Gea mendekati sang kakak dan mencekal tangannya. "Kita pergi dari sini. Abang nggak perlu lakukan apa pun buat mereka! Perempuan seperti itu tidak layak buat Abang!" pekik Gea. Sean yang semula menekuk mukanya sangat dalam seketika kebingungan dan melangkah bersama tarikan Gea. Setelah keluar dari ruangan itu, dokter yang menangani Sky berpapasan dengan mereka. "Sean? Benar?" Sean menoleh dan menatap wajah pria berambut blonde tersebut. "Mas Rayyan?" Pria itu mengangguk. Keduanya berpelukan setelah Sean melepaskan jeratan tangan Gea. Gadis itu mendengus kesal melihat dua pria yang saling berpelukan itu, ia geli dan jijik. "Kamu apa kabar? Aku kira kamu nggak akan datang." Tentu masih ingat Rayyan bukan? Dia adalah anak dari Ivy, sahabat terbaik Divya. "Datanglah, Sky adikku. Bagaimana aku tidak datang. Apakah semuanya baik-baik saja, Mas?" "Baru saja aku mau mengajakmu ngobrol masalah ini. Ayo!" ajak Rayyan. Sean mengangguk dan Gea membuntuti keduanya.
"Cari apa, Bang?" seru Zia saat mendapati sang kakak kebingungan. Mereka, Zia dan Sean sama-sama memiliki perasaan yang lebih peka.“Ponsel Abang,” jawab Sean tanpa menoleh ke arah adiknya. Ia sibuk celingukan merogoh ke dua sakunya secara bergantian. Dia lupa, bahwa pagi tadi, ia langsung pergi begitu saja tanpa memedulikan benda persegi panjang itu.Zia lekas mengulurkan ponsel miliknya. "Pakai punya Zie aja," katanya dengan ceria.Sean menerimanya dan mencari kontak milik Ivy. Matanya melihat deretan pesan yang dikirim Zia pada bibinya itu. Ternyata gadis cantik dengan rambut panjang itu jauh lebih sering bertukar kabar dengan sang bibi."Iya, Sayang," seru Ivy saat menerima panggilannya. Akan tetapi matanya membola saat tahu siapa yang memenuhi layar ponselnya."Sean?!" pekiknya. "Apa kabar, Nak? Kenapa tidak pernah telepon, Ibu? Kamu sehat kan? Kalian di London?" Pertanyaan memberondong itu memenuhi telinga Sean, Zia, dan Gea."Iya, Bu. Maaf untuk itu. Sean— ya, Sean salah—”“Suda
Setelah usai dengan makan siang. Mereka memisahkan diri. Sean berkeliling rumah bibinya. Zia memutuskan untuk membaca buku di ruangan milik anak bungsu Ivy. Sementara Gea, gadis itu melamun di pinggir danau yang ada di belakang rumah Ivy. Cukup jauh sehingga dia terlihat menyendiri.“Melamun, Nak?” seru Ivy yang membuat Gea terperanjat dan lekas menoleh ke asal suara.“Ibu, bikin kaget,” protesnya kecil. Ia kembali mengayun ayunan dari kayu tersebut. Menyandarkan kepalanya pada tali tambang yang masih kokoh menopang penumpang ayunan itu.“Apa yang kamu pikirkan, Nak? Ibu juga Mamamu. Percayalah kamu bisa cerita sama Ibu, Nak.” Ivy duduk di bangku yang tidak jauh dari ayunan sedikit ke kiri tepat di samping pohon besar nun rindang. Tangan tua itu sibuk mengupas apel.“Gea bingung. Gue sadar kalau salah sama Abang. Gue jauhin dia karena gue kesel sama dia. Dia itu harapan Papa, Bu. Harusnya dia yang balapan, dia anak pertama, kudunya dia rela lakukan apa pun untuk adik-adiknya dan Papa s
“Menurut ibu, sebaiknya kamu mundur, Zha. Kamu hanya akan melukai diri sendiri. Sebesar apa pun cintamu kalau ternyata pria itu bahkan tidak melirikmu, untuk apa? Kamu cantik, kamu mandiri, kamu hebat dan juga keren. Kenapa harus mencintai pria yang sama? Dunia ini luas, Sayang,” tutur Ivy.Lagi-lagi Gea tersenyum kecut. Harusnya dia tidak perlu bertanya, karena dia sendiri pun berpikir hal yang sama seperti Ivy, bahwa Sean terlalu baik untuk Freya. Gadis itu bahkan tidak layak mendapatkan secuil perhatian Sean.“Terima kasih, Bu. Jangan bilang sama Zie, ya,” pintanya.Ivy mengangguk sambil menarik kedua sudut bibirnya. Tentu saja dia akan jaga rahasia dusta itu, karena cerita itu hanya manipulasi Gea semata.“Bu— di sini kalian rupanya. Kita harus pulang, Zha. Mas Rayyan bilang persiapannya sudah maksimal. Jadi, kemungkinan besok malam kita akan terbang,” cakap Sean seraya berjalan mendekati dua wanita beda usia itu.“Yakin secepat itu?” Ivy sedikit sedih, mereka belum tuntas melepas
Penerbangan yang memakan waktu cukup menjenuhkan. Sky diantarkan langsung menggunakan pesawat milik rumah sakit tempat dirinya dirawat sebelumnya. Tidak satu menit pun, Freya meninggalkan laki-laki itu. tubuhnya terbaring nyaman di ranjang yang hanya muat untuknya. Matanya terpejam dengan ringan.“Hati-hati,” pinta Freya pada Sean yang membantu petugas menurunkan Sky.Pria itu tersenyum sambil mengangguk. Tentu saja, ia akan berhati-hati. Sky tetaplah adiknya.Kini tubuh itu telah dibaringkan di brankar. Sky kembali digeledek ke ruangan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kondisinya tetap stabil selama penerbangan yang baru saja dilewati.Mereka semua harap-harap cemas menantikan kabar berikutnya. Selama perjalanan, Sky diberi obat tidur agar tidak membuatnya semakin banyak bergerak dan menghambat proses pengobatannya. Kendati semua tahu bahwa Sky sempat mengalami koma. Mereka tetap tenaga medis profesional dan tahu yang lebih baik dan dibutuhkan oleh Sky.“Boleh saya ikut masuk, Dok?”
Sampai di rumah, Gea langsung berlarian menaiki tangga dan mendorong pintu kamar kakaknya dengan brutal. Beruntung kaca pintu itu sangat tebal. Ia merangsek masuk dan mencari keberadaan hadiah yang sudah bertahun-tahun tidak dia ketahui. Langkahnya mendekati lemari yang dikatakan oleh sang kakak.“Pasti di sini ‘kan?” gumamnya seraya menggeser pintu lemari kaca itu dan benar saja! Dia bisa melihat box persegi panjang dan besar.“Bang Sean,” lirihnya saat berhasil menarik dan membongkar isinya.Sebuah Skateboard, bertuliskan namanya dan bergambar sepeda dengan nuansa hitam putih. Dulu, Gea masih sangat kecil untuk tahu masalah kegemaran dan warna kesukaan. Tapi— Sean memberikan hal yang tidak diketahui oleh Sky.Sean bisa membaca karakter adik-adiknya. Hingga apa pun yang diminati mereka, dia bisa menyenangkan mereka dengan mudah.[Selamat ulang tahun, Zha Sayang. Kamu akan jadi pembalap sepeda, pemain skateboard terbaik. Abang minta maaf kalau selalu salah sama kamu dan Kakak, ya]Sura
Pukul enam tiga puluh menit. Sean, pria itu enggan beranjak dari kursi keagungannya. Ia memutarnya mengarah ke dinding kaca yang menerima sorot sinar jingga matahari. Tangannya sibuk memainkan cincin silver yang pernah disematkan di jari Freya. Matanya senantiasa menerawang kosong ke hamparan kota di hadapannya.“Aku harus apa?” Itulah seruan yang dia ucapkan terus menerus selama lebih dari dua puluh menit.“Pak,” panggil Bagas. Ia cemas dengan kondisi bos yang biasanya terlihat tenang, damai, dan berwibawa tiba-tiba sering melamun.Sejak kehadirannya siang tadi, Sean bahkan hanya termenung di ruangannya. Ia hanya memoles paraf di dokumen yang disodorkan kepadanya. Selebihnya ia kembali pada kepelikan hubungannya.“Pulanglah, Gas. Ini sudah jam pulang kantor, kenapa kau masih di sini?” tanyanya tanpa menoleh ke arah pria yang berdiri di sampingnya.“Haruskah saya mengantar Anda pulang terlebih dulu, Pak?” Sejatinya, Bagas ingin mengajak bosnya untuk pulang dan dia yang mengemudikan. A
Tepat setelah rambu lalu lintas berubah warna dari merah ke hijau, Sean hendak kembali mengebut. Namun justru gerobak besinya di hantam. Seorang pengendara sepeda motor datang dari arah kiri dan menabrak mobil Sean. Pria itu lekas menekan rem dengan dalam dan kendaraan di belakangnya pun ikut menginjak rem. Kecelakaan beruntun itu tidak terelakkan. Dahi Sean menabrak kemudi. Pengendara sepeda itu terpelanting jauh dan hampir tergilas oleh pengendara lainnya.Sean keluar dengan raut muka kucel dan kekhawatirannya pada pengendara motor tersebut.“Maafkan saya, Tuan. Saya sungguh tidak tahu kalau lampunya sudah berganti warna. Maafkan saya. Ampuni saya Tuan. Saya—” ia gelagapan. Takut jika diminta untuk ganti rugi yang jumlahnya akan sangat besar.“Anda baik-baik saja?” Tangan Sean menarik bahu perempuan itu dan mengajaknya untuk berdiri. Ia tidak harus berlutut di tengah jalan seperti itu.“Tuan maafkan, saya,” ulangnya. Di belakang Sean sudah berdiri para korban lain yang keluhannya sam