Malam pun tiba, Mahesa dan juga Zara tengah bersantai ria di balkon kamar mereka."Sayang, besok kamu berangkatnya agak siang, ya?" Zara melirik ke arah Mahesa yang ada di sebelahnya, tampak suaminya itu tengah asyik memainkan ponselnya."Memangnya ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan."Apa kamu lupa? Besok kita harus membawa Raisa ke klinik untuk USG. Aku sangat penasaran dengan jenis kelamin bayi kita," seru Zara yang begitu antusias.Mendengar hal itu Mahesa berhenti mengetik ponselnya. "Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan perihal anakku sendiri."Zara memeluk lengan Mahesa dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Mungkin karena kamu terlalu sibuk di kantor, sehingga lupa dengan jadwal pemeriksaannya."Mahesa manggut-manggut. "Mungkin saja, jadi kapan kita berangkat ke klinik?""Mungkin sekitar jam 07.30 pagi,” sahut Zara."Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Sean untuk menggantikanku.”"Hemm," angguk Zara yang tengah menikmati malam ini.***Keesokan harinya,Raisa sudah bersiap-s
Sesampainya di rumah,Mahesa dan Zara segera membagikan kue-kue kepada para maid dan penjaga rumah, sebagai bentuk perayaan."Terimakasih Tuan," senyum Laras dan Tari ketika mereka menerima bingkisan itu.TringTiba-tiba saja ponsel Zara berdering dengan nomor yang tidak diketahui, dimana ia sudah yakin bahwa yang menelponnya adalah Damian.Saat itu juga ia melirik ke arah Mahesa. "Sayang... Aku terima telpon dulu ya? Soalnya penting dari Om aku.""Iya," angguk Mahesa yang sebenarnya menaruh curiga padanya.Zara kemudian berlalu menjauhi mereka semua."Bu Titi, kamu tolong bagikan ini semua ke yang lain ya?" ujar Mahesa yang hendak menyusul Zara.Raisa yang berada di sana hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung.Setelah mendapatkan tempat yang aman di dekat taman belakang, Zara kemudian mengangkat telepon darinya."Ada apa sayang!? Kenapa kamu menelponku? Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menelponku, jika bukan aku yang menelponmu,” omel Zara padanya.Dengan heran Damian me
Damian menyunggingkan senyumannya ketika melewati Raisa. Sedangkan Raisa tampaknya masih shock, hingga akhirnya Laras datang menghampirinya."Mari ikut saya Nona," ujarnya seraya menuntun Raisa untuk kembali ke kamarnya.Raisa hanya menurut sembari melangkahkan kakinya, walaupun kini pikirannya tengah porak poranda.Sesampainya di kamar,Raisa menempatkan dirinya di atas tempat tidur, dengan Laras yang kini tengah mengunci kamarnya."Ada apa, Nona?" tanya Laras yang menghampirinya."Aku sangat mengkhawatirkan mereka, kamu mendengarnya bukan? Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk." Raisa tak bisa menyembunyikan ketegangannya.Laras mencoba untuk menenangkan Raisa. "Saya juga sangat terkejut dengan semuanya, dan berharap ini bukanlah masalah besar seperti yang kita duga."Raisa menganggukan kepalanya dan menjawab, "Aku juga berharap seperti itu Ras... Aku tidak tahu bagaimana nasibku, jika mereka berpisah. Bagaimana dengan anak ini? Apakah mereka masih mau menerimanya atau tidak, sedang
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an