"Aku tidak pernah menginginkan kamu apalagi pernikahan ini sejak awal. Kamu hanya akan menjadi tanggung jawabku, bukan orang yang aku anggap sebagai pendampingku."
Ele mendengar ucapan itu keluar dari bibir Efendy Chislon Abimanyu. Laki-laki dua puluh lima tahun itu tengah menatapnya datar. Elle menunduk di atas kursi rodanya. Kemarin, mereka sudah mengucapkan janji suci pernikahan atas dasar pemenuhan janji Effendy pada mendiang ibunya. Dan ini adalah kali kedua mereka bertemu kembali setelah pernikahan selesai dilangsungkan. Effendy tidak meminta pendapat Eleanor dalam pernikahan mereka sama sekali. Dia hanya menyeret Ele masuk dalam altar, di mana janji suci seharusnya diucapkan tanpa paksaan. Effendy duduk di atas sofa di tengah ruang tamu kediamannya, terlihat mengamati Eleanor dengan pandangan menilai. Melihat Eleanor tidak jua memberi tanggapan, Effendy menyilangkan kakinya dengan angkuh. Ruang tamu luas keluarga Abimanyu itu berselimut sepi yang kosong, memperjelas kecanggungan dan jarak di antara keduanya. "Kenapa kamu tidak menjawab?" Effendy tersenyum miring. "Jangan bilang kamu juga mengharapkan pernikahan ini." "Aku... Hanya merasa tidak enak," ujar Ele dengan nada tertahan. Ele dapat melihat sorot meremehkan dalam pandangan Effendy. Alih-alih sedih, Ele lebih terlihat merasa bersalah. "Kalau Tuan tidak menginginkan pernikahan ini, seharusnya Tuan tidak menikahiku dan menyiksa diri Tuan sendiri." Effendy mengubah posisinya, dari yang menyilangkan kaki menjadi duduk tegap. Tampak pria itu agak terganggu mendengar cara Eleanor menyebutnya. Laki-laki itu mengeleng ke arahnya. "Eleanor..." Effendy mengingat nama yang diucapkannya kemarin di tengah-tengah altar di depan pendeta saat mereka mengucapkan janji suci. Eleanor mengangguk samar. "Aku melakukan ini atas permintaan ibuku. Aku tidak bisa mengingkari janji pada perempuan yang paling aku cintai di dunia ini. Maka, jika aku sekalipun harus menikahi seorang wanita murahan, aku akan tetap menikahinya jika itu yang diinginkan ibuku," desisnya dingin. "Maka nikmati saja peranmu. Ingat, tidak boleh ada kontak fisik di antara kita, kau tidak boleh mengakui statusmu dan tidak boleh memunculkan dirimu saat aku bersama dengan kolegaku maupun teman-temanku." "Apa ini yang Nyonya Theresa mau?” tanya Ele dengan perasaan yang sesak. "Jangan menanyakan hal yang tidak perlu kau tanyakan," cetus Effendy. Mendengar jawaban dingin itu, perasaan Ele membeku. Ele menyelamatkan ibunda Effendy dari kecelakaan saat Nyonya Theresa nyaris ditabrak mobil. Dia mengutamakan naluri kemanusiaannya meski pada akhirnya dia harus berakhir di kursi roda. Dan Ele tidak tahu bahwa wanita yang ditolongnya adalah Therese Gallia Abimanyu, istri mendiang konglomerat Indonesia, Astakara Abimanyu. Setelah Ele monolongnya, Nyonya Theresa selalu mengunjunginya setiap hari di rumah sakit. Sayangnya, Nyonya Theresa meninggal bulan lalu karena penyakit kanker yang dideritanya. Sebelum meninggal, perempuan itu menitipkan pesan pada putra tunggalnya, Effendy Chislon Abimanyu untuk menikahi Ele. Dan, disinilah Eleanor sekarang, dinikahi seorang pria yang bahkan baru di awal pernikahan mereka tampak sudah ingin menyuguhkan “neraka”. Eleanor menggigit bibirnya pelan. "Di rumah ini ada delapan orang maid, dua diantaranya yang akan mengurusi keperluanmu. Jika kau butuh sesuatu, hubungi mereka, jangan melapor atau menghubungiku jika tidak benar-benar urgent. Kau mengerti?" "Ya," jawab Eleanor pendek. Effendy berdiri dan meninggalkan Elle yang duduk di atas kursi roda itu. Dia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Sekejap kemudian tubuhnya yang tegap dan tinggi menghilang di balik lekukan tangga. "Mari Nona, saya antar ke kamar." Ele tampak sedikit terkejut saat saat suara seorang perempuan menyeruak di belakangnya. Dia menoleh kebingungan. Seorang wanita muda dengan pakaian maid tersenyum ke arahnya. Sang maid mendorong kursi roda Ele memasuki sebuah kamar yang lumayan luas dengan nuansa cream yang memukau. Ranjangnya luas, mengingatkan Ele pada ranjang para putri di film-film disney. "Ini adalah kamar Anda Nona," ungkap sang maid ramah sembari menyibak gorden jendela kamar yang cukup lebar. Pemandangan taman samping kediaman Abimanyu langsung tampak begitu gorden disingkapkan. "Saya Maritha, maid pribadi Anda." Eleanor mengangguk. "Dengan keadaanku yang sekarang, aku rasa kehadiranmu akan sangat membantuku," balas Eleanor sembari tersenyum. Maritha terlihat tulus, dia membawa ekspresi tenang dan dewasa. "Saya akan membantu Anda membersihkan diri." Dengan dipapah oleh Maritha, Eleanor masuk ke dalam bath up berisi air setelah pakaian luarnya sudah ditanggalkan. Ele mengenakan selembar kain yang melilit tubuhnya dari bawah bahu hingga pertengahan paha. Itu permintaan Ele sendiri yang merasa tidak nyaman untuk sepenuhnya terbuka, meski Maritha seorang perempuan. Tak lama kemudian, Eleanor sudah selesai membersihkan diri, berpakaian rapi dan meminta Maritha membiarkannya seorang diri dulu. Eleanor duduk di depan jendela kaca kamarnya di atas kursi roda, menatap taman yang tersiram matahari sore yang lembut. Seumur hidupnya, Ele tidak pernah bermimpi akan berakhir di sini. Dia adalah orang yang tidak suka terlibat masalah dan menjalani kehidupannya dengan monoton, tidak suka tantangan dan tanpa neko-neko. Yang membuatnya harus berakhir disini bermula pada sifatnya sendiri yang begitu mudah tersentuh dengan kesulitan orang. Memang tidak masuk akal. Eleanor tidak pernah menyesal membantu Nyonya Therese, namun dia sungguh tidak mengharapkan konsekuensi bahwa ia akan berakhir dinikahi oleh laki-laki yang tidak mencintainya. Apakah hidupnya akan baik-baik saja? Ele menggelengkan kepalanya dan mendadak berjengit ketika ponsel di saku bajunya berdering. Itu dari Tristan, editornya. "Hallo? Bagaimana keadaanmu, Le?" tanya Tristan, suaranya menunjukkan khawatir. Mendengar pertanyaan itu, suasana hati Ele semakin bertambah muram. “Aku baik, Mas.” "Aku harap kamu bisa selesaikan tulisanmu, El. Harapannya sih bulan depan sudah launching, penggemarmu sudah tidak sabar dengan series terbarumu." "Iya, aku sedang mengerjakannya." "By the way, di mana kamu? Aku menjenguk ke panti, ke apartemenmu, atau rumah sakit tapi kamu tidak ada." Ele terdiam. Ia memang sengaja tidak memberi tahu siapa-siapa. Termasuk Tristan, orang terdekatnya. Ele melakukan itu hanya karena ia tidak ingin orang-orang semakin khawatir padanya. Biarlah, Ele yang akan menyelesaikan ini sendiri. "Aku tidak bisa bilang sekarang, Mas. Kalau tiba waktunya aku akan beri tahu, ya." Terdengar Tristan menghela napas panjang. "Baiklah, aku tunggu naskahnya, Sayang." "Iya." Pembicaraan terputus. El menatap layar ponselnya sedang pikirannya berjalan ke mana-mana. Elle bekerja menjadi penulis. Bukan penulis yang terkenal sekali, tapi setidaknya bukunya sudah berjejer di toko buku. Genre bukunya bertema horror, thriller, dan ada beberapa bertema teen fiction, dan biasanya dia membuat series yang selalu ditunggu-tunggu oleh pembaca setianya. Ele hanya lulus SMA, dia juga tidak di adopsi dan seiring beranjak dewasa, Ele membantu mengurus panti asuhan. Berawal dari kegemarannya membaca dan mencoba menulis, Elle akhirnya bisa menulis dan memiliki usaha penerbitan sendiri, Hadasa Publish, tentunya dibantu dengan dana dari Tristan juga. Untungnya, promosi gencar yang mereka lakukan melalui media sosial dan forum-forum berjalan lancar hingga menghasilkan. ratusan ribu peminat dan penggemar novel karya Eleanor. Ele tersenyum saat membayangkan itu. Ia sangat berterima kasih pada Tristan, pria yang lebih tua tiga tahun darinya, dan sudah menjadi sosok kakak baginya. Dengan pelan, Eleanor menggulir kursi rodanya menuju laptopnya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, lalu membuka laptopnya dan memeriksa naskahnya yang sempat tertunda dia lanjutkan karena kecelakaan itu. *** Ele terbangun tengah malam, layar laptopnya masih menampilkan ketikan naskah yang dia buat. Rupanya Eleanor tertidur di depan laptopnya. Dia merasa haus. Perempuan itu mengucek matanya dan memeriksa ponsel, pukul satu dini hari. Ele celingak-celinguk dan ternyata Maritha tidak menyediakan air minum di kamarnya. Ele bergerak bangkit, kursi rodanya berada tepat di sisi ranjang. Dengan piyama birunya, Ele menumpukan berat badannya pada kedua tangan kemudian mengangkat tubuhnya sendiri ke atas kursi roda. Ia lalu memencet tombol di bagian lengan kursi dan kursi roda mulai bergerak maju menuju pintu. Dengan sabar, Ele membawa dirinya menuju dapur. Itu cukup jauh karena ukuran kediaman Abimanyu memang cukup luas, meski tidak dikatakan sebagai mansion. Ele akhirnya sampai di dapur, namun permasalahannya sekarang dia baru menyadari kalau gelas itu berada di rak yang lumayan tinggi. Dengan penuh tekad, Ele berpegangan pada meja pantry dan menurunkan kakinya pelan-pelan. Dia berusaha menarik napas panjang dan kemudian mencoba berdiri. Sayangnya, kakinya terasa lemas dan nyeri. Eleanor mengulurkan tangan berusaha membuka rak, diikuti ringisan pada wajahnya karena kakinya semakin nyeri. Ele berhasil membuka rak tersebut, tapi kakinya tak cukup kuat. Tangannya hanya dapat menyentuh gelas, dan detik berikutnya bunyi pecahan gelas terdengar diikuti dengan tubuhnya yang ambruk karena kehilangan keseimbangan. Eleanor meringis. Telapak tangannya teriris pecahan gelas. Namun, bukan itu yang dia khawatirkan. Bukan lukanya, melainkan gelas milik seseorang yang telah dia pecahkan. “Apa kau memang suka merepotkan orang?”Suara dingin itu membuat Ele tersentak kaget.Dia menoleh, masih dalam posisinya tersungkur di lantai. Effendy berdiri dengan gelas kosong di tangannya. Laki-laki itu tampak sedikit tampan dengan piyama hitam dan rambut cokelatnya yang jatuh terburai di dahi.Ele terhipnotis, seakan melupakan keadaannya yang dalam situasi menyedihkan. Herannya, setelah beberapa kali melihat Effendy, ini pertama kalinya Ele menyadari bahwa lelaki itu tampan. Mungkin karna selama ini Ele hanya melihat sifat dingin dan kakunya saja.Melihat darah di telapak tangan Ele, Effendy menghela napas berat. Sorot matanya yang dingin kini terlihat capek.Dia menaruh gelasnya di atas meja pantry, lalu membungkuk. "Apa yang ingin kau lakukan di dapur?" tanyanya."Aku hanya ingin minum air..."Effendy menghela napas gusar. "Kau tahu fungsi tombol di samping ranjangmu?""Aku hanya tidak ingin mengganggu Maritha. Ini adalah jam istrahat..." jawab Ele, sekarang dia sudah duduk di atas lantai, menekan luka di tangannya a
Ele keluar dari kamarnya usai membersihkan diri. Di ruang tamu, tampak Effendy duduk dengan seorang laki-laki muda berwajah oriental yang tampan dalam balutan jas putihnya. Laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya saat melihat Eleanor muncul dengan didorong oleh Maritha di atas kursi rodanya."Anda pasti Nona Eleanor. Saya Andika, dokter yang akan membantu Anda melakukan terapi mulai pagi ini." Ele tampak sedikit kebingungan, namun akhirnya dia hanya bisa mengangguk. Effendy berdiri, dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. "Mulai hari ini, Andika yang akan membantu penyembuhanmu. Bersikaplah dengan baik, dan ikuti arahannya. Jika kau perlu bantuan, kau bisa memintanya pada Maritha.”Effendy menatap matanya, tetapi Ele langsung melengos, menghindari tatapan tajam pria itu. Untuk sekarang ini, menghindari Effendy adalah pilihan yang terbaik.Effendy tidak terlalu menyadarinya. Ia menatap ke arah Andika sebentar, kemudian berlalu meninggalkan mereka. Entah ke ma
Effendy membanting pintu kamar Eleanor dan masuk ke dalam ruang kerjanya untuk menyibukka diri dan berusaha melupakan pertengkaran kecilnya dengan Ele. Laki-laki itu menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan nya dan menyuruh maid untuk mengantarkan makan siang ke kamarnya. Saat hari memasuki sore, ketika dia berdiri menyegarkan pikiran di balkon ruang kerjanya, ponselnya berbunyi. Kontak dengan nama Ashley tampak di layar. Effendy mengangkatnya."Hallo,""Kamu datang kan Mi Amor? Malam ini adalah pesta ulangtahun ku."Effendy mengusap wajahnya. Dia nyaris lupa kalau malam ini dia harus menghadiri ulangtahun perempuan itu. "Tentu saja, Ly." Balasnya pula.***Effendy keluar dari mobilnya dan menuju ballroom hotel yang menjadi tempat perayaan ulang tahun Ashley Bimantara. Ketika dia masuk, lelaki itu langsung dapat merasakan nuansa remang nan romantis tapi tidak berat, tak salah lagi, sesuai dengan selera yang berulang tahun. Setiap orang yang melihatnya menyapa dengan senyum, dibalas oleh
Ferari 488 pista itu memasuki kediaman Abimanyu dan langsung bersandar megah di parkiran kediaman. Sesosok wanita turun dari dengan gaun elegan berwarna hitam selutut tanpa lengan. Kulitnya yang seputih susu seperti menyala di bawah cahaya lampu. Saat melewati pintu utama, dia mengarahkan pandang mencari sosok yang dia ingin temui."Dimana Chislon?" Tanyanya pada seorang maid."Tuan masih berada di atas nona, mari saya antar ke ruang dinner," jawab maidnya."Tidak, aku akan menemuinya." Tanpa menunggu tanggapan perempuan itu menaiki tangga menuju lantai dua, langsung terus ke kamar sang tuan muda. Tanpa ragu, dia memutar shop pintu kamar kayu jati berukir indah tersebut.Saat dia masuk, sebuah pemandangan sedang menyambutnya. Effendy Chislon Abimanyu sedang mengancingkan kemejanya, itu belum sepenuhnya tertutup dan menampakan dadanya yang bidang dan proporsional. Meski sudah berulangkali melihat sosok Chislon dalam keadaan telanjang dada, wanita yang tak lain adalah Ashley Bimantara i
Acara dinner itu sudah berakhir sejak tadi. Ke lima sahabat itu juga sudah meninggalkan ruang makan dan bersantai di pinggir kolam, membicarakan beberapa hal ringan. Salma menjadi orang pertama yang berpamitan pulang. Entah memang benar karna dia sudah mengantuk atau ada satu dan hal lainnya. Tak lama Antonio pamit juga. Tersisa Andika, Ashley dan Effendy. Namun itu juga tidak berlangsung lama karna Andika pun berpamitan.Ditinggal berdua, Ashley dan Effendy di telan keheningan sebentar. Bukan jenis keheningan awkward atau semacamnya, namun memang karna mereka masih menyukai hening."Mau berenang?" Tawar Ashley pula."Jangan, sudah malam. Nanti sakit." Balas Effendy dengan santai, namun efeknya membuat pipi Ashley memerah."Aku menginap malam ini, boleh?""Boleh. Kamu bisa tidur di kamar Mama.""Aku mau tidur denganmu." Perempuan cantik itu mendekatkan dirinya pada Effendy dan mengusap rahang laki-laki itu sambil tersenyum."Jangan menolakku." Lanjutnya kemudian.Chislon Abimanyu men
Salma melangkah mendekati kedua sahabatnya yang tengah 'bergurau' di meja bar itu. Alih-alih menyewa ruangan khusus, dua putra konglomerat Indonesia tersebut malah duduk di depan meja bar. Salma terlihat cantik dan berkelas dengan celana panjang hitam, dan kaos tanpa lengan yang di kenakannya. Riasan wajahnya yang di tunjang wajahnya yang cantik membuat dia menjadi objek pandangan para pria yang ada di sana."Hai," sapa Salma Andara dengan malas, mengambil tempat di antara kedua orang itu."Kalian kesini tanpa mengajakku?""Dan ajaibnya kau bisa muncul disini tanpa di ajak." Balas Andika sembari meneguk minumannya. "Cocktail satu." Pintanya pada sang barista."Bukan ajaib, tapi intesitas kunjunganku disini memang lebih banyak dari kalian berdua." Sahut Salma sembari menerima minumannya. Gadis yang selalu terlihat cantik dan berkelas itu meneguk minumannya dengan santai."Kau sering kesini? Kenapa tidak dengan calonmu?" Tambah Andika lagi. Salma menghadiahkannya tatapan tajam. "Shut u
"Aku bosan," gumam Ele sembari menatap ke arah luar melalui gorden jendelanya. Dia sudah meninggalkan kursi rodanya dan hanya menggunakannya sesekali. Sekarang dia menggunakan kruk untuk membantunya berjalan. Itu sudah berjalan bulan ke empat semenjak dia menjadi istri dari seorang Effendy Chislon Abimanyu. Laki-laki yang pada suatu kali menuduhnya sebagai seorang konspirator dan kemudian esok paginya berubah dingin dan kaku kembali. Ele tersenyum membayangkannya. Dia duduk di atas sofa di dekat jendela dan kemudian menghela napasnya pelan."Kalau Nona bosan, mungkin saya bisa meminta izin pada Tuan untuk membawa nona berjalan-jalan di luar. Nona ingin kemana?""Aku rindu panti." Ucap Ele jujur. Selama dia tinggal di apartemennya, Ele selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi panti seminggu sekali. Namun ini sudah terlewat empat bulan dia tidak mengunjungi panti. Tristan masih berkali-kali menelponnya kendatipun naskahnya sudah dia setor dan sudah di edit hingga final draft. Tapi Ele
Bangunan Panti Asuhan Harapan itu berdiri di hadapannya. Bangunan yang sudah beberapa waktu ini dirindukannya kini bisa tertangkap Indra penglihatan nya lagi. Tempat dimana Ele di besarkan. Itu adalah bangunan yang berdiri di atas tanah pemerintah, dengan cat tembok yang mulai mengelupas. Halaman depannya ditumbuhi rumput hijau yang terpangkas rapi dan cukup luas untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Saat Ele turun bersama Maritha dari mobil yang disupiri oleh Pak Harto, supir kediaman Abimanyu, tidak ada seorangpun yang tampak di luar. Ele paham karna ini adalah jam sarapan, dimana para penghuni panti sedang antri untuk mendapatkan jatah makan paginya.Ele berjalan dibantu kruknya, menaiki teras dan berjalan masuk melalui pintu yang terbuka lebar. Dia menyaksikan beberapa anak yang sudah remaja berada di ruang tamu panti, membiarkan anak-anak yang lebih muda untuk mendapatkan jatah sarapan lebih dulu di dapur. Salah satu remaja putri yang bernama Destini, menyadari kemunculan Ele
Tiga hari berlalu, Eleanor yang menyibukkan diri merawat Kaisar memilih untuk tidak menaruh harapan besar. Dia hanya ingin melihat, sejauh apakah usaha Effendy mematahkan dugaan perselingkuhan yang dia saksikan.Menepati janjinya, pagi itu Effendy kembali datang ke kediaman Winata.Namun kali itu, dia tidak sendirian, melainkan bersama perempuan Indo-Prancis yang Ele kenali sebagai Irliana. Perempuan yang berciuman dengan suaminya.Gemma membawa Kaisar bermain -main ke taman, Gemmi turut nimbrung bersama kakaknya ke sana.Di ruang tamu, Eleanor duduk bersama Ayahnya. Sedang Anita memilih untuk tidak turut campur. Dia tidak menampakan dirinya di ruang tamu.Sultan mempersilakan Effendy dan Irliana duduk. Memindai sosok Irliana sejenak, lalu laki laki itu bicara. "Saya mendengar, putri saya meminta Anda memberikan bukti kalau Anda memang tidak berselingkuh."Effendy mengangguk, "Ini Irliana, perempuan yang merupakan sahabat masa kecil saya, juga yang disalahpahami sebagai selingkuhan sa
Effendy tahu bahwa Sultan Winata adalah salah satu orang terpandang yang cukup famous di negeri ini. Yang membuat dia terkejut, adalah kenyataan yang dia terima bahwa Eleanor adalah putri Sultan Winata bersama dengan Dewi Bimantara. Kedua orangtua dari istrinya ternyata masih hidup.Sekembalinya ke kediaman, Effendy di kabarkan oleh salah satu maid bahwa ada sebuah paket untuknya. Ketika dia membuka, itu adalah surat perceraian, yang menunggu tanda tangannya.Secepat itu?Effendy meremas kertas itu dan membuangnya ke sembarang arah. Dia tidak akan Sudi menandatangi surat perceraian itu. Chislon merasa hatinya menjadi dingin dan sakit, dia merasa Eleanor tengah membalasnya. Dulu, dia yang melayangkan surat cerai pada istrinya.Effendy tak ingin menunggu waktu yang lama, dengan mengendarai mobilnya, Chislon menuju kediaman Sultan Winata. Dia tidak merasa kesulitan karna alamat itu begitu gampang dia peroleh dari Mahesa.Kediaman Sultan Winata masuk dalam kawasan elit. Ketika ia turun da
Berita tentang Adallard Quentin yang melakukan kekerasan pada istrinya langsung menjadi konsumsi publik, perihal semua perlakuannya yang terekam di siarkan langsung ke sosial media.Kepolisian Indonesia akhirnya menyerahkan kasus itu pada Polisi Prancis. Berbeda dengan sebelumnya, polisi Prancis tidak bisa berbuat banyak atau menutup mata karna tekanan publik.Irliana kembali ke Prancis untuk menghadiri sidang putusan dan juga untuk pengajuan perceraian terhadap suaminya. Dia berjanji pada Effendy akan kembali ke Indonesia setelah urusannya selesai. Dia berharap, Effendy juga bisa segera menemukan keberadaan Eleanor. Wanita itu tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih dan maaf berulangkali.Effendy melepasnya di bandara, hanya mengangguk atas semua ucapan ucapan Irliana."Kabari aku jika sudah menemukan istrimu, aku akan kembali ke Indonesia untuk membantu menjelaskan semuanya... Aku juga ingin meminta maaf secara langsung padanya..." Itu adalah ucapan terakhir Irliana sebelum beran
Harapan Effendy meredup, sampai keesokan hari, istri dan anaknya tidak pulang ke rumah. Sedang Irliana untuk sementara dia izinkan tinggal di kediaman utama agar bisa langsung memberikan klarifikasi jika Ele kembali sewaktu-waktu.Eleanor bak di telan bumi, ponselnya tidak dapat di hubungi. Effendy sampai menggunakan nomor baru untuk menghubungi, namun tetap tidak bisa. Itu menandakan kalau Ele mungkin sudah berganti nomor saat itu juga.Ketika Chislon memutuskan untuk datang ke panti asuhan ke esokan harinya, dia tidak menemukan Eleanor di sana, bahkan menurut sang bunda, Ele tidak datang ke sana sama sekali.Rasa bersalah, marah, cemas dan khawatir membuat Chislon merasa tidak tenang. Dia berdiri di balkonnya, mengerahkan orang-orangnya untuk mencari keberadaan sang istri."Aku benar-benar minta maaf, Chislon." Irliana menghampiri Chislon yang berdiri di balkon lantai dua. Laki laki itu baru saja mengecek laporan dari orang-orangnya yang masih nihil."Sekalipun kamu meminta maaf rib
Ketika Effendy tiba di rumah yang di tempati Irliana, dia melihat sosok Adallard yang berdiri bersandar di sisi mobil miliknya. Laki laki dengan cambang halus yang menghiasi dagunya itu tersenyum miring ketika berhadapan dengan sosok Effendy.Keduanya berhadapan -hadapan dengan tinggi tubuh yang tampak setara. "Effendy Chislon Abimanyu," eja Adallard menilai laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. Dia membuka mulutnya dan berbicara dalam bahasa Prancis, dengan suara rendah dan manipulatif. "Aku sudah tahu, kamu, memang Chislon yang itu. Sahabat masa kecil istriku...." "Irliana tidak suka dengan kehadiranmu." Tandas Chislon dalam bahasa Prancis."Siapa yang perduli," Adallard mengangkat bahu dan tertawa pendek. "Seberapa kuatpun kamu berusaha melindunginya, apakah kamu pikir hukum akan melindungi seorang laki laki yang menyembunyikan seorang wanita dari suaminya?""Kamu tidak pantas menjadi suaminya." Effendy tersenyum sinis, menghunus lawan bicaranya dengan pandangan tajam l
Effendy terbangun pagi itu, menyadari dia tertidur semalaman sembari memeluk istrinya. Eleanor masih lelap, wanita itu sepertinya tidak sadar membalas pelukan suaminya. Laki-laki itu sudah bermaksud membereskan permasalahan mereka hari ini. Dia tidak bisa membiarkan Ele dalam persepsi salah tentangnya lebih lama.Dia mengusap rambut Eleanor, mencium dahinya. Saat itu, Ele terbangun. Sang istri tampak terkejut menyadari posisi mereka dan langsung melepaskan diri, menjauh lalu perlahan bangun dari tempat tidur.Sebelum Effendy bicara apapun, Ele telah bergerak masuk ke dalam kamar mandi.Effendy hanya bisa menghela napas kasar. Dia pelan bangkit, bermaksud mengecek bayinya lebih dulu. Nyatanya Kaisar belum bangun. Ketika dia kembali ke kamarnya, Eleanor sudah keluar dari kamar mandi.Merasa Ele masih belum bisa di ajak bicara, Effendy akhirnya masuk ke kamar mandi. Dia berencana tidak akan ke kantor hari ini. Saat Effendy keluar, dia mendapati istrinya tak lagi ada di sana. Selagi ia me
Ketika ia terbangun, Effendy lekas membasuh wajahnya, lalu bermaksud keluar untuk kembali mencari ponselnya. Itu baru menjelang pukul enam pagi.Effendy melihat Irliana berada di dapur, sibuk memasak sesuatu. Mungkin sarapan pagi. Ketika dia melihat Effendy, Irli mendekat dan menyodorkan sebuah benda dari balik celemeknya."Ini ponselmu, aku lihat ketinggalan di pantry," kata Irli pula. Effendy sedikit berpikir, semalam ia mencari sampai kesana, namun dia tidak menemukan gawai tersebut di meja pantry. Atau dia hanya kurang memperhatikan?"Terimakasih," sambut Effendy pula. Irli menjadi lebih diam."Kamu sudah akan kembali?" Tanya wanita itu setelah kesunyian mengendap di antara mereka beberapa ketika."Ya,"Irli terdiam sejenak, "Aku membuatkan sarapan untukmu, apa tidak bisa menunggu?"Tak tega melihat wanita itu semakin kecewa, Effendy mengangguk. Lagipula itu hanya nasi goreng, lima menit kemudian telah matang.Maka keduanya pun sarapan di meja makan dengan duduk berhadapan muka. S
Supermarket terdekat dari rumah yang ditempati Irliana bukan supermarket besar. Wanita itu akhirnya memilih pergi berbelanja untuk mengisi waktu. Selain itu, Irliana adalah seorang yang suka memasak dengan tangannya sendiri.Penjagaan dari para guard Abimanyu masih terus ketat di sekitarnya, namun tidak membuatnya risih. Lagipula, setiap keluar Irli selalu menggunakan topi, kacamata dan masker supaya dia tidak di kenali. Wanita itu menyusup di salah stand dan mulai memilih sayuran.Di sampingnya, mendekat seorang lelaki dengan keranjang troli, mulai turut memilih sayuran. Irli tidak menatap atau memerhatikan sosok di sampingnya. Dia memilih fokus memilah milah sayuran untuk menu yang di masaknya malam ini. Irli merasa antusias, dia ingin mengundang Effendy nanti."Begitu manis, pasti suami Anda bahagia punya istri seperti Anda." Seseorang berbicara dalam bahasa Prancis.Seperti mendengar suara dari neraka, Irli tersentak. Suara serak dan manipulatif itu sangat di kenalnya. Dia menole
Beberapa hari berlalu dengan normal. Akhir-akhir ini Effendy pulang ke rumah tepat waktu, bahkan dia mengambil cuti dua hari untuk membawa Ele dan Kaisar berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya. Meski kecurigaan Ele mengendur, namun dia tetap tak lantas berhenti lama sekali.Pagi itu, Effendy memutuskan ke kantor karna ada meeting tentang pemetaan program di Maluku, mengenai usaha tambang Ab Gallia yang ada di sana.Ketika dia mandi, Ele tengah merapikan seprei. Saat dia menimbang akan mengganti seprei itu dengan yang baru, wanita itu melihat layar ponsel suaminya menyala. Effendy terbiasa menaruh ponselnya di nakas dekat tempat tidur. Terbawa penasaran, Ele mendekat dan melihat notifikasi.[Kapan mengunjungiku? Aku bosan.]Kata terakhir di bubuhi emoticon sedih. Ele membaca nama yang tertera di sana. Irry L.Siapa Irry L?Eleanor melihat ke arah pintu kamar mandi nun di sana, masih mendengarkan bunyi shower yang menderu tanda suaminya masih dalam aktivitas mandin