Acara dinner itu sudah berakhir sejak tadi. Ke lima sahabat itu juga sudah meninggalkan ruang makan dan bersantai di pinggir kolam, membicarakan beberapa hal ringan. Salma menjadi orang pertama yang berpamitan pulang. Entah memang benar karna dia sudah mengantuk atau ada satu dan hal lainnya. Tak lama Antonio pamit juga. Tersisa Andika, Ashley dan Effendy. Namun itu juga tidak berlangsung lama karna Andika pun berpamitan.
Ditinggal berdua, Ashley dan Effendy di telan keheningan sebentar. Bukan jenis keheningan awkward atau semacamnya, namun memang karna mereka masih menyukai hening."Mau berenang?" Tawar Ashley pula."Jangan, sudah malam. Nanti sakit." Balas Effendy dengan santai, namun efeknya membuat pipi Ashley memerah."Aku menginap malam ini, boleh?""Boleh. Kamu bisa tidur di kamar Mama.""Aku mau tidur denganmu." Perempuan cantik itu mendekatkan dirinya pada Effendy dan mengusap rahang laki-laki itu sambil tersenyum."Jangan menolakku." Lanjutnya kemudian.Chislon Abimanyu menatap mata hitam gadis di dekatnya itu lalu pada akhirnya mengangguk. "Baik, kau tidur di kamarku."Ashley tersenyum senang.***Effendy baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan sehelai handuk putih melilit pinggangnya, saat dia menyadari Ashley telah berbaring di atas kamarnya dalam balutan ling*Erie, menatapnya penuh makna.Effendy tersenyum miring, lalu melangkah masuk ke dalam walk on closet.Tak lama kemudian dia keluar dari sana dengan memakai piyama biru navy. Melihat itu, Ashley agak kecewa karna tidak sesuai dengan ekspektasinya. Effendy naik ke atas ranjang dan mulai membuka macbooknya, tak menyadari perempuan di sampingnya mulai merasa gemas sendiri."Kamu tidak menghiraukanku, hm?" Tanya Ashley pula. Dia memajukan diri, meraih dan menyingkirkan MacBook milik Effendy dengan tidak melepaskan tautan mata mereka. Sesaat kemudian Ashley merunduk dan menautkan bibir keduanya. Effendy membalasnya dengan baik. Tak lama kemudian, saat dia memiringkan kepala, perempuan itu sudah berada dalam rangkulannya. Dua sejoli yang sudah sama-sama dewasa itu berc*man selama beberapa saat sampai pada titik kancing piyama Effendy sudah terbuka separuh. Dan kemudian....Ashley merasakan Effendy melepaskan tangannya, mengakhiri tautan bibir mereka. Keduanya bersitatap dengan napas yang masihs sama-sama memburu."Do it." Bisik Ashley dengan suara penuh hasrat dan damba. Chislon Abimanyu tersenyum pelan. Alih-alih melakukan sentuhan lainnya, dia mengusap rambut Ashley yang sempat berantakan karna ulah mereka berdua."Sejak kapan, hm?" Tanya Chislon dengan suara rendah.Ashley Bimantara mengerutkan keningnya. "Apa, mi amor?""Apa pergaulan di Boston yang membuatmu seberani ini?"Chislon cukup mengenal Ashley sebelum wanita itu pindah ke Boston. Dia tipe perempuan terhormat yang tidak akan memancing hal seperti ini lebih dulu.Wanita yang masih duduk di pangkuannya itu pelan-pelan menyingkir ke samping. "Ya, kita sudah sama-sama dewasa, aku rasa ini bukan hal yang penting untuk di bahas.""Sudah berapa pria?" Abimanyu sungguh tak ingin mengucapkan itu, namun entah mengapa hatinya terasa panas membayangkan Ashley masuk pada pergaulan bebas dan berkencan dengan banyak pria."Aku berkencan dengan banyak pria di Boston, Mi Amor."Chislon merasa moodnya berantakan seketika. Dia bangkit tempat tidur. "Istirahatlah. Aku ingin keluar sebentar. Aku tidak ingin di ganggu." Dengan kancing piyama yang masih berantakan, Effendy meninggalkan Ashley yang menatapnya tidak mengerti dan juga ada sedikit kabut rasa bersalah di matanya.***Chislon bermaksud menuju pintu samping yang menghubungkan dengan taman untuk merokok di sana. Dia bukan seorang pemadat, namun di saat-saat dimana pikirannya tertekan atau stress dia akan mencari rokok.Laki-laki itu sesaat terdiam saat melihat Ele duduk di atas kursi taman malam-malam, dengan sesuatu di pangkuannya. Apa itu laptop?Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Effendy bergerak mendekat."Jadi, apa yang membuatmu bisa berada di taman pada malam-malam begini?"Sapaan Chislon membuat Ele tersentak dan secara otomatis langsung menutup laptopnya, memancing Chislon menyipitkan matanya dengan curiga."Anda mengagetkan saya Tuan." Balas Ele sembari mengelus dadanya sekilas. Gadis itu mengenakan piyama satin berwarna putih di lapisi dengan sweater wol. "Jawab saja pertanyaanku."Ele tak langsung menjawab, matanya tak sengaja melirik pada sebatang ranting rokok yang terselip di antara jari tangan kanan Chislon. Bibirnya secara refleks bertanya. "Anda merokok Tuan?""Menurutmu?" Balas Effendy dengan malas. "Jawab pertanyaanku, apa yang kau lakukan disini malam-malam?""Aku... Sedang melakukan beberapa pekerjaan.""Pekerjaan?" Alis tebal laki-laki tampan di hadapan Ele itu terangkat. Dia terdiam sebentar. Lalu kemudian tanpa di duga Effendy mengambil tempat di samping Ele, meski memang dia cukup mengambil jarak."Dimana Maritha? Seharusnya dia disini.""Maritha ada di kamarnya, Tuan. Saya yang memintanya untuk meninggal kan saya sendiri. Jikalau perlu, saya akan menelpon dia."Chislon tak menyahut. Dia memandangi rokoknya sebentar. "Jadi, bagaimana rasanya tinggal di rumah ini sebagai istriku?"Eleanor tahu kalau Chislon sedang sarkas."Saya cukup nyaman dan sangat terbantu. Terimakasih, Tuan."Effendy menoleh dan memperhatikan wajah Eleanor secara terang-terangan, dengan pandangan menilai. Gadis itu sendiri diam-diam harus menelan ludah. Dia mengakui bahwa Chislon memang semempesona itu. Eleanor mengakui bahwa laki-laki di sampingnya itu terlihat semakin s*ksi dengan rambut yang agak kucai dan kancing piyama yang terbuka, mengekspos separuh dadanya yang bidang."Kau tidak marah?" Tanya Effendy setelah memperhatikan wajah 'istrinya' selama beberapa saat.Eleanor bereaksi dengan mengerutkan kening. "Marah untuk apa?""Aku menikahimu namun tidak memperlakukanmu selayaknya seorang istri.""Kita menikah tanpa komitmen dan cinta, kurasa kita sudah tahu ini sejak awal, Tuan. Aku juga mengerti bahwa Tuan melakukan ini semua karna pesan Nyonya Thesa. Tetapi sungguh, Tuan tidak perlu melakukannya jika Tuan tidak ingin. Jika Anda merasa bertanggungjawab atas kelumpuhan ku, maka jika aku sudah sembuh, aku akan meninggalkan pernikahan ini agar Anda dapat menjalani kehidupan yang seharusnya, seperti yang Tuan Chislon impikan."Effendy Chislon Abimanyu menyugar rambutnya dan tersenyum miring, kepalanya melihat ke langit yang penuh bintang."Apa teman-teman Tuan sudah pulang?"Pertanyaan Ele yang tiba-tiba membuat Chislon mengerutkan kening sebentar. "Tidak, ada satu yang tidak pulang.""Kurasa dia sedang berdiri di sana dan memperhatikan Anda,"Ucapan Ele membuat Chislon mengikuti arah pandangnya. Dia mendapati Ashley, berdiri di teras samping menuju taman, masih memakai lingerie tapi kali ini di lapisinya dengan jaket kebesaran milik Chislon.Effendy berdiri dari duduknya, lalu meninggalkan Ele dan berjalan menuju teras samping, menghampiri wanita itu."Siapa perempuan itu?" Tanya Ashley dengan raut beku ketika Effendy menghampirinya. Entah mengapa Effendy merasa puas menyaksikan raut cemburu dari tatapan Ashley."Bukan siapa-siapa." Sahut Effendy sekenanya terus melangkah masuk. Ashley menyusul dengan terburu-buru."Begitu, Chislon? Kau bahkan menyimpan perempuan di rumahmu sekarang?" Tudingnya dengan kecewa. Laki-laki blasteran Perancis Indonesia itu tak menjawab, terus melangkah menuju ruang kerjanya. Sulung Bimantara mengejarnya dengan kesal karna harus mengimbangi langkah panjang tunggal Abimanyu itu."Kau tidak mencintaiku?"Pertanyaan sederhana itu menghentikan gerak tangan Effendy yang sudah memutar snop pintu ruang kerjanya. Dia memejamkan matanya sebentar lalu membalik menghadap Ashley Bimantara. Laki-laki tersenyum tipis dan mengusap wajah wanita di hadapannya."Aku mencintaimu. Tapi izinkan aku untuk memiliki waktuku sendiri. Kembali dan beristirahatlah di kamarku.""Siapa perempuan itu?""Bukan siapa-siapa saja, hanya seseorang dimana aku berhutang Budi."Habis mengucapkan itu Effendy masuk ke dalam ruang kerjanya dan menutupnya dari dalam. Ketika Ashley mencoba memutar snop pintunya, itu ternyata di kunci dari dalam. Wanita itu mendengus kesal. Dia berbalik dari sana dan kembali menuruni tangga. Namun ketika dia tiba di teras samping, gadis itu lenyap. Dia tak melihatnya di manapun. Ke adaan rumah pun telah sunyi sepi. Para maid telah beristirahat. Dengan kekesalan yang tak terlampiaskan, gadis itu melangkah menaiki tangga menuju kamar Effendy.***"Siapa perempuan itu?"Maritha memperhatikan Ele yang dengan tenang menyimpan laptopnya di atas meja. Tadi gadis itu menelponnya untuk meminta di antarkan balik ke kamar."Dia Nona Ashley, perempuan yang paling dekat dengan Tuan selama ini." Jawab Maritha pelan dan tidak enak. Biar bagaimanapun, Eleanor berstatus istri dari Chislon Abimanyu."Dia cantik." Gumam Ele pula. Meski hanya melihat dari kejauhan, Eleanor dapat melihat betapa berkilaunya kulit perempuan itu. Berbeda dengan dirinya yang memiliki kulit kuning langsat."Apa dia kekasih Tuan?" Tanya Ele pula.Maritha mengangkat bahu. "Sepertinya begitu, Nona.""Mereka tidur bersama?"Maritha menelan ludah. "Saya kurang tahu, Nona."Eleanor tertawa. "Tidak usah tegang, Rit. Aku hanya bertanya.""Nona tidak apa-apa?" Tanya Maritha hati-hati."Tidak, sejak awal, pernikahan ini hanyalah sebuah status semata." Jawab Ele enteng. Dia pelan-pelan menurunkan kakinya dari kursi roda, saat Maritha bergerak hendak membantu, Ele melambaikan tangannya menolak. Dia berhasil memindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur meski dengan ringisan di wajah."Kamu bisa pergi, Rit. Istirahatlah."Maritha menunduk sedikit. "Baik Nona."Di tinggal oleh salah satu pelayan pribadinya itu, Ele mencoba memejamkan mata dan tidur.***Hari-hari berjalan sebagaimana biasanya. Ele masih rutin melakukan aktivitasnya, dan juga melakukan terapi berjalan setiap hari. Sedikit demi sedikit perkembangannya sudah mulai terlihat. Sementara Effendy, semenjak malam itu semakin jarang berada di rumah. Dia semakin sering keluar kota atau keluar negeri dan menyibukkan diri dengan urusan bisnisnya."Sebenarnya mereka itu suami istri atau bukan sih?"Ele mendengar bisik-bisik saat dia sedang membawa kursi rodanya keluar kamar, dua orang maid yang sedang mengelap perabotan berghibah ria tanpa menyadari kehadiran Eleanor."Iya, bahkan mereka tidak tidur sekamar." Balas maid kedua."Apa Tuan Chislon tidak berselera karna istrinya lumpuh? Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa bisa Tuan Muda kita yang sesempurna itu bisa menikahi wanita lumpuh? Dia memang cantik, tapi kurasa tidak akan cukup baik untuk mengimbangi Tuan Muda."Meskipun menyadari bahwa pernikahan mereka hanyalah sementara, tak urung Ele merasakan sesuatu yang ngilu menikam dadanya mendengar ucapan para maid itu.Saat itu, Maritha muncul dari arah dapur dan agak terkejut melihat kehadiran Nonanya di sana. Padahal dia sudah siap membawakan Pai apel untuk Ele."Nona, Anda hendak kemana?"Pertanyaan Maritha membuat dua maid yang asyik bergosip tadi tersentak dan menoleh ke belakang, menyaksikan Eleanor yang menatap mereka dalam diam. Wajah keduanya serta Merta memucat.Ele mengalihkan pandangannya pada Maritha lalu tersenyum seolah tidak terjadi apapun."Aku hanya ingin ke taman."Taman. Tempat andalan yang disukai oleh Ele. Rasanya dari semua bagian kediaman ini, Eleanor hanya menyukai taman."Mari saya antar." Maritha cepat-cepat mengembalikan Pai apel di tangannya lalu bergerak gesit mendorong kursi roda Ele menuju taman, meninggalkan dua maid yang mulai ketar-ketir.Sesampainya di taman, Ele hanya melamun, tak mengucapkan apapun. Maritha tak berani mengusiknya dan hanya berani berdiri diam di sekitarnya."Selamat pagi,"Sapaan ceria itu menarik Eleanor dari lamunannya. Dia reflek menoleh, melihat Andika Syalendra berdiri di sana dengan kotak medisnya. Kali ini laki-laki berwajah oriental itu memakai jas dokternya."Selamat pagi, maaf aku tidak menyadari kedatanganmu." Balas Ele mencoba tersenyum."Jadi bagaimana? Apakah sudah ada kemajuan?"Eleanor mengangguk. "Ya. Mau lihat?""Tentu saja."Eleanor pelan-pelan berdiri di atas kursinya. Meski masih cukup susah, namun dia berhasil melakukannya sendiri, kemudian dengan sedikit perjuangan, gadis itu menyeret kakinya menuju dimana dokter Syalendra berdiri. Baru separuh jalan, Ele meringis, dia tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Maritha bereaksi, namun kalah cepat dengan sang dokter. Andika bergerak cepat dan menahan pinggang Eleanor."Tak apa, pelan-pelan saja." Ucap Andika sembari tersenyum yang dibalas senyum setengah ringisan oleh sang pasien. Andika lalu meraih ke dua tangan Ele, lalu mulai menuntunnya seperti seorang ayah menuntun putrinya berjalan. Sesi latihan berjalan itu di isi dengan ringisan Eleanor, tubuhnya yang limbung ke kiri dan ke kanan namun kemudian di isi oleh tawa keduanya.Maritha memperhatikan itu tanpa sadar tersenyum. Dalam hatinya tiba-tiba dia berharap kalau sang Tuan Mudalah yang berada di tempat dokter Andika sekarang ini."Ah, kau berkeringat." Ucap Dokter Andika saat Ele sudah berhasil duduk kembali di atas kursi rodanya. Laki-laki itu mengeluarkan tisu secara refleks, dan mengusap dahi Eleanor. Gadis itu sedikit tertegun, namun kemudian tersenyum."Maritha, nona mudamu sudah memiliki banyak kemajuan. Jangan lupa untuk terus mengontrol terapi dan pola makannya, usahakan agar dia memakan makanan yang tinggi kalsium.""Iya, baik Dok." Balas Maritha pula."Terimakasih, An." Balas Eleanor. Andika tampak tertegun sebentar menerima ucapan itu dari sosok istri dari sahabatnya tersebut. Dia kemudian mengangguk. "Aku pamit, aku akan balik mengontrol Minggu depan.""Ya, hati-hati."***"Istrimu itu sangat manis." Ucap Andika saat dia dan Chislon memiliki waktu pergi ke bar bersama. Sahabatnya baru kembali dari Amerika beberapa hari lalu.Chislon Abimanyu menenggak birnya lalu melirik Andika dengan sekilas."apa maksudmu?"Andika tertawa. "Aku suka melihat wajahnya, jika kelak kau menceraikannya, mungkin aku akan menikahinya."Chislon melirik tajam. "Tidak biasanya kau suka dengan bekasku.""Ho ho ho." Andika mencondongkan kepalanya sambil tersenyum miring. "Memangnya bekas apa yang sudah kau tinggalkan padanya? Aku tahu kau bahkan tidak pernah menyentuhnya bukan?"Chislon entah mengapa menjadi panas. "Aku pernah menyentuhnya."Ya, Chislon pernah menggendong Eleanor. Jadi dia benar mengatakan kalau dia sudah pernah menyentuh Ele. Dalam hal ini skinship.Andika tampak terkejut sebentar. Dia salah mengasumsi kalimat itu. "Kau... Wah gercep juga kau ternyata di balik muka cuekmu itu. Jadi bagaimana, apakah masih sempit?""Dasar gila." Semprot Chislon Abimanyu pada kawannya itu. Andika Syalendra memang sangat menipu orang dengan tampilannya yang terlihat polos dan ramah. Tapi Chislon yang paling tahu isi otak sahabatnya itu. Awalnya, Chislon ingin meluruskan pemahaman itu, bahwa yang dimaksudnya menyentuh dalam hal ini adalah menyentuh dalam arti secara harfiah. Namun laki-laki itu mendadak menekan lidahnya dan merasa lebih nyaman jika dia tidak menjelaskannya dan membiarkan Andika dalam asumsi sesatnya itu."Jadi bagaimana? Apakah kau dapat ORI atau bekasan?"Chislon jadi gatal untuk menghajar mulut Andika. Dia mendengus, tanpa menjawab dia meneguk minumannya lagi."Oh, atau aku rubah pertanyaannya. Mana yang lebih hebat, Ashley atau Eleanor?" Tanya Andika sambil mendekatkan wajahnya ke sisi wajah Chislon dengan cengiran laknatnya.Chislon mengambil tisu dan dengan gerakan cepat menyumpalkannya ke mulut Andika. Laki-laki itu terbatuk, memuntahkan tisu itu dan merutuk."Kasar sekali kamu, Mas! Jangan main kasar dong!" Goda Andika membuat Chislon mendengus jijik. "Najis!"Dia heran bagaimana bisa sahabatnya itu bisa lolos menjadi seorang dokter.***Salma melangkah mendekati kedua sahabatnya yang tengah 'bergurau' di meja bar itu. Alih-alih menyewa ruangan khusus, dua putra konglomerat Indonesia tersebut malah duduk di depan meja bar. Salma terlihat cantik dan berkelas dengan celana panjang hitam, dan kaos tanpa lengan yang di kenakannya. Riasan wajahnya yang di tunjang wajahnya yang cantik membuat dia menjadi objek pandangan para pria yang ada di sana."Hai," sapa Salma Andara dengan malas, mengambil tempat di antara kedua orang itu."Kalian kesini tanpa mengajakku?""Dan ajaibnya kau bisa muncul disini tanpa di ajak." Balas Andika sembari meneguk minumannya. "Cocktail satu." Pintanya pada sang barista."Bukan ajaib, tapi intesitas kunjunganku disini memang lebih banyak dari kalian berdua." Sahut Salma sembari menerima minumannya. Gadis yang selalu terlihat cantik dan berkelas itu meneguk minumannya dengan santai."Kau sering kesini? Kenapa tidak dengan calonmu?" Tambah Andika lagi. Salma menghadiahkannya tatapan tajam. "Shut u
"Aku bosan," gumam Ele sembari menatap ke arah luar melalui gorden jendelanya. Dia sudah meninggalkan kursi rodanya dan hanya menggunakannya sesekali. Sekarang dia menggunakan kruk untuk membantunya berjalan. Itu sudah berjalan bulan ke empat semenjak dia menjadi istri dari seorang Effendy Chislon Abimanyu. Laki-laki yang pada suatu kali menuduhnya sebagai seorang konspirator dan kemudian esok paginya berubah dingin dan kaku kembali. Ele tersenyum membayangkannya. Dia duduk di atas sofa di dekat jendela dan kemudian menghela napasnya pelan."Kalau Nona bosan, mungkin saya bisa meminta izin pada Tuan untuk membawa nona berjalan-jalan di luar. Nona ingin kemana?""Aku rindu panti." Ucap Ele jujur. Selama dia tinggal di apartemennya, Ele selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi panti seminggu sekali. Namun ini sudah terlewat empat bulan dia tidak mengunjungi panti. Tristan masih berkali-kali menelponnya kendatipun naskahnya sudah dia setor dan sudah di edit hingga final draft. Tapi Ele
Bangunan Panti Asuhan Harapan itu berdiri di hadapannya. Bangunan yang sudah beberapa waktu ini dirindukannya kini bisa tertangkap Indra penglihatan nya lagi. Tempat dimana Ele di besarkan. Itu adalah bangunan yang berdiri di atas tanah pemerintah, dengan cat tembok yang mulai mengelupas. Halaman depannya ditumbuhi rumput hijau yang terpangkas rapi dan cukup luas untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Saat Ele turun bersama Maritha dari mobil yang disupiri oleh Pak Harto, supir kediaman Abimanyu, tidak ada seorangpun yang tampak di luar. Ele paham karna ini adalah jam sarapan, dimana para penghuni panti sedang antri untuk mendapatkan jatah makan paginya.Ele berjalan dibantu kruknya, menaiki teras dan berjalan masuk melalui pintu yang terbuka lebar. Dia menyaksikan beberapa anak yang sudah remaja berada di ruang tamu panti, membiarkan anak-anak yang lebih muda untuk mendapatkan jatah sarapan lebih dulu di dapur. Salah satu remaja putri yang bernama Destini, menyadari kemunculan Ele
Ele merasa menemukan hidupnya kembali setelah sekian lama merasa terkurung di kediaman Abimanyu yang sepi itu. Setiap pagi seusai sarapan dan terapi, dia menyempatkan diri berkunjung ke ke panti asuhan. Selama itu pula dia akan kembali sebelum makan siang, selama waktu-waktu itu dapat dihitung kapan dia berjumpa dengan suaminya dalam kediaman. Effendy sangat sibuk dan workholic. Dalam satu bulan mungkin hanya sekali Ele berhasil duduk bersama suaminya di meja makan sampai akhirnya di bulan-bulan berikutnya dia benar-benar sangat jarang berbicara dengan Effendy. Intensitas pembicaraan mereka sudah jarang namun kali ini semakin parah. Kadang Ele hanya sempat menyaksikan punggung suaminya saat berangkat ke kantor. Dia sendiri sangat jarang keluar kamar sehingga meskipun Effendy berada di rumah, mereka tidak saling bertemu.Bulan-bulan berlalu, dan sudah lewat enam bulan dari waktu yang di perkirakan Andika.Ele sudah tidak menggunakan kruk lagi. Dia sudah bisa berjalan secara normal kemb
"Tuan sudah kembali," laporan Maritha sore itu membuat gerak jemari Ele di atas keyboard laptopnya berhenti. "Dia sudah kembali?" Wanita itu menggumam tanpa menoleh pada sang Maid yang berdiri di sampingnya."Dia sudah kembali sejak dua jam yang lalu, Nona. Tapi dia belum juga keluar kamar."Eleanor terdiam. Apakah ini saat yang tepat untuk menemui Chislon dan meminta waktu bicara? Mungkin dia akan terkesan tidak sopan dan terburu-buru. Namun jika tidak sekarang, Ele tidak yakin dia akan bisa menemui Chislon mengingat betapa sibuknya laki-laki itu. Tak apa, dia akan melanggar satu peraturan dengan menemui Effendy lebih dulu. Lagipula Ele merasa itu juga untuk perpisahan mereka dimana Eleanor yakin kalau suaminya itu bisa menerima.Perempuan itu meninggalkan meja kerjanya. "Aku akan menemuinya."Maritha yang hendak mencegah hanya bisa melipat lidah. Dia bergegas menyusul Ele untuk menunjukkan ruang kamar Effendy."Kamu tidak perlu merepotkan diri, Rith. Aku tahu pintu kamarnya yang man
Ele tidak lagi menyadari kapan dia jatuh tertidur dalam posisi duduk di sofa. Saat dia bangun, gadis itu mendapati dirinya sudah setengah berbaring di atas sofa. Awalnya dia kebingungan melihat nuansa kamar yang berbeda dengan kamar yang ditempatinya. Namun kemudian otaknya mulai bekerja dan memproses ingatan bahwa dirinya berada di kamar Effendy Chislon Abimanyu. Hal pertama yang dilakukan Ele adalah mengecek jam melalui arlojinya. Itu sudah pukul tujuh malam ternyata. Saat dia bergerak ke ranjang, dia menyaksikan sang tuan masih terbaring di atas tempat tidur. Ele sedikit menyesal karna lupa mengompres dahi suaminya itu. Namun perasaan itu lenyap berganti kelegaan saat dia menyentuh dahi Chislon dan mendapati panasnya sudah turun. Laki-laki itu tertidur dengan tenang. Mau tak mau Ele memperhatikannya. Dia semakin menyetujui kalau pria di dekatnya ini adalah seorang yang tampan. Mungkin bagi sebagian orang akan dianggap sangat tampan. Dia memiliki proporsi yang menarik dan pas untuk
Sungguh, dalam mimpi terluarnya sekalipun Eleanor tidak pernah bermimpi akan berada di situasi ini. Menjadi istri dari seorang laki-laki yang paling diinginkan tapi tidak pernah dianggap lebih dari seorang penumpang semata. Gadis itu tertawa pelan. Dia mengenakan piyama berbahan sutra yang di temukannya dalam walk in closet, duduk dengan tenang di atas tempat tidurnya sembari memeriksa beberapa pesan yang masuk di WhatsAppnya. Nama Tristan tampak paling atas, menyampaikan bahwa novelnya sedang dalam proses penerbitan, dengan jumlah pemesanan fantastis seperti biasa. Pesan itu di akhir dengan pertanyaan Tristan tentang kabar dan keadaan Ele sekarang.Ele berpikir sebentar. Dia rasa sekarang tidak ada salahnya untuk menemui sang editornya untuk menceritakan semua yang terjadi padanya. Biar bagaimanapun, Tristan adalah salah satu yang di anggapnya keluarga."Mas, aku ke kantor besok." Begitu bunyi pesan yang Ele kirimkan. Yang mereka sebut kantor di sini adalah sebuah kediaman minimalis
Eleanor masuk ke dalam kediaman sekembalinya dia dari restoran menemui Tristan. Itu pukul dua sore, dia memang tidak langsung berpisah dengan Tristan namun masih menjenguk kantor tadi."Kamu sekarang sudah lebih berani ya?"Suara yang tak asing nan berat itu singgah di telinga Eleanor. Dia menoleh perlahan, menyaksikan suaminya masih dalam balutan jas kantor, duduk di atas sofa ruang tamu. Laki-laki itu duduk dengan sikap seolah dia telah menunggu Eleanor dari tadi."Tuan?" Ele tak tahu harus mengatakan apa. Hanya bibirnya yang berujar pelan. Effendy memberikan kode dengan lirikan tajam, menyuruh istrinya itu duduk.Ele perlahan mendekat dan duduk di sofa tepat di depan suaminya."Sekarang jelaskan padaku, apa yang kamu lakukan di luar sana, keluar tanpa meminta izin suamimu.""Saya hanya menemui seorang teman.""Teman?" Chislon mengangkat alisnya. "Lelaki atau perempuan?""Lelaki."Ada keheningan yang tercipta selama beberapa saat sehingga Ele memberanikan diri untuk mengangkat mata
Tiga hari berlalu, Eleanor yang menyibukkan diri merawat Kaisar memilih untuk tidak menaruh harapan besar. Dia hanya ingin melihat, sejauh apakah usaha Effendy mematahkan dugaan perselingkuhan yang dia saksikan.Menepati janjinya, pagi itu Effendy kembali datang ke kediaman Winata.Namun kali itu, dia tidak sendirian, melainkan bersama perempuan Indo-Prancis yang Ele kenali sebagai Irliana. Perempuan yang berciuman dengan suaminya.Gemma membawa Kaisar bermain -main ke taman, Gemmi turut nimbrung bersama kakaknya ke sana.Di ruang tamu, Eleanor duduk bersama Ayahnya. Sedang Anita memilih untuk tidak turut campur. Dia tidak menampakan dirinya di ruang tamu.Sultan mempersilakan Effendy dan Irliana duduk. Memindai sosok Irliana sejenak, lalu laki laki itu bicara. "Saya mendengar, putri saya meminta Anda memberikan bukti kalau Anda memang tidak berselingkuh."Effendy mengangguk, "Ini Irliana, perempuan yang merupakan sahabat masa kecil saya, juga yang disalahpahami sebagai selingkuhan sa
Effendy tahu bahwa Sultan Winata adalah salah satu orang terpandang yang cukup famous di negeri ini. Yang membuat dia terkejut, adalah kenyataan yang dia terima bahwa Eleanor adalah putri Sultan Winata bersama dengan Dewi Bimantara. Kedua orangtua dari istrinya ternyata masih hidup.Sekembalinya ke kediaman, Effendy di kabarkan oleh salah satu maid bahwa ada sebuah paket untuknya. Ketika dia membuka, itu adalah surat perceraian, yang menunggu tanda tangannya.Secepat itu?Effendy meremas kertas itu dan membuangnya ke sembarang arah. Dia tidak akan Sudi menandatangi surat perceraian itu. Chislon merasa hatinya menjadi dingin dan sakit, dia merasa Eleanor tengah membalasnya. Dulu, dia yang melayangkan surat cerai pada istrinya.Effendy tak ingin menunggu waktu yang lama, dengan mengendarai mobilnya, Chislon menuju kediaman Sultan Winata. Dia tidak merasa kesulitan karna alamat itu begitu gampang dia peroleh dari Mahesa.Kediaman Sultan Winata masuk dalam kawasan elit. Ketika ia turun da
Berita tentang Adallard Quentin yang melakukan kekerasan pada istrinya langsung menjadi konsumsi publik, perihal semua perlakuannya yang terekam di siarkan langsung ke sosial media.Kepolisian Indonesia akhirnya menyerahkan kasus itu pada Polisi Prancis. Berbeda dengan sebelumnya, polisi Prancis tidak bisa berbuat banyak atau menutup mata karna tekanan publik.Irliana kembali ke Prancis untuk menghadiri sidang putusan dan juga untuk pengajuan perceraian terhadap suaminya. Dia berjanji pada Effendy akan kembali ke Indonesia setelah urusannya selesai. Dia berharap, Effendy juga bisa segera menemukan keberadaan Eleanor. Wanita itu tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih dan maaf berulangkali.Effendy melepasnya di bandara, hanya mengangguk atas semua ucapan ucapan Irliana."Kabari aku jika sudah menemukan istrimu, aku akan kembali ke Indonesia untuk membantu menjelaskan semuanya... Aku juga ingin meminta maaf secara langsung padanya..." Itu adalah ucapan terakhir Irliana sebelum beran
Harapan Effendy meredup, sampai keesokan hari, istri dan anaknya tidak pulang ke rumah. Sedang Irliana untuk sementara dia izinkan tinggal di kediaman utama agar bisa langsung memberikan klarifikasi jika Ele kembali sewaktu-waktu.Eleanor bak di telan bumi, ponselnya tidak dapat di hubungi. Effendy sampai menggunakan nomor baru untuk menghubungi, namun tetap tidak bisa. Itu menandakan kalau Ele mungkin sudah berganti nomor saat itu juga.Ketika Chislon memutuskan untuk datang ke panti asuhan ke esokan harinya, dia tidak menemukan Eleanor di sana, bahkan menurut sang bunda, Ele tidak datang ke sana sama sekali.Rasa bersalah, marah, cemas dan khawatir membuat Chislon merasa tidak tenang. Dia berdiri di balkonnya, mengerahkan orang-orangnya untuk mencari keberadaan sang istri."Aku benar-benar minta maaf, Chislon." Irliana menghampiri Chislon yang berdiri di balkon lantai dua. Laki laki itu baru saja mengecek laporan dari orang-orangnya yang masih nihil."Sekalipun kamu meminta maaf rib
Ketika Effendy tiba di rumah yang di tempati Irliana, dia melihat sosok Adallard yang berdiri bersandar di sisi mobil miliknya. Laki laki dengan cambang halus yang menghiasi dagunya itu tersenyum miring ketika berhadapan dengan sosok Effendy.Keduanya berhadapan -hadapan dengan tinggi tubuh yang tampak setara. "Effendy Chislon Abimanyu," eja Adallard menilai laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. Dia membuka mulutnya dan berbicara dalam bahasa Prancis, dengan suara rendah dan manipulatif. "Aku sudah tahu, kamu, memang Chislon yang itu. Sahabat masa kecil istriku...." "Irliana tidak suka dengan kehadiranmu." Tandas Chislon dalam bahasa Prancis."Siapa yang perduli," Adallard mengangkat bahu dan tertawa pendek. "Seberapa kuatpun kamu berusaha melindunginya, apakah kamu pikir hukum akan melindungi seorang laki laki yang menyembunyikan seorang wanita dari suaminya?""Kamu tidak pantas menjadi suaminya." Effendy tersenyum sinis, menghunus lawan bicaranya dengan pandangan tajam l
Effendy terbangun pagi itu, menyadari dia tertidur semalaman sembari memeluk istrinya. Eleanor masih lelap, wanita itu sepertinya tidak sadar membalas pelukan suaminya. Laki-laki itu sudah bermaksud membereskan permasalahan mereka hari ini. Dia tidak bisa membiarkan Ele dalam persepsi salah tentangnya lebih lama.Dia mengusap rambut Eleanor, mencium dahinya. Saat itu, Ele terbangun. Sang istri tampak terkejut menyadari posisi mereka dan langsung melepaskan diri, menjauh lalu perlahan bangun dari tempat tidur.Sebelum Effendy bicara apapun, Ele telah bergerak masuk ke dalam kamar mandi.Effendy hanya bisa menghela napas kasar. Dia pelan bangkit, bermaksud mengecek bayinya lebih dulu. Nyatanya Kaisar belum bangun. Ketika dia kembali ke kamarnya, Eleanor sudah keluar dari kamar mandi.Merasa Ele masih belum bisa di ajak bicara, Effendy akhirnya masuk ke kamar mandi. Dia berencana tidak akan ke kantor hari ini. Saat Effendy keluar, dia mendapati istrinya tak lagi ada di sana. Selagi ia me
Ketika ia terbangun, Effendy lekas membasuh wajahnya, lalu bermaksud keluar untuk kembali mencari ponselnya. Itu baru menjelang pukul enam pagi.Effendy melihat Irliana berada di dapur, sibuk memasak sesuatu. Mungkin sarapan pagi. Ketika dia melihat Effendy, Irli mendekat dan menyodorkan sebuah benda dari balik celemeknya."Ini ponselmu, aku lihat ketinggalan di pantry," kata Irli pula. Effendy sedikit berpikir, semalam ia mencari sampai kesana, namun dia tidak menemukan gawai tersebut di meja pantry. Atau dia hanya kurang memperhatikan?"Terimakasih," sambut Effendy pula. Irli menjadi lebih diam."Kamu sudah akan kembali?" Tanya wanita itu setelah kesunyian mengendap di antara mereka beberapa ketika."Ya,"Irli terdiam sejenak, "Aku membuatkan sarapan untukmu, apa tidak bisa menunggu?"Tak tega melihat wanita itu semakin kecewa, Effendy mengangguk. Lagipula itu hanya nasi goreng, lima menit kemudian telah matang.Maka keduanya pun sarapan di meja makan dengan duduk berhadapan muka. S
Supermarket terdekat dari rumah yang ditempati Irliana bukan supermarket besar. Wanita itu akhirnya memilih pergi berbelanja untuk mengisi waktu. Selain itu, Irliana adalah seorang yang suka memasak dengan tangannya sendiri.Penjagaan dari para guard Abimanyu masih terus ketat di sekitarnya, namun tidak membuatnya risih. Lagipula, setiap keluar Irli selalu menggunakan topi, kacamata dan masker supaya dia tidak di kenali. Wanita itu menyusup di salah stand dan mulai memilih sayuran.Di sampingnya, mendekat seorang lelaki dengan keranjang troli, mulai turut memilih sayuran. Irli tidak menatap atau memerhatikan sosok di sampingnya. Dia memilih fokus memilah milah sayuran untuk menu yang di masaknya malam ini. Irli merasa antusias, dia ingin mengundang Effendy nanti."Begitu manis, pasti suami Anda bahagia punya istri seperti Anda." Seseorang berbicara dalam bahasa Prancis.Seperti mendengar suara dari neraka, Irli tersentak. Suara serak dan manipulatif itu sangat di kenalnya. Dia menole
Beberapa hari berlalu dengan normal. Akhir-akhir ini Effendy pulang ke rumah tepat waktu, bahkan dia mengambil cuti dua hari untuk membawa Ele dan Kaisar berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya. Meski kecurigaan Ele mengendur, namun dia tetap tak lantas berhenti lama sekali.Pagi itu, Effendy memutuskan ke kantor karna ada meeting tentang pemetaan program di Maluku, mengenai usaha tambang Ab Gallia yang ada di sana.Ketika dia mandi, Ele tengah merapikan seprei. Saat dia menimbang akan mengganti seprei itu dengan yang baru, wanita itu melihat layar ponsel suaminya menyala. Effendy terbiasa menaruh ponselnya di nakas dekat tempat tidur. Terbawa penasaran, Ele mendekat dan melihat notifikasi.[Kapan mengunjungiku? Aku bosan.]Kata terakhir di bubuhi emoticon sedih. Ele membaca nama yang tertera di sana. Irry L.Siapa Irry L?Eleanor melihat ke arah pintu kamar mandi nun di sana, masih mendengarkan bunyi shower yang menderu tanda suaminya masih dalam aktivitas mandin