Share

sabar, ini baru awal.

Author: Arsta
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Mas, bajunya mau pakai warna apa?"

Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.

Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng.

"Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."

Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!

"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"

Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?

"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendiri nggak di pakai?"

Omelku meraih dasi di ranjang, lalu melingkarkannya di leher suamiku. Laki-laki ini tidak banyak bicara. Deg. Aku menelan siliva seret, saat ia membungkuk memberiku kemudahan agar tak berjinjit. Pendek emang. Pipiku seketika memanas, menyadari sedari tadi aku mengomel. Sungkan, siapa aku?

"Maaf," cicitku.

"Bukan masalah."sahutnya.

Menggigit pipi bagian dalam, seketika aku melepaskan tangan dari dasinya yang belum terpasang sempurna, aku tak terlalu kesulitan menyimpulkan dasi, karena pernah, meski tak sering aku memakaikan dasi Rangga kakak sepupu yang usianya hanya berbeda tiga hari denganku, itupun katika aku berkunjung dan sepupuku tak mendapat perhatian lebih dari sang mama karena repot menyiapkan sarapan.

"Mas bisa lanjutkan sendiri."

Mas Ravin berdehem. Seolah mengerti, ia membenarkan sendiri simpul dasinya.

"Makasih."

Katanya saat aku permisi keluar dan mengingatkan sarapan sudah tersaji di ruang makan. Aku mengangguk, memegang dadaku saat keluar kamar, bersandar di pintu. Bagaimana aku bisa menganggap dia suamiku beneran? Eh? Emang suamiku beneran, kan? Tapi kami menikah bukan karena cinta. Yakali, secerewet itu.

"Iyuh, dasar mulut. Di rem napa, gasnya! Kan, malu."

Pagi yang laknat, sepertinya belum usai, baru saja hendak menegakan diri dari sandaran di pintu. Kayu jati manis itu malah terbuka karena tarikan dari dalam.

Bruk.

Aku mendesis saat merasakann pantatku sakit. Lalu menoleh ke samping, Mas Ravin ikut terduduk dengan simpul dasi yang menyedihkan. Oh astaga! Apa aku menariknya tanpa sengaja?

Sumpah pengen nangis.

"Wah, wah, kalau begini mama bisa cepet dapet cucu ini."

Aku memutar kepala, saat mama Luna bertepuk tangan ceria di depan kami. Mas Ravin mendengkus kasar, lalu membantuku berdiri. Kok debarannya aneh?

"Mama."

peringat Mas Ravin, dengan tangan masih di kedua pundakku. Mama berdehem, aku menunduk, tau maksudnya. Wanita paruh baya cantik itu melenggang pergi usai mengatakan kami di tunggu di bawah untuk sarapan. Tatapan kami bertemu, lalu kehangatan di pundak ku menghilang. Kupu-kupu di perutku salah jalan. Nyesek.

**

"Masa belum?"

Pekik mama Luna, langsung mendapatkan deheman dari ayah Yusuf. Aku menunduk dalam. Mama mertuaku meraih wajahku. Di putarnya ke kanan dan ke kiri. Lalu berdecak.

"Kamu cantik, Karin. Suamimu mirip lee min ho. Yakan? Iya nggak Pa? Ravin gantengnya kaya aktris Korea kan? Bahkan lebih. Menantu kita juga cantik berhijab pula. Ini yang buta siapa, sih? Masa nggak ada nafsu-nafsunya? Waras?"

"Ma."peringat papa Yusuf.

Aku meringis, fulgar sekali ya tuhan. Papa Yusuf menyenggol lengan istrinya yang masih mengomel tak jelas. Yang jelas membahas tentang 'ena-ena' paham, kan? Masih banyak omelan yang harus ku dengarkan, berkali pula papa mertua berusaha mencegah. Tapi dasar mulut wanita, mana ada rem nya? Menikah itu bukan hanya mendampingi raga, tapi juga jiwa. Bukan hanya melayani raga, tapi tuga batin. Istri itu guling suami. Harus memberi kenyamanan agar suami tergoda dan bla bla bla ....

"Jangan salahkan mama, kalau sampai ikut campur urusan privasi kalian."

Aku kembali kepayahan mengisi tenggorokanku yang mengering. Pernikahan macam apa ini? Nisya, tanggung jawab kamu. Runtukku dalam diam.

"Kamu sudah pakai pakaian yang mama saranin belum?"

Aku menggeleng.

"Malu,Ma."

"Sama suami kok malu Rin, keburu nanti suamimu jajan di luar loh."

Amit-amit jangan sampai. Aku mengehela napas dalam.

Sekarang, bagaimana Mas Ravin mau menyentuhku? Jika hasrat itu tak ia temukan pada mantan calon kakak iparnya ini? Menikah dengan dab tanpa cinta itu, beda mama. Aku mendesah dalam diam. Apalagi yang bisa ku lakukan selain diam? Andai aku bisa memilih, aku akan memilih menikah dengan dia yang pernah ku sebut di akhir doaku. Dia yang diam ku kagumi. Dia yang, ah, sudahlah. Menyalahkan takdir dan ketentuan illahi bukan yang terbaik kali ini. Hanya perlu ikhtiar dan tawakkal. Hasilnya aku pasrah. Bukankah tuhan maha membolak balikan hati? Pemilik hati, lalu?apa yang aku harus takutkan?

"Laki-laki tidak butuh cinta untuk bisa menyentuh,Rin."

Aku menoleh.

"Tapi Karin belum siap, di miliki tanpa memiliki, Ma."

Itu pikiranku, tapi nyatanya hatiku menentang. Pernikahan ini memang salah, tapi bukankah setiap pernikahan adalah tujuan memperbanyak keturunan? Papa, anakmu lelah. Tapi tak boleh menyerah.

****

"Tapi Pete enak juga,ma. Kalau jengkol bikin perut mual baunya. Kaya..." Aku menutup mulut ketika membayangkan butiran jengkol mendarat di lidahku. Seketika perutku mual dan ingin muntah. Mama tertawa juga khawatir. Terlihat jelas wajahnya.

"Kamu itu, baru bayangin aja masa sudah mual. Tapi Ravin suka sekali sama jengkol loh, Rin."

Aku mendongak, menatap mama betul-betul.

" Masa?"

Mama mengangguk, aku menghela napas dalam. Sedikit tidak terima, tapi pernah ku dengar bahwa cara terampuh menciptakan kesan bagi seseorang adalah makanan.

"Assalamualaikum."

Aku dan mama menoleh, Mas Ravin baru saja masuk rumah usai bekerja. Aku berdiri menghampiri suamiku. Meraih tangannya, lalu mengecup singkat. Rutinitas yang sudah beberapa hari terakhir ku tekuni haha. Awalnya dia kaget, tapi karena terus terulang laki-laki itu akhirnya terbiasa.

"Kalau mama sama papa dulu, waktu salim langsung di cium kening atau nggak pipi. Lah ini masih muda kok nggak ada gregetnya."

Aku mendelik, apa-apaan ini. Berbeda dengan mas Ravin yang hanya tersenyum, lalu mengusap puncak kepalaku. Sepintas saja, tidak ada rasa. Berjalan menuju mama lalu mencium tangan di susul pipi bidadarinya. Aku hanya menatap, karena berharapun tidak akan secepat ini.

"Ravin ke kamar dulu, capek."

Aku mengangguk, mama masih menatapku. Sampai ketika langkahku menuju kamar terhenti karena cekalan di lenganku.

"Sabar ya, lukanya memang tidak sederhana. bertahan sebentar lagi." Bisiknya.

Aku mengangguk, lalu kembali melangkah menuju kamar. Saat masuk, ku lihat mas Ravin duduk bersandar di kursi dengan mata terpejam.

"Mas."

Lelaki itu membuka mata mendengar panggilanku.

Lalu duduk dengan benar.

"Kalau capek istirahat dulu, bersih-bersih,mandi. Sudah sore, pamali kalau tidur mau magrib."

"Sudah makan?" Lanjutku, dia mengangguk. Lalu menggeleng.

"Sudah apa belum?" Pastiku.

"Lupa." Jawabnya dengan sedikit bangkit. Tangannya memegang perut.

"Perutnya sakit?" Tanyaku memastikan.

Dia menggeleng, lalu berjongkok di depan laci.

" Agak kembung, tau minyak kayu putih dimana?"

Aku mengangguk, berjalan kearahnya lalu membuka laci mengambil minyak. Lalu memberikan kepada mas Ravin.

"Makasih." Dia mengeluarkan baju yang masih di masukkan ke celana, menuangkan minyak di telapak tangan, lalu mengoleskannya Keperut.

"Mau di bantu,mas?"

Mas Ravin menggeleng, sebelum berjalan mengambil baju yang sudah ku siapkan lalu masuk kamar mandi.

Aku menghela napas pasrah, sedikit kecewa.

" Nggak papa, lukanya memang tidak sederhana."

Kataku pada diri sendiri. Teringat kata-kata mama.

Di tambah lagi sabarnya.

"Rin."

Aku menyudahi lamunan. Menoleh ke arahnya.

"Boleh minta tolong pijit sebentar?"

***

Related chapters

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Bukan masalah besar

    "Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   ku hargai usahanya

    Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   hujan dan kamu

    "Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Jangan sakit

    "Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Tetap disini

    _Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Orang lama

    Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Sah?

    "Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   tidak mudah, bukan berarti susah

    "Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Orang lama

    Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Tetap disini

    _Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Jangan sakit

    "Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   hujan dan kamu

    "Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   ku hargai usahanya

    Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Bukan masalah besar

    "Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   sabar, ini baru awal.

    "Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   tidak mudah, bukan berarti susah

    "Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Sah?

    "Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang

DMCA.com Protection Status