Ele keluar dari kamarnya usai membersihkan diri.
Di ruang tamu, tampak Effendy duduk dengan seorang laki-laki muda berwajah oriental yang tampan dalam balutan jas putihnya. Laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya saat melihat Eleanor muncul dengan didorong oleh Maritha di atas kursi rodanya."Anda pasti Nona Eleanor. Saya Andika, dokter yang akan membantu Anda melakukan terapi mulai pagi ini."Ele tampak sedikit kebingungan, namun akhirnya dia hanya bisa mengangguk. Effendy berdiri, dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya."Mulai hari ini, Andika yang akan membantu penyembuhanmu. Bersikaplah dengan baik, dan ikuti arahannya. Jika kau perlu bantuan, kau bisa memintanya pada Maritha.”Effendy menatap matanya, tetapi Ele langsung melengos, menghindari tatapan tajam pria itu. Untuk sekarang ini, menghindari Effendy adalah pilihan yang terbaik.Effendy tidak terlalu menyadarinya. Ia menatap ke arah Andika sebentar, kemudian berlalu meninggalkan mereka. Entah ke mana pria itu pergi, Ele juga tidak mau tahu.Sementara itu, Andika berjalan ke arahnya dan mengambil alih kursi roda Ele. Ia membawanya ke taman samping yang berumput hijau dengan diikuti oleh Maritha. Dia perlahan memberikan beberapa pijatan di kaki Ele kemudian membantunya berdiri. "Di mana yang sakit?""Lututku," balas Ele sambil meringis."Tidak apa, pelan-pelan saja," balas Andika pula. Mereka pun mulai berjalan bersama, meski tidak cukup jauh dan sang dokter harus menggendong Ele lagi dan mendudukkannya di atas kursi roda karena Ele nyaris menangis saking sakitnya."Itulah yang dinamakan proses, Nona. Langkah pertama pasti akan lebih terasa sakit dan berat. Tapi, asalkan kau tidak menyerah, kau akan baik-baik saja," ucap Andika, mencoba menyemangati Ele.Ele mengangguk sambil mengelap keringat yang memenuhi wajahnya.Sesi terapi itu kemudian berlanjut lagi saat Ele sudah kembali siap. Sampai akhirnya satu jam berlalu, dan Andika berpamitan serta berjanji akan kembali minggu depan. "Jangan lupa melakukan terapi seperti ini setiap pagi agar tulang kakimu semakin kuat.”Selepas kepergian Dokter Andika, Maritha mendorong kursi roda Ele kembali ke dalam kamarnya. "Sepertinya Tuan sangat memperhatikan istrinya sampai mendatangkan dokter ke rumah," gurau Maritha sembari membantu Ele duduk di atas sofa dalam kamar.Eleanor tersenyum sedikit. "Mungkin itu akan bagus untukku supaya aku tidak terus-terusan bergantung pada orang lain.”Maritha menghela napas sembari tersenyum, ia memperhatikan wanita yang dinikahi tuan mudanya itu dengan tatapan kagum. Wajah Ele mengingatkan Maritha pada perempuan muda bangsawan Jawa yang kerap disaksikannya pada lukisan dan potret-potret zaman dulu.Kulitnya kuning langsat, hidungnya kecil dan bangir. Bibirnya merah muda kecokelatan. Bulu matanya pendek, tapi lentik ke atas. Sepasang mata Eleanor hitam kecokelatan, meski tanpa riasan, Ele memang sudah cantik.Tetapi Ele tidak terlalu percaya diri, mungkin karena ia sedang sakit dan harus berada di kursi roda. Kadang, Maritha bisa melihat Ele seperti menahan beban yang begitu berat. Tatapan matanya sendu. Seperti pagi ini setelah tuan muda menemui istrinya."Anda cantik, Nona. Pasti itu menurun dari ibu Anda," puji Maritha.Senyum kaku muncul di sudut bibir Eleanor. "Terima kasih. Saya sendiri sangat penasaran wajah ibu kandung saya seperti apa."Wajah Maritha agak berubah. Dia tampak sedikit menegang. "Nona, maaf, saya tidak tahu...""Tidak apa-apa. Saya dibesarkan di panti asuhan." Jawaban tenang yang kali ini diikuti senyum lembut Ele, membuat Maritha sedikit prihatin. Mereka terdiam beberapa saat. "Apa.. apa Nona butuh sesuatu?" tanya Maritha. Sesungguhnya ia tidak ingin membuat suasananya menjadi canggung.Ele mengangguk pelan. "Bolehkah kamu mengambilkan laptop saya?"Tanpa banyak bicara, Maritha meraih benda yang disebut Ele dari atas meja dan menyerahkannya. Eleanor menaruh laptop tersebut dipangkuan dan mulai membuka draft novelnya."Maaf jika saya lancang, Anda seorang penulis Nona?" tanya Maritha yang tidak sengaja melihat draft bab novel Eleanor. Elle menjawab dengan anggukan. Wajah Maritha tampak berbinar. "Saya sangat suka membaca novel-novel fiksi.”"Kamu pernah baca Sorrow in The Rain?" tanya Ele menyebut novel fiksi thriller yang pernah ditulisnya.Maritha benar-benar terkejut. "Pernah. Apa… Nona Eleanor yang menulis itu?" Dia menutup mulut dengan mata membelalak, membuat Ele tertawa lepas karena tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu. "Ya. Aku senang kamu pernah membacanya.""Saya sangat menyukai novel Anda, Nona! Saya bahkan mengoleksi semuanya!” balas Maritha dengan semangat, kemudian ia tersenyum malu-malu. "Lain kali, bolehkan saya meminta tanda tangan Nona di novel koleksi saya?""Tentu saja. Mengapa tidak?"Maritha tersenyum sangat lebar dengan mata berbinar-binar. “Saya sering menghabiskan waktu senggang dengan membaca novel fiksi. Tapi sungguh, saya sangat menyukai cara penulisan Nona. Apalagi di novel Sorrow in The Rain, Anda membuat plot twist yang tidak terbayangkan. Ternyata ibu kandung tokoh utamalah dalang dari semuanya. Padahal Anda menggambarkan perempuan itu begitu lembut, keibuan dan lemah.""Jika tidak ada plot twist, maka itu bukan thriller," tawa Eleanor pula.Maritha ingin bertanya lagi, namun dia menutup mulutnya, menyadari sesuatu. "Maaf sudah bersikap di luar batas, Nona. Seharusnya saya tidak bertanya hal diluar pekerjaan..""Tidak apa. Kita bisa menjadi teman selagi Tuan Chislon tidak di sini."Maritha tersenyum hangat, ia kemudian pamit pergi karena ingin mengurusi beberapa hal, sekaligus memberikan Ele waktu untuk beristirahat dan menyelesaikan pekerjaannya.Setelah berbincang dengan Maritha, Eleanor merasa mood-nya menjadi lebih baik. Tak terpikirkan lagi perkataan Effendy. Dan rasa sakit akibat terapinya tadi sudah berangsur hilang. Akhirnya, Ele bisa menulis novelnya dengan tenang dan cepat.Tidak tahu sudah berapa lama Ele menghabiskan waktunya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ele menatap gawainya dan setelah melihat nama Tristan, ia segera mengangkatnya.Tanpa ditanya, Ele segera melaporkan pekerjaannya. "Naskahku masih on progress. Tenang saja, kok.”"Eh, Ele? Hahaha… Padahal, aku menghubungimu karena aku ingin tahu kabarmu.”Ele menutup mulutnya, merasa malu. “A-aku.. aku baik-baik saja.”Dari jauh terdengar Tristan menghela napasnya dengan panjang. "Yasudah. Tetap jaga kesehatan, ya."Ele tersenyum. "Iya, Mas juga."Lalu pembicaraan mereka berakhir, tetapi Ele masih menatap layar ponselnya. Tidak biasanya Tristan bersikap manis seperti ini. Ele jadi merasa senang kembali.Tapi…"Siapa?" Suara seseorang yang menegur dari arah belakang, membuat Ele sedikit terkejut. Dia menoleh dan mendapati Effendy tengah menatapnya dengan raut tajam.Sejak kapan Effendy masuk ke kamarnya?Belum sempat menjawab, Effendy berjalan ke arahnya dengan langkah tegap. “Aku tanya, siapa yang kau hubungi itu?”Mendadak mood Ele menjadi jelek kembali. Ia menaruh ponselnya dan menutup layar laptopnya. "Saya rasa itu bukan urusan Anda, Tuan.""Kau istriku," tekan Effendy. "Setidaknya jaga harga dirimu saat kau masih terikat status denganku. Jangan berbicara seperti perempuan murahan seperti itu kepada laki-laki lain."Ele mendongak, menatap Effendy dengan tajam. "Ini hanya pernikahan sementara. Lagi pula kita tidak benar-benar harus terikat dengan status ini, Tuan."Effendy tersenyum sinis. "Sepertinya Ibuku sudah salah mengira bahwa kamu adalah perempuan baik."Setelah mengatakan itu, Effendy berbalik pergi dengan wajah menahan marah. Sementara Ele, hanya bisa terpaku menatap punggung laki-laki itu dengan tangan yang mengepal.***Effendy membanting pintu kamar Eleanor dan masuk ke dalam ruang kerjanya untuk menyibukka diri dan berusaha melupakan pertengkaran kecilnya dengan Ele. Laki-laki itu menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan nya dan menyuruh maid untuk mengantarkan makan siang ke kamarnya. Saat hari memasuki sore, ketika dia berdiri menyegarkan pikiran di balkon ruang kerjanya, ponselnya berbunyi. Kontak dengan nama Ashley tampak di layar. Effendy mengangkatnya."Hallo,""Kamu datang kan Mi Amor? Malam ini adalah pesta ulangtahun ku."Effendy mengusap wajahnya. Dia nyaris lupa kalau malam ini dia harus menghadiri ulangtahun perempuan itu. "Tentu saja, Ly." Balasnya pula.***Effendy keluar dari mobilnya dan menuju ballroom hotel yang menjadi tempat perayaan ulang tahun Ashley Bimantara. Ketika dia masuk, lelaki itu langsung dapat merasakan nuansa remang nan romantis tapi tidak berat, tak salah lagi, sesuai dengan selera yang berulang tahun. Setiap orang yang melihatnya menyapa dengan senyum, dibalas oleh
Ferari 488 pista itu memasuki kediaman Abimanyu dan langsung bersandar megah di parkiran kediaman. Sesosok wanita turun dari dengan gaun elegan berwarna hitam selutut tanpa lengan. Kulitnya yang seputih susu seperti menyala di bawah cahaya lampu. Saat melewati pintu utama, dia mengarahkan pandang mencari sosok yang dia ingin temui."Dimana Chislon?" Tanyanya pada seorang maid."Tuan masih berada di atas nona, mari saya antar ke ruang dinner," jawab maidnya."Tidak, aku akan menemuinya." Tanpa menunggu tanggapan perempuan itu menaiki tangga menuju lantai dua, langsung terus ke kamar sang tuan muda. Tanpa ragu, dia memutar shop pintu kamar kayu jati berukir indah tersebut.Saat dia masuk, sebuah pemandangan sedang menyambutnya. Effendy Chislon Abimanyu sedang mengancingkan kemejanya, itu belum sepenuhnya tertutup dan menampakan dadanya yang bidang dan proporsional. Meski sudah berulangkali melihat sosok Chislon dalam keadaan telanjang dada, wanita yang tak lain adalah Ashley Bimantara i
Acara dinner itu sudah berakhir sejak tadi. Ke lima sahabat itu juga sudah meninggalkan ruang makan dan bersantai di pinggir kolam, membicarakan beberapa hal ringan. Salma menjadi orang pertama yang berpamitan pulang. Entah memang benar karna dia sudah mengantuk atau ada satu dan hal lainnya. Tak lama Antonio pamit juga. Tersisa Andika, Ashley dan Effendy. Namun itu juga tidak berlangsung lama karna Andika pun berpamitan.Ditinggal berdua, Ashley dan Effendy di telan keheningan sebentar. Bukan jenis keheningan awkward atau semacamnya, namun memang karna mereka masih menyukai hening."Mau berenang?" Tawar Ashley pula."Jangan, sudah malam. Nanti sakit." Balas Effendy dengan santai, namun efeknya membuat pipi Ashley memerah."Aku menginap malam ini, boleh?""Boleh. Kamu bisa tidur di kamar Mama.""Aku mau tidur denganmu." Perempuan cantik itu mendekatkan dirinya pada Effendy dan mengusap rahang laki-laki itu sambil tersenyum."Jangan menolakku." Lanjutnya kemudian.Chislon Abimanyu men
Salma melangkah mendekati kedua sahabatnya yang tengah 'bergurau' di meja bar itu. Alih-alih menyewa ruangan khusus, dua putra konglomerat Indonesia tersebut malah duduk di depan meja bar. Salma terlihat cantik dan berkelas dengan celana panjang hitam, dan kaos tanpa lengan yang di kenakannya. Riasan wajahnya yang di tunjang wajahnya yang cantik membuat dia menjadi objek pandangan para pria yang ada di sana."Hai," sapa Salma Andara dengan malas, mengambil tempat di antara kedua orang itu."Kalian kesini tanpa mengajakku?""Dan ajaibnya kau bisa muncul disini tanpa di ajak." Balas Andika sembari meneguk minumannya. "Cocktail satu." Pintanya pada sang barista."Bukan ajaib, tapi intesitas kunjunganku disini memang lebih banyak dari kalian berdua." Sahut Salma sembari menerima minumannya. Gadis yang selalu terlihat cantik dan berkelas itu meneguk minumannya dengan santai."Kau sering kesini? Kenapa tidak dengan calonmu?" Tambah Andika lagi. Salma menghadiahkannya tatapan tajam. "Shut u
"Aku bosan," gumam Ele sembari menatap ke arah luar melalui gorden jendelanya. Dia sudah meninggalkan kursi rodanya dan hanya menggunakannya sesekali. Sekarang dia menggunakan kruk untuk membantunya berjalan. Itu sudah berjalan bulan ke empat semenjak dia menjadi istri dari seorang Effendy Chislon Abimanyu. Laki-laki yang pada suatu kali menuduhnya sebagai seorang konspirator dan kemudian esok paginya berubah dingin dan kaku kembali. Ele tersenyum membayangkannya. Dia duduk di atas sofa di dekat jendela dan kemudian menghela napasnya pelan."Kalau Nona bosan, mungkin saya bisa meminta izin pada Tuan untuk membawa nona berjalan-jalan di luar. Nona ingin kemana?""Aku rindu panti." Ucap Ele jujur. Selama dia tinggal di apartemennya, Ele selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi panti seminggu sekali. Namun ini sudah terlewat empat bulan dia tidak mengunjungi panti. Tristan masih berkali-kali menelponnya kendatipun naskahnya sudah dia setor dan sudah di edit hingga final draft. Tapi Ele
Bangunan Panti Asuhan Harapan itu berdiri di hadapannya. Bangunan yang sudah beberapa waktu ini dirindukannya kini bisa tertangkap Indra penglihatan nya lagi. Tempat dimana Ele di besarkan. Itu adalah bangunan yang berdiri di atas tanah pemerintah, dengan cat tembok yang mulai mengelupas. Halaman depannya ditumbuhi rumput hijau yang terpangkas rapi dan cukup luas untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Saat Ele turun bersama Maritha dari mobil yang disupiri oleh Pak Harto, supir kediaman Abimanyu, tidak ada seorangpun yang tampak di luar. Ele paham karna ini adalah jam sarapan, dimana para penghuni panti sedang antri untuk mendapatkan jatah makan paginya.Ele berjalan dibantu kruknya, menaiki teras dan berjalan masuk melalui pintu yang terbuka lebar. Dia menyaksikan beberapa anak yang sudah remaja berada di ruang tamu panti, membiarkan anak-anak yang lebih muda untuk mendapatkan jatah sarapan lebih dulu di dapur. Salah satu remaja putri yang bernama Destini, menyadari kemunculan Ele
Ele merasa menemukan hidupnya kembali setelah sekian lama merasa terkurung di kediaman Abimanyu yang sepi itu. Setiap pagi seusai sarapan dan terapi, dia menyempatkan diri berkunjung ke ke panti asuhan. Selama itu pula dia akan kembali sebelum makan siang, selama waktu-waktu itu dapat dihitung kapan dia berjumpa dengan suaminya dalam kediaman. Effendy sangat sibuk dan workholic. Dalam satu bulan mungkin hanya sekali Ele berhasil duduk bersama suaminya di meja makan sampai akhirnya di bulan-bulan berikutnya dia benar-benar sangat jarang berbicara dengan Effendy. Intensitas pembicaraan mereka sudah jarang namun kali ini semakin parah. Kadang Ele hanya sempat menyaksikan punggung suaminya saat berangkat ke kantor. Dia sendiri sangat jarang keluar kamar sehingga meskipun Effendy berada di rumah, mereka tidak saling bertemu.Bulan-bulan berlalu, dan sudah lewat enam bulan dari waktu yang di perkirakan Andika.Ele sudah tidak menggunakan kruk lagi. Dia sudah bisa berjalan secara normal kemb
"Tuan sudah kembali," laporan Maritha sore itu membuat gerak jemari Ele di atas keyboard laptopnya berhenti. "Dia sudah kembali?" Wanita itu menggumam tanpa menoleh pada sang Maid yang berdiri di sampingnya."Dia sudah kembali sejak dua jam yang lalu, Nona. Tapi dia belum juga keluar kamar."Eleanor terdiam. Apakah ini saat yang tepat untuk menemui Chislon dan meminta waktu bicara? Mungkin dia akan terkesan tidak sopan dan terburu-buru. Namun jika tidak sekarang, Ele tidak yakin dia akan bisa menemui Chislon mengingat betapa sibuknya laki-laki itu. Tak apa, dia akan melanggar satu peraturan dengan menemui Effendy lebih dulu. Lagipula Ele merasa itu juga untuk perpisahan mereka dimana Eleanor yakin kalau suaminya itu bisa menerima.Perempuan itu meninggalkan meja kerjanya. "Aku akan menemuinya."Maritha yang hendak mencegah hanya bisa melipat lidah. Dia bergegas menyusul Ele untuk menunjukkan ruang kamar Effendy."Kamu tidak perlu merepotkan diri, Rith. Aku tahu pintu kamarnya yang man
Tiga hari berlalu, Eleanor yang menyibukkan diri merawat Kaisar memilih untuk tidak menaruh harapan besar. Dia hanya ingin melihat, sejauh apakah usaha Effendy mematahkan dugaan perselingkuhan yang dia saksikan.Menepati janjinya, pagi itu Effendy kembali datang ke kediaman Winata.Namun kali itu, dia tidak sendirian, melainkan bersama perempuan Indo-Prancis yang Ele kenali sebagai Irliana. Perempuan yang berciuman dengan suaminya.Gemma membawa Kaisar bermain -main ke taman, Gemmi turut nimbrung bersama kakaknya ke sana.Di ruang tamu, Eleanor duduk bersama Ayahnya. Sedang Anita memilih untuk tidak turut campur. Dia tidak menampakan dirinya di ruang tamu.Sultan mempersilakan Effendy dan Irliana duduk. Memindai sosok Irliana sejenak, lalu laki laki itu bicara. "Saya mendengar, putri saya meminta Anda memberikan bukti kalau Anda memang tidak berselingkuh."Effendy mengangguk, "Ini Irliana, perempuan yang merupakan sahabat masa kecil saya, juga yang disalahpahami sebagai selingkuhan sa
Effendy tahu bahwa Sultan Winata adalah salah satu orang terpandang yang cukup famous di negeri ini. Yang membuat dia terkejut, adalah kenyataan yang dia terima bahwa Eleanor adalah putri Sultan Winata bersama dengan Dewi Bimantara. Kedua orangtua dari istrinya ternyata masih hidup.Sekembalinya ke kediaman, Effendy di kabarkan oleh salah satu maid bahwa ada sebuah paket untuknya. Ketika dia membuka, itu adalah surat perceraian, yang menunggu tanda tangannya.Secepat itu?Effendy meremas kertas itu dan membuangnya ke sembarang arah. Dia tidak akan Sudi menandatangi surat perceraian itu. Chislon merasa hatinya menjadi dingin dan sakit, dia merasa Eleanor tengah membalasnya. Dulu, dia yang melayangkan surat cerai pada istrinya.Effendy tak ingin menunggu waktu yang lama, dengan mengendarai mobilnya, Chislon menuju kediaman Sultan Winata. Dia tidak merasa kesulitan karna alamat itu begitu gampang dia peroleh dari Mahesa.Kediaman Sultan Winata masuk dalam kawasan elit. Ketika ia turun da
Berita tentang Adallard Quentin yang melakukan kekerasan pada istrinya langsung menjadi konsumsi publik, perihal semua perlakuannya yang terekam di siarkan langsung ke sosial media.Kepolisian Indonesia akhirnya menyerahkan kasus itu pada Polisi Prancis. Berbeda dengan sebelumnya, polisi Prancis tidak bisa berbuat banyak atau menutup mata karna tekanan publik.Irliana kembali ke Prancis untuk menghadiri sidang putusan dan juga untuk pengajuan perceraian terhadap suaminya. Dia berjanji pada Effendy akan kembali ke Indonesia setelah urusannya selesai. Dia berharap, Effendy juga bisa segera menemukan keberadaan Eleanor. Wanita itu tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih dan maaf berulangkali.Effendy melepasnya di bandara, hanya mengangguk atas semua ucapan ucapan Irliana."Kabari aku jika sudah menemukan istrimu, aku akan kembali ke Indonesia untuk membantu menjelaskan semuanya... Aku juga ingin meminta maaf secara langsung padanya..." Itu adalah ucapan terakhir Irliana sebelum beran
Harapan Effendy meredup, sampai keesokan hari, istri dan anaknya tidak pulang ke rumah. Sedang Irliana untuk sementara dia izinkan tinggal di kediaman utama agar bisa langsung memberikan klarifikasi jika Ele kembali sewaktu-waktu.Eleanor bak di telan bumi, ponselnya tidak dapat di hubungi. Effendy sampai menggunakan nomor baru untuk menghubungi, namun tetap tidak bisa. Itu menandakan kalau Ele mungkin sudah berganti nomor saat itu juga.Ketika Chislon memutuskan untuk datang ke panti asuhan ke esokan harinya, dia tidak menemukan Eleanor di sana, bahkan menurut sang bunda, Ele tidak datang ke sana sama sekali.Rasa bersalah, marah, cemas dan khawatir membuat Chislon merasa tidak tenang. Dia berdiri di balkonnya, mengerahkan orang-orangnya untuk mencari keberadaan sang istri."Aku benar-benar minta maaf, Chislon." Irliana menghampiri Chislon yang berdiri di balkon lantai dua. Laki laki itu baru saja mengecek laporan dari orang-orangnya yang masih nihil."Sekalipun kamu meminta maaf rib
Ketika Effendy tiba di rumah yang di tempati Irliana, dia melihat sosok Adallard yang berdiri bersandar di sisi mobil miliknya. Laki laki dengan cambang halus yang menghiasi dagunya itu tersenyum miring ketika berhadapan dengan sosok Effendy.Keduanya berhadapan -hadapan dengan tinggi tubuh yang tampak setara. "Effendy Chislon Abimanyu," eja Adallard menilai laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. Dia membuka mulutnya dan berbicara dalam bahasa Prancis, dengan suara rendah dan manipulatif. "Aku sudah tahu, kamu, memang Chislon yang itu. Sahabat masa kecil istriku...." "Irliana tidak suka dengan kehadiranmu." Tandas Chislon dalam bahasa Prancis."Siapa yang perduli," Adallard mengangkat bahu dan tertawa pendek. "Seberapa kuatpun kamu berusaha melindunginya, apakah kamu pikir hukum akan melindungi seorang laki laki yang menyembunyikan seorang wanita dari suaminya?""Kamu tidak pantas menjadi suaminya." Effendy tersenyum sinis, menghunus lawan bicaranya dengan pandangan tajam l
Effendy terbangun pagi itu, menyadari dia tertidur semalaman sembari memeluk istrinya. Eleanor masih lelap, wanita itu sepertinya tidak sadar membalas pelukan suaminya. Laki-laki itu sudah bermaksud membereskan permasalahan mereka hari ini. Dia tidak bisa membiarkan Ele dalam persepsi salah tentangnya lebih lama.Dia mengusap rambut Eleanor, mencium dahinya. Saat itu, Ele terbangun. Sang istri tampak terkejut menyadari posisi mereka dan langsung melepaskan diri, menjauh lalu perlahan bangun dari tempat tidur.Sebelum Effendy bicara apapun, Ele telah bergerak masuk ke dalam kamar mandi.Effendy hanya bisa menghela napas kasar. Dia pelan bangkit, bermaksud mengecek bayinya lebih dulu. Nyatanya Kaisar belum bangun. Ketika dia kembali ke kamarnya, Eleanor sudah keluar dari kamar mandi.Merasa Ele masih belum bisa di ajak bicara, Effendy akhirnya masuk ke kamar mandi. Dia berencana tidak akan ke kantor hari ini. Saat Effendy keluar, dia mendapati istrinya tak lagi ada di sana. Selagi ia me
Ketika ia terbangun, Effendy lekas membasuh wajahnya, lalu bermaksud keluar untuk kembali mencari ponselnya. Itu baru menjelang pukul enam pagi.Effendy melihat Irliana berada di dapur, sibuk memasak sesuatu. Mungkin sarapan pagi. Ketika dia melihat Effendy, Irli mendekat dan menyodorkan sebuah benda dari balik celemeknya."Ini ponselmu, aku lihat ketinggalan di pantry," kata Irli pula. Effendy sedikit berpikir, semalam ia mencari sampai kesana, namun dia tidak menemukan gawai tersebut di meja pantry. Atau dia hanya kurang memperhatikan?"Terimakasih," sambut Effendy pula. Irli menjadi lebih diam."Kamu sudah akan kembali?" Tanya wanita itu setelah kesunyian mengendap di antara mereka beberapa ketika."Ya,"Irli terdiam sejenak, "Aku membuatkan sarapan untukmu, apa tidak bisa menunggu?"Tak tega melihat wanita itu semakin kecewa, Effendy mengangguk. Lagipula itu hanya nasi goreng, lima menit kemudian telah matang.Maka keduanya pun sarapan di meja makan dengan duduk berhadapan muka. S
Supermarket terdekat dari rumah yang ditempati Irliana bukan supermarket besar. Wanita itu akhirnya memilih pergi berbelanja untuk mengisi waktu. Selain itu, Irliana adalah seorang yang suka memasak dengan tangannya sendiri.Penjagaan dari para guard Abimanyu masih terus ketat di sekitarnya, namun tidak membuatnya risih. Lagipula, setiap keluar Irli selalu menggunakan topi, kacamata dan masker supaya dia tidak di kenali. Wanita itu menyusup di salah stand dan mulai memilih sayuran.Di sampingnya, mendekat seorang lelaki dengan keranjang troli, mulai turut memilih sayuran. Irli tidak menatap atau memerhatikan sosok di sampingnya. Dia memilih fokus memilah milah sayuran untuk menu yang di masaknya malam ini. Irli merasa antusias, dia ingin mengundang Effendy nanti."Begitu manis, pasti suami Anda bahagia punya istri seperti Anda." Seseorang berbicara dalam bahasa Prancis.Seperti mendengar suara dari neraka, Irli tersentak. Suara serak dan manipulatif itu sangat di kenalnya. Dia menole
Beberapa hari berlalu dengan normal. Akhir-akhir ini Effendy pulang ke rumah tepat waktu, bahkan dia mengambil cuti dua hari untuk membawa Ele dan Kaisar berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya. Meski kecurigaan Ele mengendur, namun dia tetap tak lantas berhenti lama sekali.Pagi itu, Effendy memutuskan ke kantor karna ada meeting tentang pemetaan program di Maluku, mengenai usaha tambang Ab Gallia yang ada di sana.Ketika dia mandi, Ele tengah merapikan seprei. Saat dia menimbang akan mengganti seprei itu dengan yang baru, wanita itu melihat layar ponsel suaminya menyala. Effendy terbiasa menaruh ponselnya di nakas dekat tempat tidur. Terbawa penasaran, Ele mendekat dan melihat notifikasi.[Kapan mengunjungiku? Aku bosan.]Kata terakhir di bubuhi emoticon sedih. Ele membaca nama yang tertera di sana. Irry L.Siapa Irry L?Eleanor melihat ke arah pintu kamar mandi nun di sana, masih mendengarkan bunyi shower yang menderu tanda suaminya masih dalam aktivitas mandin