Di taman,Di mana Zara dan Raisa setengah duduk di sana, dengan beberapa minuman dan juga cemilan yang menemani."Raisa, kamu tau? Mahesa bukanlah orang yang memiliki kepedulian besar kepada orang lain. Baru kali ini aku melihatnya begitu memperdulikanmu," lirih Zara yang membuat Raisa menoleh ke arahnya. "Dia tidak pernah turun langsung ke tempat-tempat yang biasa, jika dia memerlukan sesuatu dia akan meminta orang lain untuk memenuhinya. Tapi kemarin saat kamu ngidam, dia sendiri yang menawarkan diri untuk mengantarkanmu ke sana. Aku merasa cemburu, namun aku tetap berpikir positif bahwa dia melakukannya hanya untuk bayinya."Seketika itu juga Raisa merasa tak enak pada Zara, "Maafkan aku, Zar."Zara terkekeh ketika Raisa meminta maaf padanya. " Kenapa kamu minta maaf? Ini bukan salah kamu, itu keinginan dari bayimu. Bukan begitu?"Raisa hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban."Lalu apa setelah malam itu kamu memiliki perasaan lebih terhadapnya?" Tiba-tiba saja Zara menanyakan
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, dimana Mahesa tengah bersiap untuk pergi menuju sebuah restoran yang tak jauh dari kantornya."Pak, untuk makan siang ini apa saya perlu memesankan sesuatu?" tanya Laura ketika ia berada di ruangan Mahesa.Mahesa menoleh. "Tidak Laura, aku akan makan siang diluar hari ini.""Baiklah kalau begitu, saya permisi." "Hem..." angguk Mahesa seraya menyambar ponselnya dan bergegas turun untuk menghampiri sopirnya yang sudah menunggu."Ke Batavia Cafe ya," ujar Mahesa saat sopirnya sudah duduk di kursi kemudi."Baik tuan,” angguknyaBroommMobil pun mulai melaju meninggalkan area perkantoran menuju Cafe tersebut, di mana seorang pria tengah menunggunya di sana. Yang sesekali ia melirik ke arah jam tangannya."Maaf sudah membuat Anda menunggu," kata Mahesa seraya mendudukkan diri di hadapan pria itu."Tidak apa-apa Tuan, bagaimana kabar Anda? Sudah hampir setengah tahun kita tidak bertemu.""Aku baik Ronald, bagaimana denganmu dan Jenny?" lanjut Mahesa.
Zara bergelayut manja di lengan Mahesa dan menuntunnya untuk masuk ke dalam kamar."Tumben banget, kamu gak ngasih kabar kalo mau pulang?" tanya Zara seraya menutup pintu kamarnya."Maafkan aku Zar, aku lupa karena aku terlalu bersemangat untuk menemuimu." Bersamaan itu Mahesa meletakan tasnya.Zara tersenyum, menghampiri Mahesa dan mengalungkan tangannya di leher sang suami dengan tatapan nakalnya. "Jadi kamu sangat merindukan aku?"Mahesa menahan nafasnya, dimana ia tengah mencoba menahan diri."Sayang, aku sangat lelah. Jadi bisakah kamu menyiapkan air untukku, aku ingin berendam,” pinta Mahesa.Zara menghela nafas berat, dengan tangan yang ia lepaskan dari Mahesa. "Hmm baiklah."Saat itu juga Zara berlalu menuju kamar mandi untuk mengisi air dalam bathtub, tak lupa ia pun memasukkan sabun ke dalamnya, sehingga bathtub tersebut dipenuhi oleh busa yang berlimpah. Sedangkan Mahesa kini tengah melepaskan dasi dan juga jasnya.Kemudian Zara keluar dari sana dan menghampirinya. "Airnya
Malam pun tiba, Mahesa dan juga Zara tengah bersantai ria di balkon kamar mereka."Sayang, besok kamu berangkatnya agak siang, ya?" Zara melirik ke arah Mahesa yang ada di sebelahnya, tampak suaminya itu tengah asyik memainkan ponselnya."Memangnya ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan."Apa kamu lupa? Besok kita harus membawa Raisa ke klinik untuk USG. Aku sangat penasaran dengan jenis kelamin bayi kita," seru Zara yang begitu antusias.Mendengar hal itu Mahesa berhenti mengetik ponselnya. "Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan perihal anakku sendiri."Zara memeluk lengan Mahesa dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Mungkin karena kamu terlalu sibuk di kantor, sehingga lupa dengan jadwal pemeriksaannya."Mahesa manggut-manggut. "Mungkin saja, jadi kapan kita berangkat ke klinik?""Mungkin sekitar jam 07.30 pagi,” sahut Zara."Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Sean untuk menggantikanku.”"Hemm," angguk Zara yang tengah menikmati malam ini.***Keesokan harinya,Raisa sudah bersiap-s
Sesampainya di rumah,Mahesa dan Zara segera membagikan kue-kue kepada para maid dan penjaga rumah, sebagai bentuk perayaan."Terimakasih Tuan," senyum Laras dan Tari ketika mereka menerima bingkisan itu.TringTiba-tiba saja ponsel Zara berdering dengan nomor yang tidak diketahui, dimana ia sudah yakin bahwa yang menelponnya adalah Damian.Saat itu juga ia melirik ke arah Mahesa. "Sayang... Aku terima telpon dulu ya? Soalnya penting dari Om aku.""Iya," angguk Mahesa yang sebenarnya menaruh curiga padanya.Zara kemudian berlalu menjauhi mereka semua."Bu Titi, kamu tolong bagikan ini semua ke yang lain ya?" ujar Mahesa yang hendak menyusul Zara.Raisa yang berada di sana hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung.Setelah mendapatkan tempat yang aman di dekat taman belakang, Zara kemudian mengangkat telepon darinya."Ada apa sayang!? Kenapa kamu menelponku? Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menelponku, jika bukan aku yang menelponmu,” omel Zara padanya.Dengan heran Damian me
Damian menyunggingkan senyumannya ketika melewati Raisa. Sedangkan Raisa tampaknya masih shock, hingga akhirnya Laras datang menghampirinya."Mari ikut saya Nona," ujarnya seraya menuntun Raisa untuk kembali ke kamarnya.Raisa hanya menurut sembari melangkahkan kakinya, walaupun kini pikirannya tengah porak poranda.Sesampainya di kamar,Raisa menempatkan dirinya di atas tempat tidur, dengan Laras yang kini tengah mengunci kamarnya."Ada apa, Nona?" tanya Laras yang menghampirinya."Aku sangat mengkhawatirkan mereka, kamu mendengarnya bukan? Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk." Raisa tak bisa menyembunyikan ketegangannya.Laras mencoba untuk menenangkan Raisa. "Saya juga sangat terkejut dengan semuanya, dan berharap ini bukanlah masalah besar seperti yang kita duga."Raisa menganggukan kepalanya dan menjawab, "Aku juga berharap seperti itu Ras... Aku tidak tahu bagaimana nasibku, jika mereka berpisah. Bagaimana dengan anak ini? Apakah mereka masih mau menerimanya atau tidak, sedang
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,