Beranda / Pernikahan / Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar / tidak mudah, bukan berarti susah

Share

tidak mudah, bukan berarti susah

Penulis: Arsta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."

Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku.

"Sulit,ma."

"Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."

Aku diam, masalahnya beda mama.

Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi.

"Ehm,"

Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama.

Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin.

"Ini, nggak bawa baju ganti, kan?"

Aku mengangguk, sedari tadi mataku tak bosan dan tak jera mengawasi detail kamar ini. Nuansa pink dengan lampu pualam salem, di hiasi gorden senada dengan warna temboknya. Ada beberapa tempat foto kosong dengan diameter yang ku yakin cukup besar, namun tidak di isi. Atau lebih tepatnya baru saja di kosongkan karena tuan putri nya mendadak hilang. Ah, ini warna, tempat ini bukan untukku, suasannya favorit adik tak berhatiku. Suara deheman mampu membuatku mengalihkan pandangan.

"Nanti bisa di desain ulang." ujar Mas Ravin, dia cukup peka.

"saya nggak tau berapa ukurannya ini dari mama, maaf kalau kurang cocok." lanjutnya

"Bukan masalah, terimakasih." Aish, formal sekali. Dia mengangguk.

Dia berbicara seolah mengerti. Aku? Tak mengangguk tak menggeleng, aku netral saja. Meski lebih suka pada nuansa biru.

Memang, sebagai wanita aku tak bisa berbohong. Ada rasa tak suka melihat dan merasakan semua persiapan ini di tujukan bukan untukku. Karena, siapapun dia, bagaimanapun hubungan kalian jika saat itu bersama seorang wanita maka ia sama sekali tidak suka menjadi opsi kedua dan seterusnya. Egois? Tentu saja. Karna itu sifat wanita. Namun, kembali lagi aku memutar ingatan kebelakang. Memang bukan untukku, kan? Aish. Berasa jadi istri cadangan. Hiks, nyesek. Yang cewek pasti tau rasanya.

"Hum, kalau mau istirahat, silahkan saja. Aku akan keluar dulu, mau ngobrol sama mama. "

Aku menoleh ketika mendengar gumaman nya.

"Nggak perlu bilang terima kasih, karena ini juga demi keluarga ku juga. Kita sama-sama korban disini."

Suaraku kebas, dia mengangguk lalu berjalan ke kasur. Merebahkan diri disana sambil menutup matanya dengan lengan tangan kanan. Aku yakin, seribu atau duaribu persen. Dia menangis dalam diam. Atau mungkin tidak menangis, hanya saja meruntuki kejadian hari ini. Sibuk memikirkan bagaimana hidup dengan wanita yang bukan di inginkan.

"Kita hanya menikah di atas kertas."

Kaki terpaku di tempat.

"Hanya mengingatkan, jangan terlalu menggunakan perasaan." lanjutnya, aku tak berani menoleh.

"Tidak mungkin juga mencintai orang asing dalam satu malam, jadi sampai saat ini tidak ada yang perlu di takutkan." aku menjawab, meski ada sakit yang tiba-tiba terasa.

"Syukurlah."

Aku menghela nalas berat, lalu melangkah keluar. Hatiku mulai sesak mendengar Mas Ravin bicara seperti itu. Seperti aku menjadi tokoh antagonis yang berencana menggantikan posisi adikku dan merebut kebahagiaan mereka.

Padahal, disini aku juga korban. Dan siapa tokoh antagonis sesungguhnya? Jawab sendiri. Kembali ku Hela napas dalam. Aku seorang istri, aku harus bisa melayani suamiku meski aku belum merasakan cinta untuknya dan secara tidak langsung aku belum mendapatkan izin untuk mencintai nya. Disini, aku juga korban. Hatiku mungkin patah, meninggalkan semua impian, semua perasaan yang juga sudah ku dedikasikan kepada orang lain. Namun, dia pasti lebih patah, kan? Mengalah di hari pernikahan. Pasti sakit.

* *

Kata demi kata mengalir begitu saja dari bibir ranum wanita setengah baya di hadapanku, seperti biasa 'ibu' selalu berhasil menjadi tongkat terbaik yang membantu pilihan ketika jatuh. Tidak semua, tapi selalu ibu tokoh utamamya. Sesekali wanita itu mengul senyum, membelai jilbab yang melekat. Lalu menatap dalam.

"Kamu yang sabar, aja. Ravin pasti mau nerima kok. Dia anak mama yang paling peka perasaannya, paling perhatian apalagi sama perempuan."

Aku tersenyum singkat, sepekanya manusia tau sudah cinta buta juga, kan? Sebaik Ravin saja masih disia-siakan sama manusia setidak tau diri adiku. Ah, hukum dunia memang tidak selalu adik,kan?

"Mas Ravin itu tipe yang bagaimana,Ma?"tanyaku.

"Ganteng." Wanita itu terkekeh usai menjawab. Ku akui, suamiku memang ganteng. Ganteng banget malahan.

"Serius padahal." sungutku. Mama tertawa.

"Loh? Memang anak mama nggak ganteng to Rin?"

Aku mengangguk sambil menyesap teh buatan mama mertua. Sedangkan beliau menyeduh kopi bening. Karena perutku lemah jika harus Ramu dengan kopi. Cerita tentang Mas Ravin, mengalir begitu saja. Bagaimana sikap suami baruku itu ketika bersedih, apa saja yang membuatnya marah. Apa yang di sukai dan di bencinya. Beruntung sekali, mertuaku menerimaku dengan lapang. Meski tentu saja, beliau juga tak terima anaknya di permainkan. Aku meraih tangannya yang berada di depanku, binar bulan menatap sempurna ke arah mataku.

"Maaf Tante, soal ..."

Mama Luna menyimpan tangannya di bibir. Pertanda aku harus berhenti sebelum berkata. Aku mengangguk. Tentu saja paham. Tentu saja, nama mantan calon menantunya itu kuping beliau sudah ingin bernyanyi haredang haredanng, haredang. Ngepul asap. Panas.

"Mama, bukan Tante. Kamu bukan lagi besan buat mama tapi sudah jadi menantu. Anak gadis mama sama papa. Jadi, tolong di biasakan. Di rasakan dan di terima dengan legowo apa yang sudah tuhan takdirkan. Ya sayang, ya."

Mama Luna tersenyum lembut, aku mengangguk.

"Istirahat, saja dulu. Temani suamimu, setidaknya jadilah temannya ssampai dia menerimamu menjadi istrinya."

Aku menghela napas, berat. Kapan? Kapan ia akan melihatku sebagai seorang istri? Jika di matanya aku adalah seorang kakak. Kakak dari perempuan yang di cintanya.

* *

Masuk kamar, aku di suguhkan dengan sesosok lelaki yang kini berbaring menyamping. Menjadikan lengannya sebagai bantal tambahan. Surai rambutnya rapi, sedikit acak-acakan akibat pergesekan dengan bantal. Aish, tampan juga. Heh? Aku menggelengkan kepala. Meruntuki kesalahan mulai mendominasi otakku. Mengamati wajah tenangnya dalam tidur, hatiku nyiut seketika.

Cintanya pada Nasya terlampau besar. Tentang bagaimana mereka sebelum menikah, Mas Ravin yang bersedia membatalkan jadwal hanya karena Nisya sedang marah dan tidak mau bertemu sore itu. Akankah aku bisa menggantikan?

Jika iya, kapan? Sanggupkah aku bertahan? Oh ya Allah, engkau yang membolak balik kan hati, kuserahkan segalanya kepadamu. Yang terbaik adalah kuasamu. Yang terjadi adalah takdirmu. Sedang hatiku adalah milikmu. Maka kuatkan aku, selama aku bersandar kepadamu wahai robbku. Doaku dalam diam, tak terasa air mata mengalir begitu saja, mendapati kenyataan tak sekuat ekspetasi.

Tiba-tiba saja setetes air mengalir di pipiku, sesak. Ternyata semenyakitkan ini ketika aku sendiri. Takdir memisahkan ku dengan laki-laki yang ku impikan, tapi menyatukanku dengan lelaki yang tak pernah ku bayangkan sedetikpun akan menjadi imam. Inilah takdir tuhan, tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.

"Seharusnya tidak menerima, jika kamu merasa akan terluka."

Aku mengerjap, hembusan napas berat terdengar di samping telingaku. Tanpa menolehpun aku tau siapa pemilik suara itu. Aku tetap pada posisiku. Dia juga, tidak bergerak. Tidak mendekat.

"Lalu, apa yang bisa aku berikan ke mama? Cinta? kasih sayang? Semua terenggut paksa saat calon istrimu memutuskan untuk lari." dada ku sesak, mengingat bagaimana wajah lelah mama.

"Terimakasih sudah berkorban dengan begitu besar untuk keluarga kita. Tapi maaf, aku tidak bisa memberikanmu janji apapun untuk perasaan." dia berujar.

Aku tetap diam, takut jika bersuara maka yang keluar bukan jawaban tapi raungan. Lagi-lagi aku mendengar deru napas dalam. Egois jika hanya melihat dari sisiku, tapi bagaimana lagi. Aku yang terjebak disini.

"Apapun yang aku lakukan kedepannya, jika menurut mu aku baik, itu hanya sekedar untuk menunaikan kewajibanku." Air mata tidak lagi bisa ku bendung saat kata-kata menyakitkan itu keluar dari lisannya. Kewajiban?

" Istirahat dulu, aku keluar."

Aku merasakan sedikit pergerakan.

"Mas," panggil ku. Dia menoleh.

"Mungkin sulit, tapi tidak ada salahnya mencoba."

Mas Ravin mengerut, lalu menatapku sepenuhnya.

"Mencoba untuk?"

"Berbagi."

* *

Bab terkait

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   sabar, ini baru awal.

    "Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Bukan masalah besar

    "Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   ku hargai usahanya

    Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   hujan dan kamu

    "Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Jangan sakit

    "Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Tetap disini

    _Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Orang lama

    Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Sah?

    "Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Orang lama

    Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Tetap disini

    _Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Jangan sakit

    "Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   hujan dan kamu

    "Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   ku hargai usahanya

    Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Bukan masalah besar

    "Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   sabar, ini baru awal.

    "Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   tidak mudah, bukan berarti susah

    "Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini

  • Terpaksa Menikahi Calon Adik Ipar   Sah?

    "Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang

DMCA.com Protection Status