"Claire kembali mendengus sinis dan kali ini dia tersenyum mencemooh Rex. "Tidak sama sekali. Aku tak peduli sekalipun kau setiap hari menghabiskan semalaman suntuk untuk berhubungan intim dengan per
Dengan napas terengah-engah karena berlarian dari parkiran mobil sampai ke IGD. Disana dia mencari keberadaan Rex dan langsung terpaku di tempatnya untuk beberapa detik ketika perawat mengantarkanya pada salah satu bangsal yang dibuka tirainya.Di sana Rex terlihat berbaring tak sadarkan diri dengan kepala yang dibebat perban dan tangan yang penuh goresan. Darah bahkan masih terlihat di perban dan pada luka di tangan pria itu."Bodoh," gerutunya saat melangkahkan kakinya menghampiri Rex. "Tak ada yang lebih bodoh dari kau, Rex. Bisa-bisa baru sebentar keluar rumah kau langsung masuk rumah sakit," tambahnya.Raut kesal dan khawatir memenuhi wajah cantik Claire. Tak lama kemudian dokter yang ditemani perawat pun datang menghampiri dan menjelaskan kondisii Rex."Luka di kepala sudah mendapat jahitan, pendarahannya sudah berhenti. Mungkin anda harus menunggu beberapa waktu sampai pasien sadarkan diri," jelasnya.Claire mengangguk. "Apa kondis
"Peliharaan?" Sepeninggalnya Claire, Jane mengulangi satu kata itu dengan sedih. "Ternyata bagi tuan Rex aku hanya seekor peliharaan," lanjutnya nelangsa.Dengan langkah gontai dia berjalan menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Dari jarak beberapa langkah dia bisa melihat kalau pintu kamarnya terbuka, sehingga pada detik itu juga dia mengarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahaan. Dia berusaha menetralkan perasaan yang berkecamuk di dadanya dan berusaha memupuk keberaniannya sebelum masuk ke dalam kamarnya itu.Saat melangkah masuk ke dalam kamar, Jane tertegun di tempatnya untuk beberapa saat saat melihat pemandangan di hadapannya. "Tuan... apa yang telah terjadi pada anda?" cicitnya.Dia sedikit terkejut melihat keadaan Rex yang kini terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan tangan dan kepala yang dibebat perban.Mendengar pertanyaan dari Jane, perlahan Rex pun membuka matanya dan sedikit bergerak melirik ke arah perempua
Rex terbangun dari tidurnya karena rasa berdenyut di kepalanya. Saat pertama kali membuka mata, wajah cantik Jane yang tengah terlelap tidur jadi pemandangan yang menyambutnya."Kau masih sangat muda," gumam Rex seraya mengulurkan tangannya untuk membelai lembut pipi Jane.Cukup lama dia memandangi wajah cantik yang tengah terlelap itu. Dia terpesona berkali-kali melihat indahnya bentuk mata, hidung dan bibir Jane."Aku baru teringat kalau kau punya warna mata yang sangat indah." Jemari Rex membelai mata, hidung, pipi lalu kemudian berhenti di bibir ranum perempuan itu.Ingatannya tentang ciuman di hari pertama pertemuan mereka, membuat sesuatu di dalam dirinya bergejolak sehingga tanpa sadar membuatnya bergerak mendekatkan wajahnya pada wajah Jane dan perlahan mencium bibir perempuan itu dengan lembut.Ciuman itu membuat Jane terlihat gelisah dalam tidurnya dan Rex yang menyadari hal itu pun segera menyudahi ciumannya dan bergegas pergi
Dengan napas terengah-engah, Rex beringsut menarik dirinya menjauh dari Jane dan terbaring tepat di samping perempuan itu. Untuk waktu yang lama, Rex terus memandangi wajah Jane yang merah padam karena lelah dan juga...malu. Lantas kemudian Rex pun mengulurkan jemarinya untuk menyelipkan anak-anak rambut yang menghalangi wajah cantik Jane."Apa aku menyakitimu," tanya Rex dengan suara lembutnya. Dia kian intens memandangi wajah Jane untuk menunggu jawabannya.Jane menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak," cicitnya.Lantas tanpa kata, Rex menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua lalu kemudian dia pun merengkuh Jane ke dalam pelukannya dan memeluknya erat-erat. Hal itu sempat membuat Jane terkejut untuk beberapa detik karena sadar bahwa saat ini kepalanya menekan lengan pria itu yang sedang terluka."Tuan, tangan anda...""Tak apa, Ruby. Biarkan aku tetap berada dalam posisi ini," ucapnya membuat Jane tak lagi mengeluarkan komentar apap
"Hari ke berapa ini Rex? Kau tampaknya sangat betah sekali di sana sampai-sampai lupa jalan pulang," ujar Claire penuh sindiran begitu melihat Rex melangkah masuk ke dalam rumah."Hari ke 20," jawab Rex singkat dan dengan santainya dia duduk di hadapan Claire untuk ikut makan malam dengan istrinya itu.Suara tawa kecil terdengar dari Claire yang kini menatap Rex dengan tatapan mengejek. "Rupanya kau sangat menyukai perempuan itu. Apa hubungan pria dewasa dan perempuan dewasa secandu itu bagimu? apa bagusnya hubungan seperti itu?""Aku pikir kau akan mengerti seperti apa ikatanku dengan Jane saat ini karena kau pun menjalani ikatan hubungan yang sedikit... sama walaupun tak wajar.""Kalau begitu apa peliharaanmu itu sudah menunjukan tanda kehamilan? Pastikan dia segera hamil."Rex benar-benar benci tiap kali Claire menggunakan istilah kasar itu untuk memanggil Jane. Namun kali ini Rex memilih untuk pura-pura tak mendengar pada bagian itu."Na
"Entah kenapa, tapi rasanya hari ini kau sedang berusaha bersikap manis padaku." Rex bertopang dagu menatap Jane dengan tatapan jenaka. "Ada apa, jangan bilang kalau ini adalah cara yang kamu lakukan karena merasa bersalah?"Jane hanya menunduk malu. "Tak sepenuhnya begitu, tapi aku juga tak bisa mengelak bahwa aku sedang bersikap manis padamu.""Jadi, jika tak sepenuhnya didasari oleh rasa bersalah lantas apa alasanmu bersikap manis padaku?""Karena ingin saja. Apa kamu merasa tidak nyaman dengan sikapku yang tiba-tiba begini? Jika iya, aku tidak akan-""Aku menyukainya. Aku merasa kita lebih akrab jika kau bersikap manis seperti ini, jadi teruskan saja." Rex menyudahi ucapannya dengan meneguk habis jeruk di gelasnya dan menyelesaikan sarapannya dengan senyuman senang. "Hari ini aku mengambil waktu cutiku sampai besok. Setelah aku selesai mandi, mau bersantai denganku di taman belakang?""Iya," jawab Jane singkat. Pembicaraan mereka sebelumnya benar-benar membuat Jane mendadak kehila
"Kau pergilah istirahat. Aku akan kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang harus ku kerjakan," ujar Rex berpamitan sambil mengusap sayang puncak kepala Jane terlebih dahulu sebelum kemudian pergi.Jane melihat kepergian Rex untuk beberapa saat lalu akhirnya mengikuti langkah Elma yang menemaninya untuk menuju kamar tidurnya. Selama Elma membantunya menaiki tangga, selama itu pula Elma memandangi wajahnya lekat-lekat."Ada apa, Elma... apa ada hal yang ingin kau katakan padaku?""Apa anda baik-baik saja?" tanya Elma akhirnya."Iya aku baik-baik saja. Apa ada masalah yang tidak kuketahui?" jawab Jane yang kemudian balik bertanya."Sebenarnya beberapa jam yang lalu tuan pulang dengan panik mencari anda karena pihak rumah sakit berkata kalau anda hilang. Tuan tampak sangat panik mencari anda, supirnya bilang kalau kepanikan itu terjadi karena tuan mendapati darah di kamar rawat anda tapi tak menemukan keberadaan anda di sekitar rumah sakit. Kepanikannya kian menggila ketika dia tak men
Suara teriakan tertahan itu terdengar jadi Dante ketika selang bantu napas itu ditarik keluar dari mulutnya, membuat rasa perih seketika mendera tenggorokannya. Saat itu, hanya lelehan air mata yang bisa menjabarkan betapa tersiksanya Dante saat itu.Jane yang mendengarnya hanya bisa meringis sedih. Dia menatap Fany dengan bimbang, menebak-nebak apa kiranya yang terjadi di dalam sana dalam waktu yang cukup lama dan sampai-sampai terdengar suara jeritan."Kau mendengarnya kan, Fany? Apa Dante baik-baik saja di dalam sana? Suara jeritan yang tertahan itu terdengar seperti sedang sangat kesakitan ya kan?" tanya Jane bertubi-tubi.Fany tersenyum hangat lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut punggung Jane. "Tenanglah. Dokter sedang memeriksa kondisi vital Dante, mereka tak mungkin gegabah dalam melakukan tindakan. Dante pasti baik-baik saja," ucapnya.Helaan napas berat terdengar dari Jane yang kini memandang ruangan ICU yang ditempati Dante dengan perasaan yang semakin resah. Na
Jane pikir yang harus dia khawatirkan hanyalah kemarahan Claire saja lalu kemudian dia bisa menjalani kehamilannya dengan nyaman. Namun, ternyata tak semudah itu kemarahan Claire kali ini lebih buruk dari sebelum-sebelumnya."Jangan pernah merebut kebahagiaanku," tegas Claire yang menatap Jane dengan benci. "Ada apa dengan semua orang belakangan ini? Kenapa kau menyukai Rex, temanku menyukai Rex, lalu siapa lagi dan berapa banyak lagi orang yang akan menyukainya? Menyebalkan!"Mendengar semua kemarahan itu Jane hanya bisa menunduk, tak bisa mengatakan apapun. Walau jauh di dalam hatinya Jane ingin sekali menjawab dan mengutarakan pembelaannya bahwa dia tak sedang menyukai Rex. Kecurigaan Claire itu salah."Hanya aku yang boleh dicintai oleh Rex. Kau seharusnya bersikap tahu diri untuk tak melibatkan Rex terlalu jauh bersamamu. Bukankah kau punya calon suami? Apa kau sangat murahan sampai-sampai kau berharap bisa mendapatkan dua pria sekaligus?" Claire menc
"Aku tahu anda ingin melindungiku dan bayi di dalam perutku, tapi tolong... jangan bersikap terlalu manis padaku. Sebab, kamu punya istri dan aku punya calon suami. Kita harus fokus pada tujuan utama kerja sama di antara kita dibangun," ujar Jane tenang, tapi sarat akan ketegasan.Rex tampak tertegun sejenak, sebelum kemudian tersenyum hangat dan mengangkat kedua bahunya ringan."Aku tak peduli dengan semua kekhawatiranmu tentang hal yang terjadi di antara kita. Aku akan tetap bersikap seperti ini selagi kontrak di antara kita masih berlaku," tandasnya sembari dengan santainya menyuapkan potongan kimbab dan ayam tepung itu ke dalam mulut Jane. Seolah-olah saja dia sengaja melakukannya untuk membuat Jane berhenti protes."Makanlah dengan nyaman, jangan memikirkan apapun yang membuat dirimu terbebani. Kau tak perlu khawatir aku akan jatuh cinta padamu dan memperumit urusan di antara kita, bukankah aku sudah berjanji akan memastikan hidupmu bersama tunanganmu
"Jangan menatap pada tanganmu, kau akan ketakutan." Dengan lembut Rex menahan wajah Jane agar tak menatap ke arah tangannya yang sedang dibantu dipasangkan infus oleh seorang perawat.Rex membuat Jane hanya menatap ke arahnya. Jane hanya bisa diam menurut dan menatap Rex dengan tatapan sayu, sedangkan Rex melayangkan tatapan teduhnya pada Jane yang membuatnya merasa lebih tenang.Jane meringis ketika jarum infus mulai menembus pembuluh vena di tangannya, tapi segera Rex membelai pipinya lembut dan terus mengatakan kalimat penenang untuk Jane agar rasa sakitnya sedikit teralihkan.Infus pun selesai dipasang dan Rex pun tersenyum hangat pada Jane. "Kau hebat sekali karean sudah menahan rasa sakitmu dengan baik.""Tapi jika aku di rawat di rumah sakit, aku akan jadi sangat merepotkanmu dan para maid.""Itu bukan masalah besar.""Maaf," cicit Jane."Permintaan maaf untuk apa?""Karena tubuhku yang lemah dan merepotkanmu sampai sejauh ini, ketika banyak sekali perempuan di luar sana yang h
Claire duduk termenung di balkon, tubuhnya diselimuti cahaya temaram dari lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Angin malam berembus lembut, membawa aroma tembakau dari rokok yang dihisapnya. Tangan kirinya menggantung lemas di sisi kursi, sementara tangan kanannya memegang rokok yang hampir habis terbakar. Wajahnya tampak kosong, tetapi ada kedalaman emosi yang sulit terbaca.Dari dalam kamar, suara langkah ringan mendekat. Selly, dengan tubuh yang hanya dibalut handuk putih, muncul di ambang pintu balkon. Dia bersandar sejenak di kusen pintu sebelum berjalan menghampiri Claire. Dengan gerakan santai, dia mengambil sebatang rokok dari kotak yang tergeletak di meja kecil di dekat Claire."Kau terlihat aneh malam ini," ujar Selly sambil menyalakan rokoknya. Matanya menyipit menatap Claire, mencoba membaca pikirannya. "Apa kau bertengkar lagi dengan suamimu?"Claire menghela napas panjang sebelum menoleh sekilas ke arah Selly. "Tidak," jawabnya singkat. "Kami baik-baik saja. Aku h
"Apa perasaanmu sekarang sudah lebih baik?" tanya Rex di perjalanan pulang.Jane yang sedari tadi lebih banyak diam daripada biasanya itu pun hanya menoleh dan mengangguk lesu. "Sedikit lebih tenang setelah melihat sendiri kalau kondisi Dante sudah lebih stabil.""Syukurlah. Dia pasti akan segera pulih, buktinya dia sudah bertahan sampai sejauh ini karena tahu kau tetap menunggunya.""Kamu benar," sahut Jane dengan suara seraknya karena terlalu banyak menangis. Dia mengangguk setuju sekaligus mengaminkan ucapan Rex. "Aku harap Dante bisa segera sadar dari koma dan kembali pulih. Aku melakukan semua ini agar bisa melihatnya kembali sehat seperti dulu, walaupun aku juga tak tahu apa dia akan menerimaku kembali jika tahu apa yang sudah kulakukan saat dia terbaring koma."Jane menatap kosong jalanan di depannya. Pikirannya melayang jauh entah kemana, sebab ternyata rasa lega yang dia rasakan sebelumnya tak serta merta menghilangkan rasa kekhawatirannya tentang masa depan."Tenang saja, Ru
Rex melihat puluhan panggilan telepon dari Ruby dan juga maid. Dia meringis membayangkan betapa kalutnya Jane saat itu sampai dia meneleponnya sebanyak itu.Dengan gelisah, Rex pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera pergi menemui Jane. Jalanan perbukitan yang kosong membuat Rex bisa leluasa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi sehingga akhirnya dia sampai di mansion dan segera berlari masuk."Ruby," panggilnya tergesa-gesa melangkah masuk.Dia hendak pergi ke kamar saat dia melihat maid yang memberikan kode dengan menunjuk ke arah sofa, sehingga Rex tahu kalau Jane ada di sana. Tanpa banyak bicara Rex melangkah menuju sofa untuk sekadar menemukan pemandangan Jane yang berbaring di sofa dengan wajah yang terlihat gelisah."Ruby," panggil Rex lembut. Dia sedikit merunduk untuk membangunkan Jane."Nona Jane tertidur setelah lelah menangis, tuan." Suara Elma memberitahu Rex.Rex semakin merasa bersalah karena membiarkan Jane kalut dalam waktu yang sangat lama. Dia pun ke